- Petrik Matanasi
- 15 Jul
- 4 menit membaca
DERMAGA Ujung di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya amat ramai siang, 10 Juli 2025, itu. Hilir-mudik kendaraan hampir tak pernah berhenti. Bersama deretan bangunan gudang ataupun perkantoran yang memenuhi sisi kiri-kanan jalan kawasan tersebut, hilir-mudik kendaraan dan proses bongkar-muat kapal-kapal yang ada menandakan geliat ekonomi masih hidup di Dermaga Ujung.
Dermaga Ujung memang terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Namun seiring pertumbuhannya, ada banyak yang hilang dari Dermaga Ujung sebagai konsekuensinya. Salah satunya adalah tempat yang pernah jadi lokasi kongkow para pelaut Belanda yang diurus seorang Jawa.
Nama orang Jawa itu adalah Ardjo. Para perwira Angkatan Laut Belanda Koninklijk Marine (KM) amat mengenalnya. Dia mengelola bangunan sederhana untuk menghibur para perwira, yang dibangun pada 1859.
Awalnya, bangunan itu hanyalah sebuah pondok bambu sederhana yang kadang disebut gubuk. Di sana, segelas cognac, anggur Rheine atau bir pahit bisa dinikmati para perwira dari Eropa.
Hanya perwira rendahan saja yang sering datang ke sana. Para perwira yang berpangkat lebih tinggi nyaris tak pernah datang. Di sana, mereka biasa berbagi cerita atau bermain bilyar ala Rusia.
Agar para perwira tamu itu tetap bisa datang di musim hujan yang becek, Ardjo mengatur dengan membuat semacam jalan mirip trotoar di sekitarnya. Bangunan itu ringkih sehingga bila terlalu banyak gerakan maka seseorang akan rawan terjatuh ke rawa-rawa. Bangunan itu juga amat sempit dan tak sepenuhnya bisa digunakan.
“Sebagian beranda ditutup dan berfungsi sebagai toko sekaligus tempat tinggal Ardjo,” kata GH von Faber dalam Het Vrije Pers tanggal 17 Juni 1949.
Gubuk sekaligus tempat tinggal Ardjo itulah cikal-bakal Societeit (ruang bola untuk bersosialisasi) yang dikenal sebagai Modderlust itu. Kebutuhan akan tempat berkumpul untuk melepas penat melatari pembangunan societiet yang lebih besar dan modern.
“Pada tahun 1865, ‘Modderlust’ pindah ke bangunan lain yang terbuat dari kayu dan bambu, yang diambil alih oleh Marine-Etablistment. Bangunan itu memiliki teras depan yang layak dan lebih baik serta lebih nyaman daripada yang lama,” tulis Faber.
Tak ada lagi tikus yang menggigiti mereka seperti di gubuk milik Ardjo. Bahkan nyamuk makin menjauh dari para perwira itu. Semua berjalan lebih baik bagi para perwira untuk berkumpul di sekitar pelabuhan Surabaya. Para perwira dengan pangkat yang lebih tinggi pun sekarang bisa dengan mudah ditemui.
“Gedung ini menyediakan ruang untuk sekitar 25 orang. Kehidupan sosial yang meriah muncul,” sambung Faber.
Namun seiring waktu dan meningkatnya kebutuhan, gedung Modderlust dianggap masih kurang akomodatif. Maka, pembangunan tempat yang lebih akomodatif kembali dilakukan. Nieuwe Courant tanggal 17 Juni 1949 menyebut pada 1 Mei 1867, peletakan batu pertama “rumah ketiga Modderlust” diresmikan.
Berhubung Modderlust adalah tempatnya para perwira, yang berpangkat letnan laut kelas tiga ke atas, maka tak satu pun orang pribumi berada di dalam ruangan itu kecuali para pelayannya. Itu berlangsung setidaknya hingga tahun 1940, tahun ketika KM membuka kesempatan kepada orang pribumi untuk menjadi perwira KM.
Sebelum 1940, hanya ada tamtama atau paling tinggi bintara pribumi di KM. Mengutip Regeling van het Korps Inlandsche Schepelingen bij de Koninklijke Marine in Nederlandsch Indie 1937, Sudono Jusuf dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Laut menyebut bahwa posisi yang tersedia untuk orang pribumi adalah: bootslieden (pelaut), torpedomaker (ahli torpedo), machinist (masinis atau ahli mesin), timmerman (tukangkayu), monteur (montir), vliegtuigmaker (ahli kapal terbang), bottellier (botelir), ziekenverpleger (perawat),
schrijver (juru tulis), muzikant (ahli musik) dan kwartiermeesters stokers (kopral juru api).
Pangkat tertinggi pribumi di Angkatan Laut Belanda hanyalah sersan. Salah satu yang terkenal adalah Sersan Jacob Johannes, orang Indonesia yang pertama kali belajar menjadi pilot di Surabaya.
Setelah 1940, Angkatan Laut Belanda memberi kesempatan kepada pemuda pribumi macam Hein Wurangian dan Raden Soebijakto (1917-1999) untuk menjadi calon perwira cadangan atau kepada Bagus Nasis Djajadiningrat, Adjiwibowo, Sidik Muliono, Benjamin Tauran untuk menjadi taruna Institut Angkatan Laut Belanda di Surabaya.
Ketika tentara Jepang menduduki Indonesia, Modderlust tentu dikuasai oleh Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang). Setelah Indonesia merdeka, perubahan besar terjadi di Modderlust. Menurut Barlan Setiadijaya dalam 10 November 1945: Gelora Kepahlawanan Indonesia, mantan KM dan Kaigun Andi Achmad Aris menyarankan pendirian Tentara Angkatan Laut (TAL) di kawasan Ujung. Setelahnya, Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut berdiri dan mengambil Modderlust sebagai markasnya.
Begitu tentara Inggris yang mewakili Sekutu datang dan menguasai Surabaya, Modderlust diserahkan kepada Angkatan Laut Belanda. Fungsi Modderlust sebagai tempat kongkow perwira pun kembali berlanjut. Ini berlangsung hingga setidaknya tahun 1949. Setelah pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Angkatan Laut Belanda menyerahkan Modderlust kepada Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
Di tangan ALRI, Modderlust tetap difungsikan sebagaimana di masa sebelumnya. Mayor Huhnholz, mantan perwira marinir Belanda yang kemudian menjadi perwira KKO –kini Korps Marinir– Indonesia, salah seorang yang dipercayakan mengurus societeit itu. Dia ingin para perwira Indonesia termuda sekali pun hadir di Modderlust.
“Yang mangkir, berdampak pada kondite. Kendaraan untuk datang ke sini disediakan,” kata Huhnholz.
Para perwira muda itu boleh datang dengan pacar mereka untuk berdansa di Modderlust. Dansa dengan diiringi band adalah hiburan lama di Modderlust yang tetap dilestarikan oleh pengurus generasi Mayor Huhnholz. Salah satu gitaris yang pernah bermain di Modderlust adalah Jack Lemmers alias Jack Lesmana, ayah musisi kondang Indra Lesmana.
“Kadangkala setelah meninggalkan Modderlust masih harus meneruskan acara lagi, yaitu makan sate di Simpang Lima. Kadang-kadang sudah ada janji dengan kekasih. Eh... malah kena tugas perwira jaga. Hanya dapat melihat Modderlust dari kejauhan,” kenang Sunardi Hamid, yang pernah punya pengalaman di Modderlust, dalam Dan Toch Maar.
Modderlust menjadi kenangan bagi para perwira angkatan laut dan marinir di era 1950-an. Generasi-generasi setelahnya tak lagi bisa menikmatinya karena Modderlust belakangan dialihfungsikan sebagai Panti Tjahaja Samudra (PTS) sebelum dibongkar bangunannya dan hilang selamanya dari kawasan Dermaga Ujung Surabaya. Di bekas lokasi Modderlust kemudian didirikan ssebuah monumen jangkar bertulis: Di tempat ini pernah berdiri sebuah gedung bernama Modderlust yang digunakan sebagai Markas BKR Laut sejak 22 September 1945 sampai tentara Sekutu menduduki Surabaya.*













Komentar