- Randy Wirayudha
- 4 hari yang lalu
- 5 menit membaca
SALAH satu gebrakan Dedi Mulyadi semenjak menjabat sebagai gubernur Jawa Barat, yakni menampilkan citra populis via laku filantropis, menjadi fenomena yang viral belakangan ini. Beberapa sumber menyebutkan, sosok yang acap disapa KDM (Kang Dedi Mulyadi) itu sudah sering terlibat kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan sejak aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai ketua cabang Purwakarta pada 1990-an. Sumber lain menyebutkan, ia sudah sering memunculkan citra merakyat semenjak menjadi wakil bupati Purwakarta pada 2003.
“Dedi membawa kekuatan komunikasi yang persuasif, pendekatan langsung ke masyarakat, serta jaringan pemuda dan aktivis yang solid. Ia dikenal dekat dengan warga dan sering tampil dengan gaya bicara yang lugas dan merakyat. Sebuah pendekatan yang akan menjadi ciri khasnya di masa mendatang,” tulis Muhammad Afdan Rojabi dalam Dedi Mulyadi: Bapak Aing.
Seiring kemajuan teknologi informasi, KDM pun memanfaatkan media sosial. Ia jadi lebih sering “menyapa” warga via akun Youtube-nya. Tak jarang ia mengambil video secara selfie ketika berinteraksi dengan masyarakat. Ketika kemudian jadi gubernur, KDM sudah punya tim konten sehingga acapkali dirinya dijuluki “Gubernur Konten”.
“Lebih baik jadi ‘Gubernur Konten’ daripada jadi ‘Gubernur Molor’. Tambah lagi gelar saya, ‘Gubernur Lambe Turah’. Lebih baik jadi ‘Gubernur Lambe Turah’ daripada ‘Gubernur Bibir Dower’ karena Lambe Turah itu beritanya selalu dinanti. Kemudian tambah lagi sekarang ‘Gubernur Otak Dangkal’. Lebih baik jadi ‘Gubernur Otak Dangkal’ tapi banyak orang yang tersadarkan daripada gubernur otaknya dalam tapi banyak orang yang ditenggelamkan,” cetusnya dalam sambutan acara wisuda di Universitas Pasundan, Bandung, 24 Mei 2025.
Tentu saja KDM bukan satu-satunya pemimpin nan filantropis. Bicara sosok pemimpin filantropis, rasanya tak lengkap jika tak menyebut nama penguasa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Meski tak seviral KDM lantaran selalu membawa serta tim dokumentasi, raja Yogya itu begitu perhatian dan dermawan. Sultan pernah berbulan-bulan merogoh kocek pribadinya untuk dibagikan kepada masyarakat ketika Perang Kemerdekaan.
Menyantuni Rakyat, Pegawai, hingga Keluarga Dwitunggal
Semenjak 3 Januari 1946, ibukota Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Hamengkubuwana IX bersama Sri Paku Alam VIII dengan hangat menyambut kedatangan Presiden Sukarno dan jajarannya ketika tiba di Stasiun Tugu pada 4 Januari 1946.
Tidak hanya itu, Sultan Hamengkubuwana IX mempersilakan sejumlah bangunan bekas Belanda untuk ditempati sebagai kantor-kantor pemerintahan, termasuk Gedung Agung yang dijadikan Istana Kepresidenan. Untuk sementara, jalannya roda pemerintahan dibiayai dengan sisa-sisa sumbangan penguasa Siak, Sultan Syarif Kasim II, yang pada November 1945 berdonasi sampai 13 juta gulden untuk pemerintahan republik.
“Mulai waktu itulah Yogyakarta menjadi ibu kota revolusi dan ternyata sanggup bertahan mengatasi gelombang pasang-surutnya perjuangan pada tahun-tahun berikutnya. Sultan Hamengku Buwono IX sendiri untuk pertama kali menjadi anggota kabinet pada Kabinet Sjahrir III sebagai Menteri Negara pada tahun 1946, permulaan dari satu karier yang akan berlanjut sampai puluhan tahun sesudahnya,” ungkap buku IX yang dihimpun Mohamad Roem dkk., Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono.
Salah satu gelombang pasang-surut yang dimaksud adalah ketika Yogyakarta turut dijadikan sasaran Belanda yang melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Agresi tersebut membuat para pemimpin republik seperti Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkapi Belanda lalu diasingkan ke Bangka dan pemerintahan republik dialihkan sementara ke Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
Baca juga: Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik
Tidak hanya menimbulkan kebingungan para pegawai, agresi juga membuat kehidupan masyarakat kecil semakin sulit. Melihat kondisi tersebut, Sultan Hamengkubuwana IX sebagai penguasa keraton yang tak diganggu-gugat Belanda, turun tangan membantu rakyat kecil yang kesulitan ekonomi. Ia merogoh hartanya sendiri dari kas keraton.
Menurut buku Sang Demokrat Hamengku Buwono IX: Dokumen Setelah Sri Sultan Mangkat yang dihimpun Sugiono MP, selama sekitar 3-4 bulan Sultan rutin bagi-bagi uang dan harta bendanya kepada rakyat dengan alasan agar rakyat tidak berkhianat dan mendukung Belanda. Pun kepada para pegawai tingkat tinggi hingga staf rendahan, agar mereka tidak menyeberang ke pihak Belanda.
Uang gulden simpanan Sultan dari peti harta keratonnya dikeluarkan dan disalurkan melalui sekretaris Sultan, Selo Soemardjan, dan Menteri Perburuhan dan Sosial Rahendra Koesnan. Sultan sendiri mengaku tak ingat berapa jumlahnya kala membagi-bagikan hartanya selama 3-4 bulan itu.
“Ah, enggak mungkin ingat, ngambilnya saja begini (menirukan gerakan mengambil dengan dua telapak tangan seperti menyendok pasir). Lalu oleh Pak Kusnan sebagai Menteri Sosial dan Perburuhan dibagi-bagikan. Sejumlah uang juga dibagikan melalui sekretaris saya. Mungkin tiga atau empat bulan, pada waktu masa pendudukan Belanda atas Yogya hampir berakhir. Saya lihat banyak orang kita yang perlu dibantu untuk menyambung hidup, termasuk keluarga pemimpin-pemimpin kita,” kenang Sultan Hamengkubuwana IX dikutip Roem dkk.
Baca juga: Kebersahajaan Sri Sultan Hamengkubuwana IX
Tak hanya rakyat, keluarga Bung Karno dan Bung Hatta pun turut mendapat bantuan. Sebab, dwitunggal itu diasingkan ke Bangka.
Sultan boleh saja tidak ingat jumlah yang disumbangkannya. Namun, di kemudian hari Bung Hatta memperhitungkan setidaknya Sultan mengeluarkan hartanya hingga lima juta gulden. Ketika Bung Hatta pernah menyinggungnya, Sultan tak pernah minta hartanya dikembalikan.
“Sampai sekarang saya masih menyimpan beberapa gulden dari pemberian itu sebagai kenang-kenangan,” ungkap Rachmi Hatta dikutip Roem dkk.
Bantuan Sultan namun bukan uang semata. Pasca-Perjanjian Roem-Royen (7 Mei 1949), pada Juli 1949 Sultan ditemani Jusuf Ronodipuro terbang ke Bangka untuk menemui Bung Karno dan Bung Hatta. Menurut aktivis Partai Sosialis dalam memoarnya yang dituliskan bersama Abrar Yusra, Memoar Seorang Sosialis: Djoeir Moehamad, kedatangan Sultan sekaligus membicarakan pemulihan Yogyakarta sebagai ibukota republik sebagaimana salah satu poin Persetujuan Roem-Royen.
“Tapi pertemuan itu juga dicekam keprihatinan yang nyata. Dalam suatu acara makan pagi, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta memperdengarkan suara kurang gembira bahwa pemerintah tidak punya dana untuk kembali ke Yogyakarta. Tidak juga dana untuk membiayai pegawai-pegawai Republik. Keluhan itu diikuti oleh macam-macam-macam saran dari para menteri dan tokoh Republik lainnya. Namun jalan keluar yang nyata belum terbuka. Pada akhirnya berbicaralah Sri Sultan Hamengkubuwono IX,” tulis Djoeir dan Abrar.
Sultan, lanjut Djoeir, menyatakan siap memberikan harta benda terakhirnya dan keraton dengan menawarkan cek sebesar enam juta gulden. Mendengar itu, Sukarno yang terharu pun seketika merangkul Sultan.
Maka Sukarno-Hatta dan jajaran kabinetnya pun kembali ke Yogyakarta. Jika Bung Hatta ikut rombongan delegasi Indonesia ke Den Haag untuk mengikuti Konferensi Meja Bundar, Presiden Sukarno tetap di Yogyakarta untuk kemudian pada 17 Desember 1949 dilantik sebagai presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) di Bangsal Siti Hinggil, Keraton Yogyakarta.
Sebelas hari pasca-pelantikannya, Sukarno kembali memindahkan ibukota ke Jakarta. Sri Sultan pun melepas Presiden Sukarno sembari menunaikan janji bantuan enam juta gulden terakhir dari kas pribadi dan keraton.
“Yogyakarta sudah tidak punya apa-apa lagi. Silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta,” kata Sultan.
“Dukungan Sultan kepada RI demikian total. Sampai ke urusan finansial, ia rela berkorban. Namun ia tidak mau digembar-gemborkan. Itulah sebabnya artikel Jusuf Ronodipuro, ‘Episode Bangka’ yang menceritakan pemberian cek 6 juta gulden Sultan kepada Sukarno yang sedianya dimuat di biografi Takhta Untuk Rakyat, tak terjadi. Sebab, Sultan melarangnya,” tukas buku Hamengku Buwono IX: Pengorbanan Sang Pembela Republik.
Comments