top of page

Sejarah Indonesia

Ketika Ibukota Khmer Diserbu Dan Dijarah

Ketika Ibukota Khmer Diserbu dan Dijarah Ayutthaya

Konflik antara Kamboja dan Thailand punya sejarah panjang sejak era Khmer dan Ayutthaya yang berimbas pada kejatuhan Angkor.

29 Juli 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Relief yang menggambarkan pasukan Kerajaan Khmer di Candi Bayon Angkor (Wikipedia/Manfred Werner)

PUTRAJAYA, Malaysia jadi tuan rumah pembicaraan damai antara Kamboja dan Thailand. Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim memediasi pembicaraan gencatan senjata antara PM Kamboja Hun Manet dan Plt. PM Thailand Phumtham Wechayachai pada Senin (28/7/2025). 

 

Pertemuan itu digelar pasca-konflik terbuka di perbatasan Kamboja-Thailand sejak 24 Juli 2025 lalu. Selain PM Anwar Ibrahim dan para pemimpin Thailand dan Kamboja, turut hadir perwakilan Kedutaan China dan Kedutaan Amerika Serikat. 

 

Mengutip rilis bersama di laman resmi Kementerian Luar Negeri Malaysia, Senin (28/7/2025), pertemuan itu mencapai tiga kesepakatan. Pertama, kesepakatan gencatan senjata tanpa syarat yang berlaku tepat pada Senin (28/7/2025) pukul 24.00 waktu setempat sebagai langkah vital memulihkan perdamaian dan keamanan kawasan. Kedua, kesepakatan digelarnya pertemuan informal para panglima kawasan (panglima Regional 1 Thailand dan panglima Regional 4 dan 5 Kamboja) pada Selasa (29/7/2025) pada pukul 7 pagi waktu setempat dengan disusul pertemuan para atase keamanan yang dimediasi Malaysia. Ketiga, kesepakatan menggelar pertemuan Komite Perbatasan Umum pada 4 Agustus 2025 yang akan digelar di Kamboja. 

 

“Sebagai Ketua ASEAN saat ini, Malaysia siap mengkoordinasikan tim pengawas untuk memverifikasi dan memastikan implementasinya. Malaysia juga akan berkonsultasi dengan para anggota ASEAN dalam usaha observasi, merefleksikan komitmen kawasan untuk mendukung perdamaian. Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan Malaysia bersama kolega dari Kamboja dan Thailand telah diperintahkan untuk mengembangkan mekanisme mendetail untuk implementasi, verifikasi, dan pelaporan terkait gencatan senjata. Mekanisme ini akan menjadi dasar perdamaian yang berkelanjutan dan akuntabel,” ungkap pernyataan tersebut. 

 

Tak seperti bangsa-bangsa lain di ASEAN yang bertetangga, konflik seolah sudah jadi bagian sejarah antara bangsa Kamboja dan Thailand sejak era kuno antara Kerajaan Khmer dengan Ayutthaya. Bahkan, tiga kali Kerajaan Ayutthaya yang berbasis di Thailand Tengah menginvasi Angkor (kini Siem Reap), ibukota Khmer. 

 

“Dari masa keemasan Angkor, Kerajaan Khmer mengalami kemunduran terus-menerus dan keterpurukan terpanjang di sejarah kerajaan Asia Tenggara. Hingga empat abad kemudian hanya jadi negeri vasal salah satu kerajaan dari Thailand atau Vietnam. Ironis karena kemudian Prancis – ketika datang ke Indocina dan memberikan status protektorat atas Kamboja pada 1863, yang menangguhkan kemunduran mereka. Prancis mencegah erosi teritorial Kamboja dan menetapkan perbatasannya meski hanya seluas Oklahoma,” tulis Kenneth Conboy dalam The Cambodian Wars: Clashing Armies and CIA Covert Operations.

PM Malaysia Anwar Ibrahim (tengah) memediasi dialog gencatan senjata antara Kamboja dan Thailand (X @anwaribrahim)
PM Malaysia Anwar Ibrahim (tengah) memediasi dialog gencatan senjata antara Kamboja dan Thailand (X @anwaribrahim)

Tiga Invasi yang Menumbangkan Kejayaan Khmer

Sejak mendirikan ibukota di Angkor pada masa Yasovarman I (889-915 Masehi), Kerajaan Khmer mencapai masa keemasannya di era Raja Jayavarman VII (1181-1218 Masehi). Di masanyalah Khmer memperluas wilayahnya sampai ke Lembah Sungai Mekong dan Kra Isthmus sekaligus mampu menaklukkan Kerajaan Champa. 

 

Pada 1190-1203, pasukan Khmer melancarkan serangan ke Vijayapura (kini Provinsi Bình Đįnh, Vietnam), ibukota Champa. Itu jadi kampanye balas dendam atas invasi Champa ke Angkor pada 1177-1178.


Namun, ancaman pada Khmer tidak hanya datang dari Champa. Ancaman juga datang dari negeri tetangganya yang lain, Ayutthaya. 

 

“Setelah wafatnya Jayavarman VII pada 1219, Kerajaan Khmer di Angkor masih eksis sampai dua abad setelahnya meski tulang punggung dari eksistensi kejayaan masa lalu mulai memudar. Menurut catatan penjelajah China Chou Ta-Kuan, kehidupan di Angkor masih berjalan pada 1296; meskipun kelemahan secara politis, spiritual, dan kesejahteraan ekonomi sudah tertanam cukup dalam pada sistemnya,” tulis Ashok K. Dutt dalam artikel “Cambodia and Evolution of Core Areas” di buku Southeast Asia: A Ten Nation Region.

 

Selain faktor alam, membludaknya populasi hingga mengancam stok pangan menjadi penyebabnya. Menurut John Tully dalam A Short History of Cambodia: From Empire to Survival, pada tahun 1200 saja ibukota Angkor diperkirakan dihuni satu juta penduduk, menjadikannya kota terpadat dunia. 

 

Lalu sejak masa kekuasaan Raja Tribuwanaditya (1166-1177), Kerajaan Khmer mulai mengalami instabilitas akibat transisi peralihan kepercayaan dari Hindu ke Buddha Theravada. Transisi peralihan agama itu, menurut David Chandler dalam A History of Cambodia, sangat terasa mengikis konsep-konsep dan tradisi-tradisi kerajaan Hindu yang mendasari peradaban Angkor. 

 

Sementara itu di wilayah tetangga, Siam (kini Thailand), agama Buddha Theravada tumbuh subur dan jadi agama utama Dinasti Uthong yang berkuasa di Kerajaan Ayutthaya sejak pertengahan abad ke-14. Kerajaan inilah yang lantas menantang Kerajaan Khmer yang mulai mengalami penurunan pasca-meninggalnya Jayavarman VII. 

 

“Dinasti Uthong yang didirikan Pangeran Uthong yang kemudian menahbiskan diri menjadi Raja Ramathibodi I pada 1350 M adalah yang mendirikan ibukota Ayutthaya yang namanya diambil dari nama kerajaannya Rama yang merupakan pahlawan dalam Ramayana. Ia meluaskan wilayah dengan menjalin aliansi dengan kerajaan-kerajaan di Lopburi dan Suphanburi. Lokasi strategis Ayutthaya turut memfasilitasi ambisi menaklukkan Khmer,” ungkap Patit Paban Mishra dalam The History of Thailand.

 

Sebuah invasi yang dipimpin Pangeran Ramesuan pun digulirkan. Namun invasi justru berakhir pahit buat Ayutthaya. Invasi itu, lanjut Mishra, mendapat perlawanan dari Pangeran Jayavarman Paramesvara, putra penguasa Khmer Raja Indrajayavarman, hingga Pangeran Ramesuan mesti diselamatkan Khun Luang Pha-ngua, penguasa Suphanburi. Kelak, Khun Luang Pha-ngua merebut kekuasaan setelah Ramesuan menjadi raja hingga menobatkan dirinya sebagai penguasa Ayutthaya dengan gelar Raja Borommarachathirat I pada 1370 M. 

 

“Ramathibodi I kembali melancarkan serbuannya dengan dipimpin adiknya dan Angkor akhirnya ditaklukkan pada 1369 M. Konsekuensi penting dari kemenangan itu adalah gelombang para birokrat, artisan, dan para pemuka agama Khmer ke Ayutthaya. Ramathibodi I juga memperluas kekuasaannya sampai hilir Sungai Chao Praya, Teluk Martaban, dan Semenanjung Malaya,” imbuhnya. 

 

Namun sepeninggalnya dan turun takhtanya Raja Ramesuan, Raja Borommarachathirat I yang menggantikan terlalu sibuk untuk meredam konflik internal hingga pemberontakan di Chiang Mai dan Sukhothai. Sementara, diam-diam para penguasa Khmer yang selamat dan mengungsi ke Asan kembali ke Angkor pada 1373. Raja Thommasaok Reachea lalu melanjutkan eksistensi Kerajaan Khmer. 

 

Eksistensi Kerajaan Khmer akhirnya musnah pada 1431 (beberapa sumber menyebut 1432) lewat invasi ketiga dan tujuh bulan pengepungan. Pasukan Raja Borommarachathirat II (1424-1448 M) tak hanya menaklukkan Angkor tapi juga menjarah harta-benda hingga membakar ibukota Khmer itu hingga sisa-sisa Khmer kuno mesti mengungsi ke Chaktomuk (kini Phnom Penh). 

 

“Periode Angkor sebagai ibukota (Khmer) secara resmi sudah musnah pada 1432 M ketika Ayutthaya merebut ibukota setelah invasi ketiga. Ayutthaya sempat mendirikan sebuah pemerintahan provinsi boneka di Angkor untuk beberapa waktu sebelum akhirnya ditinggalkan. Pusat sisa-sisa masyarakat Khmer beberapa kali berpindah selama seabad berikutnya: pertama ke Phnom Penh, lalu ke Longvek, kembali ke Angkor, ke Oudong, sebelum akhirnya menetap (lagi) di Phnom Penh,” tandas John Norman Miksic dan Goh Geok Yian dalam Ancient Southeast Asia.


 

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Seputar Karnak, Kuil Paling Penting di Afrika Utara

Seputar Karnak, Kuil Paling Penting di Afrika Utara

Sudah sejak 150 tahun para arkeolog meneliti Karnak. Akan tetapi asal-usul dan evolusi kompleks kuil dari Peradaban Mesir Kuno itu baru terungkap belum lama ini.
Jalan Panjang Memulangkan Fosil "Manusia Jawa"

Jalan Panjang Memulangkan Fosil "Manusia Jawa"

Akhirnya Belanda serahkan koleksi Dubois. Tidak hanya fosil “Manusia Jawa” tapi juga 28 ribu temuan lain selama Dubois mengeksplorasi Sumatera hingga Jawa.
Candi Preah Vihear dalam Pusaran Sengketa

Candi Preah Vihear dalam Pusaran Sengketa

Riwayat candi yang lebih tua dari Angkor Wat dan sezaman dengan Candi Borobudur. Sudah jadi situs warisan dunia namun melulu dipersengketakan Kamboja dan Thailand.
200 Tahun Perang Jawa: Nama Diponegoro Bakal Terus Hidup

200 Tahun Perang Jawa: Nama Diponegoro Bakal Terus Hidup

Setelah 200 tahun berlalu, Perang Jawa diperingati di Perpusnas RI dalam Pameran 200 Tahun Perang Jawa. Selain tulisan, pelana kuda dan keris Diponegoro turut dipamerkan.
Gua Sunyaragi Cirebon

Gua Sunyaragi Cirebon

Dibangun pada masa pemerintahan Pangeran Kararangen. Gua Sunyaragi berfungsi sebagai tempat menyepi para sultan Cirebon.
bottom of page