- Petrik Matanasi
- 2 Jul
- 3 menit membaca
BERBAGAI tawuran yang melibatkan perorangan maupun kelompok yang berisi anggota-anggota Perguruan Silat dan Persaudaraan Setia Hati (SH) belakangan ini telah mencoreng nama baik organisasi tersebut. Mayoritas pelakunya, yang kemungkinan besar tak tahu apalagi paham tujuan awal organisasi itu didirikan, jelas menyalahi falsafah baik dari Setia Hati.
Di masa kolonial Belanda, Setia Hati punya tujuan mulia. Tak hanya tempat perkumpulan sport untuk melatih fisik dan ketangkasan, Setia Hati juga tempat menggembleng mental dan nyali plus tempat penanaman falsafah. Falsafah kebenaran itu pada gilirannya mendorong beberapa anggotanya yang sudah terbuka pikirannya untuk melawan kolonialisme Belanda.
Anggota Setia Hati macam Hartadi, Kasmdijan, Soewirdjo, Soedarma alias Oerip, Koesmin, Mohamad Jasin, Prawirodihardjo, dan Haji Moesa kemudian bergabung dengan orang-orang komunis yang melancarkan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda pada 1926. Kendati mereka bukan komunis, ada kesamaan pandangan antara mereka dan para komunis yang menggerakkan pemberontakan, yakni mengusir kolonialis Belanda demi mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Alhasil, Hartadi dan kawan-kawannya sesama anggota Setia Hati mesti berurusan dengan hukum kolonial. Namun setelah serangkaian pemeriksaan, dipastikan hanya Koesmin, Mohamad Jasin, Prawirodihardjo, dan Haji Moesa yang dihukum pembuangan dengan dikirim ke Kamp Tanah Merah Boven Digoel, Papua Selatan. Kendati begitu, Setia Hati dicap merah atau kiri oleh pemerintah kolonial. Nama baik Setia Hati pun tercoreng.
Setia Hati sendiri merupakan organisasi yang berembrio dari Sedulur Tunggal Ketjer. Organiasasi sosial berbentuk persaudaraan itu didirikan Raden Soerodiwirjo alias Ki Ngabehi Soerodiwirjo alias Pak Soero.
“Di Jawa Timur ditemukan cabang dari Setia Hati yang dikenal sebagai Setia Hati Terate. Ini adalah aliran bela diri penting yang sepenuhnya berada di bawah pengaruh Muslim. Awalnya dikenal sebagai Sedulur Tunggal Ketjer pada tahun 1903, ketika didirikan oleh Ki Ngabehi Soerodiwirjo (Pak Soero) di Surabaya,” tulis Donn F. Draeger dalam Weapons & Fighting Arts of Indonesia.
Soerodiwirjo sendiri merupakan bangsawan Jawa yang punya minat terhadap seni bela diri dan juga kerukunan masyarakat. Koran Het Nieuws van den dag voor Ned. Indie tanggal 28 Maret 1939 menyebutkan, Soerodiwirjo merupakan anak dari asisten wedana Tambakrejo, Temanggung. Sejak dini dia telah belajar silat pada orang Jawa dan Tionghoa.
Pada usia 17 tahun, Soerodiwirjo merantau ke Sumatra. Dia, yang dianggap anak emas oleh seorang kontrolir Belanda di Magelang, merantau ke Sumatra demi mengikuti sang kontrolir.
Setelah 16 tahun mengembara di Sumatra, terutama setelah meninggalnya sang kontrolir, Soerodiwirjo kembali ke Jawa. Dia kemudian menetap di Winongo, Madiun. Pada 1903, ia mendirikan persaudaraan Langen Djawa Sedjati atau Sedulur Tunggal Ketjer yang pada 1906 nama persaudaraannya berganti menjadi Setija Hati (baca: Setia Hati). Nama itu dipakai ketika orang-orang Eropa diterima menjadi anggota persaudaraan.
Soerodiwirjo secara khusus dihormati oleh para siswa sekolah pamongpraja Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) dan Middelbare Opleidingsschool voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA). Di antara muridnya adalah Bupati Madiun Raden Ario Adipati Koesmen, wedana Lengkong dan wedana Maospati.
Dalam perjalanan waktu, Setia Hati terus berkembang. Namun, penerimaan anggota dari kalangan orang Eropa membuat Soerodiwirjo dan murid kepercayaanya, Hardjoutomo (ada yang menuliskannya Hardjo Oetomo; kelak dikenal sebagai pendiri Setia Hati Terate), kemudian berseberangan jalan.
“Sejumlah dokumen menyebutkan, terdapat beberapa alasan mendasar yang memantik niat Ki Hadjar Hardjo Oetomo membuka latihan dan mendirikan perguruan pencak silat ‘baru’. Yakni, terjadi silang pendapat cukup prinsip antara beliau dengan Ki Ngabehi Soerodiwirjo. Selain alasan tersebut di atas, Hardjo Oetomo tidak sependapat jika ilmu SH diajarkan kepada anak-anak Belanda,” tulis Bambang Sri Hartono dan Taufiqur Rohman dalam Setia Hati: The Way of My Life.












Komentar