- Amanda Rachmadita
- 14 Jul
- 5 menit membaca
AKTIVIS dan sejarawan dari Ruang Arsip & Sejarah (RUAS) Perempuan Indonesia, Ita Fatia Nadia, mengenang kembali keterlibatannya dalam perlindungan dan advokasi korban kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998. Ketika itu, Ita mendampingi beberapa korban, tidak hanya wanita muda, tetapi juga anak-anak hingga remaja.
Salah satu korban yang didampingi Ita adalah anak perempuan berusia 11 tahun di wilayah Tangerang. Mantan direktur Yayasan Kalyanamitra, lembaga pemerhati isu perempuan, itu mendampingi korban di saat-saat terakhir hidupnya hingga jenazahnya dikremasi.
“Ketika Fransiska meninggal, saya menelepon Pak Sandiawan dan Pak Sandiawan memberi tahu saya bahwa semua persiapan untuk pemakaman akan diurus oleh tim relawan karena waktu itu tidak ada satu pun keluarga [korban] yang mendampingi... Saya masih ingat betul Pak Sandiawan datang ke Cilincing sebelum Fransiska dimasukkan ke dalam krematorium. Tidak ada doa, tidak ada siapa pun. Maka Pak Sandiawan mengatakan, ‘saya yang berdoa untuk Fransiska’... Saya tunggu dia sampai [proses kremasi] selesai,” ungkap Ita dalam webinar dan rekoleksi IKAFITE bertajuk “Kesaksian dan Penjernihan Fakta Sejarah Peristiwa 13-15 Mei 1998” yang disiarkan di kanal Youtube HIDUPtv, 11 Juli 2025.
“Fransiska sangat penting bagi hidup saya... Di depan jenazah Fransiska saya mengatakan akan mengabdikan seluruh hidup saya untuk kemanusiaan dan untuk korban-korban Mei 98. Dan saya akan mengabdikan hidup saya untuk mengembalikan martabat para korban 98,” tambah Ita.

Tekanan Membuka Identitas Korban
Ita menyadari aktivitasnya sebagai relawan penuh risiko. Ketika laporan kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998 muncul ke publik, Ita bersama rekan-rekan aktivis lainnya mendapat tekanan untuk membuka identitas para korban sebagai bukti bahwa kekerasan seksual benar-benar terjadi.
Peneliti The Institute for Ecosoc Rights yang juga mantan anggota Tim Asistensi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Sri Palupi mengatakan, ketika itu desakan untuk mengungkap identitas para korban muncul dari kalangan wartawan hingga sesama aktivis.
“Hampir semua pihak datang untuk meminta kami membuktikan bahwa ada korban. Jadi sebenarnya penolakan ada perkosaan di tengah kerusuhan Mei 1998 itu sudah terjadi sejak saat itu. Tuntutan untuk membuktikan ada korban sampai saat ini kan perkara kredibilitas tim relawan, itu tekanannya terus-menerus seperti itu. Saya bilang waktu itu ke mereka, para wartawan, kredibilitas tim relawan bukan terhadap kalian. Kredibilitas kami itu terhadap para korban,” kata Sri Palupi.
Menurut Ita, desakan untuk mengungkap identitas korban atau memberi akses bertemu dengan para penyintas juga muncul dari pejabat tinggi. Akibatnya, keteguhan Ita menjaga kerahasiaan korban dan identitas mereka, serta perjuangannya memberikan keadilan bagi korban membuatnya diteror dan diintimidasi. Anaknya pernah hendak diculik.
Oleh sebab itu, Ita mengecam pernyataan Fadli Zon yang meragukan terjadinya perkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.
“Ketika Fadli Zon mengatakan tidak ada perkosaan, seorang korban yang ada di Australia menelepon saya, ‘Bu Ita, Fadli Zon harus tahu bahwa saya sudah tidak punya nyawa. Tubuh saya itu sudah tidak ada. Saya ini sekadar hidup. Seluruh hidup saya sudah diambil pada tahun 98. Bu Ita, Fadli Zon harus minta maaf kepada korban 98, dan Fadli Zon harus minta maaf pada perempuan Indonesia’... Dan di situlah emosi saya muncul kembali... Itu [kekerasan seksual terhadap perempuan] tidak bohong, tidak berdusta. Itu ada karena kami mendampingi para korban. Abunya Fransiska masih ada satu tetes dan saya bawa di dalam kalung saya. Itu abu yang selalu mendampingi saya,” kata Ita.

Upaya Merawat Ingatan
Sejarawan Hilmar Farid mengatakan, bicara mengenai sejarah bukan hanya tentang apa yang terjadi di masa lalu, tetapi juga terkait dengan saat ini dan masa depan. Kita melihat bagaimana sejarah menjadi semacam medan pertempuran. Bukan hanya soal pengungkapan fakta seperti yang kita lihat sekarang, tetapi juga tentang siapa kita sebetulnya, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan melangkah.
“Peristiwa kekerasan [seksual] seperti ini untuk kebanyakan kita tidak terbayangkan, bagaimana mungkin itu terjadi, tapi faktanya terjadi. Ia adalah bagian dari catatan sejarah kita dan kalau sudah terjadi, bagaimana caranya kita menyikapi dan apa pun yang terjadi di masa lalu itu menjadi bagian dari kita hari ini,” kata Hilmar Farid.
Melakukan penyangkalan, perdebatan, atau merelativisir suatu fakta sejarah justru hanya akan memperlambat proses penyembuhan luka maupun trauma di masa lalu. “Dengan kita menyangkal, sebetulnya menutupi apa yang terjadi di masa lalu dan itu bukan jalan untuk pemulihan. Itu justru akan menambah lapis-lapis luka di dalam masyarakat yang kita enggak tahu, kapan ia akan muncul kembali dalam bentuk yang lebih buruk,” kata mantan Direktur Jenderal Kebudayaan itu.
Oleh sebab itu, upaya merawat ingatan tentang peristiwa masa lalu sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan saat ini dan masa mendatang tidak cukup sekadar niat baik dari individu. Tetapi dibutuhkan upaya untuk melembagakan ingatan ini sehingga dapat terpatri di dalam kehidupan berbangsa.
“Itu memang harus dilakukan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kemampuan untuk itu dan tidak berhenti, misalnya, pernah ada ide untuk membentuk komisi kebenaran atau menggelar pengadilan untuk menangani kasus-kasus seperti ini. Lebih dari itu, kita mesti berpikir tentang bagaimana mengajarkan ini semua kepada anak-anak di sekolah. Bagaimana museum, arsip publik, dan banyak sekali lembaga-lembaga yang terkait dengan pendidikan dan kebudayaan yang mestinya ambil bagian di dalam urusan ini... Itu sesuatu yang sangat esensial karena hanya dengan begitu kita akan mengingatnya sebagai bangsa, bukan hanya kumpulan orang per orang, tetapi sebagai kolektif, sebagai bangsa yang memiliki ingatan yang sama mengenai apa yang terjadi,” jelas Hilmar Farid.
“Jadi mengapa pengungkapan kebenaran, soal mengingat ini menjadi begitu sentral, karena kita justru tidak ingin generasi selanjutnya dibebani dengan beban sejarah yang tidak terungkap dengan benar atau bahkan lebih buruk dari itu, mengulangi kesalahan yang sama... Sering kita mendengar melawan lupa, ya, kita tidak ingin lupa karena melupakan sebetulnya satu bahaya yang sangat besar,” tambahnya.
Memperalat Sejarah untuk Kekuasaan
Meski membentuk suatu ingatan kolektif terkait peristiwa di masa lalu merupakan hal yang penting, Hilmar Farid memperingatkan, hal ini tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang demi kepentingan tertentu. Sebab, memperalat sejarah untuk kekuasaan jauh lebih berbahaya dari melupakan sejarah itu sendiri. Menurutnya, jika suatu sejarah terlupakan, ia bisa digali kembali, tetapi jika itu sudah ditulis ulang, sulit untuk memulihkannya. Akibatnya, hal ini dikhawatirkan dapat berpotensi menghapus memori secara sistematis. Oleh karena itu, selain melakukan upaya melawan lupa, masyarakat juga perlu memastikan bahwa narasi sejarah tidak dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan yang sifatnya sementara.
Sorotan terhadap peristiwa kerusuhan Mei 1998, khususnya kekerasan seksual terhadap perempuan, menurut Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, A. Bagus Laksana, seakan menjadi pengingat untuk tidak melupakan para korban. “Ketika progres, peradaban, kebudayaan, atau pun teknologi mendorong manusia ke depan, sudah sepatutnya kita juga terus melihat ke belakang. Jadi, kita memang ke depan, tetapi menghadap masa lalu supaya para korban tidak terlindas dua kali. Pertama, dilindas oleh peristiwa yang menikam mereka. Yang kedua oleh distorsi sejarah,” katanya.
Menurut Hilmar Farid, mengakui kebenaran juga berarti berkaitan erat dengan upaya menegakkan keadilan. Pasalnya, keadilan sesungguhnya adalah bentuk tertinggi dari ingatan. Ketika ingatan itu diyakini, ingatan kolektif itu kemudian dikultivasi sedemikian rupa dan mencapai wujudnya yang tertinggi, yaitu keadilan.*









