top of page

Sejarah Indonesia

Menteri Kebudayaan Fadli Zon Tanggapi Penolakan Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Menteri Kebudayaan Fadli Zon Tanggapi Penolakan Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan, penulisan ulang buku sejarah nasional Indonesia untuk menghapus bias kolonial dan menekankan sejarah perspektif Indonesia atau Indonesia-sentris.

26 Mei 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Menteri Kebudayaan Fadli Zon bersama Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha menghadiri rapat kerja bersama Komisi X DPR RI yang membahas tentang proyek penulisan ulang sejarah Indonesia di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (26/5/2025). (TV Parlemen).

Diperbarui: 18 Jun

PENULISAN ulang sejarah Indonesia oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan menuai perdebatan di kalangan masyarakat. Beberapa waktu lalu, sejumlah aktivis dan sejarawan yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyampaikan penolakannya dalam Rapat Dengar Pedapat Umum (RDPU) dengan Komisi X DPR RI pada Senin, 19 Mei 2025.


AKSI berpendapat penulisan ulang sejarah Indonesia yang dilakukan secara terburu-buru dan tidak transparan dapat memicu lahirnya suatu tafsir tunggal yang bisa menjadi alat legitimasi penguasa dan berpotensi menghilangkan peristiwa-peristiwa penting di masa lalu yang berseberangan dengan pandangan rezim di masa kini.


Kekhawatiran sejumlah aktivis dan sejarawan itu mendapat tanggapan dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin, 26 Mei 2025. Dihadapan para anggota DPR, Fadli membeberkan tujuan hingga proses penyusunan buku sejarah nasional tersebut. Menurutnya, penyusunan buku sejarah nasional yang tengah dilakukan oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan merupakan upaya untuk memutakhirkan catatan sejarah bangsa.


Penyusunan buku sejarah memang telah beberapa kali dilakukan, bahkan sejak zaman kolonial Belanda. Di masa Hindia Belanda pernah terbit buku Geschiedenis van Nederlandsch Indie yang disusun oleh F.W. Stapel. Buku ini terdiri dari beberapa volume dan menjadi rujukan banyak pihak yang ingin mendapatkan gambaran tentang berbagai aspek terkait periode kolonial Belanda.


Akan tetapi, menurut Fadli, buku tersebut ditulis dengan perspektif kolonial. Dengan demikian, pilihan fakta sejarah dan perspektif yang digunakan disesuaikan dengan kepentingan kolonialisme. Tak heran bila kemudian tokoh-tokoh yang menjadi sentral dalam buku sejarah tersebut didominasi oleh bangsa kulit putih. Sementara tokoh-tokoh lokal seringkali dipandang sebagai pemeran pelengkap saja.


Kemerdekaan Indonesia tak hanya memicu dekolonisasi di bidang politik dan ekonomi, tetapi juga pandangan melihat sejarah bangsa. Munculah dekolonisasi historiografi, yaitu penulisan sejarah yang menekankan pada semangat kebangsaan dengan tokoh-tokoh sentral orang-orang Indonesia.


Penulisan sejarah merupakan kegiatan yang berkesinambungan. Oleh karena itu, dibutuhkan pemutakhiran berdasarkan temuan-temuan atau perspektif baru terkait peristiwa di masa lalu. Mengacu pada hal ini, Fadli beranggapan penulisan ulang sejarah nasional menjadi hal penting untuk dilakukan.


“Kalau kita lihat buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang enam jilid, itu pertama kali diterbitkan pada 1975 dan terakhir ditulis pada era Reformasi, tetapi hanya memuat masa pemerintahan B.J. Habibie. Jadi, dari era Pak Habibie sampai hari ini belum ada pemutakhiran. Artinya, pada era Gus Dur, Ibu Megawati, Pak SBY hingga Pak Jokowi belum ada yang menulis. Begitu juga dengan penyelenggaraan pemilihan umum, yang dilaporkan dalam buku sejarah kita hanya sampai tahun 1997. Sementara Pemilu tahun 1999 hingga 2019 belum ada catatannya siapa yang menang, siapa yang menjadi presiden,” kata Fadli.


Tak hanya untuk kepentingan pemutakhiran catatan sejarah Indonesia, Fadli yang pernah menjabat Wakil Ketua DPR periode 2014-2019, juga menyebut beberapa hal yang mendorong proyek penulisan ulang sejarah nasional. Pertama, menghapus bias kolonial dan menegaskan persepektif Indonesia-sentris. Kedua, menjawab tantangan kekinian dan globalisasi. Ketiga, membentuk identitas nasional yang kuat. Keempat, menegaskan otonomi sejarah atau sejarah otonom. Kelima, relevansi untuk generasi muda, dan keenam reinventing Indonesian identity.


“Sejarah bukan hanya sekadar sebuah catatan masa lalu, tapi dalam konteks Indonesia sejarah telah menjadi jembatan yang menghubungkan identitas nasional, kebijakan politik, dan perjuangan kolektif. Lalu masih ada narasi sejarah yang kita pelajari belum sepenuhnya membebaskan diri dari perspektif kolonial, kurang menjawab tantangan kekinian dan globalisasi sehingga sering dipandang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern, terutama generasi muda,” jelas Fadli.


Dengan demikian, Fadli menyatakan, proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang melibatkan 113 penulis dan editor dari kalangan akademisi lintas bidang baik arkeologi, geografi, sejarah, dan ilmu humaniora lainnya, tidak dimaksudkan untuk mengaburkan peristiwa di masa lalu, tetapi justru menyusun catatan sejarah yang didasarkan pada perspektif Indonesia.


“Kami ingin meluruskan pemberitaan yang simpang siur di media sosial terkait penulisan buku sejarah. Terutama terkait dengan judgment seolah-olah ada upaya untuk menghilangkan Kongres Perempuan, padahal justru kami ingin memperkuat adanya keterlibatan perempuan di dalam sejarah itu,” jelas Fadli.


Terkait proses penulisan ulang sejarah yang dipandang terburu-buru, Fadli menjelaskan, penyusunan buku sejarah nasional yang direncanakan terbit pada Agustus 2025 itu sesungguhnya tak dimulai dari nol, sebab banyak catatan peristiwa yang termuat dalam buku tersebut sesungguhnya mengacu pada apa yang telah ditulis dalam buku sejarah nasional yang sudah lebih dahulu diterbitkan, seperti buku Sejarah Nasional Indonesia dan Indonesia dalam Arus Sejarah, di mana proses penyusunannya juga melibatkan banyak sejarawan.


“Yang ingin kami tegakkan adalah penulisan sejarah dengan perspektif Indonesia atau Indonesia-sentris. Sedangkan kalau ada disebut official history atau sejarah resmi, ya itu hanya untuk ucapan saja. Tidak mungkin ditulis [buku] ini sejarah resmi. Tidak ada itu. Tetapi ini adalah sejarah nasional Indonesia yang merupakan bagian dari penulisan-penulisan para sejarawan,” kata Fadli.


Terkait sosialisasi dan transparansi penulisan ulang sejarah Indonesia, Fadli mengatakan, timnya berencana mengadakan diskusi yang akan dihadiri oleh berbagai ahli. Uji publik tersebut akan dilakukan jika proses penyusunan buku sejarah yang akan terdiri dari berbagai tema itu telah mencapai setidaknya 70 persen. “Diskusi ini bisa saja dilakukan. Tetapi [buku sejarah ini] harus ditulis dahulu. Kalau cuma kerangka yang kita perdebatkan itu seperti memperdebatkan pepesan kosong. Jadi, sejarahnya ditulis dahulu baru kita perdebatkan,” tambahnya.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page