- Randy Wirayudha

- 18 Nov
- 4 menit membaca
DIBANDINGKAN era Orde Baru, kesadaran anak-anak muda yang kritis terhadap sejarah dan persoalan pelanggaran HAM serta korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pasca-Reformasi kian terbuka dengan kemajuan teknologi. Oleh karenanya, ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di siniar Dialog Sejarah bertajuk “Kontroversi Gelar Pahlawan Presiden Soeharto” di akun Youtube Historia.ID pada 12 November 2025, penguasa seolah berkejaran dengan waktu untuk mengusung sosok-sosok kontroversial dengan label pahlawan.
Pada 1998, ketika masih di awal usia 20-an tahun, Usman ikut gerakan aktivis dan mahasiswa menumbangkan rezim Soeharto. Padahal, saat itu akses informasi mengenai praktik-praktik KKN masih sulit didapatkan dan belum merata di tiap wilayah Indonesia.
Di balik predikat “Bapak Pembangunan” yang disandang Soeharto, ada banyak pelanggaran HAM. Bermula dari bagaimana Soeharto naik ke kekuasaan hingga kekerasan-kekerasan yang terjadi di masa pemerintahannya, seperti Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Talangsari 1989, hingga represi terhadap aktivis mahasiswa maupun tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) pada 1990-an.
“Saya setuju bahwa setiap manusia itu punya kesalahan. Soeharto sebagai pribadi, sebagai manusia punya kesalahan. Masalahnya adalah ini bukan kesalahan, ini kejahatan yang dalam hukum-hukum universal disebut sebagai the most serious crimes, kejahatan yang paling serius. Apa konsekuensi dari kejahatan paling serius ini? Enggak boleh diampuni, enggak boleh diputihkan, enggak bisa pelakunya terhindar dari hukuman hanya karena mendapatkan status pahlawan. Seringkali saya berpikir, sikap pemerintah yang terkesan mengambil jalan pintas untuk segera menetapkan Soeharto, Sarwo Edhie Wibowo sebagai pahlawan nasional, itu karena khawatir pada kesadaran kritis anak-anak muda sekarang,” kata Usman.
Pencerahan tentang critical thinking anak muda Indonesia kini jelas lebih mudah. Informasi tidak hanya melalui buku-buku sejarah dan pelanggaran HAM atau sumber-sumber sejarah yang didapatkan secara daring, melainkan juga dalam bentuk diskusi-diskusi bedah buku. Oleh karenanya, kata Usman mengutip apa yang ditulis Multatuli alias Eduard Douwes Dekker dalam roman Max Havelaar (1860), seseorang itu akan dikenang sebagai monumen kepahlawanan, bukan karena ia dituangkan di dalam monumen-monumen batu. Dalam konteks penganugerahan pahlawan nasional, ia tidak meyakini figur Soeharto dan Sarwo Edhie lekat di hati anak muda saat ini.
“Kalau kita bicara pahlawan, mestinya dia membawa terang, membawa cahaya. Entah itu tentang keadilan, tentang kerakyatan, tentang kebebasan, atau kemanusiaan. Tapi kan yang terjadi dalam konteks Soeharto, justru saya teringat dengan masa-masa kegelapan di masa Orde Baru, di masa kepemimpinannya. Jadi keteladanan yang seperti apa yang mau dijadikan dasar untuk dia diberikan status pahlawan nasional?” ujarnya mempertanyakan.

Negasionisme
Arkeolog dan sejarawan Belgia David van Reybrouck sempat urun komentar soal gelar pahlawan untuk Soeharto ketika memberikan public lecture bertajuk “Sukarno and the Making of the New World” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 22 Oktober 2025. Ketika itu ia menyamakan sosok Soeharto dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
“Mempertimbangkan Soeharto sebagai pahlawan nasional untuk Indonesia bagi saya seperti kurang lebih mempertimbangkan nama Donald Trump menerima Nobel Peace Prize,” jelas penulis buku Revolusi: Indonesië en het ontstaan van de moderne wereld (2020, terj. Revolusi: Indonesia dan Lahirnya Dunia Modern) tersebut.
Sedangkan pada kesempatan berbeda dalam siniar tersebut, Usman juga mengaitkan antara Soeharto dan Trump dalam konteks upaya penghilangan sejarah kelam demi menegasikan pelanggaran HAM. Hal yang sama juga terjadi di banyak negara di Eropa hingga Amerika Latin.
“Terjadi di banyak negara. Di Amerika, Donald Trump juga begitu. Dia ingin menghapuskan sejarah tentang kekejaman penguasa kulit putih terhadap ras kulit hitam. Jadi usaha untuk menghapuskan sejarah ini sekarang sedang mendapat perhatian dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Mungkin tahun depan akan ada laporan baru dari pelapor khusus untuk keadilan transisi atau untuk hak atas kebenaran dan keadilan. Judulnya negasionisme. Itu yang mungkin sering disebut oleh para sejarawan sebagai perversion of history, pemutarbalikan sejarah,” sambung Usman.
Yang dimaksud Usman adalah penelitian “Study Transitional Justice Responses to Mass Human Rights Violations, Transnational Violence and Negationism” yang dilakoni Benard Duhaime, pelapor khusus OHCHR atau Kantor Komisi Tinggi PBB untuk HAM. Laporannya dijadwalkan akan dirampungkan pada 16 Januari 2026 dan akan dilaporkan dalam forum pertemuan HRC atau Dewan HAM PBB medio September 2026.
Menurut laman resmi OHCHR, studi “negasionisme” oleh pelapor khusus Duhaime adalah riset studi global terkait bentuk-bentuk dan aneka konsekuensi penyangkalan, negasionisme, revisionisme, dan/atau disinformasi tentang pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, aktor-aktor non-negara dan jaringan-jaringan transnasional. Dan menurut Usman, pengangkatan penguasa menjadi sosok yang dipahlawankan – yang pada pemerintahan masa lalunya marak terjadi pelanggaran HAM – adalah salah satunya untuk tidak hanya menyamakan korban dan pelaku tapi bisa memutarbalikkan sejarah, seperti dikemukakannya di atas.
“Bahkan di beberapa negara fasenya bisa sampai bukan sekedar menyamakan antara korban dan pelaku, antara diktator dan demokrat. Tetapi bahkan menukar tempat. Orang yang semula korban menjadi pelaku, yang pelaku menjadi korban. Yang pahlawan dianggap pengkhianat, yang pengkhianat dianggap pahlawan. Chile contohnya, (juga) Jerman di zaman (Adolf) Hitler, atau Italia di zaman (Benito) Mussolini,” jelas Usman.
Pasalnya menjadi “kasus” menarik ketika pada 10 November 2025 silam, ada sosok penguasa dan korban kekerasan di rezimnya yang sama-sama mendapat gelar pahlawan nasional. Selain Soeharto, nama seorang demokrat dari NU yang pada masa Orde Baru direpresi, yakni KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Marsinah yang jadi korban kekerasan Orde Baru pun jadi pahlawan nasional.
“Jadi, dengan sejarah yang semacam itu rasanya kebijakan pemerintah saat ini memang tidak bisa diterima. Jadi, menghina jutaan korban, bukan hanya mengaburkan sejarah, memutarbalikkan sejarah. Itu yang sekarang sedang dibilang oleh pemerintah. Seorang diktator dinyatakan sebagai pahlawan bersama dengan seorang demokrat seperti Gus Dur. Atau seorang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM disamakan dengan orang yang pernah menjadi korban dari pelanggaran HAM, Marsinah. Marsinah ini korban dari politik pembangunan Orde Baru yang pro-investasi asing dan merendahkan upah buruh, merendahkan tanah murah, lingkungan juga tidak diperduikan,” tukasnya.













Komentar