top of page

Sejarah Indonesia

Kegagalan Cinta Dalam Kisah Zaman Kuno

Kegagalan Cinta dalam Kisah Zaman Kuno

Kisah cinta pada zaman kuno ini berakhir tragis akibat kehadiran orang ketiga.

9 Maret 2021

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Tari Topeng Panji Malang. (Setyo Adhi Pamungkas/Shutterstock).

Cerita bermula ketika Panji Kudawaningpati, putra mahkota Kerajaan Jenggala, mengunjungi kepatihan. Ia jatuh cinta pada putri Patih Kudanawarsa. Panji pun menikahi Dewi Angreni, putri sang patih. Padahal, Panji sudah bertunangan dengan Sekartaji, putri Kerajaan Kediri.


Panji tak mau menikah dengan perempuan lain karena sudah memperistri Angreni. Karenanya Raja Jenggala menyuruh Brajanata untuk membunuh Angreni agar perkawinan Panji dan Sekartaji dapat terlaksana. Panji sedih dan memutuskan berkelana.


Panji mengubah namanya menjadi Klana Jayengsari. Dalam pengembaraan, dia melakukan berbagai penaklukkan. Dia mencari kematian lewat pertempuran agar bisa segera berkumpul dengan Angreni.


Pada akhirnya Panji menikah dengan Sekartaji. Hyang Narada memberi tahu Panji bahwa Angreni dan Sekartaji merupakan satu jiwa.


Kisah itu tersua dalam naskah Panji Angreni, salah satu versi dalam korpus cerita Panji. Versi cerita Panji yang lain misalnya Panji Jayalengkara, Panji Priyembada, Panji Dewakusuma, Panji Jayakesuma, Panji Angronakung, Panji Murdasmara, dan Panji Suryawisesa.


Karsono H. Saputra dalam tesisnya di Universitas Indonesia berjudul “Aspek Kesastraan Serat Panji Angreni” menjelaskan, dalam perkembangannya, kisah Panji Angreni muncul dalam berbagai bentuk.


Misalnya, versi teks terbitan Balai Pustaka pada 1936 berjudul Panji Gandroeng Angreni. Sedangkan versi lakon seni pertunjukan seperti Langen Beksa Panji Angreni karya Sal Murgiyanto pada 1973 untuk memperoleh gelar sarjana seni tari di Akademi Seni Tari Yogyakarta.


“Pemunculan dengan berbagai bentuk menunjukkan bahwa teks Panji Angreni merupakan salah satu cerita yang digemari masyarakat Jawa,” tulis Karsono, pengajar program studi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.


Selama mengembara, Panji memperistri putri-putri dari negeri-negeri taklukan. Menurut Karsono, biar punya banyak istri, Panji merupakan laki-laki yang setia. Petualangannya itu demi mencari kekasihnya, Angreni, yang menurut Batara Narada kelak akan menitis pada Angrenaswara, adik Raja Nusakancana.


“Poligami lebih untuk menunjukkan sosok Panji sebagai lelanang ing jagad seperti Arjuna,” tulis Karsono. 


Panji memperlakukan istimewa putri-putri yang punya kemiripan dengan Angreni. Misalnya, Andayaprana, putri Bali, yang giginya sama dengan Angreni, Candrasari mirip bentuk matanya, dan Nawangwulan mirip rambutnya.


“Bahkan perkawinannya dengan Sekartaji dan Angrenaswara berlangsung karena Panji Kudawaningpati (Jayengsari) tahu bahwa Sekartaji adalah juga Angreni dan Angrenaswara merupakan jelmaan Angreni,” tulis Karsono.


Meski disebutkan berakhir bahagia, cerita cinta Panji dengan Angreni yang terhalang oleh kemauan ayahnya terpaksa harus menumbalkan Angreni. Selain Panji Angreni, masih banyak kisah cinta pada era Jawa Kuno yang tak berjalan mulus. Di antara sebabnya adalah keberadaan pihak ketiga.


Rara Mendut dan Pranacitra


Kisah Rara Mendut dan Pranacitra dalam Serat Pranacitra mengambil latar di Jawa pada masa Sultan Agung dari abad ke-17. Kisah ini digubah dalam bentuk tembang oleh Raden Ngabehi Ronggosutrasno, pujangga keraton masa Paku Buwono V, kira-kira menjelang abad ke-18.


“Kisah Rara Mendut ini sangat populer,” kata Titi Surti Nastiti, arkeolog Pusat Arkeologi Nasional, dalam diskusi “Romansa dalam Peradaban Nusantara” yang diadakan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional secara daring.eradaban Nusantara” yang diadakan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional secara daring.


Serat Pranacitra menceritakan kisah cinta Rara Mendut dan Pranacitra yang ditentang Tumenggung Wiraguna. Rara Mendut menolak menjadi selir Wiraguna. Ia melanjutkan hubungan dengan Pranacitra secara sembunyi-sembunyi. Ketika terkuak, mereka melarikan diri, dan ditangkap oleh orang suruhan Wiraguna.


Wiraguna yang kesal membunuh Pranacitra. Rara Mendut dengan cepat mengambil keris Wiraguna lalu menghunuskan ke perutnya. Ia menyusul kekasihnya ke alam baka.


Jayaprana dan Layonsari


Kisah cinta Jayaprana dan Layonsari mengambil latar di Kalianget, Bali. Naskah tertuanya ditulis pada 1732.


Alkisah, sebuah keluarga tinggal di Desa Kalianget. Dalam keluarga itu terdapat tiga orang anak, satu perempuan dan dua laki-laki.


Suatu ketika, Desa Kalianget diserang wabah mematikan. Empat dari lima anggota keluarga itu meninggal karena wabah. Tinggal anak laki-laki bernama Jayaprana.


Jayaprana kemudian menjadi abdi di istana. Raja menyukainya karena baik, sopan, dan rajin bekerja. Raja menganggapnya seperti anak sendiri.


Ketika beranjak dewasa, Jayaprana diminta oleh raja untuk mencari istri. Ia sempat menolak tapi raja mendesak.


Suatu hari, ketika berjalan-jalan di pasar dekat istana, Jayaprana terpukau oleh gadis penjual bunga anak Jero Bendesa. Nama gadis itu Layonsari.


Jayaprana membawa surat dari raja ke rumah Jero Bendesa. Usai membaca surat dari raja, sang jero tak keberatan putrinya menikah dengan Jayaprana.


Jayaprana dan Layonsari menikah. Namun, raja jatuh hati pada menantunya itu. Ia menyusun siasat untuk melenyapkan Jayaprana dan merebut istrinya.


Raja memerintahkan Jayaprana pergi ke Teluk Terima untuk menyelidiki perahu yang hancur dan memberantas bajak laut. Di perjalanan, seorang prajurit, Sawunggaling menyerang Jayaprana. Namun, ia kalah karena ilmunya tak sebanding.


Jayaprana bertanya kepada Sawunggaling mengapa menyerangnya. Ia menunjukkan surat dari raja. Jayaprana pun tahu bahwa raja berusaha menyingkirkannya karena jatuh cinta pada istrinya.


Jayaprana merelakan nyawanya kepada Sawunggaling sebagai wujud kesetiaan pada raja yang telah merawatnya sejak kecil.


Raja menyampaikan berita kematian Jayaprana kepada Layonsari. Ia sedih sekaligus marah lalu menghunuskan keris ke dadanya. Ia mati menyusul suaminya. 


Makam Jayaprana dan Layonsari diyakini terletak di Puncak Luhur Sari, Desa Sumber Klampok, Gerokgak, Buleleng, Bali.


“Mungkin di-dharmakan ya, mereka tidak memakamkan,” ujar Titi. “Cerita Jayaprana dan Layonsari masih sering dipentaskan di Bali dalam bentuk dramatari.”


Meski punya latar berbeda, kata Titi, cerita Rara Mendut dan Layonsari hampir sama. Bercerita tentang gadis yang sudah mempunyai kekasih, tetapi tak bisa bersatu karena gadis itu disukai penguasa wilayahnya. Penguasa itu menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya.


“Romansa pada masa lalu tak selalu happy ending,” kata Titi. “Pasalnya dua cerita terakhir berakhir dengan tragis.”


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page