- Martin Sitompul

- 31 Jul
- 3 menit membaca
Diperbarui: 3 Agu
DI kalangan suku Batak, kaum pria boleh jadi menempati posisi lebih dominan dalam struktur sosial. Pada setiap hajatan, entah itu pesta pernikahan, upacara perkabungan, atau parhata –orang yang memimpin jalannya prosesi adat– selalu diperankan oleh laki-laki yang dituakan. Namun, andai kata tidak ada perempuan yang menenun kain ulos, nicaya tradisi adat itu mati belaka. Sepenting itulah ulos, sebutan untuk kain tenun Batak, begitu pula peran perempuan penenunnya (partonun).
Ulos dalam adat budaya Batak bukan sekadar sehelai kain tenun. Ia mengandung nilai keluhuran. Selain itu, penyematan ulos (mangulosi) kepada seseorang punya filosofi masing-masing. Tergantung jenis ulos apa yang dipakai dan kepada siapa ulos itu disematkan.
“Tenun Batak itu menemani di semua fase kehidupan masyarakat Batak. Dari sebelum lahir sampai kematian,” kata Kerri Na Basaria Panjaitan dalam simposium tentang Ulos Ragi Hidup bertajuk “UGARI: LUHUR” di Tobatenun Studio & Gallery, Jakarta, kemarin (30/7).
Kerri yang juga pendiri social enterprises Tobatenun ini menambahkan, tenun Batak memiliki motif bermacam. Beberapa di antaranya sudah mulai langka atau bahkan sudah punah. Salah satu pakem tenun Batak yang paling penting adalah Ulos Ragi Hidup. Menurutnya, Ulos Ragi Hidup merepresentasikan kekayaan dan kedalaman makna dalam praktik adat budaya Batak.
“Ragi Hidup itu seperti rajanya ulos ya, karena dia (pembuatannya, red.) ada tiga teknik, dan dalam masyarakat Batak khusus untuk orang yang sudah komplit hidupnya,” terang Kerri

Ulos Ragi Hidup dikenal sebagai salah satu bentuk ulos paling kompleks. Tersusun dari berbagai teknik tenun tangan, menjadikannya salah satu wastra Batak yang paling sulit dikerjakan. Dalam tradisi Batak Toba, kain ini hanya boleh dikenakan oleh perempuan atau laki-laki yang telah menuntaskan siklus hidup umum—telah memiliki anak yang seluruhnya telah menikah, dan telah memiliki cucu. Dengan demikian, Ulos Ragi Hidup menjadi simbol kehidupan yang utuh dan penuh kebijaksanaan. Ia mencerminkan berbagai pengalaman dan rintangan hidup yang telah dilalui oleh si pemakainya.
Dalam budaya Batak, Ulos Ragi Hidup juga dikenal dengan nama lain Ulos Pinuncaan. Merujuk maknanya, ia menjadi lambang kehidupan yang paripurna. Kain ini sering dihadirkan dalam upacara adat, baik sebagai ulos pasu-pasu (pemberi doa dan restu), maupun ulos saput (bagi orang yang telah wafat dan menyelesaikan siklus hidup). Kain ini terdiri dari beberapa bidang utama: sisi kiri dan kanan disebut ambi, bagian tengah tor, dan bagian atas-bawah disebut tinorpa. Ketiga bagian ini harus hadir dan menyatu agar dapat disebut Ragi Idup.
Dalam buku Pesona Kain Indonesia: Kain Ulos Danau Toba, Threes Emir dan Samuel Wattimena menyebut Ulos Ragi Hidup memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dan melelahkan saat pembuatannya. Motifnya menggunakan beberapa teknik hias yang menghasilkan kesan motif itu seolah “hidup” sehingga dinamakan ragi hidup. Dalam ulos ini terdapat motif anting-anting sebagai simbol kekayaan karena biasanya anting-anting terbuat dari emas. Selain itu, ada motif beruang sebagai simbol kemamkmuran dan motif batu niansimun yang melambangkan kesehatan.
“Banyak yang menanggap derajat ulos ini paling tinggi dalam adat Batak,” catat Emir dan Wattimena.
Sementara itu, menurut Ratna Panggabean, desainer yang juga ahli tekstil tradisi Indonesia, proses pembuatan Ulos Ragi Hidup membutuhkan ketekunan dan konsentrasi tinggi dari si penenunnya. Ketelitian menenun itu terutama di bagian penyambungan lungsi warna gelap dan lungsi warna putih di bagian ujung-ujung kain. Setidaknya terdapat tiga teknik tenun dalam pembuatan Ulos Ragi Hidup. Ketiga teknik itu antara lain songket, ikat lungsi, dan jugia.
“Itu tiga teknik yang paling utama di Ulos Ragi Hidup. Sebutannya ragidup, corak dari kehidupan arti harfiahnya. Akan aneh kalau anak muda masih single, pakai ragidup itu sesuatu yang salah,” jelas Ratna yang juga hadir sebagai narasumber dalam simposium.
Teknik songket atau yang dalam bahasa Batak disebut marjungkit digunakan untuk menenun area tinorpa yang memiliki motif tumtuman. Sementara itu, tenun ikat yang disebut gatip digunakan pada bagian tor dan menghubungkan bagian tinorpa. Kehadiran ikat ini merepresentasikan harmoni antara motif maskulin dan feminin. Dan teknik jugia atau penambahan benang lungsi diterapkan di bagian tepi dalam ambi. Teknik ini tergolong langka dan hanya dikuasai oleh penenun di beberapa wilayah tertentu, seperti Sumba, NTT (Tenun Pahikung) dan Lombok, NTB (Tenun Sabuk Anteng).
Selain ketiga teknik tenun tadi, tenun dasar atau yang mandatar, digunakan untuk bagian polos dan bergaris. Dalam Ulos Ragi Hidup, teknik ini digunakan untuk bagian polos dan bergaris pada ambi dan tor. Mangarapot atau manuluki merupakan teknik penyambungan antarbidang tenun tanpa dijahit. Bagian-bagian kain disatukan dengan cara dililit dan dijalin menggunakan teknik tradisional mangarapot, yang menghasilkan struktur yang kokoh sekaligus estetis. Sirat adalah bagian akhir dari Ulos Ragi Hidup yang berfungsi sebagai penutup sekaligus aksen. Sirat bisa dibuat dengan teknik anyam atau ronce, menjadi penegas kesempurnaan struktur kain ini.
Butuh waktu cukup lama untuk menghasilkan sehelai Ulos Ragi Hidup. Kompleksitas tinggi dalam pengerjaannya membuat Ulos Ragi Hidup mustahil dikerjakan oleh seorang perajin. Untuk itu, ia biasanya dikerjakan lebih dari satu orang. Ulos Ragi Hidup yang lahir dari keterampilan kolektif dan semangat gotong royong itu menjadi cerminan dari nilai-nilai budaya Batak yang hidup dan terus tumbuh.















Komentar