- Randy Wirayudha
- 2 Jul
- 4 menit membaca
USAI gencatan senjata, baik Iran maupun Israel sama-sama mengklaim kemenangan dalam 12 hari Perang Iran-Israel (13-24 Juni 2025). Setelah pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menyatakan kemenangan Iran bagaikan tamparan telak di wajah Amerika Serikat sebagai beking Israel, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu membalas dengan pernyataan Israel meraih kemenangan bersejarah.
Sementara, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengklaim bahwa gencatan senjata itu adalah jasanya. Padahal, Korps Garda Revolusi Iran IRGC mengklaim bahwa pihak Israel yang memohon pada Trump untuk menawarkan gencatan senjata dengan Iran.
“Israel frustrasi dengan perlawanan heroik bangsa Iran. Fase akhir Operasi True Promise III mengajarkan pelajaran bersejarah dan tak terlupakan untuk Israel setelah agresi buta dan brutal,” ungkap pernyataan IRGC, dikutip Middle East Eye, 24 Juni 2024.
Meski juga merugi akibat serangan-serangan Israel, Iran juga menimbulkan banyak kehancuran bagi Israel baik lewat serangan-serangan ribuan drone-nya maupun misil-misil jelajah hipersoniknya selama 12 hari. Dua dari misil andalan Iran yang dilepaskan hingga bikin Iron Dome-nya Israel kelabakan adalah Fattah-1 dan Sejjil.
Menurut pakar intelijen dan hubungan internasional Rizal Darma Putra, itu belumlah kekuatan Iran yang sesungguhnya. Sebagai misil balistik, Sejjil disebutkan punya kecepatan 12-14 Mach di atmosfer dan 5 Mach saat mengenai target. Sedangkan Fattah-1 juga punya kecepatan 15 Mach saat melintas di atmosfer dan 5 Mach saat menghantam sasarannya. Bedanya, Fattah-1 berkemampuan membawa hulu ledak nuklir apabila Iran memang punya kapasitas pengayaan nuklir untuk persenjataan.
“Bagaimana suatu roket (misil, red.) bisa memiliki kecepatan sampai 15 Mach, kemudian juga bagaimana suatu roket itu bisa memiliki kemampuan senyap atau stealth dan kemudian yang utama adalah –yang masih menjadi misteri– daya ledak. Daya ledak seperti apa yang nanti bisa dimunculkan apabila ini berlanjut. Circular error-nya paling jauh meleset 5 kilometer saja. Jadi ini satu proses yang cukup lama dari Iran untuk bisa membangun kekuatan roketnya dan tentunya dia tidak bekerja sendiri. Ada dukungan negara lain karena ini riset yang berkepanjangan,” ujarnya di siniar bertajuk “Pelajaran Penting dari Perang Iran-Israel. Rudal Balistik Jadi Penentu” yang diunggah akun Youtube Akbar Faizal Uncensored, Minggu (29/6/2025).
Baca juga: Iran dan Program Nuklirnya (Bagian I)

Sekilas Misil-Misil Iran
Misil dan roket pada dasarnya adalah persenjataan serupa. Bedanya, roket tidak memiliki sistem pemandu sedangkan misil atau peluru kendali (rudal) adalah senjata dengan sistem pemandu.
Iran mulai mengembangkan program misilnya pasca-Perang Iran-Irak (1980-1988).
Sebelumnya, Iran hanya sebagai pengguna, yang dimulai pada 1985 ketika Perang Iran-Irak masih berkecamuk. Pada 1985, Iran membeli 20 misil jarak dekat Scud B dari Libya. Dua tahun berselang, Iran membeli sekitar 300 misil serupa dari Korea Utara.
“Iran mulai menggunakan sistem misil balistik surface-to-surface selama Perang Iran-Irak dan mengimpor banyak sistem (misil) lain yang juga bisa dipersenjatai hulu ledak nuklir atau senjata biologis dan senjata kimia. Sistem-sistem Scud B dibeli dari Korea Utara dan tak ketinggalan (misil) CSS-8 dari China. Barulah kemudian Iran tak hanya ingin mengimpor namun juga membuatnya sendiri,” tulis Anthony H. Cordesman dalam Iran’s Military Forces in Transition: Conventional Threats and Weapons of Mass Destruction.
Baca juga: Iran dan Program Nuklirnya (Bagian II)
Program misil Iran diinisiasi perwira angkatan udara dan antariksa yang juga pendiri korps artileri pertama IRGC serta Pusat Komando Misil Ahvaz, Brigjen Hassan Tehrani Moghaddam, yang diakui sebagai “Bapak Program Misil Iran”. Menurut Mahan Abedin dalam Iran Resurgent: The Rise and Rise of the Shia State, ketika Iran membeli selusin Misil Hwasong-5 dari Korea Utara medio 1985, Moghaddam sebagai panglima satuan Misil Angkatan Udara IRGC turut membentuk sebuah tim untuk mengkaji lalu memodifikasi misilnya.
“Hwasong-5 sebetulnya juga versi modifikasi dari Scud-B dengan jarak jelajah yang lebih jauh dan daya ledak dengan kualitas lebih tinggi. Moghaddam mulai mengintip teknologinya untuk kemudian memproduksi sendiri pada awal 1988 menjadi versi modifikasi Hwasong-5 bernama Shahab-1. Misil inilah yang terus diuji, diproduksi, dan direproduksi lagi mulai akhir 1980-an hingga 1994,” tulis Abedin.
Pada pertengahan 1990-an, Korea Utara memberi izin kepada para teknisi Iran untuk mengunjungi fasilitas-fasilitas pengembangan dan produksi misilnya. Kemitraan kemudian terjadi, di mana para teknisi Iran turut belajar tentang desain dan produksi misil. Maka kemudian Iran mampu memodifikasi misil-misil Korea Utara, seperti Hwasong-6 menjadi Shahab-2, hingga memproduksi sendiri misil-misil seperti Misil Zelzal-1 yang mampu mencapai jarak 150 kilometer, Zelzal-2 (210 km), hingga Zelzal-3 (200 km).
Baca juga: Sisa-Sisa F-14 Tomcat di Negeri Para Mullah
Menyusul embargo persenjataan Amerika, sejak 1988 Iran memodifikasi misil udara MIM-23 HAWK menjadi Sedjil untuk jadi persenjataan jet tempur F-14 Tomcat yang persenjataan aslinya tak mungkin didapatkan lagi. Lalu pada 1990-an, Iran memproduksi misil balistik jarak medium Sejjil sebagai kelanjutan Program Zelzal. Misil ini salah satu yang diluncurkan Iran ketika mengguncang ibukota Israel, Tel Aviv, pada 18 Juni 2025.
“Sejil tak seperti (teknologi misil) Korea Utara, Rusia, China, atau Pakistan. Misilnya mendemonstrasikan lompatan signifikan dalam kemampuan misil Iran,” terang mantan Kepala Organisasi Pertahanan Misil Balistik Iran Uzi Rubin, dikutip tabloid Jane’s Defence Weekly, 14 November 2008.
Satu lagi misil yang jadi momok buat Israel bulan lalu adalah Fattah-1. Iran mengklaimnya sebagai misil hypersonic pertama buatan sendiri. Iran mengumumkan permulaan pengembangannya pada 10 November 2022 bertepatan dengan peringatan ke-11 kematian “Bapak Program Misil” Brigjen Hassan Moghaddam. Fattah-1 mulai diperkenalkan pada 6 Juni 2023. Lima bulan berselang, Misil Fattah-2 –dengan daya hancur dan manuvernya yang sudah ditingkatkan dari Fattah-1– diperkenalkan. Keduanya sama-sama punya daya jangkau 1.400 kilometer.
“Melesat dengan lima kali kecepatan suara, Fattah-1 tidak hanya membelah langit. Bagi kebanyakan sistem radar canggih, misinya ibarat angin berbisik, ibarat seonggok hantu di layar yang akan hilang sebelum Anda yakin misilnya ada di sana. Fattah-1 bukan sekadar senjata; itu adalah pesan yang disampaikan dalam kecepatan Mach 5 bahwa perisai Anda sudah rusak,” tukas Azhar ul Haque Sario dalam The True Promise Kept: A Strategic Analysis of the Iran Israel War of June 2025.
Comments