- Martin Sitompul

- 16 Jun
- 3 menit membaca
ADA kesepakatan tak tertulis di kalangan wartawan peliput di istana kepresidenan masa Sukarno. Para wartawan dilarang untuk memotret Sukarno dalam keadaan tanpa mengenakan kopiah. Kopiah hitam yang menjadi ciri khas tentu menambah gagah potret Sukarno. Tapi ketika dilepas, maka tampaklah rambut presiden RI pertama itu yang kian menipis.
Namun, Alex Lumi, juru foto Mingguan Ujana, sekali waktu lalai pada kesepakatan tersebut. Pada 1963, di hari wafatnya Perdana Menteri Juanda, Alex datang ke kantor perdana menteri di Jalan Merdeka Selatan (kini menjadi Istana Wakil Presiden) untuk meliput. Di saat yang sama, Sukarno juga datang melayat. Ketika Sukarno menyalami Ny. Juanda, Alex dengan sigap membidikkan kamera dengan lampu kilat yang menyala. Celaka, saat itu Sukarno sedang tidak mengenakan kopiah. Sadarnya dirinya dipotret, Sukarno menoleh dan langsung memanggil Alex.
“Ketika saya melangkah mendekati Bung Karno serasa saya berjalan melayang, tidak menapak di lantai,” ujar Alex seperti dituturkan J. Osdar dalam Bung Karno di Antara Saksi dan Peristiwa suntingan Farrel M. Rizky.
Akibatnya lumayan fatal. Alex dibawa oleh pasukan pengawal presiden ke tempat tahanan militer Jakarta. Selama sepuluh hari dia harus mendekam di sana.
“Dari dulu sampai sekarang para pengawal selalu bertindak berlebihan. Bung Karno tidak menyuruh menahan saya, tetapi pengawalnya menahan saya,” ungkapnya.
Soal kesepakatan tidak tertulis itu juga diakui oleh Martin Aleida, eks wartawan Harian Rakjat. Menurut Martin, yang mulai bertugas sebagai peliput Istana pada awal 1965, di kalangan wartawan Istana --termasuk fotografer-- tertanam komitmen untuk menjaga citra diri Sukarno. Hal itu semata-mata bukan karena tekanan dari Istana melainkan rasa hormat terhadap sang presiden.
“Bung Karno itu mengasyikkan dan karena itulah kita hormat. Kita tidak mau mengatakan dia memakai kaos oblong saat menerima tamunya. Apalagi kalau dia difoto dalam keadaan botak, saya rasa tidak pernah,” kata Martin dalam dialog sejarah Historia “Kisah Wartawan Zaman Bung Karno”.
Martin juga menerangkan betapa dekatnya Presiden Sukarno dengan para wartawan. Sukarno, katanya, kerap mengundang para wartawan untuk ikut dalam jamuan minum teh di Istana Merdeka, sebuah kebiasaan rutin Sukarno saat pagi. Pada saat itulah para wartawan Istana dapat menyaksikan presiden dengan penampilan apa adanya, mengenakan pakaian sederhana seperti kaos oblong dan sandal, termasuk tanpa pakai peci. Dalam suasana itu, Martin sendiri dapat menyaksikan sosok proklamator kemerdekaan RI itu dari jarak sangat dekat. Cukup dekat untuk melihat kuku jempol Sukarno yang panjang sekira setengah milimeter.
Sukarno, lanjut Martin, suka membicarakan apa saja dengan wartawan, seperti kegemarannya makan masakan Tionghoa di Glodok. Ketika Istana mengadakan acara, Sukarno juga tak sungkan mengajak para wartawan untuk ikut makan bersama ala prasmanan. Menurut Martin, barangkali hanya di masa Sukarno-lah wartawan boleh makan bersama presiden nyaris tak berjarak.
Seperti Martin, Edi Harsono, wartawan Suara Merdeka sejak 1958, lebih terkenang pada perilaku Sukarno yang doyan berdiskusi dengan wartawan mengenai segala macam. “Dia selalu menghampiri wartawan. Sidang kabinet yang dipimpinnya di Istana Merdeka selalu terbuka bagi wartawan untuk mendengarkan langsung,” kenang Edi dituturkan Osdar.
Keakraban Sukarno dengan wartawan juga dirasakan oleh Rachmat Soekarchi yang menjadi fotografer Majalah Penca pada 1960-an. Rachmat pernah terlibat insiden tabrakan dengan presiden ketika berjoget ria di Istana Bogor pada 1962. Saat itu, para wartawan diundang meliput ulang tahun BNI 1946 di Istana Bogor. Saat sesi hiburan, presiden turun berjoget dan mengajak wartawan untuk ikut serta.
Pada saat itulah punggung Rachmat bersenggolan dengan punggung Sukarno. Namun, Sukano tak menghiraukan kejadian itu dan meminta Rachmat untuk terus berjoget. Petaka baru terjadi setelah acara berakhir. Rachmat harus berurusan dengan pengawal presiden dan kena hardikan atas insiden tabrakan tadi.
“Bung Karno sih tidak marah, bahkan tertawa, tetapi para pengawalnya yang kebakaran jenggot,” kenang Rachmat seperti dikutip Osdar.
Setelah era Bung Karno, keakraban para wartawan Istana dengan Presiden Soeharto kurang begitu tertampilkan. Di masa Soeharto, hubungan dengan wartawan terasa berjarak ditambah dengan pengamanan kepresidenan yang jauh lebih ketat. Keakraban dengan wartawan baru terasa kembali di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid, ketika Indonesia memasuki era Reformasi.*













Komentar