top of page

Sejarah Indonesia

Mula Tambang Nikel Di Raja

Mula Tambang Nikel di Raja Ampat

Eksplorasi tambang nikel di Kepulauan Raja Ampat bermula di pengujung sengketa Irian Barat. Kerjasama dengan konsorsium asing diperbarui pasca-Orde Baru.

19 Juni 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Jejak-jejak penambangan nikel di Pulau Gag Raja Ampat (greenpeace.org)

LANTARAN keindahan alam dan keanekaragaman hayatinya, Kepulauan Raja Ampat di Provinsi Papua Barat Daya sampai dijuluki “Surga Terakhir di Bumi”. Namun penambangan nikel yang terkandung di perut buminya kini dikhawatirkan merusak lingkungannya dan menimbulkan kegaduhan. 

 

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pun merespons dengan mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat dari lima perusahaan penambangnya. Keempatnya yakni PT Kawei Sejahtera Mining di Pulau Kawe, PT Mulia Raymond Perkasa di Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun, PT Anugerah Surya Pratama di Pulau Manuran, dan PT Nurham di Yesner, Waigeo Timur. 

 

Pengacualian terjadi untuk PT Gag Nikel, anak perusahaan PT Aneka Tambang, di Pulau Gag. IUP-nya tidak dicabut pemerintah. Salah satu alasannya, PT Gag Nikel tidak beroperasi di kawasan Geopark Raja Ampat. Dalam konferensi persnya pada 11 Juni 2025, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia juga mengungkapkan bahwa aktivitas eksplorasi PT Gag Nikel sudah dimulai sejak 1972 meski Kontrak Karya-nya baru ditandatangani pada 1998. 

 

Kekayaan mineral alam berupa nikel memang sudah diburu para pakar geologi Belanda sejak masa kolonial. Namun eksploitasinya baru dilakukan sebuah konsorsium perusahaan asing menjelang transisi Irian Barat ke Republik Indonesia. 

 

“Pulau Gag adalah harta karun terpendam. Yang awalnya pulau tak berpenghuni, ternyata di dalam tanahnya ada bahan tambang yang berharga, yaitu nikel. Eksplorasi nikel telah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Lebih tepatnya pada zaman kolonial Belanda. Tidak bisa dipastikan sudah berapa lama kolonial Belanda berada di pulau tersebut. Yang pasti, Belanda tidak benar-benar berhasil untuk menggali harta karun tersebut,” tulis Ida S. Widayanti dkk. dalam Berjuang di Tengah Arus Pesimisme: Kisah Perjalanan Gag Nikel Menuju Operasi Produksi.

 

Memburu Nikel dari Sentani ke Pulau Gag

Pencarian nikel laterit dan cobalt di Nederlands Nieuw Guinea atau Nugini Belanda (sebutan lama Papua) sudah berlangsung sejak pertengahan abad ke-19. Menurut Michael R. Thirnbeck dalam makalahnya di Konferensi Geologi, Eksplorasi, dan Pertambangan PNG di Port Moresby pada 22-24 Juni 2001, “The Sentani and Siduarsi Nickel-Cobalt Laterite Deposits, Northeast Irian Jaya, Indonesia”, tiga ekspedisi ke Pegunungan Cycloop (Pegunungan Dafonsoro) sudah pernah dilakukan pemerintah Hindia Belanda lewat ekspedisi pimpinan Dr. J.H. Croockweit pada 1858, Dr. A. Wichmann pada 1905, dan Dr. Zwierzycki pada 1922. 

 

“Akan tetapi potensi laterit nikel di Sentani kemudian pertamakali baru ditemukan oleh seorang pakar geologi di korps zeni Angkatan Darat (AD) Amerika Serikat ketika mereka mendirikan markas untuk Jenderal (Douglas) MacArthur di puncak Ifar pada 1944. Investigasi kecil-kecilan juga dilakukan orang-orang Belanda di Pangkalan G dekat Jayapura pada 1946 dan di Ifar, Tanah Merah, dan Tablasufa pada 1949. Hasil terbaik sampelnya adalah yang diambil dari Tanah Merah berupa 6,9 persen nikel dan di Ifar 5,6 persen nikel,” tulis Thirnbeck. 

 

Belanda tetap melakukan eksplorasi secara sporadis kendati Irian Barat (1950-1962) masih jadi sengketa Indonesia-Belanda pasca-penyerahan kedaulatan pada 1949. Menurut buku Verhandelingen van het Koninklijk Nederlands Geologisch Mijnbouwkundig Genootschap: Geologische Serie, Volume 22-24, pada 1955 Dienst van Mijnbouw (Dinas Pertambangan) melakoni ekspedisi lagi di Pulau Waigeo dan pulau-pulau sebelah barat lainnya. Lantaran terdapat potensi nikel, cobalt, dan bijih besi di endapan tanahnya, mereka melancarkan eksplorasi ekstensif untuk mengungkapnya pada 1956. 

 

Sebagai langkah yang lebih konkret, Belanda membentuk konsorsium Pacific Nikkel Mijnbouw Maatschappij pada 1960. Di dalamnya terdapat keikutsertaan sejumlah perusahaan asing seperti United States Steel Corporation dan Newmort Mining Corporation (Amerika), Koninklijke Nederlandsce Hoogovens en Staalfabrieken NV dan Wm H. Muller & Co. NV (Belanda), dan Sherritt Gordon Mines Ltd. (Kanada). 

 

Namun eksplorasinya masih terhambat sengketa politik. Ketika konfrontasi berakhir pada 1962, wilayah Nugini Belanda atau Irian Barat untuk sementara dikendalikan United Nations Temparary Executive Authority (UNTEA). 

 

Namun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) digelar pada 14 Juli-2 Agustus 1969, Pacific Nikkel Mijnbouw Maatschappij direorganisasi menjadi PT Pacific Nikkel Indonesia pada awal 1969 dan pada Februari 1969, pemerintah memberi kontrak eksplorasi penandatanganannya dilakukan Menteri Pertambangan Soemantri Brodjonegoro beserta E. Veelen (Koninklijke Nederlandsce Hoogovens en Staalfabrieken NV) dan R.D. Ryan (US Steel) selaku perwakilan PT Pacific Nikkel Indonesia. Pada 17 Februari 1969, pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 1969 tentang Pemberian Tambahan Kelonggaran Perpajakan Kepada PT. Pacific Nikkel Indonesia. 

 

“Eksplorasinya dimulai pada Juni 1969 dari pulau kecil Bombedari di utara lepas pantai Waigeo. Kamp eksplorasinya termasuk laboratorium kimia untuk menganalisa sampel-sampel dari lapangan yang dilakukan dengan penggalian dan pengeboran. Pada 1970 eksplorasinya dilanjutkan di Pulau Waigeo, Pulau Manuran, Cycloops, Pulau Kawe, dan Pulau Gag,” ungkap C.D. Reynolds dkk. dalam artikel “The Exploration of the Nickel Laterite Deposits in Irian Barat, Indonesia” yang termuat di Bulletin Geological Society of Malaysia, 6 Juli 1973. 

 

Dari area-area itu, dipilihlah Pulau Gag dan Pulau Manuran karena cadangan nikelnya dianggap yang paling potensial. Sebagaimana diberitakan harian De tijd edisi 7 April 1972, di Pulau Gag sendiri terdapat perkiraan deposit bijih nikel mencapai 300 juta ton. Sebuah pabrik dengan prospek produksi 45 juta kilo per tahun pun direncanakan akan dibangun. Proyeknya diperkirakan membutuhkan dana sebesar 400 juta dolar. 

 

“Akan tetapi akvititas penambangannya harus ditunda untuk beberapa tahun karena terkendala isu-isu lingkungan dan biodiversitas, terutama setelah kawasan hutan di Pulau Gag dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung oleh Departemen Kehutanan. Konsesi-konsesi pertambangan menjadi tumpang-tindih dengan status kawasan hutan lindung meskipun kemudian pemerintah pusat mengakomodasi ‘penambangan di kawasan terlindungi’ lewat sebuah kebijakan khusus dan status hutan di Pulau Gag diubah menjadi konsesi tambang. Walau banyak tokoh lingkungan menentang namun pembangunan infrastruktur penambangannya tetap dibangun,” ungkap Charlie D. Heatubun dalam artikel “Palms on the Nickel Island: And Expedition to Gag Island, Western New Guinea” di Jurnal Palms, Vol. 58, No. 3 tahun 2014. 

 

Infrastruktur pertambangan di Pulau Gag dan Pulau Waigeo akhirnya terbengkalai setelah PT Pacific Nikkel Indonesia memilih batal mengeksploitasinya pada akhir 1979 kendati sudah banyak mengeluarkan modal. Menurut Ronald Petocz dalam Conservation and Development in Irian Jaya: A Strategy for Rational Resource, alasannya adalah karena harga nikel sedang terpuruk sehingga konsesinya dialihkan ke BUMN, PT. Aneka Tambang. 

 

Oleh PT Aneka Tambang, pengelolaannya dilanjutkan dengan menjalin kerjasama dengan perusahaan Australia, PT BHP Biliton, lewat Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani pada 1995 guna mendapatkan hak eksploitasi laterit nikel di Pulau Gag. Namun, pembangunan pabrik pengolahan laterit dan limonit di Pulau Gag yang direncanakan tak kunjung terealisasi hingga datangnya badai Krisis Moneter 1997. 

 

Baru menjelang kejatuhan Presiden Soeharto, pengelolaan oleh PT Aneka Tambang dialihkan ke anak perusahaan yang baru didirikannya, PT Gag Nikel. Perusahaan itulah yang kemudian memegang Kontrak Karya Generasi VII Nomor B53/Pres/I/1998 tertanggal 19 Januari 1998 dan sejak saat itu jadi pihak yang mengeksploitasi nikel di Pulau Gag hingga sekarang. 



Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Indonesia Mendapatkan Uang dari Penyelundupan

Indonesia Mendapatkan Uang dari Penyelundupan

Penyelundupan hasil bumi jadi alternatif mendapatkan dana untuk memenuhi kebutuhan Republik Indonesia. Perjalanan Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim ke markas PBB sebagian dibiayai dari hasil penyelundupan.
Dulu Pernah Ada Kereta Api di Makassar

Dulu Pernah Ada Kereta Api di Makassar

Keretaapi yang belum lama diresmikan di Sulawesi Selatan sejatinya bukanlah yang pertama. Belanda pernah mengadakannya.
Dompet Cekak Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad

Dompet Cekak Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad

Sebagai menteri keuangan, dia bertugas mengurusi bertriliun-triliun rupiah anggaran negara. Tapi, siapa sangka, Mar'ie Muhammad tak pernah bawa uang kemana-mana dan kerap kali berutang.
LH Krol, Insinyur Belanda yang “Gosok” Intan Martapura

LH Krol, Insinyur Belanda yang “Gosok” Intan Martapura

Lama tinggal di Martapura, LH Krol meneliti tentang intan Martapura. Dia mempromosikannya ke forum ilmiah di Eropa.
Sejarah Singkat Eksploitasi Nikel di Indonesia

Sejarah Singkat Eksploitasi Nikel di Indonesia

Selain di Raja Ampat, nikel mulai dikeruk Belanda sejak ditemukan pertama di Sulawesi. Kini jadi primadona di era industri gawai dan kendaraan listrik.
bottom of page