- Petrik Matanasi
- 22 Sep
- 4 menit membaca
HINDIA Belanda sedang genting. Tentara Jepang sudah beberapa hari memasuki bagian barat Pulau Jawa.
Sebelum tentara Jepang datang, ribuan laki-laki terkena wajib militer. Tak hanya mereka yang masih muda, mereka yang sudah berusia kepala empat dan bahkan anak sekolah menengah yang berusia belasan tahun pun juga kena wajib militer dan menjadi milisi bagi tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL).
Tentara KNIL di Jawa Timur pun merasa dalam bahaya. Sebab, tentara Jepang bergerak amat cepat ke arah timur. Nyaris tak memberi nafas bagi KNIL untuk bergerak membendung mereka. Tak hanya kota pelabuhan seperti Surabaya yang direbut, pada awal Maret 1942 kota pedalaman seperti Kediri pun sudah dirasuki tentara Jepang.
Tanda bahaya pun menyala di kota Kediri, salah satu pusat keresidenan di Jawa Timur. Kota yang terletak di antara Gunung Kelud dan Gunung Wilis (kini Liman) itu dipertahankan 200 tentara di bawah Kapten J.C. Gijsberts.
Pada Kamis, 5 Maret 1942, pesawat tempur Jepang mengintai di langit Kediri. Pesawat tempur biasanya akan diikuti masuknya pasukan darat. Maka Kapten Gijsberts mengumpulkan pasukannya untuk memberi arahan.
“Kawan-kawan, berpura-puralah kalian sedang berburu. Bidik dengan hati-hati, dan setiap tembakan akan mengenai sasaran,” kata Kapten Gijsberts.
Mereka yang dikumpulkan adalah infanteri (prajurit jalan kaki). Kali ini mereka dipaksa menjadi penembak jitu untuk mengganjal lawan. Mereka tak punya senapan otomatis yang mampu memberikan rentetan tembakan terhadap lawan.
Kapten Gijsberts lalu membagi-bagi pasukannya itu dalam kelompok-kelompok kecil yang rata-rata terdiri dari 12 orang. Ada orang Indonesia asli, Belanda, juga Indo Eropa. Di antara pasukan kecil itu ada empat kelompok dalam empat mobil yang hendak ditempatkan di sebuah jembatan di aliran Sungai Brantas. Namun ketika baru keluar dari barak dan sedang di jalan poros menju jembatan, mobil-mobil itu ditembaki tentara Jepang.
“Dari empat mobil yang ditumpangi kelompok kami, tiga mobil paling depan ditembaki. Sebuah mortir mendarat di mobil kami, meledakkan radiatornya. Di bawah naungan awan uap tebal, kami melompat keluar dari mobil dan mencari perlindungan di parit kering di sepanjang jalan,” kenang Johannes van Oort, yang disapa Jan, penumpang mobil terbelakang.
Keadaan sangat kacau. Ada serdadu yang senjatanya tertinggal di dalam mobil yang rusak. Ada pula yang pelurunya berhamburan di tanah. Mereka hanya bisa bersembunyi. Tak ada yang bisa mereka lakukan karena diserang tentara Jepang dari berbagai arah. Tembakan mortir membuat mobil mereka rusak dan peluru mortir yang meleset melubangi jalan.
Jan yang berada di mobil paling belakang berhasil keluar dari mobil. Waktu pertempuran itu terjadi, sersan yang menjadi komandan regu dari 12 orang yang diikuti Jan, kakinya terluka parah oleh ledakan mortir. Sersan itu membuat anggota regunya menjadi panik.
Jan menjadi serdadu yang paling tenang dalam pertempuran itu. Tak hanya bisa mengendalikan dirinya, Jan juga masih memegang senapan M-95 yang dirawatnya dengan rajin. Mata Jan van Oort pun tertuju pada empat serdadu Jepang yang sibuk dengan granat. Dengan posisi yang menguntungkan, Jan membidik mereka.
“Orang-orang Jepang itu terus-menerus mengarahkan kepala mereka ke arah saya ketika mereka melempar granat,” terang Jan van Oort.
Jan memanfaatkan situasi itu. Beberapa kali pelatuk senapannya ditariknya. Keempat serdadu Jepang itu roboh dan terluka dibuatnya.
Jan berhasil mengendus tentara-tentara Jepang yang bersembunyi di pepohonan di sepanjang jalan. Rentetaan senapan mesin tentara Jepang pun menyalak. Terlihat oleh Jan seorang perwira Jepang, jaraknya hanya 200 meter. Ketika perwira itu memberi perintah kepada prajuritnya, Jan pun sukses menembaknya hingga roboh.
Meski ada penembak jitu yang mengancam, tentara Jepang tidak berhenti bergerak. Tembakan mortir dan meriam terus dilakukan.
Jan tahu bahwa tentara Jepang yang melontarkan mortir itu berada di balik dinding batu kecil. Senapan Jan lalu diarahkan kepada mereka. Mula-mula tembok yang tak begitu tebal itu dihancurkannya dulu. Setelahnya, serdadu Jepang yang menembakkan mortir itu menjadi sasaran tembak Jan hingga roboh.
Kawan-kawan Jan yang posisinya tak menguntungkan pun tak tinggal diam. Dari dalam parit di tepi jalan, mereka melepaskan sabuk mereka yang di dalamnya ada peluru. Peluru itu tak ada gunanya jika terus di pinggang kawan-kawannya yang tidak bisa menembaki musuh. Membuat amunisi untuk melumpuhkan lawan tak terputus. Membantu Jan berarti membantu menghalau musuh dan juga sedikit menjauhkan mereka dari kematian.
Koran Het Dagblad tanggal 11 Juli 1949 menyebut, Jan sebagai satu-satunya penembak senapan. Dia dengan berani terlibat dalam baku tembak tanpa henti dengan lawan yang sangat besar di hadapannya.
Dua jam setelah pertempuran terjadi, dua mobil tentara Jepang bergerak maju. Truk-truk itu hendak mengumpulkan tentara Jepang yang roboh dan tak bisa bangun lagi atau tewas.
"Saya tidak tahu persis jumlah korban tewas. Mereka kemudian memindahkan dua truk mayat,” aku Jan di koran De Telegraaf tanggal 10 Oktober 1964.
De Telegraaf menyebut, dalam pertempuran itu Jan telah melenyapkan 50 serdadu Jepang. Setelah komandan regunya terkena mortir, Jan telah berlaku layaknya komandan yang menguasai jalannya pertempuran. Dengan menembak lawan satu persatu hingga roboh, pertempuran itu seolah dikuasainya meski dia bahkan belum berpangkat kopral.
“Saya masih prajurit kelas dua saat itu,” terang Jan.
Aksi berani Jan membuahkan hasil. Pada 1949, Jan jadi bintang. Berdasar Koninklijk Besluit 12 Mei 1949 Nomor 17, Jan dianugrahi Ridders Militaire Willemsorde kelas empat atas aksinya di Kediri. Bintang itu disematkan di dadanya di tahun terakhir Hindia Belanda.













Komentar