top of page

Sejarah Indonesia

Santun

...

Santun

_

Oleh :
...

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

Diperbarui: 25 Jul

RADEN Salamoen, kepala Reserse Dinas Pengawasan Politik (PID), melaporkan aktivitas SK Mochamad sebagai “seorang ekstrimis”. Dalam laporan bertanggal 3 September 1937 itu Mochamad disebut sebagai tersangka utama yang menulis kata tak senonoh di tembok gedung Pengadilan Negeri Yogyakarta. “Pemerintah poekimak!”, “Poeki Wilhelmina!”, “Perdjoangan rakjat marhaen”, “Tidak oesah takoet menentang kekoeasaan”, “Pembrontakan kita kehendaki”, dan seterusnya.


Agen PID berhasil menangkap Mochamad yang belakangan juga diketahui bertanggungjawab menulis kalimat kebencian kepada pemerintah kolonial di dinding gang Kampung Notoyudan. Dia dibui, dikenai pasal penyebaran kebencian (haatzai artikelen). Berpolitik pada zaman itu, apapun bentuknya, terutama melawan pemerintah, berisiko mengalami “3B”: Bui, Buang, dan Bunuh.


Kritik pedas menghiasi koran-koran terbitan saat itu. Jelas sekali tak ada istilah “santun” dalam berpolitik. Politik itu keras. Penuh risiko. Membahayakan. Tapi tujuannya jelas: kemerdekaan dan pembebasan. Itulah gambaran berpolitik yang terbaca dari koran dan arsip-arsip sejarah di Republik ini pada zaman pergerakan. Tak lagi ada urusan dengan soal kesantunan, tapi lugas dan bernas. Seringkali dibumbui kemarahan.


Beda zaman beda lagi jiwanya. Zaman sekarang istilah “santun” didengung-dengungkan. Elite politik nun di atas sana kerapkali mengimbau agar berpolitik yang santun. Mungkin supaya kritik yang disampaikan enak di hati, nyaman di telinga, dan mudah-mudahan kritiknya didengarkan kalau tak dibuang ke tong sampah.


Rasa-rasanya, dalam khasanah kepustakaan sejarah politik di Indonesia, belum pernah saya temukan istilah “santun” digunakan sesering sekarang. Paling tidak dalam sewindu belakangan. Agaknya politikus Partai Demokratlah yang paling sering menggunakan istilah itu. Ketika Anas Urbaningrum menyampaikan pidato pengunduran dirinya, dia pun mengatakan kalau sejarah akan membuktikan “apakah Demokrat ini santun atau sadis dalam politik.”


Tak jelas kesantunan seperti apa yang dikehendaki. Apakah itu bentuk lain dari unggah-ungguh ala budaya Jawa yang hendak diadopsi dalam cara berpolitik atau jangan-jangan cara untuk menyembunyikan “kesadisan” yang memang selalu dipertontonkan dalam atraksi politik?


Sejak Soeharto mundur, zaman berganti rupa. Alam demokrasi memberikan banyak kebebasan, termasuk berserikat dan mengeluarkan pendapat baik lisan dan tulisan. Setiap hari, komentar politik, dari puja-puji sampai caci-maki, berhamburan di televisi. Maraknya jejaring sosial di internet memberi ruang bagi orang untuk mengomentari apa saja yang mereka suka.


Sasarannya: pemerintah. Kalau di zaman Orde Baru kritik adalah barang mewah, sekarang jadi barang murah. Dulu kesulitan melontarkan kritik, sekarang kesulitan menampungnya. Tapi agaknya begitulah hukum besi demokrasi semi-semi liberal yang sedang kita jalankan dewasa ini. Kekuasaan tak lagi sakral, tak seperti zaman Cendana masih berkuasa.


Konsekuensinya jadi penguasa zaman sekarang harus tahan kritik tanpa banyak berharap bagaimana “citarasa” kritik itu dilontarkan: pedas, pahit, asam, atau manis. Terlebih kebenaran harus disampaikan walau pahit adanya. Tapi tentu kita tak mengharapkan cara-cara berpolitik brutal seperti yang pernah terjadi di Filipina dan masa lalu kita: main tembak, main culik, main bunuh.


Kita juga tak menghendaki kesantunan berpolitik cuma jadi topeng untuk menutupi borok. Apalagi kesantunan yang sering digembar-gemborkan adalah cara lain untuk mengatakan kepada rakyat untuk tetap “santun” kendati milyaran bahkan trilyunan rupiah uang mereka dijarah segelitir cecunguk yang bertopeng “santun”.


Demikian kesantunan bila hanya difungsikan sebagai “alat tukar” untuk menutupi hipokrisi, sementara “nilai gunanya” untuk menghadirkan kebajikan malah hilang entah ke mana.*


Majalah Historia Nomor 11, Tahun I, 2013

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Memori dan Hegemoni

Memori dan Hegemoni

Pengajaran sejarah sebagai indoktrinasi berdampak fatal pada cara berpikir sebagian besar masyarakat. Ingatan kolektif masyarakat didominasi oleh ingatan resmi rezim Orde Baru.
Desakralisasi Pejabat Publik

Desakralisasi Pejabat Publik

Pembesar negeri alam feodal berjarak dengan rakyatnya dan tak punya banyak pekerjaan kecuali bersikap sok penting, boros, dan kerap pamer kekuasaan.
Sebuah Pledoi untuk Snouck

Sebuah Pledoi untuk Snouck

Lorong Zaman Sebuah Pledoi untuk Snouck
Seputar Persoalan Eksil

Seputar Persoalan Eksil

Lorong Zaman Seputar Persoalan Eksil
Pertandingan

Pertandingan

Lorong Zaman Pertandingan
bottom of page