top of page

Sejarah Indonesia

Gerilyawan Kota Bernama Karna

Gerilyawan Kota Bernama Karna

Kisah seorang lelaki tua yang di era revolusi pernah menjadi gerilyawan kota. Bertugas mencuri senjata milik serdadu Belanda.

Oleh :
10 Desember 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ahmad Sukarna, eks anggota Lasykar Ciwaringin 33 (Hendi Jo)

SEORANG lelaki tua berjalan tertatih-tatih di depan Masjid Agung Cianjur. Langkahnya terhenti jika ada bekas botol air mineral terserak di jalanan. Dipungutnya botol plastik tersebut lalu dimasukannya ke dalam kantong kresek besar yang selalu dibawanya ke mana-mana.


“Daripada menjadi sampah, lebih baik saya jual. Lumayan hasilnya sekedar untuk jajan dan ngasih ke cucu,”ujarnya.


Ahmad Sukarna (dipanggil Karna), nama lelaki tua itu. Usianya sekarang sudah melewati angka 100. Kendati sudah uzur namun terlihat masih kuat. Puasa Senin-Kamis dan meminum air putih merupakan rahasianya. Kendati demikian, penyakit pikun tetap menyerang dirinya. Tapi kalau ditanya soal era revolusi, mulutnya akan lancar bercerita. Bahkan akan terlihat sangat emosional.Ya, Karna adalah pejuang di era itu. Ketika proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, dia bersama kawan-kawan seangkatannya di Bogor lantas bergabung dengan sebuah kelompok perjuangan bernama Lasykar Ciwaringin 33, pimpinan Harun Kabir. Itu nama seorang tokoh pejuang ternama di Jawa Barat saat itu.


“Pak Harun itu sohibnya Bung Karno. Kalau ke Bogor Bung Karno pasti ke rumahnya Pak Harun di Jalan Ciwaringin No. 33,” ungkap Karna.


Nama Harun Kabir sebagai kolega Bung Karno memang dibenarkan oleh Fatmawati Sukarno. Dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno Bagian I, Fatmawati mengakui bahwa sebagai sahabat, Harun Kabir banyak berjasa bagi kehidupan keluarganya. Termasuk saat dia dan suaminya harus menitipkan Guntur Sukarnoputra (putra pertama mereka) kepada keluarga Harun Kabir, saat situasi Jakarta tak menentu pada akhir 1945.  


Begitu juga Lasykar Ciwaringin 33. Nama itu terkonfirmasi dalam Bogor Masa Revolusi (1945-1950) karya sejarawan Edy Sudrajat. Disebutkan di buku itu bahwa Lasykar Ciwaringin 33 merupakan kelompok milisi rakyat yang eksis di Bogor pasca proklamasi.


“Pada 1946, Lasykar Ciwaringin 33 dilebur dalam Divisi Siliwangi,” ungkap Hetty Kabir, putri ke-2 dari Harun Kabir.


Karna masih ingat wajah Bung Karno, ketika kali pertama melihatnya di Jalan Ciwaringin No.33 yang menjadi markas pasukannya. Dia juga masih terkenang wajah Mayor Harun Kabir dan Letnan Soeroso, dua komandannya yang gugur ditembak serdadu Belanda. Bicara tentang orang-orang itu matanya akan bersinar penuh semangat, walau kadang terisak diiringi panjatan doa buat mereka.


“Orang-orang itu adalah pejuang besar, saya selalu hormat kepada mereka,” ujarnya.


Tapi tak ada orang yang lebih sering dikenang Karna selain Toeti. Tanyalah nama Toeti kepada Karna, orang tua itu akan pasti terdiam lama. Air matanya meleleh dan terlihat wajahnya sangat berduka. Siapakah Toeti yang membuat hati Karna begitu terluka?


Toeti sejatinya adalah sahabat karib Karna di Lasykar Ciwaringin 33. Kedua pejuang itu dikenal sebagai para pencari senjata yang sangat piawai. Seminggu mereka bisa mendapatkan 4-5 senjata api. Bahkan mereka berdua pernah mendapatkan 10 senjata api dari beberapa tempat di Bogor. Bagaimana caranya?


Untuk mendapatkan senjata-senjata itu, terlebih dahulu Karna dan Toeti mempelajari watak para serdadu Belanda nyaris setiap hari. Setelah lama melakukan pengamatan lapangan, mereka berkesimpulan para serdadu yang jauh dari rumah itu sangat lemah jika dihadapkan kepada perempuan.


"Makanya dengan menggunakan Toeti yang berwajah rupawan sebagai "umpan", kami berdua beraksi " tutur Karna.


Modus aksi mereka hampir selalu sama: Toeti pura-pura mandi di sungai atau kolam yang terlihat dari jalan besar hingga patroli-patroli musuh kerap tergoda untuk turun. Saat situasi seperti itulah, Karna yg sudah siap siap, dari tempat persembunyiannya langsung bergerak dan menyambar senjata-senjata yg ditinggal begitu saja dalam jip. Dia lantas menembakan salah satunya untuk "memancing" prajurit-prajurit musuh itu kembali ke atas sekaligus menyelamatkan Toeti. Selanjutnya, mereka berdua langsung kabur.


"Kami memang menghindar bentrok langsung, karena tugas kami memang bukan untuk bertempur tapi khusus mencari senjata dan pelurunya," kenang lelaki yang saat muda jago bermain sepakbola itu.


Satu hari, mereka merencanakan operasi di tepi Sungai Ciliwung dekat Kebun Raya Bogor. Kala menjalankannya, aksi itu awalnya seolah akan sukses. Mereka berhasil menipu satu regu serdadu Belanda. Namun tanpa disadari, mereka ternyata telah masuk perangkap musuh dan terkepung.


Tak ada jalan lain. Untuk meloloskan diri, mereka berdua harus terjun ke Sungai Ciliwung yg tengah banjir dan airnya berwarna coklat. Mereka pun hanyut dipermainkan kecamuknya air. Karna yg sempat meraih akar pohon selamat. Namun tidak demikian dengan Toeti. Ia terseret arus bah dan tak bisa diselamatkan lagi.


"Saya masih melihat tangannya menggapai, mungkin minta tolong. Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Saya merasa bersalah tak bisa menyelamatkannya," ujar Karna seraya terisak.


Karna berhasil pulang ke markas. Namun jiwanya terguncang. Karena taktik aksinya sudah tercium, komandannya kemudian mengungsikan Karna ke wilayah Cianjur. Malang tak dapat dicegah untung tak dapat diraih, saat perjalanan ke Cianjur mereka terjebak suatu pertempuran seru di wilayah Puncak. Kaki Karna pun sempat terkena pecahan peluru mortir.


Kendati kakinya kemudian menjadi agak pincang, tidak menjadikan Karna lantas berhenti menjadi gerilyawan. Dia tetap aktif sebagai pejuang di Cianjur. Usianya panjang dan bisa merasakan alam kemerdekaan. Namun bayangan sahabat seperjuangannya, Toeti, tetap lekat di benaknya hingga kini. Tak mungkin pergi, walau penyakit pikun sudah menyerang di usia senja sang gerilyawan tua itu.




Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page