- Petrik Matanasi
- 13 Agu
- 3 menit membaca
Diperbarui: 20 Agu
MINGGU sore 14 September 1930, Yogyakarta menghelat pertandingan sepakbola antara tim HSH melawan AMS Yogyakarta. Antusiasme warga untuk menyaksikannya cukup tinggi di era sport mulai marak itu.
Di babak awal, HSH unggul 1-0. Namun, perimbangan kekuatan kedua tim tak berubah di babak kedua. Bahkan, satu gol lagi berhasil disarangkan tim HSH. AMS kewalahan dalam bertahan di babak akhir. Guru olahraga mereka pun akhirnya harus turun tangan.
Turunnya sang guru mengubah peta kekuatan kedua tim. Pemain sayap kiri yang murid sang guru, namanya Soeharso, lalu berhasil mengecoh bek lawan. Berkat umpan dari sang guru, Soeharso lalu bisa menyundul bola yang menghasilkan gol. Meski kalah, AMS bisa memperkecil skor menjadi 1-2. Begitulah De Locomotief tanggal 15 September 1930 memberitakan laga tersebut.
Guru olahraga AMS itu adalah Johannes Christoffel Jan Mastenbroek (1902-1978). AMS sendiri adalah SMA kolonial Algemeen Middelsbare School (AMS). AMS yang bertanding itu adalah AMS bagian B (AMS-B), yang belakangan menjadi SMAN 3 Yogyakarta.
Di AMS, Mastenbroek punya murid yang cukup jago main sepakbola. Pertama, Maladi namanya dan kedua, Wilopo. Kelak keduanya menjadi menteri Republik Indonesia. Buku biografi Wilopo mencatat bahwa tim AMS pernah bertanding melawan Jong Java, tempat Wilopo juga menjadi anggotanya.
“Pada suatu pertandingan pernah Mastenbroek diganjel kakinya oleh Wilopo sehingga si guru selama satu minggu terpaksa berjalan pincang dan harus mempergunakan tongkat,” begitu tercatat dalam Wilopo 70 tahun.
Mastenbroek tak hanya mengajar di AMS-B saja. Buku Gema Edisi Yubileum HIK Yogyakarta 60 tahun, Juli 1987 menyebut dia juga mengajar di Hollandsch Inlandsch Kweekschool (HIK) Yogyakarta, sekolah calon guru yang kini menjadi SMPN 6 Yogyakarta. Pernah suatu hari, Mastenbroek datang terlambat di bangsal senam HIK dengan wajah merah dan langkah sempoyongan. Dia pun mengajar sambil duduk-duduk saja di hadapan murid-muridnya. Rupanya, Mastenbroek baru dari sositeit dan terlalu banyak minum.
Meski baru pemegang ijazah Akte S –dan belum akte MO (Middelbaar Onderwijs), pada 1930-an Mastenbroek sangat terkenal. Pada 1935 hingga 1937, Mastenbroek adalah ketua persatuan sepakbola Hindia Belanda, Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU). Setelah tak jadi ketua NIVU lagi, Mastenbroek tetap orang penting dalam sepakbola di Hindia Belanda. Soerabaijasch Handelsblad tanggal 19 April 1938 memberitakan, dia adalah direktur teknik alias pelatih bagi tim nasional Hindia Belanda yang akan berlaga di Piala Dunia 1938 di Perancis.
Sebulan kemudian, Mastenbroek dan anak-anak asuhnya berangkat ke Eropa menggunakan kapal SS Baloeran. Selama di kapal, tim tak bisa latihan sepakbola karena keterbatasan ruang. Mereka hanya bisa latihan fisik.
"Dan latihan setiap hari di kapal, di bawah pengawasan instruktur senam. Pria itu praktis adalah Leo Beenhakker kita,” ujar Jack Kolle di Het Parool tanggal 25 Juni 1990.
Leo Beenhakker adalah pesenam Belanda era 1970-an. Leo Beenhakker yang dimaksud Jack Kolle adalah Mastenbroek, bukan Leo Beenhakker yang pelatih timnas Belanda di Piala Dunia 1990. Soerabaijasch Handelsblad tanggal 5 Mei 1938 menyebut Mastenbroek mengajari senam ringan selama berada di atas kapal.
Anak asuhannya itu beruntung karena dua tim yang harusnya mereka lawan, Amerika Serikat dan Jepang, mundur. Jadi mereka langsung bertemu Hongaria, yang sebelumnya mengalahkan Swiss, di Piala Dunia Juni 1938. Namun tim yang diasuh Mastenbroek itu adalah tim dadakan yang belum cukup jam latihan bersamanya, Tak heran meski sudah bekerja keras, tim Hindia Belanda tetap kalah 0-6 dari Hongaria.
Mastenbroek lalu tinggal di Bandung dua tahun kemudian. Ketika Perang Dunia II pecah, Mastenbroek kena wajib militer tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Namun, Hindia Belanda bertekuk lutut pada Jepang tahun 1942 sehingga banyak warganya, termasuk tentaranya, ditawan. Mastenbroek termasuk. Kartu tawanan perang atas nama dirinya menyebut dia tinggal di Jalan Riau nomor 30 dan dia direkrut sebagai Letnan Satu Infanteri yang ditugaskan dalam Depot Artileri Medan. Tugasnya tampaknya sebagai perwira pelatih militer.
Setelah bebas, Mastenbroek dikembalikan menjadi perwira KNIL. Pangkatnya bahkan naik menjadi kapten. Koran De Locomotief edisi 13 Januari 1948 menyebut Kapten Mastenbroek, perwira olahraga Divisi B, bertugas di Bandung untuk mengembangkan olahraga, khususnya olahraga militer. Dalam tugas tersebut dia sempat berkunjung ke Semarang terkait kompetisi yang diadakan di Semarang.
Sementara itu, Wilopo yang jadi muridnya di AMS-B dulu, kemudian mendapat gelar Meester in Rechten (Mr) di zaman kolonial. Pada 1947 dia dipercaya jadi menteri Perburuhan dan kemudian perdana menteri pada April 1952-Juni 1953. Sedangkan Maladi, murid Mastenbroek yang lain, pernah ikut Tentara Pelajar di zaman Perang Kemerdekaan, kemudian jadi kiper pada era 1945-1949. Maladi juga pernah jadi menteri Penerangan serta menteri Pemuda dan Olahraga. Maladi juga dikenal sebagai pencipta lagu keroncong “Di Bawah Sinar Bulan Purnama.” Keduanya berada di kubu yang bersebarang dengan kubu Kapten Mastenbroek, yang kemudian kembali ke Negeri Belanda.












Komentar