top of page

Sejarah Indonesia

Mengembalikan Tradisi Bahari Yang Hilang

Mengembalikan Tradisi Bahari yang Hilang

Konferensi Nasional Sejarah berusaha menghidupkan kembali tradisi bahari bangsa Indonesia yang dulu pernah jaya.

3 November 2016

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud dan Muchlis PaEni, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, dalam jumpa pers Konferensi Nasional Sejarah X di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 3 November 2016. Foto: Nugroho Sejati/Historia.

Sejak hancurnya kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara, secara langsung dinamika kebaharian Indonesia kian menurun. Masyarakatnya lebih diarahkan menjadi petani dan melupakan bahari.


“Sejak VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) berkuasa, dinamika kemaritiman dan tradisi besar maritim kita menghilang. Astronomi, undang-undang laut, mitologi laut menjadi hilang,” ucap Mukhlis PaEni, ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), kepada wartawan di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, Kamis (3/11).


Misalnya, Mukhlis menjelaskan, setelah Perjanjian Bongaya yang ditandatangani Kesultanan Gowa dan pemerintah Hindia Belanda pada 18 November 1667, kehidupan bahari di wilayah itu bergeser. Kerajaan di Makassar itu harus memerintahkan rakyatnya tidak hidup dari laut, tetapi bertani. Bahkan, seluruh perkampungan di pesisir pantai harus mengubah rumahnya membelakangi laut dan ditarik 10 mil dari garis pantai.


“Ini rekayasa politik luar biasa. Ini memotong tradisi. Kita pun berangsur jadi petani,” jelas Mukhlis. Sebaliknya, yang dilakukan VOC adalah membangun dermaga dan galangan kapal secara besar-besaran. Sementara, rakyat hanya menjadi buruh di pelabuhan itu.


Padahal, Presiden Joko Widodo gencar mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Maka, Mukhlis berpendapat, ketika bahari dilihat sebagai ikon bangsa, sudah saatnya sejarah menjawab dan mencari jalan keluar apakah kejayaan bahari Indonesia hanya tinggal nostalgia semata.


“Jika kita tidak ambil kembali budaya maritim kita, kita tidak ada bedanya dengan VOC. Ini harus menggugah bahwa ada yang hilang. Budaya bahari kita sudah mati sejak 400 tahun lalu,” cetus Mukhlis.


Dengan modal semangat itu, MSI bekerjasama dengan Kemendikbud menyelenggarakan Konferensi Nasional Sejarah (KNS) ke-10. Dilaksanakan di Jakarta pada 7-10 November mendatang, KNS kali ini mengangkat tema “Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam Perspektif Sejarah.”


Secara garis besar, dalam konferensi itu akan dibahas seperti apa dinamika masyarakat bahari di negeri ini. “Masih berdenyutkah masyarakat bahari ketika pembangunan bahari diarahkan ke situ? Apakah masyarakat Indonesia masih memiliki akar budaya bahari atau budaya bahari hanya impian dan tidak ada lagi di tengah kita?” lanjut Mukhlis.


Targetnya konferensi ini diharapkan akan mampu ikut membangun masyarakat teluk agar kembali memiliki lautnya sendiri. Laut harus dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu rakyat.


Menurut Mukhlis, ada dua rekayasa yang harus dihidupkan. Dalam menghidupkan tradisi bahari, negara harus melakukan rekayasa budaya. Sementara untuk memacu kehidupan bahari, negara harus kembali melakukan rekayasa politik.


“Ada satu desakan dalam konferensi ini harus ada rekayasa politik untuk mengembalikan kehidupan bahari,” tegasnya.


Sementara itu, Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan menerangkan, konferensi ini merupakan langkah awal yang baik. Dalam konferensi ini terkumpul sebanyak 315 peminat sejarah bahari dari berbagai kalangan. Jumlah tersebut menunjukkan cukup banyak orang yang mempelajari dan mengetahui sejarah bahari dan akan mengangkatnya ke permukaan. Namun, pengembangannya ke dalam program di luar tugas konferensi.


Hilmar Farid berjanji akan mengkomunikasikan hasil konferensi ini ke semua pihak yang memiliki kaitan dengan masyarakat pesisir. “Jadi akan sangat penting untuk mengangkat ini terutama juga yang berkaitan dengan masyarakat pesisir yang bentang pantainya terpanjang kedua di dunia,” pungkasnya.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page