- Amanda Rachmadita
- 17 Jul
- 4 menit membaca
PENJELAJAHAN armada kapal VOC ke Hindia Timur pada abad ke-16 menjadi perdagangan yang menguntungkan. Beragam komoditas seperti rempah-rempah dan benda-benda eksotis lainnya dijual dengan harga tinggi di Eropa, sehingga memberikan kekayaan bagi para pengusaha yang tergabung dalam VOC.
Barang-barang berharga dari Hindia Timur, jarahan dari berbagai kesempatan, gaji yang layak dan teratur, serta keinginan melihat negara-negara asing dan adat istiadat orang-orang di Dunia Baru, mendorong banyak orang untuk bergabung dengan VOC.
Arsiparis Belanda, Frederik De Haan mencatat dalam Oud Batavia Volume 1, keinginan orang-orang Eropa, terutama orang Jerman yang datang ke Belanda pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, untuk berlayar ke Hindia Timur sungguh luar biasa. Mereka terpesona dengan perubahan signifikan di Belanda yang berkembang menjadi negara kaya. Eksplorasi dan perdagangan komoditas dari wilayah Timur yang dilakukan VOC menghasilkan keuntungan luar biasa, sehingga memberikan kemakmuran bagi para pengusaha dan pemilik saham kongsi dagang tersebut.
Testimoni orang-orang yang kembali ke Eropa dengan membawa kekayaan dari Timur telah mempromosikan kesuksesan VOC. Akibatnya, orang-orang berkerumun di sekitar biro perusahaan untuk mendapatkan pekerjaan ke Hindia Timur.
Tingginya minat orang-orang Eropa untuk mencari peruntungan di Hindia Timur dimanfaatkan para perekrut tenaga kerja yang diebut zielverkoopers atau penjual jiwa.
Menurut De Haan, para penjual jiwa mencari nafkah dengan cara memikat orang-orang asing ke dalam rumah mereka, menampung mereka, dan membuat mereka menandatangani kontrak untuk pergi ke Hindia Timur. Orang-orang asing itu kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi bawah yang membutuhkan pekerjaan. Satu-satunya yang mereka miliki adalah mimpi mengubah nasib. Kesuksesan pegawai VOC yang kembali dari Timur mendorong mereka mengambil jalan serupa, yakni bekerja untuk VOC demi mendapatkan kekayaan di perantauan.
Namun, tak semua pegawai VOC di Hindia Timur bernasib mujur. Meski banyak yang sukses mengumpulkan kekayaan dan kembali ke negaranya sebagai sosok yang lebih disegani, ada banyak pegawai yang mengalami kesulitan, hidup dalam kemiskinan, bahkan meninggal dunia karena tak mampu bertahan dalam kondisi iklim dan lingkungan yang berbeda dari Eropa.
Sisi gelap dari perdagangan di Hindia Timur itu seringkali diabaikan oleh para perekrut tenaga kerja. Kebanyakan tenaga kerja direkrut menjadi pelaut maupun tentara dibandingkan pedagang. Para penjual jiwa menipu targetnya dengan iming-iming kesuksesan dan kekayaan jika mereka dipekerjakan oleh VOC untuk pelayaran dan perdagangan di Hindia Timur.
Bagi para pencari kerja, bantuan dan tawaran para penjual jiwa sangat menguntungkan. Christopher Schewitzer menulis dalam A Relation of a Voyage to and Thorough the East-Indies from the Year 1675 to 1683, jika para penjual jiwa itu melihat targetnya hanya memiliki sedikit uang, atau dalam keadaan sangat membutuhkan, atau datang karena keterpaksaan, mereka menerima orang-orang tersebut dan menyediakan makanan, minuman, dan pakaian, hingga kapal siap berangkat dan orang-orang tersebut naik kapal. Di masa-masa kejayaan VOC, para penjual jiwa mampu mengumpulkan hingga tiga puluh calon tenaga kerja yang akan didaftarkan untuk bertugas ke Hindia Timur.
Setelah proses pendaftaran dan perekrutan selesai, para penjual jiwa menerima cek sebesar 150 gulden, dan uang tunai sebesar upah pekerja selama dua bulan. Cek tersebut tidak dibayarkan hingga jatuh tempo dalam gaji bulanan.
“Sebuah laporan tentang gaji yang harus dibayarkan kepada setiap orang dikirim setiap tahun dari Hindia Timur ke Belanda, dan dapat dilihat di pembukuan di sana. Namun, jika salah satu dari tenaga kerja meninggal dalam perjalanan, para penjual jiwa akan kehilangan seluruh pembayarannya; perusahaan tidak membayarnya karena gaji tersebut belum dihasilkan,” tulis Schewitzer.
De Haan menjelaskan, jika para pencari kerja diterima bekerja di Kompeni, mereka akan menandatangani surat perjanjian sebesar 150 gulden, biasanya tiga atau empat kali lipat dari jumlah uang yang dikeluarkan para penjual jiwa di awal menarik targetnya. Kendati mulanya dianggap bantuan cuma-cuma, biaya yang dikeluarkan para penjual jiwa untuk menampung targetnya pada akhirnya dianggap sebagai utang yang harus dilunasi oleh para pencari kerja setelah bertugas di Hindia Timur. Utang itu dilunasi dengan cara dicicil, dipotong dari gaji para pekerja.
Untuk mengantisipasi kerugiaan jika rekrutannya meninggal dunia di tengah perjalanan menuju Hindia Timur, para penjual jiwa biasanya menjual bagian dari komoditasnya yang diangkut dalam pelayaran ke Hindia Timur kepada orang lain. Dengan demikian, kerugian akibat kematian dini dikompensasi oleh keuntungan besar dari pengangkutan komoditas. “Ini sedikit mirip dengan asuransi jiwa secara terbalik, di mana modal yang diasuransikan tidak dibayarkan jika terjadi kematian, tetapi dibayarkan di muka,” tulis De Haan.
Perekrutan tenaga kerja dengan iming-iming kekayaan dan kesuksesan berkembang menjadi praktik yang memalukan di abad ke-18. Reputasi buruk Hindia Timur, yang populer disebut kuburan orang Eropa, membuat lowongan pekerjaan sebagai tenaga kerja VOC kehilangan peminat. Orang-orang mendaftar hanya sebagai pilihan terakhir agar tidak kelaparan.
Selain itu, tipu muslihat dan perlakuan para penjual jiwa yang mengurung orang-orang yang direkrut di gudang bawah tanah dan loteng, membuat mereka kesulitan mendapatkan target. Agar bisnis tetap berjalan, tak sedikit para penjual jiwa mengumpulkan calon tenaga kerja dengan penculikan dan memalsukan identitas para pencari kerja agar diterima oleh VOC.
Schewitzer mencatat, untuk menarik orang asing, para perekrut tenaga kerja membuat mereka percaya pada cerita-cerita aneh tentang Hindia Timur, menjanjikan hal-hal besar, dan tidak malu memberikan palu ke tangan mereka untuk memukul berlian dari batu yang mereka temui. Banyak dari orang-orang malang yang direkrut secara paksa ini menghancurkan diri mereka, baik jasmani maupun rohani, setibanya di Timur dengan menikahi penduduk asli, dan berpindah dari agama Kristen ke keyakinan yang dianut penduduk lokal, setelah mereka terbiasa dengan kebiasaan dan adat istiadat mereka.
“Ada pula yang meninggal secara tiba-tiba, di tengah minum-minuman atau pergaulan yang buruk; sementara yang lain melakukan perbuatan yang membuat mereka dihukum mati oleh pengadilan. Dan karena para perekrut memikat orang-orang seperti itu untuk melakukan perjalanan yang biasanya berujung pada kehancuran mereka, para perekrut itu disebut sebagai penjual jiwa,” tulis Schewitzer.*










Komentar