- Petrik Matanasi
- 29 Agu
- 2 menit membaca
LETNAN Dua Ario Mangkoediningrat baru saja naik pangkat. Dia pun mengadakan syukuran kecil-kecilan di rumahnya atas kenaikan pangkatnya. Entah karena kecil-kecilan atau alasan lain, Mangkoediningrat tak mengundang Kapten Raden Ario Tjitrokoesoemo, komandannya di Kompi ke-3 Korps Barisan Madura di Sumenep.
Maka ketika bersua dalam sebuah parade, Kapten Raden Ario iseng-iseng bertanya kepada Letnan Mangkoediningrat mengapa dirinya tidak diundang di acara syukuran tadi. Letnan itu menjawab bahwa dirinyaa tak punya cukup uang. Dari 1000 gulden yang seharusnya diterima, dirinya hanya diberi 280 gulden. Sisa yang 720 gulden masih dipegang oleh komandan Korps Barisan.
“Pastinya kau akan mendapatkan uang itu kembali," kata Kapten Raden Ario.
“Ya, mungkin,” balas si letnan yang tampak pasrah.
Letnan Mangkoediningrat saat itu juga masih pusing karena dia juga sedang membeli mobil seharga 1050 gulden dari seorang mayor Barisan pula. Baru kemudian, 14 Juni 1937, Letnan Mangkoediningrat menerima lagi 200 gulden dari komandan Korps Barisan –Korps Barisan adalah salah satu pasukan bantuan (hulptroepen) bagi tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL); seorang perwira KNIL ditempatkan layaknya pengawas di korps ini, sama seperti Legiun Mangkunegaran dan lain-lain.
Kapten Tjitrokoesoemo sebelumnya pernah ditawari jabatan ketua asosiasi olahraga. Kapten ini tahu iuran keanggotaan yang tiap bulannya terkumpul ada 6,9 gulden dan Dana Asib yang besarnya 30 gulden berada di tangan komandan Korps Barisan. Ketika hendak membeli sepatu untuk para pemain sepakbola, uang itu tidak ada. Kapten Tjitrokoesoemo pun menolak jabatan yang akan merepotkan itu. Kapten Tjitrokoesoemo adalah anak dari Kolonel Tjitrokoesoemo yang pernah memimpin Barisan Madura juga.
Pada Juni 1937, sepasang teropong medan milik Korps Barisan hilang. Komandan Barisan Mayor RT pun melapor kepada polisi. Polisi lalu melakukan penggeledahan ke rumah Sersan Raden Ario Mangkoeamidjojo. Teropong ditemukan di rumah itu. Tapi bukan teropong yang dicari, teropong yang ditemukan itu adalah teropong gading tua dari kesultanan.
Pada 12 Juni 1937 itu, teropong yang dicari-cari pun ditemukan. Dua hari kemudian, suratkabar Algemeen Handelsblad tanggal 8 Juli 1937 memberitakan, Sersan Mangkoeamidjojo pun dipanggil untuk permintaan maaf.
Keluarga Sersan Mangkoeamidjojo tak terima atas pemanggilan itu. Maka keluarga itu pun melapor kepada Panglima Divisi II di Magelang, gubernur Jawa Timur, dan lain-lain.
Atas laporan itu, penyelidikan oleh militer pun dimulai. Kolonel Overakker yang menyelidiki perkara itu. De Courier tanggal 6 Juli 1937 dan Bataviaasche Nieuwsblad tanggal 5 Juli 1937 memberitakan Kolonel Overakker tiba di Sumenep pada 1 Juli 1937 dan esoknya langsung melakukan pemeriksaan terhadap Reden Ario Mangkoesoemo, ayah Sersan Mangkoeamidjojo. Pada 3 Juli 1937, Komandan Kompi ke-3 Kapten Tjitrokoesoemo, Kapten Raden Mohammad Asari, Letnan Dua Raden Ario Mangkoediningrat, serta Kapten Raden Bagoes Ismail juga diperiksa. Fakta-fakta dari pemeriksaan sangat memberatkan komandan Korps Barisan yang, seperti disebut De Indisch Courant tanggal 15 Juni 1937, dijabat oleh Mayor Raden Tjitroadmodjo.
Kapten Tjitrokoesoemo juga melaporkan bahwa komandan korps terkadang menahan dana dari gaji kreditor swasta. Selama tiga tahun, komandan korps telah memotong 2,25 gulden tiap bulannya. Namun tidak ada pemotongan lebih lanjut yang dilakukan pada bulan Juni 1937, sebelum penyelidikan berlangsung.
Namun tak jelas bagaimana hukuman yang diterima Mayor Raden Tjitroadmodjo. Tampaknya dia tak pernah dikurung lama. De Indisch Courant tanggal 27 Juli 1939 justru memberitakan bahwa Mayor Raden Tjitroadmodjo meninggal dunia di Pemekasan lalu dimakamkan di Sumenep. Pemakamannya dihadiri banyak orang. Kasus korupsi di Korps Barisan Madura yang melibatkannya dan terbongkar dua tahun sebelumnya pun terlupakan banyak orang.













Komentar