- Bonnie Triyana
- 10 Mar 2013
- 2 menit membaca
BEBERAPA hari menjelang pemberontakan petani Banten di Cilegon pada 1888, para pemimpin, seperti Haji Wasid membagi-bagikan jimat kesaktian. Konon katanya jimat tersebut bisa bikin kebal senjata; tahan peluru. Semangat para pemberontak pun semakin membara. Ingin segera melancarkan perlawanan terhadap penjajah Belanda, syukur-syukur bisa mengusirnya dari tanah Banten.
Pemberontakan dimulai dengan pekik sabilillah. Pemberontak menyerbu rumah para pejabat Belanda di Cilegon dan membunuh tuan rumah. 17 orang pejabat pemerintah kolonial tewas di tangan pemberontak. Tujuh di antaranya orang Belanda dan 10 pejabat pribumi.
Selang beberapa hari kemudian, bala bantuan tentara kolonial tiba dari Serang dan seminggu kemudian datang pula bantuan dari Batavia. Pemberontak kocar-kacir. Jimat ternyata tak semanjur yang diharapkan. Tubuh tetap tembus peluru. Perlawanan heroik selama seminggu itu berhasil dipadamkan. Hukuman mati dijatuhkan kepada para pemimpin pemberontakan, termasuk bagi Haji Wasid.
Pemberontakan petani Banten 1888 yang ditulis sebagai disertasi oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo mengungkapkan banyak hal: mulai dari kisah penderitaan rakyat Banten karena kemarau berkepanjangan, tingginya pajak, kelaparan, usaha membangun kembali Kesultanan Banten yang telah runtuh sampai dengan kisah kesaktian para pemberontak.
Soal mistik kini sedang panas dibahas. Bukan karena jimat, tapi ada usulan agar soal santet diatur dalam KUHP. Alasannya, banyak orang tertipu iming-iming dukun santet yang iklannya marak dipasang di koran-koran. Lantas anggota Komisi III DPR Dimyati Natakusumah dalam sebuah talkshow di salah satu televisi mengatakan, selain karena adanya tipu-tipu dalam urusan santet ini juga karena praktik dukun santet ini telah banyak menyebabkan celaka bagi orang banyak. Ketika Margarito Kamis, pakar hukum pidana bertanya bagaimana cara pembuktiannya, Dimyati tak menjawab pasti kecuali melontarkan argumen yang membingungkan.
Makin bikin bingung saat anggota DPR yang terhormat itu bakal mengadakan studi banding ke Eropa untuk melihat bagaimana urusan santet-menyantet di sana. Di Eropa memang pernah ada peradilan terhadap dukun sihir. Tapi itu pada abad kegelapan, zaman Dark Age, sebelum abad ke-15, saat ilmu pengetahuan logis-rasional masih belum berkembang di Eropa.
Kalau anggota DPR mau berkunjung ke Eropa itu memang sudah benar, tapi salah zaman. Mungkin kalau datang pada Abad Kegelapan, masih masuk akal. Karena anggota DPR bisa melihat secara langsung pelaksanaan pengadilan terhadap para penyihir.
Yang terjadi di Eropa semenjak abad kegelapan usai dan memasuki zaman pencerahan (aufklarung) adalah pengembangan ilmu pengetahuan. Rasionalitas menjadi titik pijak pencarian kebenaran ilmu pengetahuan. Dari sanalah kemajuan datang: komputer ditemukan, pesawat udara diterbangkan, mobil dijalankan, dan teknologi terus tercipta sebagai akibat keunggulan sains.
Pada 1942, Tan Malaka telah menunjukkan kekhawatirannya. Ketika dia mulai menulis Materialisme, Dialektika dan Logika (Madiog) dengan mengatakan bahwa penghalang kemajuan pada bangsa Indonesia adalah “logika mistika”. Cara berpikir itu mengungkung kepala orang dan menghambat pola berpikir rasional yang merupakan modal awal untuk mencari kebenaran ilmu pengetahuan.
Apa yang dikhawatirkan Tan Malaka itu terbukti hari ini. Ketika urusan santet jadi pembahasan bahkan sampai memerlukan untuk melakukan studi banding ke Eropa dibiayai negara. Yang lebih terpenting lagi adalah bukti bahwa kalau sebagian isi kepala orang Indonesia masih mewarisi cara berpikir dari abad yang lampau.*
Majalah Historia Nomor 12, Tahun I, 2013










Komentar