- M. Fazil Pamungkas
- 11 Mar 2020
- 3 menit membaca
Hari masih belum terlalu terik di wilayah Ijpenberg, Belanda, 4 September 1970. Masyarakat sudah ramai berkumpul di sepanjang jalan antara pangkalan militer Ijpenburg dengan Istana Huis Ten Bosch. Di sekitar lapangan terbangnya juga terlihat kesibukan yang jarang terjadi. Hari itu pesawat DC 8 “Pulau Bali” milik Garuda Indonesia dijadwalkan mendarat di lapangan terbang militer kota tersebut. Siapa gerangan yang akan datang?
Rupanya Presiden Soeharto dan rombongan dari Indonesia untuk pertama kali (sejak resmi berdiri sebagai negara merdeka) sedang berkunjung ke negera tersebut. Rombongan Soeharto diterima langsung oleh Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard, berserta jajaran pejabat istana lainnya. Massa yang berkumpul juga begitu antusias menyambut seorang presiden dari negara yang pernah menjadi wilayah jajahan Belanda.
Namun masyarakat mesti kecewa kerena tidak bisa melihat langsung kedatangan Soeharto. Semula rombongan dari Indonesia akan ke istana dengan disertai iring-iringan mobil, tetapi akibat insiden kerusuhan yang terjadi sehari sebelumnya, pihak istana akhirnya memutuskan untuk mengganti rute perjalanan menggunakan helikopter.
“Ketika upacara penyambutan di lapangan terbang militer Ijpenburg selesai, maka rakyat yang menanti di sepanjang jalan antara Ijpenburg dan istana Huis Ten Bosch ternyata menjadi kecewa, sebab rombongan mencapai tempat peristirahatan tersebut dengan helikopter. Karena alasan keamanan, maka satu-satunya jalan darat yang dilalui rombongan Presiden Soeharto hanyalah antara Huis Ten Bosch dengan gedung parlemen di kompleks Binnenhof,” demikian menurut majalah Ekspress edisi 19 September 1970.
Tiba di Istana Huis Ten Bosch, rombongan Indonesia dijamu makan siang oleh pihak kerajaan. Setelah selesai, jadwal dilanjukan dengan pembicaraan antara Soeharto –didampingi Menteri Luar Negeri Adam Malik dan Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro--dengan Ratu Juliana. Turut hadir juga PM Plet De Jong, yang didampingi Menlu Joseph Luns dan Menteri Urusan Negera-Negara Berkembang Bernhard Udink.
Majalah Ekspress menyebut tidak banyak kabar dari berita lokal tentang pertemuan di gedung parlemen Belanda tersebut. “Ini mungkin karena tidak ada reaksi keras dari fraksi-fraksi kiri maupun kanan, tapi yang pasti adalah karena dalam pertemuan itu Indonesia tidak minta bantuan melainkan mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diterima.”
Sebagai tanda mata, Ratu Juliana menyerahkan kropak Nagarakretagama. Naskah karya Empu Prapanca dari abad ke-14 itu telah tersimpan cukup lama di Leiden. Pihak Belanda mendapatkan naskah tersebut pada akhir abad ke-19 dalam sebuah ekspedisi di Lombok.
Tidak lupa di dalam pembicaraan tersebut, Ratu Juliana menyampaikan pidatonya tentang kedatangan rombongan dari Indonesia itu. Mengutip Harian Kompas 5 September 1970, kunjungan Soeharto itu mendapat sambutan yang amat baik dari sang ratu. “Dengan perasaan penuh kegembiraan kami menyambut kunjungan Yang Mulia sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama berkunjung ke Nederland.”
Aksi RMS
Perjalanan Soeharto ke Belanda hampir saja tertunda. Penyebabnya adalah pendudukan dan penyanderaan di kediaman Duta Besar RI Taswin Almalik di Wassenaar, Den Haag, oleh pemuda-pemuda Ambon yang mengatasnamakan Republik Maluku Selatan (RMS) pada akhir Agustus 1970. Aksi nekat para pemuda itu sangat meresahkan warga sekitar karena mereka datang menggunakan tiga buah truk, sambil menenteng senjata.
Diberitakan Harian Kompas 2 September 1970, para pemuda RMS meminta agar Soeharto bersedia bertemu dengan Presiden RMS, Johannes Alvarez Manusama. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, RMS akan menembak seluruh sandera. Oleh karena aksi para pemuda tersebut sudah dianggap semakin keterlaluan, Manusama pun berusaha menghentikan tindakan mereka. Namun ia gagal meyakinkan para pemuda untuk berhenti.
Para pemuda Ambon menjadikan aksi tersebut kesempatan untuk menyatakan keinginannya membangun sebuah negara impian mereka di bagian selatan Maluku. Mereka tentu enggan melepas begitu saja aksi tersebut. Bahkan meski harus bentrok dengan para penjaga kota Den Haag yang berusaha mengamankan kota menjelang kedatangan Soeharto tersebut. Oleh para wartawan proses pengamanan di Den Haag itu disebut sebagai: "penjagaan terketat terhadap seorang kepala negara sejak selesai perang dunia kedua".
Aksi pendudukan itu baru berhenti setelah seorang pendeta yang biasa melakukan pelayanan di lingkungan masyarakat Ambon di Belanda mampu medekat dan meyakinkan para pemuda nekat itu untuk meninggalkan kediaman Dubes RI. Begitu keadaan stabil, Adam Malik segera menyampaikan kabar tersebut kepada presiden.
“Untuk lebih yakin akan keselamatan presiden, Jenderal Maraden Panggabean memerintahkan penambahan pengawal pribadi dengan 15 orang penembak mahir yang berangkat dalam pesawat yang ditumpangi rombongan presiden,” tulis majalah Ekspress.












Komentar