- Martin Sitompul

- 14 Feb
- 4 menit membaca
Diperbarui: 28 Agu
SALAH satu novel karya Pramoedya Ananta Toer, Di Tepi Kali Bekasi, mengambil latar Perang Kemerdekaan Indonesia di front timur Jakarta. Pram merampungkannya di Jakarta 13 Januari 1947. Saat itu, Pram justru sudah keluar dari ketentaran. Dia bekerja sebagai redaktur di Majalah Sadar, yang merupakan edisi Indonesia dari Majalah The Voice of Free Indonesia. Meski karakter utama dalam novelnya fiksi, karya Pram itu bernilai sejarah penting karena merekam perjuangan di sekitar Bekasi pada tahun-tahun pertama kemerdekaan. Pram menuliskan novel ini sesuai dengan kejadian, percakapan, tokoh serta situasi yang faktual. Sayang, tidak semua cerita terbungkus di dalamnya.
“Buku ini sesungguhnya baru merupakan 1/4 daripada naskah yang sebenarnya. Sisa naskah yang 3/4 lainnya telah disita oleh Nefis (Dinas Intelijen Belanda -red.) dan sejak itu tak pernah dikembalikan,” terang Pram dalam kata penutup Di Tepi Kali Bekasi cetakan kedua, terbitan Balai Pustaka pada 1957.
Sebagian besar naskah Di Tepi Kali Bekasi lenyap ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama pada 21 Juli 1947. Semua milik Republik Indonesia, termasuk percetakan dan penerbitan yang ada di Jakarta, dikuasai oleh tentara Belanda. Keesokan harinya, Pram ditangkap karena isi kantongnya. Bukan uang atau senjata, tentara Belanda menemukan surat perintah dari atasan Pram untuk menyebarkan risalah-risalah dan propaganda perlawanan terhadap Belanda.
Menurut Koh Yong Hun, sastawan Korea Selatan peneliti karya-karya Pram, Pram kemudian disiksa oleh serdadu Angkatan Laut Belanda yang terdiri dari orang-orang Belanda totok, Belanda peranakan, dan orang Ambon. Semua karangan Pram, termasuk yang ditulis sejak tahun 1938, turut dirampas oleh Angkatan Laut Belanda. Naskah berbentuk novel itu menceritakan perjuangan tentara Republik di Jakarta Timur sekaligus dokumentasi revolusi Indonesia.
“Ia dimasukkan ke dalam tahanan tangsi Angkatan Laut di Gunung Sahari, kemudian dipindahkan ke Tangsi Militer di Jaga Monyet. Akhirnya ia dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Selanjutnya ia dipindahkan ke Pulau Edam. Selama dua tahun Pramoedya berada dalam tahanan ini, ia merasa sangat putus asa, dan bahkan berencana bunuh diri,” catat Koh Yong Hun dalam Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia.
Hanya seperempat bagian naskah Di Tepi Kali Bekasi yang berhasil diselamatkan. Ia kemudian diterbitkan dengan judul yang sama oleh penerbit Jakarta, Gapura N.V. pada 1951. Selain itu, naskah terjemahan Pram seperti Moeder, Waarom Leven Wij (Bunda, Mengapa Kita Hidup? -terj.) karya novelis Belgia Lode Zielens dan Het Rijk der Mensen (Bumi Manusia -terj.) karya penulis Prancis Antoine de Saint-Exupery juga turut jadi korban perampasan agresi militer Belanda. Termasuk pula buku harian Pram bertebal 5 cm yang sudah ditulisnya dalam rentang waktu 1941—1946. Pada September 1965, Pram pernah menuntut pengembalian naskahnya yang dirampas tentara Belanda lewat surat kepada Kerajaan Belanda melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Namun, surat Pram tidak mendapatkan tanggapan.
Selain dirampas, ada juga naskah Pram yang hilang karena kelalaian penerbit. Seperti novel Sepoeloeh Kepala Nica yang rampung pada 1946, saat Pram masih bertugas sebagai perwira persuratkabaran Divisi Siliwangi dengan pangkat letnan dua plus anak buah 60 orang di Cikampek. Cerita dalam Sepoeloeh Kepala Nica mirip Di Tepi Kali Bekasi yang sarat latar sejarah. Ia berangkat dari kejadian-kejadian revolusi selama tiga bulan pertama revolusi Indonesia di Jakarta. Namun, Penerbit Balingka menghilangkannya pada 1947.
Tapi, dari semuanya karyanya yang hilang, Pram paling terpukul dengan peristiwa penangkapan dirinya pada 13 Oktober 1965. Pram ditangkap tentara karena menjadi anggota Lekra yang terindikasi berafliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2, Pram mengenang, “aksi vandalisme itu terjadi pada 13 Oktober 1965 pada pukul 10 malam.”
Sebelum diringkus, rumah Pram di bilangan Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur dilempari oleh segerombolan orang. Tak lama kemudian, datang sepeleton tentara Angkatan Darat menjemput Pram dengan modus untuk diamankan. Setelah diangkut ke truk, Pram dipukuli pakai popor senapan bertubi-tubi sampai babak belur. Tidak hanya dirinya, rumah kediaman Pram akhirnya dibakar, termasuk seisi perpustakaan pribadinya yang berisikan ribuan buku. Ulah tentara pongah itu menghancurkan tanpa sisa karya-karya terbaik Pram yang belum diterbitkan.
“Seluruh isi perpustakaan saya dibakar. Pembakaran naskah tersebut adalah hal yang tidak akan bisa saya maafkan! Pembakaran buku sama dengan perbuatan setan. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya budaya mereka. Bertolak-belakang dengan budaya menulis karena merupakan kerja kreatif,” kata Pram dalam wawancaranya dengan Andre Vitchek dan Rossie Indira yang dibukukan Saya Terbakar Amarah Sendirian.
Dari delapan naskah Pram berwujud manuskrip yang habis dilalap api itu, sebagian besar tentang sosok Kartini. Pram memang begitu mengangumi Kartini, terutama karena intelektualitasnya yang membungkam logika feodalisme. Untuk itulah, Pram pada dekade 1960-an hendak merampungkan naskah tetralogi biografi Panggil Aku Kartini Saja. Bagian 3 dan 4 dari serial Kartini itu lenyap berkalang debu. Karya itu hasil studi lapangan, termasuk mewawancarai sanak keluarga Kartini. Dalam risetnya, Pram juga bersumberkan buku milik keluarga Kartini, yang masih beraksara Jawa. Senasib pula bundelan tulisan asli Kartini yang tersebar di majalah-majalah di Belanda dalam Kumpulan Karya Kartini.
Pram juga menuliskan naskah manuskrip berjudul Wanita Sebelum Kartini, sebuah buku mengenai sejarah linguistik Sejarah Bahasa Indonesia: Satu Percobaan, dan dua volume lanjutan dari roman Gadis Pantai, yang disebut-sebut berkisah tentang nenek Pram. Sementara itu, satu manuskrip lagi, Pram lupa judulnya apa.
“Ya, ya sayang yang lainnya dibakari sebelum dicetak, termasuk kumpulan tulisan tentang Kartini dibakar sama Angkatan Darat. Kumpulan-kumpulan tulisan dari berbagai koran dan majalah. Umur 17 seingat saya Kartini menulis artikel tentang antropologi golongan koja. Tapi di majalah pengetahuan Belanda nama penulisnya itu nama ayahnya. Kalau ditulis Kartini nggak diterima, karena terlalu muda untuk nulis. Dan dipakai nama ayahnya. Umur 17 dia sudah perhatian sama antropologi. Bangsanya lain: baca aja belum bisa,” sentil Pram dalam kumpulan wawancara Pram Melawan suntingan Hasudungan Sirait.
Ingatan tentang tentang penghancuran karya Pram itu begitu menyakitkan dan traumatis. Bertahun-tahun setelah kejadian itu, Pram masih merasakan kepedihan yang amat sangat. Rasa sakit itu cukup beralasan karena dia sendiri tak pernah bisa lagi menuliskan atau menyalin ulang buku-buku itu. Pram bahkan tidak tahu apa kesalahannya sesungguhnya sehingga diperlakukan begitu sadisnya.
“Sampai sekarang mereka belum mengembalikan apa yang sudah dirampas dari saya, bahkan 37 tahun kemudian. Rumah saya yang di Rawamangun sampai sekarang belum dikembalikan,” ucap Pram kepada Andre Vitchek dan Rossie Indira pada 2006.
Di masa tuanya, Pram punya kebiasaan unik untuk menyembuhkan luka dan trauma masa kelam itu. Dalam wawancaranya dengan Majalah Playboy Indonesia, edisi perdana April 2006, Pram mengatakan, selain mengkliping koran, dia juga punya kesibukan baru, yaitu membakar sampah. Biasanya dia lakukan pukul setengah lima pagi setelah bagun tidur. Ketika ditanya, apa kenikmatan membakar sampah, Pram menjawab demikian:
“Ada kenikmatannya, aku bisa bilang 'Lihat, aku bisa hancurkan kau!'” kata Pram.
Itu jadi wawancara terakhir Pram yang dirilis ke publik. Pada hari terakhir di bulan April, Pram wafat. Ia meninggalkan sejumlah karya yang sangat mempengaruhi jagat sastra Indonesia.*













Komentar