top of page

Sejarah Indonesia

Jembatan Keledai Tan Malaka

Jembatan Keledai Tan Malaka

Sebagai pelarian Tan Malaka harus meninggalkan buku-bukunya dan mengandalkan ingatannya.

Oleh :
22 Maret 2010

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

Diperbarui: 8 Jan

Tan Malaka dan Sukarni.


TOKOH pergerakan Tan Malaka menggunakan “jembatan keledai” untuk menulis buku magnum opus-nya: Madilog. Madilog berasal dari jembatan keledai: yakni MAterialisme, DIalektika, dan LOGika.


Tan sebenarnya ingin seperti Leon Trotsky dan Mohammad Hatta. Keduanya bisa mengangkut berpeti-peti buku ke tempat pembuangan. “Saya menyesal karena tak bisa berbuat begitu dan selalu gagal kalau mencoba berbuat begitu,” tulisnya dalam Madilog.


Ketika kali pertama dibuang ke Belanda pada 22 Maret 1922, Tan hanya disertai buku-buku agama: Al-Qur’an, kitab suci Kristen, Budhisme, Confusianisme, Darwinisme. Juga buku perkara ekonomi dan politik yang berdasarkan liberalisme, sosialisme, atau komunisme; riwayat dunia; serta buku sekolah dari ilmu berhitung sampai ilmu mendidik. Buku-buku itu terpaksa dia tinggalkan karena ketika pergi ke Moskow dia harus melalui Polandia yang memusuhi komunisme.


Karena Tan harus selalu meninggalkan atau membuang buku-bukunya, dia pun mengandalkan daya ingatnya. Dia memiliki daya ingat yang kuat, yang sudah dia latih sejak sekolah Raja di Bukit Tinggi. Dia menghafalkan dengan cara mengingat kependekan “intinya’’. Cara itu disebut “jembatan keledai’’ (ezelbruggece).


Tan menyontohkan, jika dua negara berperang, mana yang akan menang? Dia menggunakan “jembatan keledai” AFIAGUMMI. Huruf A berarti Armament (kekuatan udara, darat, dan laut). Huruf A bisa membawa “jembatan keledai’’ lain mengenai forces (tentara) seperti ALS, yakni Air (udara), Land (darat) dan Sea (laut). Sesudah membandingkan Armament kedua negara, dia menguji yang kedua, yakni Finance (keuangan). Sayangnya, dia tidak menjelaskan sisanya, IAGUMMI.


Tan bilang telah membuat “jembatan keledai” dalam hal ekonomi, politik, muslihat perang, dan sains. “Kalau tidak beratus, niscaya ada berpuluh jembatan keledai di dalam kepala saya,” tulis Tan.


Jembatan keledai sangat membantu Tan. Karena itu, dia menganggap “jembatan keledai’’ penting buat pelajar. Lebih penting lagi bagi seseorang pelarian. Bukankah seorang pelarian politik mesti ringan bebannya, seringan-ringannya? Dia tak boleh diberatkan oleh benda yang lahir, seperti buku ataupun pakaian.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Badan-Badan Otonom NU

Badan-Badan Otonom NU

Nahdlatul Ulama memiliki badan-badan otonom dalam berbagai bidang untuk menandingi gerakan organisasi-organisasi massa PKI.
Dari Gas hingga Listrik

Dari Gas hingga Listrik

NIGM adalah perusahaan besar Belanda yang melahirkan PLN dan PGN. Bersatunya perusahaan gas dan listrik tak lepas dari kerja keras Knottnerus di era Hindia Belanda.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
bottom of page