- Nugroho Sejati
- 23 Jul
- 2 menit membaca
SURAT Perintah Sebelas Maret (Supersemar) menjadi awal keruntuhan Sukarno. Pendukungnya ditumpas habis. Mahasiswa mendemonya. Dia disalahkan atas segala krisis. Kekuasaannya perlahan terkikis. Lalu habis. Tapi kebesaran Sukarno tak pernah menipis.
Selama hampir lima dasawarsa, citra Sukarno masih membayangi alam pikiran manusia Indonesia. Jejak visualnya hadir di mana-mana. Dari poster, stiker, gantungan kunci, hingga kaos. Dijajakan di emperan atau menghiasi tempat-tempat publik.

Lihatlah di Gang Murni di kawasan Pondok Pinang Raya, Jakarta Selatan. Tak ada momen tak ada hujan, semisal acara tujuh belasan, kedua sisi gapura pintu masuk gang bercat merah putih dan goresan wajah Sukarno masih tergambar jelas. Setiap orang yang masuk gang dipastikan “bertatap muka” dengannya. Matanya melirik tajam.
Di Jalan Minangkabau, potret-potret Sukarno dipajang dan dijual di sebuah toko bingkai. Harganya bervariasi, mulai dari 100 ribu rupiah untuk ukuran 12R hingga 750 ribu rupiah untuk ukuran 1 m x 70 cm. Doni, sang pemilik, menjual foto-foto Sukarno dalam bingkai sejak 1973.
“Yang beli bukan hanya orang partai,” ujar Doni.

Empat puluh tahun lebih bukanlah waktu yang sebentar. Bukti bahwa masih banyak orang yang rindu Bapak Proklamasi itu, meski hanya untuk digantung di dinding rumah.
Seperti terlihat di dinding sebuah ruang indekos di Rawamangun. Sebuah potret besar Sukarno dalam bingkai berukuran 40 x 70 cm tergantung di dinding.
“Wah, sudah lama ini dibeli suami saya. Katanya biar anak-anak semangat belajarnya kalau lihat wajah Sukarno,” ujar Ibu Kos.

Kedai kopi hingga tempat karaoke, kendati jarang, tak ketinggalan memajang foto Sukarno. Menariknya, Bung Karno juga singgah di kawasan prostitusi dan perjudian Kalijodo di Jalan Kepanduan II, Jakarta Barat. Di sebuah kafe, sebelum kena gusur, kalender berhias foto Sukarno tergantung di salah satu dinding yang bolong. Di kalender itu pula terdapat tulisan “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng adalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa”.

Di jalanan, Anda akan menemukan jejak visual Bung Karno dalam beragam rupa bentuk. Saman, misalnya, biasa mengayuh sepeda yang berhiaskan gambar Bung Karno dari rumahnya di Cimanggis menuju Pasar Kenari di Salemba untuk bekerja sebagai kuli panggul.
“Dari kecil saya suka banget dengan Sukarno, pidato-pidatonya bagus. Sampai sekarang, belum ada Presiden Indonesia yang sebesar dia,” ujar Saman.*
Majalah Historia Nomor 29, Tahun III, 2016











Komentar