top of page

Sejarah Indonesia

Pamer

...

_

Oleh :
...

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

Sejak zaman kuda gigit besi, unjuk kekayaan dan kekuasaan alias pamer itu sudah jadi kebiasaan para bangsawan di negeri ini. Kisruh hubungan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dengan bupati Lebak pada awal 1856 pun dipicu salah satunya oleh tabiat pamer yang memang lekat dengan tradisi feodal lokal. Kerabat sang bupati yang juga penguasa dari Cianjur hendak datang berkunjung. Biasanya kunjungan kaum menak selalu diiringi rombongan besar, tak hanya sanak saudara tapi juga iringan para penggawa. 


Rakyat pun dibuat sibuk. Bupati mengerahkan mereka untuk kerja bakti membersihkan pekarangan pendopo, mencabut ilalang yang tumbuh liar di alun-alun, dan menyiapkan hidangan. Semua itu mereka lakukan guna meladeni para pembesar negeri. Dalam tata cara kehidupan yang feodalistis tersebut, rakyat adalah kawula yang wajib melayani tuannya. 


Menurut sejarawan Onghokham, gaya hidup bupati pada abad ke-19 memang bak sultan kecil, dengan pengawal berkuda berseragam sulaman emas, perangkat gamelan, penari, kediaman yang besar, dan lain-lain. Sederet perlengkapan itu masih pula ditambah dengan kebiasaan menggelar kenduri jamuan makan untuk para pembesar Belanda, kerabat sesama bangsawan, pembesar seperti kapitan Cina dan Arab, selamatan yang berkaitan dengan adat dan keagamaan. Belum lagi keluarga besar bupati yang menumpang hidup dan harus pula menikmati fasilitas yang layak.


Bisa dibayangkan kehidupan kontras para gusti di hadapan kawulanya, rakyat jelata yang hidup hanya dengan uang satu sen sehari. Namun tak ada daya untuk mengubah nasib kecuali mengabdikan dirinya pada sistem kekuasaan yang menindas itu. Sehingga mimpi rakyat kecil saat itu berharap bisa naik kelas menjadi priayi, walaupun dengan mengorbankan anak perempuannya untuk menjadi selir bupati. Seperti gambaran nasib si Gadis Pantai yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer: anak nelayan miskin yang dikawinkan kepada Bendoro Rembang demi mewujudkan obsesi ayahnya melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Melalui novel yang sama, Pram melancarkan kritik sosial atas kehidupan priayi Jawa yang semena-mena, hedonis, dan korup. 


Loman Pamer

Ternyata jejak-jejak kelakuan kaum feodal tiga abad yang lalu itu masih kelihatan bekasnya pada sebagian amtenar di abad ke-21 ini. Andai kasus penganiayaan David oleh Mario, anak pejabat pajak golongan tiga, luput dari pengamatan netizen yang kritis terhadap penanganan kasus penganiayaan tersebut, mungkin kisah tragis Sum Kuning pada 1970 bisa jadi terulang kembali. Sumaridjem, seorang penjual telur ayam diperkosa ramai-ramai, melibatkan anak petinggi di Yogyakarta, malah dijadikan tersangka laporan palsu.

Pelakunya bebas melenggang tak tersentuh hukum.   


Kasus penganiayaan David pun mengundang netizen bertanya, dari mana gerangan asal-usul kekayaan milik bapaknya yang terlihat dipamerkan melalui media sosial milik mereka. Namun alih-alih mengungkap dari mana harta tak wajar itu diperoleh, para pembesar negeri ini malah mengimbau para amtenar agar tak pamer harta.  


Media sosial telah jadi etalase pameran kekayaan dari mereka yang ingin mendongkrak diri naik kelas jadi priayi abad kini. Tak aneh jika julukan sultan ditabalkan kepada siapapun yang dianggap bergelimang harta, seperti halnya beberapa pesohor menggambarkan diri mereka akhir-akhir ini. Pameran ini begitu telanjang dipertontonkan kepada khalayak luas, membentuk semacam fantasi kehidupan yang ideal serba indah, serba mewah. Rupanya ada juga sebagian orang yang mencoba berminat meniru gaya hidup seperti demikian, menciptakan kesan sebagai sultan kecil dari kerajaan antah berantah dengan kekuasaan yang tak terbantah.


Pamer kuasa juga sampai ke jalanan. Jika tiga abad lalu rakyat jelata melihat langsung iring-iringan bupati dan rombongannya menggunakan kereta kuda terbaik pada masanya, maka kini tontonan itu berwujud iring-iringan mobil lengkap dengan sirene meraung-meraung, mengusir mobil lain agar minggir memberi jalan, terutama di jalanan ibu kota Jakarta yang serba macet. Masalahnya bukan hanya para petinggi negeri yang memang memiliki hak mendapatkan prioritas, tapi orang-orang dengan secuil kekuasaan, entah itu sebagai pejabat rendahan, mantan pejabat atau orang berduit pun ikut latah ingin terlihat istimewa di jalan, seakan kalau mereka telat perekonomian negeri ini bakalan runtuh seketika. 


Inilah ironi sebuah bangsa yang masih setengah feodal dan setengah kolonial, di mana cita-cita revolusi kemerdekaan untuk menciptakan masyarakat yang setara dan berkeadilan belum kunjung tercapai. Di mana demokrasi seakan hanya hajat rutin memilih priayi baru untuk berkuasa mengatur hidup kawulanya. Sementara kawulanya nonton orang pamer sambil menggerutu, “duh, gusti…nasib…nasib…”*




Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Memori dan Hegemoni

Memori dan Hegemoni

Pengajaran sejarah sebagai indoktrinasi berdampak fatal pada cara berpikir sebagian besar masyarakat. Ingatan kolektif masyarakat didominasi oleh ingatan resmi rezim Orde Baru.
Desakralisasi Pejabat Publik

Desakralisasi Pejabat Publik

Pembesar negeri alam feodal berjarak dengan rakyatnya dan tak punya banyak pekerjaan kecuali bersikap sok penting, boros, dan kerap pamer kekuasaan.
Sebuah Pledoi untuk Snouck

Sebuah Pledoi untuk Snouck

Lorong Zaman Sebuah Pledoi untuk Snouck
Seputar Persoalan Eksil

Seputar Persoalan Eksil

Lorong Zaman Seputar Persoalan Eksil
Pertandingan

Pertandingan

Lorong Zaman Pertandingan
bottom of page