top of page

Sejarah Indonesia

Pao An Tui Yang Dibenci Kaum Republik

Pao An Tui yang Dibenci Kaum Republik

Menghadapi musuhnya lewat metode ular mematuk mangsa, Pao An Tui menjadi monster bagi pejuang dan penduduk Medan.

14 Februari 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sepasukan Pao An Tui bercengkrama dengan seorang tentara Belanda dalam tugas menjaga instalasi air di Medan. Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Kawasan pecinan di Pasar Sentral, kota Medan cukup tenang pada siang hari. Aktivitas para pekerja dan pedagang berjalan sebagaimana biasa. Namun memasuki waktu malam, keadaan berubah mencekam. Letusan tembakan acap kali menggema. Demikianlah suasana keamanan di distrik Tionghoa itu pada awal 1946.


Menurut keterangan warga setempat yang dikutip Abdullah Hussain, Kepala Polisi Langsa yang sedang tugas di Medan, orang-orang Tionghoa di kawasan itu telah dipersenjatai oleh NICA. Mereka membentuk sebuah barisan sendiri yang diberi nama Pao An Tui (PAT).


“Dari atas loteng rumahnyalah mereka melepaskan tembakan kepada pejuang-pejuang Indonesia yang menyusup masuk ke dalam kota pada waktu malam,” kenang Abdullah dalam Peristiwa Kemerdekaan di Aceh.


Perbuatan pasukan PAT itu kontan bikin jengkel. Pemuda-pemuda Medan berang. Sekali waktu mereka mencari pemimpin PAT itu. Keesokan harinya, seorang pentolan PAT ditembak mati.


Ketegangan antara pejuang Republik dengan PAT masih terus berlanjut. Mulai dari pusat kota merembet hingga ke pelosok di luar kota Medan. Bentrokan dan kontak senjata sering terjadi.  


Penguasa Pasar


Tujuan semula pembentukan PAT adalah untuk menjaga keamanan basis masyarakat Tionghoa. Di Medan, toko-toko milik pedagang Tionghoa kerap kali dirampok oleh penjahat lokal sebagai ekses dari revolusi.  Tetapi akhirnya, dalam setiap patroli yang dilakukan tentara Inggris atau Belanda, satuan PAT selalu dilibatkan.


“Pasukan-pasukan ini dipakai dalam patroli-patroli Belanda untuk menggempur laskar dan TRI. Persenjataan dan perlengkapan lainnya dari pasukan ini jauh lebih baik dari laskar dan tentara,”tulis buku Perjuangan Semesta Rakyat Sumatera Utara yang diterbitkan Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera.


PAT memperoleh akses atas kawasan tertentu dengan menjalin koordinasi ke pihak tentara Belanda. Tiap daerah pendudukan yang dikuasai Belanda, PAT bertugas mengamankan kawasan pecinan didalamnya. Maka tak heran bila PAT punya kontrol atas pasar-pasar di daerah pendudukan dalam garis demarkasi.



Menurut penelitian sejarawan LIPI Nasrul Hamdani dalam Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960, PAT selalu menjaga ketat pasar-pasar dan tempat warga kota berinteraksi. Setiap pos di keramaian ini dijaga berlapis untuk mengantisipasi penyusup atau mata-mata Republik. Pasukan PAT penjaga pos didampingi penembak jitu Belanda yang membidik dari loteng-loteng pertokoan. Semua orang yang dicurigai diperiksa, perempuan maupun lelaki.  


PAT punya cara yang terbilang unik dalam menggeledah tubuh. Mereka yang punya bahu keras akan segera diringkus dan dicap sebagai ekstremis Republik. Operasi anti-spionase PAT menyimpulkan, bidang bahu yang mengeras terjadi karena pergesekan tali senapan yang disandang saat bergerilya. Penangkapan warga atas dasar kondisi otot bahu biasa dilakukan, meski awalnya melalui prosedur resmi.


“Beberapa proses interogasi berujung pada kematian, dan untuk menghilangkan jenazah korban interogasi, satu daerah semak belukar di jalan Tempel dijadikan kuburan sekaligus tempat eksekusi penyusup dan pengacau,” tulis Nasrul.


Aksi PAT 


Dari seratusan pemuda Tionghoa yang jago bela diri, personel PAT membengkak jadi seribuan orang. Jumlah sebanyak itu juga dimanfaatkan Belanda sebagai tenaga tambahan. PAT kadang dilibatkan dalam operasi militer Belanda ke pedalaman di luar garis demarkasi.


Dalam operasi ke Deli Tua pada 10 mei 1946, misalnya. Tentara Belanda menyerbu dengan kekuatan tank, panser, puluhan truk pengangkut personel dan pasukan artileri. Serdadu PAT memainkan aksi penyusupan nya ke jantung pertahanan kubu Republik. Cara yang dilakoni PAT terbilang nekat dan berani.  


Mereka menyamarkan diri sebagai laskar rakyat yang mengendarai kendaraaan tempur Belanda. Seolah-olah telah berhasil merebut fasilitas tempur itu melalui suatu pertempuran. Kendaraan yang ditunggangi PAT dipasangi bendera putih berikut papan bertuliskan nama-nama pentolan laslar rakyat seperti Bedjo dan lain-lain. Penduduk setempat yang menyaksikan konvoi “pejuang gadungan” itu terpana dan memberikan sambutan.  


“Ketika warga mulai percaya, yang terjadi adalah penggeledahan warga,” tulis Nasrul. Ada kalanya mereka tergoda juga menjarah barang milik warga.


PAT jadinya dibenci sekaligus ditakuti kaum Republik. Ketika melancarkan agresi militer yang pertama 21 Juli 1947,  pasukan Brigade Z Belanda berhasil menjebol pertahanan Komando Medan Area (KMA) dalam sekejap. Dalam serbuan itu, PAT lagi-lagi turut serta. Sebagaimana taktik perang kota, mereka menyerang dari belakang lewat celah-celah pertokoan.   


“Kalau Belanda menyerbu bagai air bah, Poh An Tui menyerang bagai ular yang mematuk mangsanya dari atas pohon,” kenang Nukum Sanany, anggota Batalion VI Resimen II Divisi X Sumatera dalam Pasukan Merian Nukum Sanany yang disusun B. Wiwoho.


Di kalangan PAT timbul penilaian yang keliru terhadap pejuang Indonesia. Mereka menilai semua barisan bersenjata Republik adalah pasukan penjahat yang suka menggarong harta benda masyarakat Tionghoa. Tindakan permusuhan sering diperlihatkan PAT tanpa pandang bulu.


“Tetapi hal yang serupa ini memang sukar dielakkan, karena sumber dan partner mereka adalah musuh-musuh dari pemuda Indonesia itu,” tulis Biro Sejarah Prima dalam Medan Area Mengisi Proklamasi.


“Sebaliknya, sebagai akibat kekeliruan penilaian pihak Tionghoa ini, lahir pulalah antipati yang besar terhadap mereka dalam kalangan bangsa Indonesia, sehingga PAT diidentikan dengan alat kolonialisme yang jahat.”


Bagaimana akhir keberlangsungan PAT sebagai barisan pengawal kesohor di Sumatera Utara? (Bersambung).  


1 Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
sukim Wp
sukim Wp
26 Nov
Dinilai 5 dari 5 bintang.

Salah satu duri dalam daging sejarah Nasionalisme sekaligus menyimpulkan bahwa setiap lahir pergerakan Nasionalisme di belakangnya ada sindikalisme yang membayangi, sindikalisme yang menyebabkan retaknya sebuah hubungan yang mestinya penuh harmoni. Pengalaman adalah kesan pertama yang mempengaruhi akal budi.

Suka
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page