top of page

Sejarah Indonesia

Orang Ambon Di Front

Orang Ambon di Front Jakarta

Meski dipersekusi, orang Ambon banyak yang tetap dukung Indonesia merdeka. Mereka yang kecewa, mantap ikut Belanda.

20 Agustus 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

J. Latuharhary (kedua dari kiri) dan J. Leimena (kelima), dua wakil Ambon dalam delegasi Indonesia di Perundingan Renville. (Wikimedia Commons).

SEJATINYA, pergerakan nasional Indonesia juga berisikan orang Ambon. Johannes Leimena (1905-1977), mahasiswa kedokteran STOVIA yang kelak berjuluk “Bapak Kesehatan Indonesia”, bahkan hadir dalam Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda. Ada pula Alexander Jacob Patty (1901-1947), pendiri Sarekat Ambon yang secara politik berseberangan dengan pemerintah kolonial hingga dia dibuang ke Boven Digoel. Tokoh lain yang terkenal adalah Mr Johannes Latuharhary (1900-1959), lulusan hukum Universitas Leiden yang rela berhenti dari pekerjaan enaknya untuk aktif dalam pergerakan nasional. Mantan ketua Pengadilan Negeri (Landraad) di Kraksan, Jawa Timur ini namanya kemudian diabadikan jadi nama sebuah jalan di Jakarta.

 

Namun, Jakarta pada awal kemerdekaan Indonesia justru punya banyak penduduk yang mencurigai orang-orang Ambon hanya karena sebagian orang Ambon di masa kolonial Belanda menjadi serdadu Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Orang-orang Ambon lalu dipersekusi.

 

Keadaan tersebut membuat Mr. Latuharhary memanggil para pemuka Ambon di Jakarta untuk berkumpul di Jalan Serang 5 pada 5 September 1945. Dari pertemuan itu, lahirlah organisasi pemuda yang dinamai Angkatan Pemuda Indonesia Ambon (API Ambon).

 

Namun, tetap saja orang-orang Ambon pro-Republik Indonesia seperti mereka tidak ada artinya bagi sebagian kelompok yang serampangan menuduh seluruh Ambon adalah pendukung Belanda. Orang-orang Ambon yang berada di Jakarta setelah September 1945 pun hidup dalam ketakutan.

 

“Pada suatu hari, tanggal 9 September 1945, kami bangun pagi dan terkejut melihat di mana-mana di pohon, dinding, kantor dan sebagainya, tertempel pamflet yang berbunyi Maklumat Perang Kepada Indo, Ambon dan Manado. Dalam pamflet itu dikatakan bahwa kelompok-kelompok tersebut harus diboikot karena merupakan musuh bangsa Indonesia. Mereka harus dibunuh di tempat kediaman mereka, harus dilingkari kawat berduri, sumur dan air minum mereka harus diracuni, setiap pedagang dilarang menjual apapun kepada mereka,” kenang Johannes Dirk de Fretes, orang Ambon yang kala itu menjadi asisten Mr. Latuharhary, dalam Kebenaran Melebihi Persahabatan.

 

Ancaman dalam pamflet itu ternyata bukan semata ancaman, tapi benar-benar dilakukan. Keluarga Agus Souisa dan keluarga Lukas Polhoupessy menjadi korban penikaman. Padahal, Agus juga pejuang pro-Indonesia di Senen. Begitu juga Lukas. Keluarga Hein Wattimena di Pasar Baru hampir terbunuh. Markas API Ambon di Jalan Kramat VI juga sempat disatroni pemuda-pemuda dari Karawang dan Bekasi.

 

Orang Ambon pun terintimidasi –juga di kota-kota lain seperti Bandung dan Surabaya, di mana orang Ambon juga dimusuhi meski orang macam Mattijs Sapija, yang merupakan penulis biografi Kapitan Pattimura, ikut dalam barisan RI  melawan Inggris dalam Pertempuran 10 November 1945. Mereka yang takut akhirnya mengungsi ke bekas tangsi Batalyon X (sekarang halaman belakang Hotel Borobudur).

 

“Orang Ambon baru sibuk bilamana ia sendiri, keluarganya, atau teman-temannya terancam,” kata Ernest Utrecht dalam Ambon: Kolonisatie, Dekolonisatie en Neo-kolonisatie.

 

Padahal, banyak dari orang Ambon itu buta politik. Dalam kondisi kacau, mereka bisa bertindak spontan. Ancaman terhadap orang Ambon itu sejatinya juga merugikan Republik Indonesia.

 

Nono Tanasale alias August Isaac Tanasale termasuk yang kesal pada ancaman kepada orang Ambon itu. Negara Republik Indonesia yang baru lahir kala itu tak bisa bergerak cepat mengatasi pemuda-pemuda yang membahayakan orang Ambon. Aparatur negara masih belum solid dan kuat. Alhasil negara tak bisa berbuat apa-apa meskipun nyawa orang-orang Ambon di ujung tanduk. Artinya, Republik Indonesia “tak baik” bagi Nono.

 

“Republik tai,” kata Nono.

 

Meski begitu, Johannes Dirk de Fretes tetap berharap kepada Nono untuk menjadi ketua API Ambon. Johannes yang pendukung RI masih yakin Nono bisa “dijinakkan”.

 

“Dan kami ingin agar Anda menjadi ketuanya. Hanya Anda yang dalam keadaan seperti ini bisa pegang fungsi tersebut. Dengan demikian Anda justru bisa melindungi orang-orang Ambon. Kami sangat membutuhkan Anda dalam situasi yang sulit ini. Kalau Anda tidak mau, kami terus berjalan memperjuangkan kemerdekaan dan menyelamatkan orang-orang Ambon. Anda toh setuju dengan perjuangan kita dan maksudnya. Dan biarlah politik saya yang atur,” kata Dirk de Fretes membujuk Nono.

 

Daarna ga ik accoord,” kata Nono, yang berarti, dengan maksud itu saya setuju.

 

Setelahnya, Dirk melapor ke Mr. Latuharhary yang merupakan gubernur Maluku pertama di awal kemerdekaan. API Ambon kemudian sempat dimarkaskan di Jalan Cut Meutia 7 yang juga kantor gubernur Maluku.

 

Beberapa hari sebelum Natal 1945, pasukan KNIL dari Tarakan menyerbu kantor API Ambon di Kramat. Para angota API ditangkapi. Nono pun hadir di sana dan meminta kepada pasukan KNIL agar orang yang ditangkapi dibebaskan.

 

“Siapa yang hendak amankan orang-orang Maluku yang jumlahnya 30.000 di Jawa ini?” tanya Nono, yang lalu mengetahui para anggota API yang ditangkapi itu akhirnya dibebaskan.

 

Nono makin tak percaya kepada RI. Di lapangan, orang Ambon banyak yang tidak aman. Maka setelah akhir 1945, Nono memilih menjadi KNIL hingga pangkatnya sampai Pembantu Letnan.

 

Pilihan Nono Tanasale itu berangkat dari realitas yang mengecewakan. Sebab, sebut Dirk de Fretes, Nono dkk. sempat memasok senjata untuk laskar-laskar perjuangan pendukung RI. Dia bahkan sempat bekerjasama dengan Imam Syafei alias Bang Pi’i dari Senen. Namun, sebuah koran pro-RI yang dibacanya, serampangan menuliskan: Ambon Andjing NICA. Kekecewaan Nono pun dimulai, terus membesar disiram “bensin” realitas persekusi terhadap orang-orang Ambon.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page