- Randy Wirayudha

- 7 Jul
- 5 menit membaca
Diperbarui: 10 Jul
KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bukan hanya dikenal sebagai sosok ulama, intelektual, dan negarawan yang reformis meski terkadang oleh beberapa kalangan dianggap kontroversial. Sejak lama ia juga dikenal sebagai filantropis yang gemar berbagi kepada masyarakat dari segala lapisan yang membutuhkan.
Sejak 1970-an sampai 1990-an Gus Dur tidak hanya sering menerima amplop dari ceramah atau seminar. Ia juga acap menerima honor sebagai kolumnis di beberapa media massa. Kelak beberapa kumpulan tulisannya dijadikan buku.
“Gus Dur menulis sebagai usaha untuk menawarkan pemikiran dan ide. Ia juga menulis untuk mendapatkan uang. Ia mengaku bahwa salah satu penopang hidupnya bersumber dari honor tulisan. Tulisan-tulisannya dimuat di media terkemuka, seperti majalah Tempo, koran Kompas, serta jurnal paling keren pada zamna itu, jurnal Prisma,” tulis Hairus Salim dalam Gus Dur: Sang Kosmopolit.
Setelah memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kurun 1984-1999, Gus Dur tetap sebagai tokoh yang reformis juga filantropis. Honornya dari ceramah, pembicara seminar, hingga menulis sering dibagi-bagikannya ke anak buah, sesama kiai, hingga masyarakat miskin yang membutuhkan.
Salah satu laku filantropi itu diceritakan Surahman, salah satu pembantu Gus Dur semasa menjabat ketua PBNU, kepada KH Husein Muhammad alias Buya Husein. Hampir saban hari Gus Dur menerima surat-surat baik dari warga NU maupun warga miskin dari berbagai daerah yang membutuhkan bantuan.
“Ada surat dari pengurus NU, kiai kampung, ustadz, santri, petani, nelayan, tukang kebun, pedagang kelontong. Kebanyakan isinya permohonan bantuan dana untuk keperluan yang beragam. Gus Dur membacanya satu per satu dengan teliti. Ia lalu mengambil kartu pos wesel yang sengaja disiapkan di lacinya. Kemudian, ia menulis dengan tangannya sendiri angka rupiah tertentu. Ia mengambil honor-honor yang diperolehnya dari tulisan yang dimuat atau dari seminar yang dihadirinya, lalu dibagi menurut pertimbangannya sendiri. Ia lalu meminta Surahman membawa pos-pos wesel itu ke kantor pos dan mengirimkannya ke alamat masing-masing,” ungkap Buya Husein dalam Samudra Kezuhudan Gus Dur: Sang Guru Bangsa, Sang Sufi dalam Kesehariannya.
Baca juga: Gus Dur dan Buku
Hal serupa juga dikisahkan jurnalis senior dan politikus Imam Anshori Saleh dalam Mata Batin Gus Dur. Dompet dan isi tas Gus Dur, katanya, hampir selalu kosong karena dia acap membagi-bagikan amplop kepada sesama kiai maupun para masyarakat adat.
“Gus Dur yang sepanjang hidupnya berkeliling ke masyarakat, sesungguhnya sedang menjadi petugas pos amplop. Jika Gus Dur dapat amplop berisi uang hasil ceramah atau seminar, biasanya Gus Dur akan mampir di rumah kiai atau ulama lokal, tidak pandang terkenal atau tidak, terkadang juga mampir ke rumah pemimpin tradisi, kepala adat, atau pemimpin masyarakat. Kebiasaan yang selalu terjadi adalah amplop akan berpindah dari tas atau saku pendamping atau ajudannya kepada mereka yang dikunjungi,” tulis Imam.
Janda Flores dan Titipan Koper Berisi Duit Miliaran
Semasa jadi presiden (1999-2001), Gus Dur tetap acap membagi-bagikan duitnya. Kali ini ke menteri-menterinya yang dianggap “kurang mampu”. Di antaranya Menteri Luar Negeri RI (1999-2001) Alwi Shihab dan Menteri Negara Riset dan Teknologi RI (1999-2001) Muhammad Atho’illah Shohibul (AS) Hikam.
“Gaji Gus Dur sebagai presiden sering diberikan kepada yang memerlukan, meskipun tak diminta, termasuk kepada menterinya. Gus Dur, kata Mahfud MD, memberikan sebagian gaji pertamanya kepada Alwi Shihab, sambil mengatakan, ‘Nih, Alwi, untuk beli jas. Masak menteri jasnya jelek begitu.’ Hal yang sama dilakukan kepada AS Hikam. Sambil menyerahkan sebagian uang gajinya kepadanya, Gus Dur bilang, ‘Nih untuk beli sepatu. Masak menteri sepatunya butut.’ Gus Dur tahu bahwa sepatu AS Hikam sudah lawas, meski ia sendiri tuna netra,” sambung Buya Husein.
Selepas dilengserkan pun Gus Dur tetap dicintai umat. Seringkali rombongan masyarakat yang bersilaturahim secara sukarela memberinya amplop. Isinya pun beraneka nilai rupiah, dari yang uang logaman Rp.500 hingga Rp.20 ribu. Lagi-lagi amplop-amplop itu kemudian dibagikannya ke anak buahnya, sebagaimana yang diceritakan salah satu asistennya, Sulaiman, dikutip Damien Dematra dalam Sejuta Doa untuk Gus Dur.
“Mungkin ada anak kecil yang ikut ngasih (logam recehan). Hebat, to! Kecil-kecil wes nyumbang. Ambilano (ambil saja), untuk jajan,” kata Gus Dur.
“Kenapa sih, Gus, kok semuanya dikasih ke kita? Padahal kalau setiap hari ditabung kan cukup untuk sebulan. Belum lagi sumbangan dari simpatisan,” tanya Sulaiman.
“Kamu itu ndak usah materialistis, Man. Memang kurang yang dikasih sama Yang Di Atas? Aku ini sudah terima kasih,” jawab Gus Dur.
“Apa, Pak, maksudnya?”
“Ya, saya terima kasih. Saya menerima kasih, saya memberikannya kembali pada orang lain. Terima kasih,” tukas Gus Dur terkekeh.
Baca juga: Dahsyatnya Humor Gus Dur
Suatu ketika, Gus Dur pernah menerima rombongan ibu-ibu yang bertamu ke kediamannya di Ciganjur, Jakarta Selatan. Gus Dur lagi-lagi tak menolak ketika menerima tumpukan amplop. setelah dihitung para asistennya, rata-rata bernominal 50-200 ribuan rupiah dan relatif kecil totalnya.
“Saya harus menerima semua itu. Kalau saya tolak, pasti mereka kecewa. Yang penting bukan jumlahnya, tapi semangat dan gairahnya untuk bisa memberi kepada saya. Mereka datang jauh dari Pasuruan, ziarah ke makam-makam Wali Songo. Terakhir ke saya. Mereka menganggap saya ini wali ke sepuluh, hehehe...” canda Gus Dur.
Yang pasti, Gus Dur tak pernah pelit rezeki. Puluhan juta rupiah pun ikhlas ia gelontorkan jika memang ada orang yang sangat membutuhkan. Imam Anshori Saleh mengisahkan, pada suatu waktu seorang janda asal Flores, Nusa Tenggara Timur mendatanginya Gus Dur di kantor PBNU sembari terisak-isak. Gus Dur lantas meminta Imam mengambilkan uang senilai Rp40 juta dari sebuah kotak di atas meja. Segepok uang itu lantas berpindah tangan dan janda asal Flores itu mensyukuri bantuan uang yang diterimanya dengan mencium tangan Gus Dur sembari terisak sebelum pamit.
“Siapa itu, Gus?” tanya Imam.
“Nggak tahu. Dia janda. Anaknya lima masih kecil-kecil. Yang bungsu sudah dua bulan dirawat di rumah sakit. Perlu biaya untuk dapat membawa anaknya pulang,” ujar Gus Dur.
“Jangan-jangan dia hanya pura-pura, Gus?”
“Bener kok. Dia tadinya minta bantuan saudaranya, tapi tidak dikasih. Sudah Mas, kalau memberi itu ikhlas saja. Nggak usah dipikir lagi. Kalau bisa bantu ya kita bantu. Begitu saja. Wong uang itu juga dari orang, kita kembalikan kepada orang yang membutuhkan,” tandas Gus Dur.
Baca juga: Dahsyatnya Humor Gus Dur (Bagian 2)
Ketika kondisi kesehatannya mulai menurun, Gus Dur mengamanahkan sebuah wasiat. Sebagaimana yang diceritakan KH Marzuki Mustamar, dilansir NU Online, 2 Agustus 2018, Gus Dur pernah menitipkan tiga koper kepada seseorang bernama Agus asal Jatikerto, Malang. Dalam wasiatnya, Gus Dur berpesan bahwa isi koper-koper itu boleh dibuka jika Gus Dur sudah wafat.
Sebagaimana wasiatnya, sekira 100 hari pasca-wafatya Gus Dur (wafat 30 Desember 2009), Agus baru membuka ketiga koper itu. Ternyata isinya bertumpuk-tumpuk amplop berisi uang yang jika dihitung mencapai sekitar Rp3 miliar. Pada setiap amplop itu juga sudah dituliskan nama-nama anak yatim, yatim-piatu, hingga para janda sebagai penerima beserta alamat-alamat mereka yang semua berada di Kabupaten Malang. Agus pula yang lantas membagi-bagikannya kepada para penerimanya sebagaimana wasiat Gus Dur.*










Komentar