top of page

Sejarah Indonesia

Keadilan Bagi Penyintas Peristiwa

Keadilan bagi Penyintas Peristiwa 1965

Bukti-bukti kekerasan pasca Peristiwa 1965 begitu gamblang. Namun, proses penyelesaian yang diharapkan tidak ada kejelasan.

Oleh :
18 Maret 2017

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Suasana konferensi pers penutupan acara Jalan Berkeadilan bagi Penyintas di Komnas Perempuan, Minggu, 19 Maret 2017. Foto: Fadrik Aziz Firdausi/Historia.

Sidang Mahkamah Rakyat Internasional bagi kejahatan serius 1965-1966 (IPT 1965) dan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyusul sesudahnya telah dilangsungkan di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015. Keputusan Panel Hakim juga sudah diumumkan di Jakarta dan Amsterdam oleh Hakim Zac Yacoob pada 20 Juli 2016. Intinya bahwa aparat negara pada masa itu bertanggungjawab atas berbagai elemen kejahatan terhadap kemanusiaan.


Menyusul hasil IPT 1965 itu, para pegiatnya telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan Komnas HAM terkait penyelesaian pelanggaran HAM 1965. Namun, hingga kini proses penyelesaian yang diharapkan malah tidak ada kejelasan. Karenanya, para pegiat IPT65 bersama Komnas Perempuan akan terus berjuang sampai tercapai penyelesaian yang adil bagi korban Peristiwa 1965.


Ketua penyelenggara gelaran “Jalan Berkeadilan bagi Penyintas,” Harry Wibowo, mengungkapkan bahwa banyak penelitian dan temuan terkait tragedi 1965 yang sudah diungkap. Di antaranya adalah temuan kuburan massal korban tragedi 1965 di sejumlah titik di Jawa. Akan tetapi, menurutnya, Komnas HAM belum melakukan tindakan berarti.


“Karena itu kami menuntut adanya penyelidikan lanjutan oleh Komnas HAM agar temuan-temuan baru tersebut dapat memperkuat penelitian terdahulu yang sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Kami juga mengusulkan Komnas HAM melakukan proteksi terhadap temuan-temuan itu,” terang Harry Wibowo dalam konferensi pers penutupan acara “Jalan Berkeadilan bagi Penyintas,” Minggu (19/3).


Penyelidikan oleh pegiat IPT 1965 juga mengungkap kejahatan kemanusiaan terhadap perempuan. Sayangnya, karena kewenangan Komnas Perempuan terbatas, penyelesaiannya juga menemui jalan buntu. Hal ini menjadi intensi Komnas Perempuan untuk ikut serta mendesak penyelesaian kasus kejahatan HAM di masa lalu.


“Pengungkapan kebenaran harus dilakukan oleh negara. Komnas HAM harus menjalankan fungsi dan tugasnya yang istimewa, yaitu melakukan penyelidikan atas tragedi 1965 dan mendesak Presiden Joko Widodo agar peristiwa ini tidak terualang,” tegas Mariana Amirudin, perwakilan dari Komnas Perempuan.


Sementara itu Panitia Kongres IPT 1965, Dolorosa Sinaga, mengatakan akan terus mengupayakan hasil-hasil persidangan di Den Haag yang pernah mereka gelar mendapat respons pemerintah. Untuk itu, pihaknya akan menggelar suatu kongres di tahun ini guna mempertegas dua upaya sebelumnya.


“Kami sepakat meneruskan perjuangan ini. Salah satunya melalui pembentukan organisasi yang lebih besar. Tidak hanya simposium tetapi berupa kongres, Kongres IPT 1965 Indonesia,” ujar Dolorosa.


Sebagai langkah awal, pihaknya akan mensosialisasikan hasil-hasil IPT 1965 di Den Haag ke kota-kota yang bersinggungan dengan tragedi 1965. Dari kegiatan itu nantinya diharapkan dapat menjaring aspirasi yang lebih substansial dari setiap kota. Masukan-masukan itulah yang nantinya akan dibahas dalam Kongres IPT 1965 Indonesia.


“Jalan Berkeadilan bagi Penyintas” sendiri adalah acara yang diselenggarakan oleh pegiat IPT 1965 bersama Komnas Perempuan dan YLBHI. Konferensi pers terkait pengungkapan kebenaran dan desakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM 1965 adalah rangkaian terakhir dari acara yang telah digelar sejak Jumat lalu.


Konferensi pers ini sempat mengalami penundaan karena adanya aksi unjuk rasa dari sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi Suara Rakyat. Para pengunjuk rasa meneriakkan penolakan terhadap acara ini karena dianggap untuk membangkitkan kembali komunisme. Acara yang dihadiri oleh para penyintas peristiwa 1965 itu akhirnya bisa dilangsungkan setelah tempat acara dipindahkan dari selasar ke salah satu ruang rapat dalam gedung Komnas Perempuan.


“Acara ini bukan untuk melawan pemerintah, tapi justru kita ingin memberi ide kepada pemerintah untuk penyelesaian kasus 1965. Kami mendukung pemerintah dan Komnas HAM,” pungkas Sri Lestari Wayuningrum, perwakilan IPT 1965 Jakarta.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page