- Petrik Matanasi
- 1 Okt
- 3 menit membaca
Diperbarui: 3 Okt
PENIKMAT musik pop era 1970-an mengenal band bernama D’Lloyd yang sohor karena lagu “Titik Noda”, “Apa Salah dan Dosaku”, “Keaguangan Tuhan”, “Tak Mungkin” dan tentu saja “Hidup di Bui”. Dedengkot band itu sering bermain gitar dan pandai menulis lagu hingga jadi salah satu penggubah lagu yang sohor di Indonesia, namanya Bartje van Houten (1950-2017).
“Bartje van Houten berasal dari Banda ini,” terang Sekretaris Wakil Presiden Mayor Jenderal Josef Muskita, seperti dicatat Rosihan Anwar dalam Perkisahan Nusa Masa 1973-1986.
Rosihan sendiri penasaran tentang orang kaya Eropa di Banda yang dulu disebut perkenier. Hingga dia menanyakannya pada Muskita.
“Apa dia keturunan perkenier?” tanya Rosihan.
“Mungkin begitu,” jawab Muskita.
Belakangan, Rosihan membaca buku karya VI van der Wall berjudul De Nederlansche Oudheden in de Molukken (1928) dan tak menemukan nama van Houten yang menjadi perkenier di Banda pada abad ke-17. Maka Rosihan berasumsi barangkali Bartje van Houten bukan keturunan perkenier Banda.
Di Maluku, marga van Houten bukan tergolong marga asli. Namun orang-orang dari marga-marga yang tidak dianggap asli itu tetaplah memiliki darah Ambon dan budaya mereka juga budaya Ambon. Perkawinan antar-bangsa di Maluku abad ke-16 dan ke-17 antara orang Eropa dengan Asia sudah terjadi. Alhasil banyak orang setempat punya nama belakang seperti orang Portugis atau Belanda.
Marga-marga dengan nama Eropa itu menyebar di Kepulauan Ambon, Maluku Tengah. John Pieris dalam Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban mencatat, di Kilang ada de Quelju, de Sillo, dan de Fretes. Di Hatalai ada Lopes yang lalu berubah menjadi Loppies; Gomez yang menjadi Gommiers; dan Pareira menjadi Parera. Di Waai ada de Lima. Di Soaya ada de Wanna dan Eigendorf; di Hatu ada Samson; di Ema ada Diaz, yang berubah menjadi Dias; di Eri ada Pieterz atau Pieter. Lalu di Saparua ada Engel dan Dominggus; di Kisar, Maluku Tenggara ada Jacob, Oliver, Reinhart, Johannes, Oktovianus, David, dan Paulus. tersebar pula di beberapa pulau di Maluku Tengah Van Capelle, van Room, van Kijken, Bremer Lourens, Reynold, van Houten dan masih banyak lagi.
Tak hanya yang berbau Eropa, ada pula marga berbau Asia seperti Tionghoa ataupun Arab di Maluku. Selain Alkatiri, ada Basalama dan Assagaf. Yang terakhir merupakan marga gubernur Maluku yang lalu, Said Assagaff.
“Ayah Said, Fadel Assagaff adalah warga keturunan Arab yang bermukim di Pulau Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Ibunya Aisyah Kiat, berasal dari Kampung Waihaong, Kota Ambon. Marga Kiat yang disandang oleh Ibu Said Assagaff adalah marga lokal yang terbentuk dari hasil perkawinan orang Tionghoa dengan penduduk lokal. Marga ini banyak ditemukan di Jazirah Leihitu Pulau Ambon,” tulis Said Assagaff dalam Karena Beta Cinta Maluku.
Marga-marga itu disebut Patricia Spyer dalam Orphaned Landscapes Violence, Visuality, and Appearance in Indonesia terkait dengan sejarah panjang perdagangan dan kolonialisme. Marga-marga Eropa ada hubungannya pula dengan sejarah maskapai dagang Belanda di Hindia Timur Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Sebagai penghasil rempah-rempah, Maluku didatangai orang-orang dari bermacam tempat. Rempah-rempah Maluku itu lalu diperdagangkan ke Malaka, dilanjutkan ke ke India, Arab, lalu Eropa. Maluku sebagai daerah penghasil lalu dicari oleh Portugis dan disusul Belanda.
Orang-orang Portugis atau Belanda tadi datang sebagai pelaut, tentara, atau pedagang ke Maluku. Mereka lalu kawin-mawin dengan perempuan setempat dan melahirkan anak yang lalu disebut Indo Eropa. Anak mereka ada yang kawin dengan sesama Indo-Eropa dan ada pula anak laki-laki mereka yang kawin dengan perempuan setempat yang belum punya darah Eropa, lalu muncul anak Indo-Eropa lagi. Begitu seterusnya.
Anak laki-laki akan mewariskan nama belakang orang tua mereka. Keturunan mereka kemudian tersebar ke tempat yang belum didatangi VOC. Mereka umumnya beragama Kristen, mengikuti agama yang dibawa leluhur mereka dari Eropa. Mereka juga hidup seperti orang Barat, antara lain terlihat dari cara berpakaian mereka. Dibandingkan orang-orang di Jawa yang dipimpin oleh raja-raja, mereka di Maluku lebih dulu belajar huruf latin. Dengan modal pendidikan dasar itu, banyak keturunan Indo itu bekerja untuk pemerintah kolonial, umumnya sebagai tentara.











Berita penting tentang sejarah di Maluku.
Saya pernah tinggal 3 th di Galela
Maluku Utara, kerja di PT. Global Agronusa Indonesia, Banana Plantation