top of page

Sejarah Indonesia

Puja Kesuma Yang

Pujakesuma yang Berubah

Dalam sejarahnya, memang ada pemindahan etnis Jawa dari pulau asalnya ke wilayah Sumatera Utara (Sumut) di Zaman Kolonial dulu, setidaknya sejak akhir abad ke-19. Orang Jawa di sana kemudian dikenal dengan sebutan Jawa Kontrak, yang biasa disingkat Jakon.

Oleh :
30 Januari 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Diperbarui: 30 Jun

Aku terlahir sebagai etnis Jawa di Kota Binjai–yang dulunya masih masuk dalam wilayah Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Daerah ini dikenal sebagai tanah leluhurnya etnis Melayu. Kini ada banyak orang Jawa di sana. Waktu kecil tidak ada yang terasa “janggal” dalam keseharian di sana. Sampai suatu ketika ada orang datang bertamu di rumah,  orang tua saya memperkenalkannya sebagai “saudara sekapal” dan saya pun jadi heran karena istilah itu.


Orang Jawa di sana kemudian dikenal dengan sebutan Jawa Kontrak, yang biasa disingkat Jakon. Jakon sering jadi stigma atau omongan di masyarakat Jawa di tempatku tinggal. Jakon kerap menjadi bahan olok-olokan kepada komunitas pada etnis Jawa, tetapi kadang juga sebagai guyonan sesama etnis Jawa ketika ingin menegaskan "kemiskinan atau kebodohan" diantara mereka sendiri. Istilah Jakon sepertinya untuk menegaskan identitas etnis Jawa di sana sebagai para pekerja kasar atau kuli kontrak yang berasal dari pulau Jawa yang ada peran penjajah Belanda.


Pelan-pelan Aku mulai paham arti istilah itu. Dalam sejarahnya, memang ada pemindahan etnis Jawa dari pulau asalnya ke wilayah Sumatera Utara (Sumut) di Zaman Kolonial dulu, setidaknya sejak akhir abad ke-19. Sampai akhirnya jumlah etnis Jawa di Sumut pada tahun 2020 telah mencapai 4,93 juta jiwa–atau sekitar 32,62 persen dari total penduduk Sumatera Utara dan penduduk terbanyak kedua setelah etnis Batak. Sepertinya peran kolonial cukup besar etnis Jawa tinggal di wilayah Binjai, Sumut.


Dalam perjalanannya, etnis Jawa di Sumut terkait juga dengan sejarah politik 1965.  Sampai ada istilahnya  “terlibat" bagi warga yang dianggap terkait G30S itu. Bagi anak dan cucunya sampai “tujuh keturunan” tidak bisa jadi abdi negara ataupun bekerja di perusahaan pemerintahan. Itulah yang Aku pahami saat kecil sampai remaja perihal tragedi politik 65, bahkan Aku tahu siapa-siapa keluarga yang orang tuanya dianggap terlibat peristiwa tersebut.


Ketika kecil, Aku biasa saja mendengar cerita peristiwa 65 itu dari orang tua, tetangga maupun teman di sekolah. Tidak ada yang istimewa atau sesuatu persoalan dari itu semua. Para korban 65 ada banyak di tempat tinggalku. Mungkin karena dekat perkebunan tembakau Deli atau daerah pertanian–yang mana orang-orang Jawa yang jadi mayoritas di sana umumnya bekerja kasar sebagai kuli atau buruh tani. Kita tahu basis PKI pada masa dulu adalah para buruh-tani, terutama petani miskin.


Aku sejak kecil suka melihat perkebunan tembakau, apalagi ketika masa panen daun tembakau. Ada bangunan terbuat dari kayu yang sangat besar sekali di sana. Kami menyebutnya sebagai bangsal.  Bentuk bangunan itu tertutup rapat dengan atap rumbia. Biasanya lokasinya di tengah atau dekat dengan perkebunan tembakau. Tempatnya sangat teduh sekali dan sangat kokoh karena kerangka bangunan berasal dari kayu yang seperti kayu bakau. Bangunan bangsal itu digunakan sebagai proses pengeringan dan para pekerja menyusun daun tembakau sebelum masuk proses pengolahan menjadi produk selanjutnya. Sepertinya bangunan bangsal besar itu bagian dari jejak kolonial Belanda pernah ada di wilayah tersebut.


Setelah Indonesia Merdeka, perkebunan tembakau itu dikelola oleh PTPN IX. Sampai sekarang masih dikelola oleh perusahaan yang sama tetapi produk yang ditanam umumnya berubah menjadi kebun tebu dan kelapa sawit.


Sekarang ini, perihal tanah perkebunan ini menjadi konflik dengan kelompok masyarakat Melayu karena dianggap perkebunan itu sebagai tanah ulayat Melayu. Infonya dahulu tanah perkebunan itu milik masyarakat Melayu yang disewakan (jangka panjang) pada kolonial.


Mungkin setelah kemerdekaan perkebunan itu diambil alih atau diserahkan Belanda kepada pemerintah Indonesia. Penyerahan perkebunan itu tidak berarti tanah perkebunan dimiliki pemerintah Indonesia. Mungkin itu yang menjadi sumber konflik atau perjuangan komunitas Melayu di tanah Deli untuk mengambil kembali tanah ulayatnya sebagai aset masyarakat Melayu.


Di wilayah perkebunan itu banyak sekali bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda, bahkan sampai sekarang masih dapat ditemukan, menyebar di wilayah Kabupaten Langkat, Kotamadya Binjai dan Kabupaten Deli Serdang. Baik berupa gudang-gudang, ataupun perumahan karyawan perkebunan.


Sayangnya bukti-bukti bangunan kolonial itu sudah mulai banyak yang rusak bahkan hilang karena tidak lagi digunakan atau terawat. Pemerintah Daerah (Pemda) juga tidak merasa penting menjaga dan melestarikan bangunan bersejarah itu.


Semua cerita dan pemandangan itu biasa saja kurasakan sejak kecil sampai kuliah, saat itu menurutku tak ada yang istimewa semua bangunan itu. Mungkin sama dirasakan oleh banyak masyarakat di sana sampai sekarang. Karena informasi sejarah terdekat pada hidup masyarakat tidak pernah diajarkan di sekolah, minimal selama Aku sekolah SD sampai SMA di kota Binjai tidak mendapatkan ajaran sejarah itu. Karena doktrin pendidikan sejarah di sekolah merupakan peristiwa-peristiwa besar dari tokoh-tokoh besar yang sudah dinobatkan sebagai pahlawan. Padahal peristiwa paling mikro pada sejarah kehidupan seseorang akan selalu ada kaitan dengan sejarah makro.


Sepertinya publik meyakini bahwa semua memang begitu saja terjadi secara alami. Misalnya seperti Aku saat sekolah dan tumbuh besar di kampung halaman, punya teman etnis Jawa, Melayu, Batak, Tionghoa, India Tamil, ada yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, semua hal biasa saja. Bukan sebuah kekayaan sejarah maupun budaya, yang tanpa sadar telah memberi pengaruhi perjalanan hidupku sampai sekarang. Kemudian setelah Aku kerja dan bersentuhan dengan dunia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), gerakan sosial, dan pendidikan kritis. Mulai pelan-pelan Aku memahami peristiwa itu seperti potongan puzzle yang menarik untuk diketahui dan dihubungkan dari satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Bahwa apa yang terjadi dalam sejarah personalku, keluargaku, dan lingkunganku di Binjai ada kaitan dengan politik makro saat itu.


Kemudian mulai muncul kesadaran dari diri sendiri, mengapa Aku dan keluargaku sebagai etnis Jawa ada di Binjai? Jarak yang cukup jauh dari Jawa ke kota Binjai, Sumut, lebih dari 2300 km.  Sampai pada pertanyaan dasar bagaimana sejarah etnis Jawa datang ke Sumut? Mengapa orang tuaku sampai memiliki tanah cukup luas di wilayah tanah Melayu? Apakah orang tua atau kakek-nenekku membelinya? Atau tanah itu diberikan oleh Belanda pada masa kolonial saat kakek-nenek dan orang tuaku datang ke tanah Binjai? Perihal itu juga belum pernah Aku dapatkan cerita baik dari info dari keluarga, masyarakat maupun sekolah. Semua seperti terjadi secara alamiah saja.


Selanjutnya ada pertanyaan lain, apakah ada kaitannya antara partai atau ideologi Komunis dengan etnis Jawa di Sumut yang mayoritas buruh-tani dengan peristiwa "Revolusi Sosial" tahun 1946-1947 yang menewaskan Tengku Amir Hamzah? Apakah mayoritas Jakon yang melakukan penyerangan pada raja-raja Melayu pada peristiwa itu? Apakah keluargaku terlibat pada peristiwa itu? Pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul di pikiranku sekarang ini.


Bagaimana dengan tragedi politik tahun 65 yang menewaskan banyak etnis Jawa di Sumut? Termasuk para tetanggaku. Dalam konteks politik 65, etnis Jawa yang dimaksud mereka yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bukan Jawa etnis Sunda atau Banten. Karena justru etnis Banten sangat bersitegang pada peristiwa 65 dengan etnis Jawa.


Menurut sumber lisan yang aku dapat dari keluarga, tetangga etnis Banten sebagai pihak yang "memburu" etnis Jawa karena dicap sebagai PKI. Etnis Banten dianggap dekat agama atau sholeh sebagai muslim sedangkan etnis Jawa dianggap tidak menjalankan Islam dengan baik (islam abangan). Karena perilaku hidup etnis Jawa saat itu dianggap jauh dari ajaran Islam, seperti  berjudi, pesta, mabuk ataupun berselingkuh antar tetangga. Ternyata perilaku itu juga bagian yang dirancang oleh kolonial agar para Jakon tetap mau kerja keras mencari uang dengan kolonial.


Kita tahu pada saat itu, PKI dicap sebagai anti Tuhan, atau tepatnya PKI dan penggeraknya cukup kritis pada cara perilaku orang beragama yang feodal. Akhirnya diidentikan jauh dari ritual agama, dan saat itu mungkin lebih cocok dengan cara beragamanya umat Islam Jawa di Sumatera Utara.  


Pola politik pecah belah dan konflik ini yang dipakai oleh militer khususnya Orba pada masa pembersihan PKI di tahun 65-66 di Binjai, dengan menghadapkan etnis Jawa dengan etnis Banten yang ada satu wilayah. Mungkin hampir sama kalau di pulau Jawa, politik pecah belah dengan menghadapkan NU yang dianggap lebih Islami dengan PKI yang Islam abangan.


"Konflik" atau ketidakdekatan etnis Banten dan Jawa di tempat Aku lahir, sampai sekarang masih terasa sekali. Walau keduanya tinggal di satu lokasi yang sama, tapi pemisahan kelompoknya sangat terasa. Bahkan seperti ada keyakinan mitos yang diteruskan turun temurun, bahwa etnis Jawa sangat dihindari menikah dengan etnis Banten. Kalau terjadi pernikahan beda etnis akan alami kesulitan hidup berumah tangga. Mitos itu terus diajarkan secara informal di masyarakat. Walau keyakinan itu mulai pudar tetapi relasi hubungan masih belum erat antara dua etnis itu sampai sekarang.


Pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru, tahun 1998, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati sempat menguasai mayoritas suara dua atau tiga kali Pemilu di wilayah Binjai. Tapi kemudian ada masuk pengaruh kelompok politisasi agama atau ada faktor lain akhirnya suara PDIP mulai turun sampai sekarang.


Etnis Jawa yang awalnya sangat Islam abangan yang secara politik praktis pada masa orde lama dekat dengan PKI dan dekat PDIP di masa reformasi, tapi sekarang mulai muncul generasi etnis Jawa penganut Islam Puritan yang corak politiknya lebih dekat ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Misalnya simbol celana cingkrang, berkerudung, jenggotan, kening hitam, masuk pesantren mulai muncul. Pemberian nama anak juga yang bernuansa Arab mungkin juga mulai menjamur dan meninggalkan nama-nama bermakna filosofi Jawa. Padahal kultur itu sangat berbeda sekali dengan apa yang selama ini dijalankan oleh masyarakat etnis Jawa di Binjai.


Pengamatan sederhanaku (mungkin perlu dikoreksi), situasi ini menjadi corak baru masyarakat Jawa muslim di Sumatera Utara khususnya di wilayah Binjai. Tapi sayangnya perubahan itu tidak cukup memberikan perubahan motivasi untuk menempuh pendidikan tinggi dibandingkan mental etnis Batak di Sumut untuk urusan sekolah atau pendidikan anak.


Sepertinya mental untuk tetap menjadi kuli atau Jakon bagi etnis Jawa di Sumatera Utara masih terasa kuat dibandingkan memajukan pemikiran kritis melalui pendidikan formal. Jadi sisa-sisa jejak kolonial membangun mental para Jakon masih sangat kuat. Akibat budaya merantau bagi etnis Jawa di Binjai ke pulau Jawa untuk menempuh pendidikan nyaris sangat rendah.


Padahal secara kesejarahan budaya etnis Jawa di Binjai sangat dekat dengan sistem sosial dan budaya di Pulau Jawa. Minimal ketika Aku pertama kali menginjakkan kaki ke tanah Jawa Tengah dan sekitarnya nyaris seperti suasana kampung halamanku di Binjai, terutama dari bahasa yang digunakan maupun jenis makanannya. Justru Aku sangat terasa beda sekali ketika Aku bertemu di perkampungan Melayu di Binjai maupun etnis Batak, terutama cara budaya hidupnya, bahasa, maupun makanan.


Sekitar tahun 1980-an berdiri organisasi Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma), sebuah wadah putra/putri keturunan Jawa yang ada di Sumatera. Walau organisasi pasti memberikan banyak kontribusi kesejahteraan pada etnis Jawa di masa Orde Baru, khususnya yang kelas menengah.  Tetapi jika dilihat "dilihat secara kritis" kehadiran organisasi ini bisa saja sebagai alat kontrol Orba pada etnis Jawa di Sumatera yang jumlahnya sangat besar, apalagi ada kaitan dengan PKI.


Walau perihal ini perlu dikaji lebih jauh, karena ini baru "asumsi" penulis saja, bahwa ada hubungan kepentingan politik Orba dengan komunitas Jawa di Sumatera melalui wadah organisasi. Minimal organisasi seperti Pujakesuma sama sekali tidak pernah Aku rasakan manfaatnya dan sepertinya juga tak berdampak pada banyak etnis Jawa di lingkunganku tinggal. Jangan-jangan juga tidak banyak yang tahu apa itu Pujakesuma.


Begitulah yang penulis amati sebagai refleksi personal, putra Jawa yang lahir dan besar di Binjai, berjuang berkarir di Jakarta untuk isu-isu gerakan sosial dan demokrasi. Terakhir, tulisan ini "hanya" sebagai refleksi pengalaman subjektif personal yang pastinya perlu diuji lebih jauh dengan kajian lebih mendalam.


Semoga tulisan ini dapat menjadi pintu masuk tentang apa yang terjadi di etnis Jawa Sumut dari abad ke abad. Sehingga sejarah personal setiap etnis Jawa di Sumut akan memperkaya atau menghidupkan catatan sejarah makro yang dipelajari di bangku-bangku sekolah. Sehingga sejarah sebuah bangsa bukan sesuatu yang jauh pada diri warganya, tetapi setiap orang dapat menjadi bagian "penting" dan mengisinya dari sejarah itu.


Tentang Penulis

Hartoyo, putra Jawa lahir di Binjai dan bekerja di Jakarta untuk isu-isu demokrasi dan HAM, khususnya bagi komunitas terpinggirkan.


Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Ketika Timnas Indonesia "Mengajari" Jepang Main Bola

Ketika Timnas Indonesia "Mengajari" Jepang Main Bola

Timnas Jepang pernah kena terkam Indonesia semasa menjadi macan Asia. Digasak dengan skor telak 7-0. Kini Jepang menjadi jagoan Asia dan Indonesia merangkak lagi mencapai level tertinggi.
Kasus Prank yang Menghebohkan Penduduk London

Kasus Prank yang Menghebohkan Penduduk London

Sebuah prank menghebohkan penduduk London. Pelakunya mengirim ribuan surat palsu kepada pedagang, pejabat pemerintahan hingga bangsawan untuk datang ke sebuah rumah dalam waktu bersamaan.
Pendiri Persebaya Aktivis Pergerakan Nasional

Pendiri Persebaya Aktivis Pergerakan Nasional

Sebagai pengikut dr. Soetomo sekaligus anggota Parindra, Mas Pamudji ikut mendirikan Persebaya.
Atas Nama Hukum Napoleon Bonaparte

Atas Nama Hukum Napoleon Bonaparte

Daendels mereformasi sistem hukum Hindia Belanda. Memperbaiki sistem peradilan sembari mengangkanginya.
Satu Abad Batik Oey Soe Tjoen

Satu Abad Batik Oey Soe Tjoen

Salah satu batik tulis halus tertua di Indonesia. Pengerjaan yang penuh dedikasi dan balutan sejarah yang panjang menjadikan batik ini lebih dari sekedar kain, tetapi sebuah mahakarya seni.
bottom of page