- Randy Wirayudha

- 19 Jul
- 5 menit membaca
NEGOSIASI delegasi pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat menghasilkan “korting” tarif untuk produk Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen. Sebaliknya, Amerika menikmati tarif 0 persen dengan beberapa syarat yang mengikuti untuk produk-produknya. Salah satunya yang disinggung Presiden Amerika Donald Trump, yakni tembaga, di mana Indonesia salah satu produsen tembaga terbesar dunia dengan kualitas tinggi.
Pada Selasa (15/7/2025), Presiden Trump menyatakan hasil negosiasinya diikuti komitmen Indonesia untuk membeli produk-produk energi Amerika senilai 15 miliar dolar, produk-produk pertanian senilai 4,5 miliar dolar, dan 50 unit pesawat pabrikan Boeing. Selain itu, Trump juga menyinggung soal akses terhadap tembaga Indonesia.
“Saya telah bicara dengan Presiden Indonesia (Prabowo Subianto, red.), presiden yang hebat, populer, kuat, dan pintar dan kami telah membuat kesepakatan. Kita (Amerika) akan mendapat akses penuh ke Indonesia terhadap segala hal. Seperti yang Anda ketahui, Indonesia sangat kuat dalam hal tembaga tapi kita akan mendapat akses penuh dan kita tidak akan membayar tarif apapun. Jadi mereka memberikan kita akses ke Indonesia yang belum pernah kita dapatkan sebelumnya dan itu mungkin hal terbesar dalam kesepakatan ini. Detail kesepakatannya akan segera diumumkan,” ujar Trump, dilansir PBS, Selasa (15/7/2025).
Menanggapi hal itu, pada Rabu (16/7/2025) Dirjen Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno menyatakan bahwa Indonesia akan terbuka untuk perdagangan produk mineral apapun dengan pihak manapun, termasuk Amerika Serikat. Bicara produk tembaga, data komoditas mineral dunia 2024 dari lembaga survei geologi Amerika USGS menyebut Indonesia produsen tembaga terbesar keenam dunia.
Selain di Mimika, Papua Tengah yang dikelola PT Freeport Indonesia, tambang-tambang tembaga di Indonesia juga tersebar di Pulau Wetar, Maluku dan Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seperti halnya Freeport di Mimika, mulanya tambang tembaga di Sumbawa juga dikelola perusahaan asing yang berbasis di Amerika, PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), sebelum diakuisisi perusahaan nasional PT Amman Mineral Internasional.
Dari Kontrak Karya ke Sengketa
Sebelum 1990-an, komoditas mineral jenis tembaga Indonesia masih bergantung pada aktivitas pertambangan PT Freeport Indonesia di kawasan Grasberg, Mimika. Komoditasnya baru bertambah setelah adanya kontrak karya (KK) bagi perusahaan asing lain untuk melakoni eksplorasi deposit tembaga di NTB pada akhir 1980-an.
Kontrak karya tersebut ditandatangani pada 2 Desember 1986 antara pemerintah Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT). Perusahaan tersebut kepemilikannya terbagi-bagi antara perusahaan lokal PT Pukuafu Indah (20 persen), perusahaan Amerika Serikat Newmont Indonesia Limited (45 persen), dan perusahaan Jepang Sumitomo Corporation (35 persen).
Dalam KK tersebut, PT NNT dan kontraktornya mendapatkan hak wilayah KK untuk eksplorasi, penggalian, dan penambangan di Pulau Lombok dan Sumbawa seluas 1.127.134 hektare dengna batasan titik koordinat 1 sampai dengan 194. KK tersebut juga mewajibkan PT NNT melakukan divestasi 31 persen secara bertahap mulai 2006-2010.
“Lalu Newmont mulai tahap eksplorasi di Lombok dan Sumbawa pada 1987, setahun setelah penandatanganan KK. Pada 1990, para ahli geologi Newmont menemukan sebuah endapan mineral berupa cebakan batu hijau yang mengindikasikan tembaga di sebuah wilayah di barat daya Sumbawa dan pada 1991, Newmont pun mulai melakukan penggalian di area itu,” tulis Marina Welker dalam Enacting the Corporation: An American Mining Firm in Post-Authoritarian Indonesia.
Area temuan cebakan batu hijau yang dimaksud adalah area di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat. Oleh karenanya kemudian situs aktivitas penambangannya bernama Tambang Batu Hijau.
KK tersebut jelas memakan korban. Warga beberapa desa di kecamatan itu, antara lain Desa Tongo dan Desa Sekongkang Bawah, kehilangan hutan dan lahan-lahan perkebunan serta sawah.
Namun, KK tetap berjalan. Setelah dilakukan studi kelayakan, tahap pengeboran dimulai sehingga mendapatkan perkiraan cadangan 334 juta ton tembaga. Yang menarik, lapisan bebatuannya juga terdapat kadar emas 0,7 g/t. Setelah melalui kajian-kajian menyoal dampak lingkungan dan sosial, baru pada 1996 pemerintah menyetujui pembangunan Tambang Batu Hijau pada 1997 yang lantas resmi beroperasi pada Maret 2000.
“Antara tahun 1991 sampai 1996, Newmont mempekerjakan sekitar 110 buruh lokal untuk aktivitas eksplorasi dan pra-pembangunan (tambang). Mayoritas warga Desa Tongo-Sejorong. Mereka dibebani pekerjaan kasar sebagai kuli-kuli yang membawa sampel-sampel inti melewati hutan, menebang pepohonan, menggali parit-parit, dan membantu aktivitas survei hingga pekerjaan pengeboran. Newmont sangat bergantung pada para buruh ini dan walaupun upahnya rendah, mereka cenderung bangga jadi bagian dari tambang yang akan dibangun,” imbuh Welker.
Menurut buku Buka-Bukaan Dunia Tambang, proses penambangan di Tambang Batu Hijau melalui pengeboran dan peledakan untuk melepaskan lapisan tanah dari bebatuan yang mengandung mineralnya. Lantas bebatuan yang mengandung mineral itu diangkut ke pabrik konsentrat untuk memisahkan mineral dari bebatuannya. Hasil dari konsentrat itu kemudian dikirim ke pabrik atau smelter yang berada di Gresik, Jawa Timur untuk dilakukan pemisahan antara sisa-sisa batuan lumpur dan mineral berharganya, seperti tembaga, emas, dan perak.
“Masalah timbul ketika pada 2006 PT NNT tidak melaksanakan divestasi saham 3 persen kepada pihak Indonesia dan diikuti dua tahun setelahnya hingga tahun 2008. Akibatnya, pemerintah Indonesia menggugat PT NNT ke Arbitrase Internasional. Melalui proses panjang, keputusan final Arbitrase Internasional memenangkan pemerintah Indonesia dan menyatakan PT NNT melakukan default (pelanggaran perjanjian),” ungkap Neduro Maril dkk. dalam artikel “Penyelesaian Sengketa Divestasi Saham PT Newmont Nusa Tenggara dalam Pengaturan Penanaman Modal Asing Secara Langsung Berdasarkan Putusan MK No. 2/SKLN-X/2012” di jurnal Diponegoro Law Review, Vol. 5, No. 2, Tahun 2016.
Baca juga: Mula Tambang Nikel di Raja Ampat
PT NNT dianggap melakukan wanprestasi terhadap isi kewajiban Pasal 23 angka 33 KK tahun 1986. Setelah putusan arbitrase keluar pada 31 Maret 2009, PT NNT diberikan tenggat waktu sampai 180 hari untuk melakukan kewajibannya divestasi saham.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM mengambil langkah gugatan arbitrase karena merasa dipermainkan. Selain dianggap tidak ada iktikad baik, Newmont menuding pihak ketiga, PT Bumi Resources meneken kesepakatan dengan Pemerintah Provinsi NTB, Pemerintah Kabupaten Sumbawa, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat untuk menjual saham hasil divestasinya.
“Newmont begitu pandai memainkan persepsi publik ini lewat media. Di media massa, mereka mengatakan bahwa hadirnya Bumi Resources dianggap mencederai proses divestasi dan Newmont tidak ingin pemda hanya dipakai sebagai ‘kendaraan’ pihak swasta untuk menguasai saham NNT. Kami tidak emosional ketika meluncurkan gugatan. Semua sudah kami pikir matang-matang dan berkonsultasi dengan pakar-pakar hukum bisnis internasional. Langkah arbitrase kami tempuh karena pemerintah perlu menjaga kedaulatan bangsa dan negara, kepastian hukum, sekaligus menjaga iklim investasi,” kenang eks-Dirjen Minerba Kementerian ESDM Simon Felix Sembiring dalam otobiografinya, Jalan Baru untuk Tambang: Mengalirkan Berkah bagi Anak Bangsa.
Toh kelak pada 2016, pertambangan tembaga di Batu Hijau dan Blok Elang di Pulau Sumbawa pada akhirnya tetap jatuh ke tangan PT Medco Energi Internasional Tbk. Kongsi energi swasta nasional terbesar Indonesia itu mengambil-alih saham terbesar Newmont melalui anak perusahaannya, PT Amman Mineral Internasional Tbk.
“Pada November 2016, PT Newmont Nusa Tenggara melakukan kewajiban divestasi dengan mengumumkan proses transaksi pengambilalihan kepemilikan saham di PT NNT sebesar 82,2 persen oleh PT Amman Mineral Internasional. Dengan selesainya proses transaksi tersebut, pemilik saham PT NNT dan aset-aset terkait lainnya kini sepenuhnya dimiliki perusahaan nasional, yakni PT Amman Mineral Internasional yang menguasai 82,2 persen kepemilikan saham dan PT Pukuafu Indah sebagai pemegang saham sebanyak 17,8 persen. PT Amman Mineral Internasional adalah perusahaan yang sahamnya dipegang oleh AP Investment dan Medco Energi,” tukas pakar tambang Prof. Dr. Irwandi Arif dalam Emas Indonesia.













Komentar