top of page

Sejarah Indonesia

Reaksi Moskow Dan Kedutaan Soviet Usai Prahara

Reaksi Moskow dan Kedutaan Soviet Usai Prahara G30S

Kantor-kantor perwakilan Soviet tak segawat kantor-kantor perwakilan RRC. Moskow justru insecure soal utang miliaran dolar Indonesia.

14 Oktober 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kedutaan Rusia yang dahulu adalah Uni Soviet (X@RusEmbJakarta)

IBUKOTA Jakarta mencekam setelah Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Aparat militer juga memberlakukan jam malam guna pemulihan keamanan. Namun, aktivitas Kedutaan Besar Uni Soviet (kini Rusia) di kawasan Jakarta Selatan masih berjalan seperti biasa.


“Pada awalnya Kedutaan Soviet terus buka seperti biasa, sama seperti konsulat Soviet di Medan dan Banjarmasin. Konsulat di Banjarmasih bahkan ‘dilindungi’ oleh militer Indonesia. Hal ini mungkin dilakukan bukan hanya untuk menghindari komplikasi pada tingkat internasional, melainkan juga untuk mencegah Soviet memberikan dukungan apapun kepada pihak komunis Indonesia,” tulis Bernd Schäfer dalam 1965: Indonesia and the World.


Situasi kian kacau pada medio Maret 1966. Demonstrasi mahasiswa dan kalangan rakyat datang silih berganti. Kantor-kantor perwakilan diplomatik RRC jadi sasaran karena dianggap terlibat G30S bersama Partai Komunis Indonesia. Penjarahan bungalow Kedutaan RRC di Cipayung terjadi, lalu pembobolan Konsulat RRC di Medan, dan penggerudukan serta pembobolan Kedutaan Besar RRC pada 15 April 1966.


Sebagai “sesama” perwakilan negara kiri, Kedutaan Soviet juga sempat khawatir. Terlebih mereka mendapati informasi bahwa sejumlah warga Soviet, utamanya para tenaga ahli yang terlibat dalam beberapa proyek infrastruktur, digeledah di kediaman mereka.


“Penggeledahan atas rumah-rumah para ahli asal Soviet mungkin disadari oleh para pelaku bahwa itu pelanggaran konvensi internasional namun tetap dilakukan untuk tidak melewatkan satupun tempat yang bisa dijadikan tempat persembunyian para anggota PKI. Lagipula perwakilan diplomatik Soviet tidak dilihat sebagai tempat perlindungan yang aman bagi orang-orang komunis Indonesia,” sambung Schäfer.


Merespons penggeledahan-penggeledahan pada September 1966 itu, para petinggi Soviet di Moskow menarik pulang para tenaga ahli itu pada Oktober 1966. Bukan karena Moskow khawatir akan keadaan, melainkan soal utang. Moskow mempertanyakan soal proyek-proyek hasil bantuan Soviet selama ini yang masih menggantung lantaran Soeharto mengambil kebijakan dalam negeri dan luar negeri berbeda dari pendahulunya, Presiden Sukarno.


“Misalnya, apakah proyek-proyek hasil bantuan Soviet akan dilanjutkan? Apa yang akan terjadi terhadap utang-utang Indonesia kepada Uni Soviet? Pada September 1966 Soviet masih terus melanjutkan proyek pembangunan jalan 600 kilometer lebih di Kalimantan, sebuah lembaga oseanografi di Ambon, sebuah stasiun tenaga nuklir, serta sejumlah proyek pertanian dan industri lainnya. Hanya sebulan kemudian, mereka menghentikan semua aktivitasnya dan menarik pulang para tenaga ahlinya,” lanjutnya.


Pada 1966, menurut buku IGGI dan Asal-usul Utang Indonesia, Indonesia punya utang luar negeri sekira 2,6 miliar dolar. Mayoritas berasal dari Soviet, baik untuk infrastruktur maupun pembelian alutsista. Pada 1966 itu pula Indonesia sudah mesti mengangsur utang berikut bunganya mencapai 530 juta dolar –padahal pendapatan devisanya hanya 430 juta dolar.


Sikap Moskow dan Kedutaannya

Tidak ada orang-orang PKI yang bersembunyi di kantor-kantor atau kediaman staf korps diplomatik Soviet. PKI di bawah DN Aidit sangat condong ke Beijing, rival komunis Moskow. Mereka juga bertanggung-jawab membawa Nasakom-nya Presiden Sukarno mengarah ke Beijing dengan membentuk Poros Jakarta-Pyongyang-Beijing.


Padahal, sebelumnya perjuangan merebut Irian Barat dibantu alutsista dari Soviet. Pun Asian Games VI di Jakarta pada 1962, Soviet pula yang membantu pembangunan sarana dan prasarananya.


Tak ayal, menurut Jeremy Friedman dalam Ripe for Revolution: Building Socialism in the Third World, Moskow melalui perwakilan diplomatiknya, termasuk duta besar (dubes) Nikolai Mikhailov (1960-1965) dan suksesornya, Mikhail Sytenko (1965-1969) memilih menjalin hubungan dengan kaum kiri lain, Partai Musarawah Rakyat Banyak (Murba) yang –didirikan Tan Malaka– kala itu dinahkodai trio Chaerul Saleh-Sukarni-Adam Malik.


“Partai Murba yang dulu dipimpin Tan Malaka pernah dianggap kaum Trotsky namun kemudian dipertimbangkan sebagai pengganti PKI (sebagai kolega). Para pimpinan PKI sadar mesin politik Soviet ikut membantu Partai Murba dan pernah mengadukannya ke Mao (Ze Dong, pemimpin komunis China). Aidit juga protes kepada Kedutaan Soviet: ‘betapapun buruknya komunis Indonesia seperti yang Anda pikirkan, mereka masih lebih dekat dengan Anda ketimbang Murba dan partai-partai lainnya,’” tulis Friedman.


Lantas, meletuslah Gerakan 30 September. Pada pekan-pekan pertama usai prahara, Kedutaan Soviet sama terkejutnya dengan beberapa kolega mereka di Kedutaan Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang.


“Ketidakpastian itu disebabkan Moskow mulai kehilangan kontak dengan Sukarno setelah adanya surat dari (pemimpin Soviet, Leonid, red.) Brezhnev tertanggal 10 Oktober. Pada November, Dubes Soviet di Jakarta, Sytenko, tak diizinkan bertemu dengan Presiden (Sukarno). Sytenko protes kepada Menhankam (Jenderal Abdul Haris) Nasution yang juga penyintas Gerakan 30 September, di mana sang jenderal menjawab dan meyakinkan Sytenko bahwa targetnya adalah PKI, bukan komunis secara keseluruhan,” sambung Schäfer.


Hingga 1966, banyak ketidakpastian. Banyak info berseliweran yang sulit untuk dikonformasi sehingga Dubes Sytenko dan jajarannya terus menjalin komunikasi dengan Murba.


“Dalam tahun 1966, situasi di Indonesia berubah drastis. Duta besar Soviet berusaha merebut hati Bambang Singgih dan Wasid Soewarto. Bambang diundang ke kedutaan untuk diajak bicara tentang China dan PKI, dan kemungkinan bekerjasama untuk melawan PKI,” ungkap Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 5: 1950-2007.


Moskow memutuskan untuk menahan diri dan cenderung mendukung militer menumpas PKI yang berisi mayoritas pro-Mao Ze Dong dari “gerbong” Aidit dkk. Tak peduli PKI dan para tertuduh lain dianiaya hingga dieksekusi tanpa pengadilan.


Moskow dan Kedutaan Soviet memilih tutup mata. Bahkan masih terus mengirimkan peralatan militer sesuai kesepakatan-kesepakatan sebelumnya. Para insinyur sipil yang ikut dalam proyek-proyek infrastruktur juga tetap beraktivitas setidaknya sampai Oktober dan November 1966, sebelum Moskow menarik mereka pulang.


“Moskow justru sedang mencari-cari kesepahaman dengan rezim militer Indonesia. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja para politisi Soviet ragu atau menolak bicara dengan perwakilan penguasa Indonesia yang baru,” sambung Schäfer.


Bukan karena politis, imbuh Schäfer, melainkan ekonomi. Moskow lebih khawatir jika Soeharto dkk. di tampuk kepemimpinan Indonesia yang baru bakal melupakan utang-utang Indonesia era Sukarno.


“Soviet cemas apakah pemerintahan transisi di Jakarta akan mengakui utang-utang Indonesia. Jelas Moskow merasa harus mendesak soal pengakuan kewajiban pelunasan utang tersebut dengan mengancam menghentikan pengiriman peralatan militernya. Soviet masih bersedia melanjutkan pengiriman pasokan kepada militer Indonesia dengan alasan mendukung elemen-elemen ‘progresif’ dalam tubuh militer Indonesia yang memerlukan suku cadang kapal-kapal selam dan pesawat buatan Soviet,” tandasnya.



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page