- M.F. Mukhti
- 6 Jun 2020
- 2 menit membaca
Meski ayahnya bekerja sebagai guru, Sukarno mengaku kehidupan keluarganya tergolong miskin. Gaji ayahnya saat itu f25 per bulan. Setelah dikurangi untuk sewa rumah per bulan, ayahnya hanya punya f15 untuk menghidupi istri dan dua anaknya selama sebulan.
Karena kemiskinan itulah ibunya membeli padi karena tak mampu membeli beras. Padi yang dibelinya itu lalu ditumbuknya sampai menjadi beras. “Dengan melakukan ini aku menghemat uang satu sen. Dan dengan uang satu sen kita dapat membeli sayuran, Nak,” kata sang ibu menjelaskan pada Sukarno, dikutip Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Tak sampai hati melihat ibunya tiap hari bekerja keras demi kelangsungan hidup kedua anaknya, bocah Sukarno pun rutin membantu. “Semenjak hari itu dan seterusnya selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah aku menumbuk padi untuk ibuku,” kata Sukarno.
Bakti bocah Sukarno tak sampai di situ saja. “Aku menjadikan sungai sebagai kawanku, karena ia menjadi tempat di mana anak-anak yang tidak punya dapat bermain dengan cuma-cuma. Dan ia pun menjadi sumber makanan. Aku senantiasa berusaha keras menggembirakan hati ibu dengan beberapa ekor ikan kecil untuk dimasak.”
Karena perkara mencari ikan untuk ibunya itulah suatu hari Sukarno sampai dimarahi habis-habisan oleh ayahnya. Pasalnya, Sukarno pulang terlalu larut. “Ketika aku sejam kemudian melonjak-lonjak gembira pulang dengan membawa ikan kakap untuk ibu, bapak menangkapku, merampas ikan dan semua yang ada padaku, lalu aku dirotan sejadi-jadinya,” sambung Sukarno.
Sukarno mengakui, dia takut kepada ayahnya. Sang ayah meski menyayangi anak-anaknya tapi merupakan orang yang keras dalam mendidik. Sukarno acap kena merah sang ayah ketika kedapatan melakukan hal-hal yang tak patut di mata sang ayah.
Rasa takut Sukarno pada ayahnya itu tetap terbawa kendati dia telah beranjak remaja. Itu dibuktikan dengan sebuah kisah yang dialami Sukarno. Suatu sore, Sukarno yang sedang dimabuk “cinta monyet” berjalan-jalan santai dengan Rika Meelhuysen, teman sekolah yang jadi gadis pujaan hatinya. Keduanya berboncngan menaiki sepeda. Ketika mencapai sebuah tikungan di ujung jalan, sepeda yang dikemudikan Sukarno itu menabrak seorang bapak. Ternyata itu merupakan ayah Sukarno.
“Aku mulai menggigil karena takut. Dia bersikap hormat, tapi aku sangat kuatir akan apa yang akan menyusul nanti kalau aku sudah sampai di rumah,” kata Sukarno.
Ketakutan Sukarno lebih disebabkan karena dia kedapatan bermain dengan orang Belanda di saat diskriminasi rasial masih kuat dan itu amat dibenci ayahnya. “Aku yakin bahwa bapak akan sangat marah kepadaku kalau sekiranya ia mendengarku bergaul dengan anak gadis kulit putih.”
Siap-tak siap akan kemarahan apa yang bakal ditimpakan ayahnya kepadanya, Sukarno pun memberanikan diri pulang. Dia menyusup ke rumah demi tidak tertangkap basah oleh sang ayah. Toh, sang ayah akhirnya mengetahui juga dia sudah di rumah. Hatinya masih dagdigdug ketika sang ayah mendekatinya. Namun alih-alih mendapatkan kalimat yang mewakili amara murka ayahnya, Sukarno justru mendengar kalimat sang ayah yang jauh dari perkiraannya.
“Nak, jangan kau takut tentang perasaanku terhadap teman perempuanmu itu. Itu baik sekali. Pendeknya, hanya dengan jalan itu engkau dapat memperbaiki bahasa Belandamu!” kata sang ayah sambil memotivasi anaknya lantaran gagal masuk sekolah rendah akibat kurang di mata pelajaran bahasa Belanda.










Komentar