- Petrik Matanasi
- 23 Jun
- 3 menit membaca
Diperbarui: 24 Jun
KETERKUNGKUNGAN membuat Jozef Alexander Cohen acap kabur untuk mencari tempat yang tak mengekangnya. Laki-laki Yahudi kelahiran Leeuwarden, Belanda, 27 September 1864 ini sering kabur mencari kebebasan sejak belia.
Alhasil, menurut S.A. Reitsma di Het Parool, 28 September 1954, sekolah menengah Cohen tidak beres. Padahal, dia suka membaca.
Jiwa bebas Cohen kemudian menuntunnya pergi ke Harderwijk di kala umurnya 19 tahun. Kendati kota itu tempat orang terbuang, bahkan di antaranya nyaris setara sampah masyarakat, Harderwijk menawarkan setitik asa.
Di Harderwijklah berkumpul orang dari berbagai tempat demi uang. Sebab, di kota yang berjarak sekira 50 km dari Amsterdam itu mereka para pendatang menandatangani kontrak jadi serdadu Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) selama beberapa tahun. Itu kenapa tempat itu dijuluki “Got Eropa”.
Sadar atau tidak, Jozef Alexander Cohen, lelaki itu, meniru apa yang beberapa tahun sebelumnya dilakukan penyair Perancis Jean Arthur Rimbaud, berpetualang ke Hindia Belanda sebagai serdadu KNIL. Cohen terdaftar sebagai soldaat schrijver alias prajurit juru tulis tentara di sana.
Sedari 1884-1885, Cohen ditempatkan di Lahat, Sumatra Selatan sebagai tamtama administratif yang mencatat dan membuat kwitansi kebutuhan makanan tentara. Cohen menikmati hari-harinya yang teratur mengurusi logistik. Seingat Cohen, dirinya punya teman orang Ambon bermarga Noya di sana.
“Selanjutnya, saya belajar bahasa Melayu,” aku Cohen kemudian hari dalam In Opstand.
Cohen ingin bisa berbahasa Melayu lebih baik daripada kebanyakan serdadu Eropa lain. Cohen lebih suka bergaul dengan serdadu pribumi daripada serdadu Eropa. Cohen membaca koran Melayu Slompret Melajoe dan mulai mengenal cerita Saidjah —bagian dari Max Havelaar karya Multatuli. Cohen ingat bagian “Bapaknya Saidjah ada kerbau satu ekor, yang bantu garap sawah, lalu itu kerbau diambil Demang Parangkujang.”
Di Lahat, Cohen jatuh hati pada perempuan bernama Djoewita. Cohen pernah menghadiahi selendang ala Belanda ke Djoewita. Selendang itu sering dipakai Djoewita ke pasar.
Namun, niat Cohen menikahi Djoewita terganjal biaya. Dia hanya punya 25 gulden pemberian ayahnya. Padahal, yang dibutuhkan Cohen untuk melamar Djoewita adalah 100 gulden. Cohen pun mesti bersabar.
Pada suatu malam, Cohen bertemu dengan seorang perwira kesehatan keturunan Polandia bernama Prochnicz. Cohen memberi hormat ala militer kepada dokter tentara itu, tapi Prochnicz tak membalasnya. Sekira dua hari setelahnya, Cohen bertemu Prochnicz lagi di siang hari. Cohen menghormat Prochnicz dan kembali Prochnicz tak membalasnya. Kejadian seperti itu terjadi tiga kali. Pada pertemuan keempat, Cohen tak memberi hormat kepada Prochnicz sehingga Prochnicz kesal.
"Fuselierl.... fusilier!" teriak Prochnicz.
Cohen jalan terus. Cohen merasa dirinya bukan fuselier, melainkan prajurit juru tulis.
"Fuselier!.... fusilier!" teriak Prochnicz lagi sembari menyusul lalu menghampiri Cohen. “Apakah Anda tidak dengar saya memanggilmu?”
“Tidak,” jawab Cohen.
"Apa kamu mau bilang kalau kamu tidak dengar panggilan saya?”
“Bukan, aku mendengar panggilanmu.”
“Lalu kenapa kamu terus berjalan?”
“Anda berteriak fusilier, dan saya bukan seorang fusilier.”
“Bukankah kamu seorang fusilier? Lalu kamu apa?”
“Saya seorang juru tulis tentara.”
“Apakah itu sebabnya kamu terus berjalan?”
“Ya!”
“Bagus! Katakan padaku, prajurit juru tulis, apakah kamu tidak tahu siapa aku?”
“Ya! Saya tahu itu.”
“Lalu siapa aku?”
“Dokter!”
“Jadi kamu tahu itu. Lalu kenapa kamu tidak memberi hormat padaku?”
“Karena aku tidak perlu melakukannya!”
“Apakah Anda tidak menganggapnya wajib?”
“Tidak! Saya tidak berkewajiban untuk memberi hormat pada Anda jika Anda berpakaian sipil.”
“Kebun binatang! Kamu pikir?”
“Tidak! Saya rasa tidak. Saya tahu itu pasti!”
“Aku akan mengajarimu sebaliknya!”
“Tidak, saya tidak akan. Saya tidak harus memberi hormat kepada petugas berpakaian preman. Adapun Anda, saya telah memberi hormat Anda berkali-kali. Tapi Anda tidak membalas hormatku. Anda tidak pernah melakukannya! Anda telah menyinggung saya dengan itu.”
Perdebatan tak berhenti di situ. Cohen dilaporkan Prochnicz kepada mayor yang menjadi atasan keduanya. Cohen pun ditahan 18 hari. Cohen tak terima dan minta naik banding ke mahkamah militer.
Tak memberi hormat kepada atasan dalam militer, apapun alasannya, adalah kesalahan. Seandainya Cohen mau mengaku salah, masalah tidak berlanjut ke pengadilan militer dan membuat Cohen ditahan 3 tahun di penjara militer di Poncol, Semarang. Pemenjaraannya itu membuatnya benar-benar tak bisa mengawini Djoewita, gadis Lahat pujaannya.
Sekembalinya ke Negeri Belanda, Cohen terus menjadi tukang protes dan menyambung hidup sebagai tukang koreksi huruf di koran dan kemudian wartawan. Cohen lalu dipenjara dan dideportasi oleh Kerajaan Belanda.
Sekitar 20-an tahun setelah ditahan karena laporan Prochnicz, Cohen sempat kembali ke Hindia Belanda. Dia mengunjungi tempatnya dulu ditahan, juga tempat dia bertugas menjadi juru tulis tentara. Cohen sempat pula mengunjungi Lahat sekedar untuk bertemu Djoewita. Namun, Djoewita yang cantik kala itu menurut Cohen sudah menjadi seorang nenek.
Comments