top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Tetralogi Buru, Roman Sejarah yang Lahir dari Balik “Penjara” Orba

Keterbatasan dalam penjara Orde Baru di Pulau Buru memicu Pramoedya untuk menulis. Tetralogi Buru lahir dari lingkungan serba terbatas itu.

7 Feb 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Pramoedya Ananta Toer (kanan) bersama teman-teman tapol di barak mereka di Pulau Buru. (Repro Nyanyi Sunyi Seorang Bisu).

Diperbarui: 27 Agu

KERIUHAN terjadi di pusat kota kecil di Jawa Tengah, Blora, pada 6 Februari malam lalu. Orang-orang dari berbagai tempat “tumplek-blek” di Pendopo Bupati Blora. Bupati Arif Rohman juga hadir. Mereka semua hendak menonton bareng film Bumi Manusia karya Hanung Bramantyo yang diputar sebagai bagian dari Festival Blora Seabad Pramoedya.

“Kita nonton sampai jam 10,” kata Bupati Arief Rochman.


Kemasan populer yang diusung Hanung membuat film Bumi Manusia memikat banyak orang, termasuk kaum muda. Menjadikan Bumi Manusia banyak ditonton orang Indonesia.

Bumi Manusia diadaptasi dari novel dengan judul sama karya Pramoedya Ananta Toer. Novel tersebut merupakan satu dari empat novel tetralogi Pram yang dihasilkan dari perjuangan beratnya –dan juga ribuan tahalan politik (tapol) lain– di tempat pembuangannya di Pulau Buru.


Pembuangan di Pulau Buru menjadi puncak dari penahanan-penahanan yang telah dialami Pram sebelumnya. Sejak muda, Pram sudah merasakan lembabnya ruangan di balik terali besi penjara Belanda. Menjelang paruh baya, begitu “gegeran” politik terjadi mengikuti Persitiwa G30S, Pram lagi-lagi harus merasakan dinginnya penjara. Sebagai orang yang dicap kiri, yang kalah dalam kontestasi politik nasional, Pram termasuk yang dihabisi haknya sebagai manusia meski tak sampai dihabisi hak hidupnya seperti ribuan orang kiri yang lain.


Pram lalu ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Tangerang pada Maret 1969. Pada Juli tahun yang sama, Pram dipindah ke Penjara Karang Tengah di Nusakambangan. Sehari sebelum HUT RI 1969, Pram dipindah ke Pulau Buru, tempat penahanan yang oleh penguasa Orde Baru disebut sebagai Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Pulau Buru.


Inrehab Pulau Buru merupakan tempat yang mencabut kemanusiaan seseorang (baca: tapol ’65). Nyaris semua hak asasi yang dimiliki seorang tapol dicabut begitu saja. Sebaliknya, tenaga mereka diperas untuk membangun bermacam sarana seperti umum dilakukan pada era perbudakan.


“Makin hari makin banyak di antara kami mati tanpa disaksikan oleh orang-orang yang dikasihi atau dicintainya, tertinggal sepi di kuburannya, di lereng gunung atau di dataran gundul,” kata Pram menceritakan kondisi di Buru kepada anaknya, Tieknong, termuat di Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.


Namun, ketidakmanusiawian di Pulau Buru tak membuat Pram mau takluk. Pria yang sejak kecil terbiasa dengan kerasnya kehidupan itu justru bertekad mengabarkan keadaan buruk di Buru kepada dunia. Tekad itulah yang kemudian membuat novel Bumi Manusia lahir.


Cerita Minke, yang pergulatan batinnya adalah pergulatan manusia Indonesia, tak berhenti di Bumi Manusia saja. Ia terus berlanjut ke Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempatnya dikenal sebagai Tetralogi Buru.


Menuliskan Bumi Manusia dan sekuel-sekuelnya bukanlah perkara mudah bagi Pram yang hidup dalam serba keterbatasan di pengasingan. Kisah Minke, Nyai Ontosoroh, dan lainnya itu awalnya diceritakan secara lisan sebagai hiburan Pram dan tahanan politik lain di sekitarnya. Cerita lisan itu sudah ada sejak 1973, namun baru setelah 1975 Pram bisa menuliskannya meski sebagian ada yang terpaksa ditulis di kertas semen. Kesempatan untuk menuliskannya muncul baru pada 1975, setelah pemerintah memberi “kelonggaran” pada Pram untuk bisa kembali menulis.


“Ini berkat kunjungan Jenderal Soemitro yang memberikan kesempatan kepada Pram untuk memusatkan perhatiannya dalam mengarang, Pram diberi kertas dan mesin ketik. Dia dibebaskan dari pekerjaan di sawah dan ladang serta pekerjaan yang mengganggu profesinya sebagai pengarang,” kata Panda Nababan, yang pada 1978 ikut rombongan Jaksa Agung Ali Said mengunjungi Buru, dalam otobiografinya, Menembus Fakta.


Rombongan yang diikuti Panda tiba di Buru lima tahun setelah kunjungan Pangkopkamtib Jeneral Soemitro yang membawa tim psikolog. Kedatangan Soemitro terkait erat dengan tekanan asing yang terus memberi perhatian terhadap nasib para tapol 1965. Sewaktu singgah di Prancis dan Belanda usai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Nonblok IV di Aljazair, 1973, Soemitro ditanyai soal nasib tapol 1965, terutama Pram, oleh orang-orang dari berbagai negara yang ditemuinya. Lantaran menyangkut citra negara, pengalaman itu kemungkinan dia laporkan kepada Presiden Soeharto. Sebagai tindak lanjutnya, pada Oktober 1973 Soemitro membawa tim psikolog mengunjungi Pulau Buru.


Dia bertemu banyak tapol, termasuk Pram, dan berdialog dengannya. Sebelum berpisah dengan Pram, Soemitro menanyakannya bantuan apa yang bisa dia berikan.“Bolehkah saya meminta mesin tik karbon, kertas ketik, dan notes? Kalau bisa juga saya minta kamus dan buku-buku bahasa Prancis,” kata Pram menjawab pertanyaan Soemitro.


“Baik, akan saya carikan dan kirimkan,” kata Soemitro mengabulkan, dikutip Ramadhan KH dalam Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib.


Namun, keterbatasan yang dialami Pram tak hanya datang dari alat tulis. Bahan bacaan untuk memperkaya pengetahuan dan imajinasinya juga tak ada di sana. Praktis Pram hanya mengandalkan ingatannya dari bacaan-bacaan yang pernah dibacanya ataupun pengalaman-pengalamannya.


Bumi Manusia sebagai novel pertama dari Tetralogi Buru berkisah tentang seorang siswa Hogere Burger School (HBS) bernama Minke –yang mengacu pada tokoh pers Tirto Adhi Soerjo. Suatu kali, Minke diajak kawannya yang orang Belanda bertandang ke rumah keluarga Mallema, tempat Minke jadi mengenal dan bersahabat dengan Nyai Ontosoroh dan putrinya, Annelies Mallema. Dari novel tersebut tergambar betapa arogan, rasis, dan egoisnya manusia kolonial Belanda di sekitar pergantian abad ke-19 ke abad ke-20.


Selain digambarkan sebagai anak bupati, Minke juga digambarkan lulusan HBS yang kemudian masuk STOVIA. Kendati diharapkan bakal menjadi bupati juga, Minke malah “bunuh diri kelas” dengan menjadi pejuang kemanusiaan. Terlepas dari keanehannya itu, Minke dalam Tetralogi Buru adalah sosok dahsyat dalam perlawanannya kepada kolonialisme. Perlawanan itulah yang ingin dengungkan Pram.


Perlawanan Minke itu baru bisa dituliskan Pram setelah ada kelonggaran dari penguasa. Kendati begitu, Pram tetap menaruh curiga terhadap penguasa yang memiliki mata di mana-mana. Maka demi menyelamatkan naskah-naskahnya, Pram mengetiknya dalam beberapa kopian. Selain ada kopian yang diedarkan di antara teman-temannya di Buru guna bisa dibaca dan diingat oleh mereka, kopian naskah yang lain dititipkan Pram ke gereja yang kemudian menyelundupkannya ke luar Buru lalu mengirimkannya ke Australia, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa.


“Pada akhirnya saya memang benar, mereka (pemerintah) merampas semua naskah saya pada waktu saya meninggalkan Buru, termasuk surat pribadi dari Presiden Harto pada saya,” kata Pram dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian.


Setelah bebas dari Buru pada pengujung 1979, Pram mengetik ulang naskah-naskahnya hingga kemudian diterbitkan Hasta Mitra –yang didirikan Hasyim Rahman, Joesoef Isak, dan Pram– pada dekade 1980-an. Kendati kemudian dilarang Kejaksaan Agung, Bumi Manusia bersama novel-novel Tetralogi Buru lainnya amat laris dan banjir pujian hingga diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Jauh setelah Pram pergi, Bumi Manusia difilmkan Hanung Bramantyo.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page