- Amanda Rachmadita
- 18 Jun
- 3 menit membaca
Diperbarui: 20 Jun
TIDAK hanya sekali Presiden B.J. Habibie menyampaikan kecaman terhadap kekerasan seksual yang dialami sejumlah perempuan dalam kerusuhan Mei 1998. Habibie menyampaikan pernyataan resmi mengutuk kekerasan dalam kerusuhan Mei 1998, termasuk kekerasan terhadap perempuan, pertama kali dalam konferensi pers yang disiarkan langsung oleh saluran televisi pada 15 Juli 1998.
Presiden Habibie kembali mengakui dan mengecam kekerasan dalam kerusuhan Mei 1998 ketika menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka HUT ke-53 Republik Indonesia di depan DPR/MPR RI pada 15 Agustus 1998.
Dalam pidato pertamanya di hadapan DPR/MPR RI sejak menjabat sebagai presiden, Habibie berbicara panjang lebar mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998.
“Huru-hara berupa penjarahan dan pembakaran pusat-pusat pertokoan dan rumah-rumah penduduk bahkan disertai tindak kekerasan dan perundungan seksual terhadap kaum perempuan, terutama dari kelompok etnis Tionghoa. Seluruh rangkaian tindakan tidak bertanggungjawab tersebut sangat memalukan dan telah mencoreng muka kita sendiri sebagai bangsa yang berakhlak dan bermoral tinggi. Sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama, kita mengutuk perbuatan biadab tersebut,” kata Habibie.
Tidak hanya mengecam kekerasan dalam kerusuhan Mei 1998, Habibie juga menyampaikan permohonan maaf atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
“Berkaitan dengan kesungguhan kita dalam menghormati dan menegakkan hak asasi manusia, melalui forum yang mulia ini, atas nama pemerintah, saya menyampaikan penyesalan yang sedalam-dalamnya atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di beberapa daerah pada masa lalu,” kata Habibie.
Pidato kenegaraan Presiden Habibie menarik perhatian media internasional, salah satunya Associated Press (AP). Kantor berita yang berpusat di Kota New York itu menyiarkan cuplikan video pidato Habibie. Dalam keterangan video yang diunggah AP di kanal youtube AP Archive pada 22 Juli 2015, disebutkan bahwa Habibie tidak hanya meminta maaf atas pelanggaran hak asasi manusia yang pernah terjadi di Indonesia, tetapi juga menegaskan bahwa masa kepemimpinannya akan berbeda dari pemerintahan sebelumnya.
Sementara itu, surat kabar The Strait Times, 16 Agustus 1998, mengomentari bahwa pernyataan Habibie menandai Indonesia memasuki era baru “kebangkitan demokrasi”.
Dalam pidatonya, Habibie memandang paradigma lama yang menekankan stabilitas dengan pendekatan keamanan tidak lagi memadai untuk menanggapi tuntutan dan aspirasi rakyat. Sebagai gantinya, Habibie mengusulkan pendekatan dari bawah ke atas dalam pembentukan kebijakan. Mantan Menteri Riset dan Teknologi era Orde Baru itu juga menyoroti pentingnya melindungi hak asasi manusia.
“Ia menghabiskan sebagian besar dari pidato dua jamnya, yang disiarkan secara langsung di seluruh negeri, dengan janji-janji membangun masyarakat yang adil di mana hak asasi manusia dan hukum berlaku... Dalam pidatonya, Habibie menyampaikan penyesalan yang mendalam atas pelanggaran hak asasi manusia di beberapa wilayah yang dilakukan oleh oknum dari aparatur negara di masa lalu... Ia juga mengecam penjarahan dan pemerkosaan massal terhadap wanita etnis Tionghoa selama kerusuhan Mei, menyebutnya sebagai ‘tindakan barbar’,” demikian laporan surat kabar Singapura tersebut.
“Saya meminta maaf kepada rakyat Indonesia, khususnya kepada keluarga korban,” kata Habibie sebagaimana dikutip The Strait Times.
Belakangan ini peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998 menjadi perbincangan publik. Pemicunya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon memperdebatkan terjadinya perkosaan massal di tengah pecahnya kerusuhan. Ia menyebut hal itu sebagai rumor. Pernyataan kontroversial tersebut disampaikan Fadli Zon ketika membahas proyek penulisan ulang sejarah Indonesia bersama jurnalis senior sekaligus pemimpin redaksi IDN Times, Uni Zulfiani Lubis, di kanal youtube IDN Times pada Rabu, 10 Juni 2025.
“Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Enggak ada buktinya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Kan tidak pernah ada. Rumor-rumor seperti itu, menurut saya, tidak akan menyelesaikan persoalan,” kata politikus Partai Gerindra itu.
Pernyataan Fadli Zon menuai kecaman dari berbagai lapisan masyarakat. Dia kemudian mengklarifikasi bahwa pernyataannya tidak dimaksudkan utnuk menyangkal keberadaan kekerasan seksual pada kerusuhan Mei 1998, melainkan untuk menekankan bahwa sejarah harus didasarkan pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.
“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik... Terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehatian-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” kata Fadli Zon dalam keterangan tertulis melalui akun X-nya pada 16 Juni 2025.*













Komentar