top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Utang Tak Terbayar?

Obligator tahun 1946 bermunculan. Meminta pengembalian dana dari negara.

Oleh :
30 Mar 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

"Uang NICA yang digunting "

  • Aryono
  • 30 Mar 2018
  • 2 menit membaca

PADA 3 Maret 1947, pemerintah RI di Yogyakarta mengajukan rancangan undang-undang kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) mengenai pembayaran surat utang. Nilai yang diajukan untuk pembayaran surat utang itu, 5% untuk lembaran f100 dan 4% untuk lembaran f500 serta f1000. Namun pembicaraan di BP KNIP tersendat karena pecah Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947.


Respon baru muncul dari BP KNIP pada Nopember 1947 terkait RUU pembayaran obligasi. BP KNIP membentuk Panitia Khusus Badan Pekerja dengan tugas mempercepat pembahasan kembali pelunasan obligasi di BP. Lagi-lagi, upaya ini tertunda karena Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948.


Langkah serius pelunasan Pinjaman Nasional 1946 baru dilakukan kembali tahun 1954, semasa kabinet Ali Sastroamidjojo I. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 1954 tentang Pembayaran Kembali Pinjaman Nasional 1946.


Undang-undang ini mengatur beberapa perubahan seperti nilai nominal dari surat utang. “Pemerintah berhak menguak jumlah nominal dari surat-surat pengakuan hutang, maka setiap nominal 100 rupiah nominal dari pinjaman tersebut dianggap mempunyai nilai yang sama dengan 10 rupiah dalam mata uang yang sah sewaktu undang-undang ini berlaku,” bunyi pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 tahun 1954 tentang Pembayaran Pinjaman Nasional 1946.


Mengacu pada UU No. 4 tahun 1946, nilai nominal 100 rupiah Jepang sama dengan 3 rupiah ORI (Oeang Republik Indonesia). Namun pemerintah saat itu, dalam Memori Penjelasan atas UU RI nomor 26 tahun 1954 tentang Pembayaran Kembali Pinjaman Nasional 1946, mengubah nilai nominal dari surat utang berdasarkan pertimbangan membalas budi para obligator yang berasal dari warga negara Indonesia sendiri sejak kemerdekaan 1945 dari 100 ORI menjadi 10 rupiah uang yang berlaku.


Selain perubahan nilai nominal surat obligasi, UU nomor 26 tahun 1954 juga mengatur jangka waktu pembayaran Pinjaman Nasional. “Menteri Keuangan diberi kuasa untuk melunasi Pinjaman Nasional 1946 selambat-lambatnya dalam waktu 5 tahun anggaran, dimulai dengan tahun 1954 dengan ketentuan bahwa 5% akan dibayar sekaligus dan pembayaran sisanya diatur kemudian,” bunyi pasal 3 UU tersebut.


Menteri Keuangan pun mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal 30 Agustus 1955 mengenai peraturan Pelaksanaan Pembayaran Kembali Pinjaman Nasional 1946.


Pinjaman Nasional yang sepertinya sudah beres ternyata menyisakan beberapa obligator yang akan meminta pelunasan. Lima puluh tiga tahun setelah SK Menkeu tanggal 30 Agustus 1955 terbit, muncul gugatan dari ahli waris pemegang surat utang yang diteken menteri Keuangan Soerachman tahun 1946 yang bernama Artip dari Banten. Mereka menggugat menteri keuangan dan gubernur Bank Indonesia (BI) untuk mengembalikan pinjaman yang kini telah mencapai 1,185 miliar rupiah.


“Pemerintah mengeluarkan kebijakan Pinjaman Nasional dan mempunyai hutang kepada almarhum Artip dengan perincian; Pinjaman Nasional Negara Republik Indonesia 1946 dengan bunga 4 persen, Resipis Oentoek Soerat Pengakoean Oetang sebesar f100, pada tanggal 1 Mei 1946 No. A 92756,” seperti dikutip dari laman Kompas, 27 Agustus 2008.


Dalam sidang gugatan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ahli waris Artip tak dapat melanjutkan gugatannya. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya, Februari 2009, menyatakan gugatan para ahli waris tidak dapat diterima. Utang negara yang tercatat dalam Resipis Oentoek Soerat Pengakoean Oetang 1 Mei 1946 dinilai kadaluarsa. Sebab, sejak 1954 pemerintah telah mengumumkan pembayaran utang lewat UU No. 26 Tahun 1954 tentang Pembayaran Kembali Pinjaman Nasional 1946 dan Keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) tanggal 1 Agustus 1955 tentang Pelaksanaan Pembayaran.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
bottom of page