Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Empat Partai Ini Terjerat Korupsi
Setiap partai politik berusaha untuk berkuasa. Ketika kekuasaan diraih, mereka mencari keuntungan untuk dirinya, kelompoknya, dan partainya, dengan cara korupsi. Praktik merugikan negara dan rakyat ini terjadi di setiap pemerintahan, mulai dari Sukarno hingga sekarang. Berikut ini empat partai politik (Partai Nasional Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Sosialis Indonesia, dan Partai Rakyat Nasional), yang terjerat korupsi. Partai Nasional Indonesia Ketua Umum PNI, Ali Sastroamidjojo menjabat perdana menteri pada Juli 1953. Dia menempatkan orang-orang pentingnya di pos-pos strategis. Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai menteri perekonomian dan Ong Eng Die sebagai menteri keuangan. Dalam struktur partai, Iskaq sebagai ketua Komite Dana Partai sedangkan Ong Eng Die anggotanya. Dengan jabatan di pemerintahan itulah mereka mengumpulkan dana partai. “Dengan kedua kementerian yang mengurusi masalah ekonomi ada di tangan partai, para pengusaha PNI mulai menikmati dua tahun kejayaan yang tidak pernah diperoleh sebelumnya,” tulis Jose Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi. Selain itu, Iskaq dan Ong Eng Die menjabat dewan direksi dan wakil direktur Bank Umum Nasional (BUN), yang dibentuk untuk melayani kebutuhan partai dan pengusaha PNI. Selain mengisi lembaga-lembaga strategis, PNI membuat sejumlah kebijakan yang menguntungkan pengusaha PNI. Antara lain dengan mengeluarkan surat izin devisa atau lisensi impor. Pada November 1954, jumlah perusahaan impor lokal meningkat lebih dari 2.000 buah, delapan kali lebih banyak daripada akhir 1950. PNI meraup banyak keuntungan dari pemberian lisensi tersebut. “Lisensi istimewa diberikan kepada pengusaha-pengusaha yang sanggup memberikan 10% dari harga lisensi kepada kas partai PNI,” tulis Soebagijo IN dalam biografi Jusuf Wibisono, Karang di Tengah Gelombang. Jusuf yang merupakan tokoh Masyumi mencibir “lisensi istimewa” Iskaq bukanlah kebijakan ekonomi “nasional” tapi “nasionalis”, merujuk pada PNI. Cara-cara yang dilakukan PNI menuai kecaman dari partai lain. Sejumlah partai koalisi menentang kebijakan ekonomi Iskaq. Karena desakan begitu kuat, pemerintah mengadakan reshuffle kabinet . Iskaq meletakkan jabatan sebagai menteri perekonomian pada 8 November 1954. Iskaq lantas dihadapkan ke meja hijau atas tuduhan korupsi dan dijatuhi hukuman penjara sembilan bulan dan denda Rp200.000. Dia bebas setelah mendapat grasi presiden. Ong Eng Die sempat ditahan dan hendak dituntut tapi kabur ke Belanda, tanah air istrinya. Partai Nahdlatul Ulama Menurut sejarawan Greg Fealy dalam Itjihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, setelah PNI, NU merupakan partai yang paling banyak dikotori skandal korupsi. Selama pertengahan hingga akhir 1950-an, sejumlah petinggi NU menghadapi berbagai pengungkapan skandal korupsi di media, penyelidikan polisi, dan proses pengadilan tindak pidana korupsi. Zainul Arifin ditahan pada April 1957 setelah terbukti menerima pinjaman dari Bank Negara sebesar Rp2,5 juta saat menjabat pembantu perdana menteri. Meskipun polisi menyatakan akan menuntutnya, namun perkaranya tidak sampai disidangkan dan penuntut umum membebaskannya pada 1959. Pada 1957, Ketua III NU Djamaludin Malik ditahan atas tuduhan pinjaman uang negara sebesar Rp45 juta yang diperoleh selama pemerintahan Kabinet Ali II. Hal ini terkait dengan aktivitasnya dalam Bank Masjarakat, dan upaya pengambilalihan perusahaan Belanda, Stroohoeden Veem. Sekjen Departemen Agama Fachruddin Kafrawi diadili pada 1959 atas tuduhan penggelapan dana Rp8 juta dari kas departemen agama untuk kepentingan pribadi. Dana tersebut juga digunakan untuk modal Bank Masjarakat yang berafiliasi dengan NU. Tan Eng Hong, anggota Fraksi NU di DPR, ditahan atas tuduhan melanggar undang-undang tentang mata uang asing. Dachlan dan Masykur diperiksa polisi mengenai keterlibatannya dalam transaksi di Bank Masjarakat. Idham Chalid dan Mohammad Ilyas diduga ikut terlibat dalam penjualan tekstil yang semula dimaksudkan untuk dibagi-bagikan secara gratis selama bulan Ramadan. “Sulit membuktikan semua tuduhan tersebut mengingat hanya sedikit kasus yang berlanjut hingga pengadilan, penyelidikan polisi juga seringkali terhambat oleh campur tangan politik,” tulis Greg Fealy. Menurut Greg, satu kasus paling serius dan sampai ke pengadilan menimpa Wahib Wahab. Pada 1962, dia dicopot dari jabatannya sebagai menteri agama karena terbukti bersalah atas pelanggaran kepemilikan mata uang asing sebesar 40.900 dollar Malaysia. Dia juga mengadakan transaksi dagang di Singapura tanpa memberitahu pemerintah Indonesia. Dia dikenakan hukuman penjara selama enam tahun dan denda sebesar Rp5 juta. Namun, Sukarno mengubah hukumannya menjadi tahanan rumah. Partai Sosialis Indonesia Pada Mei 1957, Sumitro Djojohadikusumo dua kali memenuhi panggilan Corps Polisi Militer Bandung. Panggilan itu untuk meminta keterangan seputar perannya dalam aksi pengumpulan dana untuk Partai Sosialis Indonesia jelang Pemilu 1955. Pemeriksaan juga untuk mengorek keterangan tentang pemberian kredit saat dia menjabat menteri keuangan Kabinet Burhanuddin Harahap.* “Diduga keras Sumitro menyalahgunakan kedudukannya di pemerintah dengan bertindak pada waktu yang sama sebagai ketua panitia PSI untuk pemilihan, dan menyelewengkan uang negara untuk partainya,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir Politik dan Pengasingan di Indonesia. Menurut politisi Masyumi Jusuf Wibisono, Khouw Kim Eng, anggota PSI yang tinggal di Cirebon mengaku menyumbang uang ke PSI lewat Sumitro. “Pemeriksa menyita dua buah kuitansi sebagai tanda penerimaan beberapa juta rupiah yang diberikan Sumitro kepada Khouw Kim Eng. Tetapi tersangka waktu itu ternyata sudah ada di Sumatra Barat,” kata Jusuf. Khouw Kim Eng, direktur NV Libra, menjadi tahanan Kejaksaan Agung pada penghujung 1955. Dia dituduh melakukan kecurangan perdagangan barter dengan Hongkong yang merugikan negara puluhan juta rupiah. Namun, hakim Pengadilan Negeri Jakarta melepaskannya dan menjadi tahanan luar dengan jaminan uang jutaan rupiah, mobil, rumah, tanah, sawah, dan tokoh penting seperti Iwa Kusumasumantri. Sumitro menerima panggilan ketiga pada 8 Mei 1957. Kali ini dia mangkir.* Menurut informasi dari sumber yang dipercayainya, kali itu dia bakal ditahan. Kepada Sutan Sjahrir, Sumitro pamit meninggalkan Jakarta untuk bergabung dengan perjuangan daerah yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat. Dia bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Partai Rakyat Nasional Pada Agustus 1955, Ketua Umum Partai Rakyat Nasional Djody Gondokusumo diciduk di kediamannya oleh Corps Polisi Militer. Beberapa jam setelah penangkapan, petugas Kejaksaan Agung menggeledah sebuah rumah yang biasa dikunjungi Djody. Dalam brankas ditemukan uang sebesar Rp135.000. Jaksa Agung Soeprapto menyatakan perintah penangkapan terhadap Djody terkait korupsi selama menjabat Menteri Kehakiman Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Menurut Deliar Noer dalam Partai Islam dalam Pentas Nasional , sekelompok anggota parlemen dari pihak oposisi menuding Djody melanggar peraturan dalam pemberian visa dan izin masuk ke Indonesia bagi orang-orang asing. Persidangan di Mahkamah Agung memutuskan Djody bersalah. Dia didakwa menerima hadiah sebesar Rp40.000 dari warga asing bernama Bom Kim Tjhong. Dana tersebut sebagai pelicin untuk meluluskan permohonan visa Bong Kim Tjhong. Keterangan para saksi juga memperkuat dakwaan jaksa penuntut umum. Diketahui kemudian bahwa sebagai Menteri Kehakiman, Djody meminta sesama pengurus PRN untuk mencari sumbangan bagi partai. Uang sebesar Rp40.000 yang menyeretnya ke meja hijau juga untuk mengisi kas partai. Djody dikenakan hukuman dua tahun penjara, namun hanya menjalani masa penahanan sebulan di penjara Cipinang. Djody bebas pada 26 September 1956 setelah mendapat grasi dari Sukarno. * Tulisan ini direvisi pada 24 November 2017 pukul 21.00 WIB.
- Teror Terhadap Pemburu Koruptor
NOVEL Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disiram air keras di bagian muka oleh dua orang yang mengendarai motor. Dia diserang setelah salat subuh dari masjid dekat rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dia telah beberapa kali diteror, mulai dari ditabrak sampai dipidanakan, karena dia memimpin penyelidikan kasus-kasus korupsi besar di KPK. Sejarah mencatat, teror terhadap aparat penegak hukum yang menangani korupsi pernah beberapa kali terjadi. Yang umum diketahui adalah pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita para 2001 karena memvonis Tommy Soeharto bersalah dalam kasus tukar guling PT Goro Batara Sakti dan Bulog yang merugikan negara sebesar Rp95,6 miliar. Pelaku penembakan, Mulawarman dan Noval Hadad, mengaku menerima perintah pembunuhan dari Tommy. Tommy pun ditetapkan sebagai tersangka. Jauh sebelumnya, Jaksa Agung Mr. Gatot Tarunamihardja juga berusaha dihabisi karena bertekad memberantas korupsi. Gatot adalah jaksa agung pertama Republik Indonesia pada 1 Oktober 1945. Namun, pada 24 Oktober 1945, atas permintaan sendiri, dia diberhentikan dengan hormat oleh presiden. Pada 1 April 1959, dia terpilih kembali menjadi jaksa agung menggantikan Mr. R. Soeprapto. Dia menjadi orang pertama yang dua kali memegang jabatan Jaksa Agung. Abdul Rachmat Nasution, ayah pengacara Adnan Buyung Nasution, menceritkan sosok sahabatnya itu. “Pak Gatot itu orang hebat,” katanya sambil mengacungkan jempol. “Cuma nasibanya tidak bisa maju. Zaman telah berubah. Siapa yang mau menegakkan kebenaran dan keadilan seperti Jaksa Agung Gatot Tarunamihardja itu malah dianggap melawan arus. Sekarang, kebanyakan orang malah lebih suka mengikuti arus, yaitu arus kebatilan.” “Ayah ngomong begitu sebab ayah tahu, begitu Mr Gatot Tarunamihardja diangkat jadi Jaksa Agung, langsung dia mau membersihkan negara ini dari korupsi,” kata Buyung dalam otobiografinya, Pergulatan Tiada Henti: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto. Menurut Buyung, Gatot memang terlalu berani karena memilih yang pertama diberantas yaitu korupsi di institusi tentara. Tidak tanggung-tanggung, dia berusaha membongkar kasus korupsi penyelundupan di Teluk Nibung, Sumatera Utara di bawah Panglima Teritorium I Kolonel Maludin Simbolon, dan barter di Tanjung Priok yang diduga melibatkan Kolonel Ibnu Sutowo. Hasil dari penyelundupan dan barter itu digunakan untuk kepentingan tentara. KSAD Mayjen TNI AH Nasution awalnya menghentikan penyelidikan dan akan menyelesaikannya dengan cara disiplin tentara dan administratif. Pemerintah menyetujuinya. Namun, pada 23 Agustus 1959, Gatot meminta izin Presiden Sukarno untuk mengadakan pemeriksaan karena ada indikasi penyelundupan terus dilakukan. Ketika Gatot akan memerikasa beberapa perwira seperti Kolonel Ibnu Sutowo dan Letkol Sukendro, Nasution berusaha menggagalkannya bahkan memerintahkan Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya Kolonel Umar Wirahadikusuma untuk menangkap Gatot saat presiden di luar negeri. Ketika sudah kembali ke Indonesia, Sukarno mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Djuanda, Nasution, dan Gatot. Permasalahannya diambil alih Sukarno. Sebagai jalan tengah, presiden memberhentikan Gatot dan mengembalikannya ke departemen kehakiman. Sementara para perwira yang terlibat dalam barter Tanjung Priok dimutasi dan tetap aktif di militer. Tidak terima dengan tindakan Gatot, tentara berusaha untuk membunuhnya. “Operasi pemberantasan korupsi mengalami obstruksi (rintangan) seperti percobaan pembunuhan terhadap Jaksa Agung Gatot Tarunamihardja yang berani mengusut penyelundupan oleh perwira tinggi TNI Angkatan Darat,” tulis Christianto Wibisono dalam Jangan Pernah Jadi Malaikat: Dari Dwifungsi Penguasaha, Intrik Politik, sampai Rekening Gendut . “Dia dicoba dibunuh oleh tentara dengan ditabrak subuh-subuh sampai buntung kakinya,” kata Buyung. Secara resmi, Gatot menjabat sebagai Jaksa Agung selama kurang lebih lima bulan sampai 22 September 1959. Dia diganti Mr. Gunawan.*
- Meruntuhkan Tembok Pembatas
Namanya melejit setelah memenangi ajang Putri Indonesia tahun 2004. Artika Sari Devi lalu aktif di dunia hiburan; sebagai presenter, model iklan, pemain sinetron dan film. Tika, begitu dia biasa disapa, ingin apapun yang dia lakukan membawa ke arah yang lebih baik. Terutama bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Dia bilang terinspirasi oleh R.A. Kartini, pelopor kebangkitan perempuan Indonesia. RA Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879. Sebagai putri Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, dia berkesempatan mempelajari baca-tulis dan menguasai bahasa Belanda. Namun, setelah usianya 12 tahun, dia dipingit. Dari dalam rumah, Kartini berkorespondensi dengan teman-temannya di Belanda. Melalui surat-menyurat itu, dan juga bacaan-bacaannya, Kartini tergerak memajukan perempuan bumiputera hingga dia mendirikan sekolah khusus perempuan di Rembang. Menurut Tika, Kartini adalah perempuan hebat karena mampu meruntuhkan tembok pembatas, sosial dan budaya. Semangat dan buah pikiran Kartini masih relevan untuk perempuan Indonesia masa kini. Awal kenal sosok Kartini? Sewaktu sekolah tentunya. Dengan adanya perayaan Hari Kartini setiap tanggal 21 April, semua orang Indonesia otomatis tahu sosok Kartini. Seiring waktu saya mengenal lebih dalam dari bacaan-bacaan. Salah satunya buku Habis Gelap Terbitlah Terang . Dari situ saya mulai melihat siapa Kartini sesungguhnya. Bagaimana sosok Kartini yang sesungguhnya? Banyak orang mengenal Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita; seolah-olah hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Padahal Kartini punya banyak kegelisahan dan visi. Bukan hanya tentang posisi dan hak perempuan dalam tatanan masyarakat, tapi juga perilaku masyarakat sekitarnya yang ternyata masih relevan di masa sekarang. Bagaimana Kartini menginspirasi Anda? Banyak nilai, pemikiran, dan visinya yang menyentuh hati dan pikiran saya. Dia mempertanyakan dan membicarakan banyak hal, dari agama, politik, hukum, perang, sampai cinta. Terutama dia memiliki kepedulian terhadap masyarakat (rakyat kecil) di sekitarnya. Jadi Kartini bukan hanya pahlawan emansipasi wanita, tapi juga inspirator, perempuan yang membawa perubahan dalam keterbatasannya. Anda coba tanamkan dalam kehidupan sehari-hari? Semangatnya mengingatkan saya bahwa siapapun saya, di mana saya berada, senyaman atau semenderita apapun, saya tidak lupa untuk tetap berpikir, berkarya, atau minimal melakukan sesuatu yang dapat membawa diri saya ke arah yang lebih baik. Lebih baik lagi kalau saya bisa melakukan sesuatu untuk masyarakat atau lingkungan tempat saya berada. Misalnya dalam hal apa semangat itu diwujudkan ? Ya, saya mencoba menjadi Kartini versi Artika Sari Devi. Sesuai kapasitas saya sebagai seorang manusia, perempuan, ibu, istri, saudara, teman, perempuan yang bekerja, seniman. Saya mencoba memberikan bagian terbaik dari diri saya dalam apapun yang saya kerjakan. Lebih banyak peduli dan memberi, misalnya. Apakah perempuan saat ini mewarisi semangat Kartini? Yang sering saya lihat banyak perempuan merasa perempuan lain adalah saingannya. Perempuan berlomba-lomba menjadi yang terbaik dengan mengalahkan atau menjatuhkan perempuan lain. Saya melihat ini justru berlawanan dengan semangat Kartini yang ingin memajukan sesamanya dan maju bersama-sama. Alangkah baiknya kalau kita, perempuan Indonesia, dapat membawa semangat dan harapan Kartini dalam kehidupan sehari-hari. Saya juga berharap perempuan Indonesia dapat saling menginspirasi dan mendukung untuk kemajuan sesama.
- Pembantaian Paman Sam di Vietnam
Direktur My Lai Museum, Pham Thanh Cong, tak pernah melupakan peristiwa yang terjadi ketika dirinya berusia sebelas tahun. Peristiwa itu juga membekas pada keluarganya dan lebih dari 200 keluarga tetangganya. Pada pagi 16 Maret 1968, dia bersama ibu dan empat saudaranya mendengar suara helikopter yang membawa pasukan Amerika Serikat (AS). Sang ibu mengajak anak-anaknya berlindung ke dalam bunker sederhana yang ditutupi jerami di dalam rumah. Namun, upaya itu sia-sia. Serdadu AS memerintahkan semua orang di dalam rumah agar keluar. Kejadian mengerikan pun terjadi setelah itu. Sejak Yon ke-48 Vie Cong melancarkan Tet Offensive pada Januari 1968, militer AS membentuk unit khusus, Task Force Baker (TFB) di bawah pimpinan Letkol Frank Baker. TFB beroperasi di beberapa desa di Provinsi Quang Ngai, yang oleh intelijen AS ditengarai sebagai tempat mundur pasukan Yon ke-48 Vie Cong. Pada 15 Maret 1968, Komandan Brigade ke-11, Kolonel Oran K. Henderson, memerintahkan TFB menghancurkan Yon-48 Viet Cong di sekitar Desa My Lai, basis perjuangan Vietnam sejak era pendudukan Prancis. “Selama perang melawan Prancis, Viet Minh menganggap daerah itu sebagai zona bebas dan bahkan mendirikan sebuah pabrik senjata kecil di sana,” tulis Gary W Bray dalam After My Lai: My Year Commanding First Platoon, Charlie Company . Barker mengumpulkan tiga komandan kompi TFB dan memerintahkannya memulai operasi keesokan harinya. Operasi yang dimulai pada pukul 07.25 pagi itu akan dibuka dengan tembakan artileri. Setelah itu, Kompi Charlie di bawah pimpinan Kapten Ernest Medina, akan didaratkan menggunakan helikopter untuk mengamankan zona pendaratan di barat My Lai 4 hingga mencapai Pinkville di timur. Ernest Medina memerintahkan komandan peleton-peletonnya agar membunuh semua lawan, menghancurkan logistik, membunuh ternak, meracuni sumur penduduk, dan membakar desa. Ernest menganggap penduduk desa sebagai Viet Cong atau paling tidak pendukung. Menjelang subuh 16 Maret 1968, personel Kompi Charlie telah siap memulai operasi. Rasa benci mereka kepada orang Vietnam amat tinggi karena banyak rekan mereka jadi mangsa. Begitu turun dari helikopter, mereka menyebar dalam unit-unit kecil dan menyerang dengan berondongan senapan, lemparan granat, dan tembakan roket. Meski tak semua, banyak dari serangan itu dipelopori oleh Peleton 1 di bawah pimpinan Letnan William Calley. Banyak prajuritnya yang langsung main tangkap. Penduduk lalu dikumpulkan di lapangan desa. Ketika Ernest Medina menyadari info dari intelijen ternyata meleset dan mulai menghentikan tembakan, pasukan Calley masih terus menyerang. Penduduk yang ada di lapangan diberondong tembakan. “Siapa pun yang mencoba lari langsung ditembak. Orang-orang Amerika itu melemparkan granat ke rumah-rumah jerami penduduk dan bunker-bunker di mana penduduk bersembunyi selama perang,” tulis Michael Burgan dalam The My Lai Massacre . Pham Thanh Cong beserta ibu dan empat saudaranya diperintahkan untuk keluar bunker. Namun, setelah mereka keluar, para serdadu AS mendorong mereka kembali ke bunker. Seorang serdadu melemparkan granat ke bunker itu disusul tembakan senapan M-16. Cong dan keluarganya langsung tak sadarkan diri. Begitu siuman, Cong mendapati dirinya berada di tumpukan mayat keluarganya. “Tentara-tentara AS itu pasti menganggap Cong sudah tewas. Sore harinya, ketika helikopter-helikopter AS pergi, ayahnya dan beberapa penduduk desa yang selamat, yang datang untuk menguburkan orang-orang yang tewas, menemukan Cong,” tulis Seymour Hersh, “The Scene of the Crime,” dalam newyorker.com . Penduduk lain, juga penduduk di desa lain, mengalami nasib sama buruk. Tak ada pengecualian, dari bayi hingga perempuan berusia 82 tahun, menjadi korban dari pembantaian itu. Perempuan lebih menderita karena banyak dari mereka diperkosa terlebih dulu sebelum dieksekusi. Selepas pagi, pembantaian kian menjadi-jadi. Menjelang sore, tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak di empat dusun My Lai. Pembantaian berlanjut hingga 18 Maret 1968 menyasar desa-desa sekitar My Lai. Menurut catatan Museum My Lai, jumlah korban tewas sebanyak 504 orang dari 247 keluarga. Di antara jumlah itu terdapat 24 keluarga yang dibantai dari tiga generasi (kakek hingga cucu) tanpa satu pun anggota keluarga yang selamat. Meski awalnya pembantaian itu dianggap sebagai keberhasilan gemilang dan diberitakan dengan heboh di berbagai media di AS, namun bau busuk Pembantaian My Lai akhirnya tercium juga. Keterangan justru berasal dari prajurit yang terlibat dalam operasi. Banyak dari mereka sebetulnya tak paham Konvensi Genewa. Sebagian mereka juga tak setuju dengan penyerangan warga sipil, namun tak berani menentang perintah atasan. Di antara mereka yang berani, langsung menghentikan kekerasan begitu tahu warga itu bukan Viet Cong atau simpatisannya. Pratu Paul Meadlo, yang sepanjang operasi berada di dekat Calley, mengutuk kebejatan sang komandan. Akibatnya, dia dipulangkan. Pada April 1969, Ronald Ridenhour, veteran Brigade 11 yang menaungi Charlie, mengirim surat kepada presiden, menteri pertahanan, ketua Gabungan Kepala Staf, anggota Kongres dan Senat. Dia mendeskripsikan apa yang terjadi di My Lai dan meminta diadakan investigasi. Seorang pilot yang ikut mendrop pasukan Charlie juga memberikan kesaksian. Menurutnya, dia sempat meminta komandan Charlie menghentikan pembantaian namun malah mendapat ejekan. Upayanya untuk menolong korban justru dijawab dengan hinaan. Pembantaian My Lai mulai menjadi perhatian media dan publik AS setelah Seymour Hersh membuat beberapa tulisan di Dispatch News Service pada November 1969. Publik marah, terlebih protes Perang Vietnam kian kuat di AS. Teolog Reinhold Niebuhr langsung mengecam. “Ini adalah saat tepat ketika kita menyadari bahwa kita bukan bangsa yang berbudi luhur,” ujarnya dikutip Kendrick Oliver dalam The My Lai Massacre in American History and Memory . Militer AS langsung menghelat pengadilan militer terhadap beberapa perwira yang terlibat. Namun, upaya penutupan amat kuat sehingga pada akhirnya hanya pengadilan terhadap William Calley saja yang berlangsung hingga selesai. Setelah bebas, pada 2015 Calley mengemukakan permintaan maaf publiknya atas apa yang terjadi di My Lai. Para anak buahnya telah lebih dulu menyatakan penyesalan. Toh, peristiwa itu tetap membekas di benak banyak orang Vietnam yang selamat dari pembantaian. “Kami memaafkan, tapi tidak pernah melupakan,” kata Cong.
- Macan Kesepian
Beberapa waktu lalu, jagad media sosial dihebohkan oleh patung macan berwajah lucu di depan markas Komando Rayon Militer 1123 Cisewu, Garut, Jawa Barat. Patung tersebut dibuat pensiunan tentara yang berdinas terakhir di Koramil Cisewu. Dibongkarnya patung macan lucu itu seakan meneguhkan bahwa citra macan harus garang. Namun, pelukis terkemuka Indonesia, Raden Saleh, pernah membuat lukisan macan kalem dan tenang berjudul “Tiger Drinking”. Dalam lukisan yang dibuat tahun 1863 itu, sosok macan Jawa muncul dari lebatnya hutan tropis yang kelam, dengan pohon-pohon besar menjulang. Ia tampak sedang mereguk air dari pinggir telaga yang tenang. Mikke Susanto, kritikus seni rupa yang mengajar di ISI Yogyakarta, mengatakan bahwa karya Raden Saleh yang satu itu adalah pengecualian. Biasanya, dia selalu melukis hewan, baik banteng atau macan, dengan tampilan garang, enerjik, dan maskulin. Namun, pada lukisan yang dibuat 154 tahun lalu itu, dia menampilkan sosok macan kesepian yang muncul dari dalam rimba raya. “Saya pikir Raden Saleh ingin membuat ide yang berbeda saja. Harimau digambarkan ayem, tenteram dan ia seperti makhluk mungil yang muncul dari rimba tropis Jawa yang sedemikian agung,” ujar Mikke kepada Historia . Ada cerita menarik dari lukisan koleksi Sukarno ini. Sekali waktu, Sukarno bercanda dengan staf istana di depan lukisan yang digantung itu. “Berapa jumlah macan dalam lukisan ini?” tanya Sukarno. Beberapa staf di sekitarnya pun menyelidik. “Wah, ya cuma satu ekor, Pak,” ujar mereka. “Salah! Yang benar ada dua,” jawab Sukarno. Bung Besar pun menunjuk harimau di dalam lukisan. Satu sosok yang keluar dari rimba dan mereguk air, dan yang satunya, wajah harimau yang terpantul dari beningnya telaga, menjadi bayang-bayang dalam air. “Tiger Drinking” salah satu lukisan yang disukai Bung Karno. Dalam pandangan Mikke, Sukarno menyenangi lukisan itu karena merupakan cermin dan masa depannya: kesepian di tengah keramaian. Pada 2013, “Tiger Drinking” dan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” berhasil direstorasi oleh Susanne Erhads, ahli restorasi lukisan dari Jerman. Saat ini, lukisan tersebut tersimpan di museum istana kepresidenan di Bogor. Lukisan berbahan cat minyak di atas kanvas dengan dimensi 160x116 cm ini menampilkan gabungan tema panorama dan tema binatang. Menurut Kukuh Pamuji tema panorama yang dihadirkan Raden Saleh tidak sekadar merekam suasana pemandangan alam, melainkan juga menghadirkan filosofi kesadaran sebagai makhluk kecil di hadapan semesta. “Di sinilah unsur romantisme lukisan ini bisa digambarkan, yaitu sebuah getaran jiwa,” tulis Kukuh dalam “Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan” termuat di laman setkab.go.id. Gaya romantisme Raden Saleh didapatkannya selama menetap di Eropa pada 1829-1851 dan 1875-1879. Saat ini, berdasarkan penilaian aset tahun 2011, nilai aset lukisan “Tiger Drinking” sebesar Rp2,9 miliar.
- Penerapan Hukum Islam di Nusantara
Tuntutan penerapkan hukum Islam di Indonesia kerap mengemuka. Namun, ternyata pada awal perkembangan Islam di Nusantara tidak ada tanda-tanda adanya penerapan syariat Islam. “Abad ke-7 sampai ke-12 tidak ada tanda sama sekali mengenai hukum Islam,” kata Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah dalam diskusi bukunya, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX, di Wisma Usaha UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (6/4). Ayang menyelesaikan master dan doktornya dalam bidang sejarah, filologi, dan hukum Islam dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Prancis. Islam masuk ke Nusantara melalui perdagangan yang berlangsung pada abad 7 sampai abad 12. Buktinya temuan arkeologis di Barus , Tapanuli Tengah. Claude Guillot , salah seorang arkeolog dan sejarawan Prancis, berhasil memetakan awal Islamisasi Nusantara di Barus sejak abad 7. Setelah itu, fase kedua perkembangan Islam dilakukan oleh para pendakwah, khususnya kalangan sufi setelah jatuhnya Baghdad, Irak, ke tangan bangsa Mongol pada 1259. Menurut Ayang, hukum Islam baru diterapkan ketika kerajaan Islam berdiri pada abad 13 dengan hadirnya Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Menariknya, penerapan hukum Islam oleh kesultanan itu tidak sebagaimana hukum yang diketahui dari Alquran maupun hadis. “Hukum Islam di Nusantara itu berkelindan dengan adat setempat sehingga menghasilkan hukum Islam yang lentur,” kata Ayang. Ayang menjelaskan bahwa di Semenanjung Melayu, yang saat ini masuk wilayah Malaysia, ditemukan Batu Bersurat Trengganu bertarikh 1303. Isinya, mengenai undang-undang seorang raja yang menerangkan hukum Islam tentang maksiat. “Inilah hukum pidana Islam yang pertama kali ditemukan di Nusantara,” kata Ayang. Dalam undang-undang tersebut tercantum hukum bagi para pezina. Aturan itu membedakan hukuman bagi masyarakat ningrat dan kalangan bawah. Untuk ningrat hanya dikenai denda, sementara kalangan bawah dihukum rajam. “Padahal kalau dibandingkan dengan Umar bin Khatab, justru hukum Islam tidak diterapkan pada orang miskin terlebih saat keadaan paceklik. Lain dengan di Trengganu,” kata Ayang. Pada abad 15-16 di Kesultanan Malaka terdapat undang-undang yang menjadi salah satu induk bagi undang-undang di Nusantara, terutama dalam kebudayaan Melayu. Meski telah ada undang-undang itu, yang murni mengambil hukum Islam hanyalah hukum pernikahan. Pada masa Kesultanan Aceh, sekira abad 16-17 banyak ditemukan kesaksian dari para pelancong mancanegara yang menceritakan hukum pidana di kawasan itu. Kesultanan ini pun, Ayang menilai, tak menerapkan hukum Islam sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci. Contohnya hukum perzinaan. Hukuman rajam berlaku dalam hukum Islam bagi para pezina. Namun di Aceh, secara umum terdapat dua hukuman bagi pelanggar. Pertama, tangan dan kaki pezina, baik laki-laki maupun perempuan ditarik oleh empat ekor gajah ke arah berlawanan. Kedua, pezina laki-laki dipotong kelaminnya dan perempuan dipotong hidungnya dan dicungkil matanya. Hukuman sula yang kejam juga diberlakukan bagi perzinaan dan pembunuhan. Hukuman ini dilakukan dengan mendirikan bambu runcing. Laki-laki yang bersalah akan ditancapkan pada bambu runcing itu dari bagian belakang hingga tembus ke mulut. Sedangkan pada perempuan, bambu runcing ditancapkan dari bagian depannya hingga tembus ke mulut. Untuk kasus pembunuhan, hukum di Aceh akan mengganjar seorang pembunuh dengan hukuman yang sesuai dengan yang dia lakukan ketika membunuh. Ini menurut kesaksian pelaut Prancis, FranÇois Martin de Vitr yang menjelajah ke Sumatera pada sekira 1601-1603 dan tinggal di Aceh selama lima bulan. Ancaman lainnya, sang pembunuh akan ditangkap lalu ditidurkan untuk selanjutnya dilempar ke atas oleh gajah dan ditangkap oleh gadingnya. Dia kemudian kembali dilempar untuk kemudian diinjak-injak. Kalau bukan itu hukumannya, si pembunuh akan dimasukkan ke kandang macan. “Padahal di Alquran untuk hukum pembunuh ada tiga: qisas (bunuh balas bunuh), uang tebusan, dan dimaafkan,” ungkap Ayang. Bahkan di Aceh, ketika itu mudah sekali memberlakukan hukum potong tangan dan kaki untuk kesalahan apapun. Ayang menceritakan, hal ini terjadi pada seorang panglima Tiku, salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh. Dia ketika itu tak menyerahkan kewajiban upetinya kepada Sultan Iskandar Muda. Sang Sultan langsung mengambil pedang dan menebas kedua kaki bawahannya itu hingga batas lutut. “Pertanyaannya, apakah ada di hukum Islam? Tidak pernah ditemukan. Artinya apa? Ini hukum adat,” tegas Ayang. Meski begitu, menurut Ayang, bukan berarti hukuman itu merupakan hukum adat khas Aceh. Hukuman semacam ini lumrah ditemukan di belahan dunia lain. Misalnya, di Dinasti Mamluk Mesir yang berdiri sekira abad 13-16 dan Dinasti Khilafah Turki Usmaniah dari abad 16-20. Berdasarkan data sejarah yang ada, Ayang pun mengungkapkan, hukum Islam di Nusantara tak pernah ada formalisasi. Negara tidak menetapkan hukum yang harus diterapkan berdasarkan Alquran, hadis, atau pendapat para ulama. Hukum yang diterapkan pada masa kerajaan Islam di Nusantara beradaptasi dengan budaya setempat. “Justru hukum adat Nusantara itu yang jauh lebih kejam dari hukum Islam,” ungkapnya. Lebih jauh, Ayang mengatakan, hukum Islam hanya diberlakukan untuk politik pencitraan oleh penguasa. Hukum Islam pada masa itu merupakan simbolisasi kekuasaan sultan, bahwa dia adalah cerminan wakil Tuhan. “Tetapi, saya melihat satu sisi dari hukum Islam yang dipraktikkan secara tulus yaitu terkait ibadah. Kalau pidana, ini kan sebenarnya simbol kekuasaan negaranya untuk menghukum rakyatnya. Itu (hukum Islam, red ) 90 persen tidak dipraktikkan,” pungkas Ayang.
- Kadiroen
KADIROEN masih muda, baru berusia 20 tahun. Dia lulusan Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA, Sekolah Pamongpraja Pribumi) Probolinggo. Anak lurah yang berhasil jadi bintang di sekolahnya dan kemudian meniti karier sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kariernya melesat cepat: dari juru tulis, melompat jadi mantri polisi, asisten wedana dan berakhir sebagai patih. Kadiroen adalah tokoh utama novel Hikayat Kadiroen yang ditulis Semaoen, tokoh Sarekat Islam afdeling Semarang dan kelak jadi ketua Partai Komunis Indonesia yang pertama. Hikayat Kadiroen ditulis pada 1919, saat Semaoen dipenjara karena kasus persdelict . Dimuat bersambung di koran Sinar Hindia sejak 5 Mei-22 September 1920, kemudian diterbitkan dalam bentuk novel. Semaoen mengisahkan Kadiroen sebagai amtenar muda idealis yang sangat peduli pada nasib rakyat. Dia tak betah berlama-lama duduk di balik mejanya karena lebih suka berkeliling desa menyaksikan kehidupan masyarakat. Kian lama bertugas, dia makin bertanya mengapa begitu banyak rakyat hidup melarat sedangkan para pejabat hidup bergelimang harta dan kehormatan. Sistem pemerintahan Hindia Belanda bertumpu pada dua kaki kekuasaan: Binneland Bestuur (pemerintahan dalam negeri) yang dijalankan oleh pejabat Belanda dan Inlandsche Bestuur (pangreh praja) dijalankan oleh elite feodal pribumi. Sistem ini diberlakukan sejak masa tanam paksa demi mempermudah eksploitasi tanah jajahan. Multatuli dalam Max Havelaar menulis bahwa untuk menguasai orang-orang Jawa, paling mudah dengan jalan menguasai kepala-kepalanya. Menjadikan mereka bagian dari sistem kolonialisme itu sendiri. Dengan cara itu jutaan gulden bisa dihasilkan dari keringat rakyat jajahan tanpa harus repot berhadapan langsung dengan mereka. Kadiroen adalah pengecualian. Dia bukan sosok pejabat pribumi yang mudah menindas demi jabatan dan menghamba di hadapan tuan-tuan Belandanya. Pada masa itu, Hindia Belanda sedang gempar oleh kehadiran Sarekat Islam, yang mengajarkan bahwa setiap orang setara, tiada peduli apa warna kulitnya. Setelah Sarekat Islam, muncul pula Partai Komunis, yang bahkan lebih berani lagi mengajak orang untuk melawan kesewenangan penguasa. Kadiroen kepincut gerakan itu. Dia tak tahan lagi untuk berlama-lama hidup sebagai pejabat yang harus bekerja dalam sistem birokrasi yang mengungkung dirinya. Sementara itu banyak pejabat lain yang justru gerah dengan kehadiran organisasi pergerakan mengancam keistimewaan posisi mereka di hadapan rakyat. Bahkan mereka menuduh kalau semua itu adalah upaya menggantikan tradisi asli pribumi dengan adat Belanda (barat). Tak ada jalan lain bagi Kadiroen kecuali “bunuh diri kelas”, terjun ke dalam pergerakan politik dan menanggalkan semua hak istimewanya sebagai pejabat. Kisah Kadiroen mencerminkan situasi yang terjadi pada masa kolonial di Hindia Belanda, di mana kolonialisme digambarkan sebagai sistem yang melibatkan banyak orang, baik Belanda sebagai penjajah maupun elite feodal pribumi yang menjadi kaki tangannya. Penjajahan seringkali dipahami dalam cara pandang yang bias rasisme: penjajah selalu merujuk kepada orang Belanda berkulit putih sementara pribumi berkulit coklat selalu dilihat sebagai obyek penjajahan. Padahal penjajahan yang terjadi di sini merupakan kerja sama antara tuan kulit putih dengan tuan kulit sawo matang untuk sama-sama menindas rakyatnya dalam sistem kolonialisme. Dan yang terjadi dalam sejarah seringkali anomali-anomali: tentang tokoh pribumi dan kulit putih yang melawan apapun yang merendahkan derajat kemanusiaan. Dari sanalah kita mengenal kisah Kadiroen dalam novel yang ditulis Semaoen atau Max Havelaar yang ditulis Multatuli alias Douwes Dekker. Dua kisah tentang mereka yang menjalankan tugasnya sebagai manusia, demi dan atas nama kemanusiaan.*
- Montase Seorang Ikon
BOCAH pirang itu sangat aktif dan selalu riang. Berjalan ke sana ke mari, memainkan benda apapun yang menarik perhatiannya, atau menirukan orang dewasa melakuan pekerjaan memenuhi hari-harinya. Orang-orang sangat menyukainya. “Dia adalah magnet. Semua orang ingin menjumpainya,” kata Wendy Elizabeth, sang ibu.
- Proyekisme
JEMBATAN sungai Cibawor yang pernah dibangun Kabul mungkin sekarang sudah tak ada sama sekali, ambrol diterjang aliran sungai saking keroposnya pondasi yang menyangganya. Insinyur Kabul, pemuda idealis sarjana teknik sipil memimpin proyek pembangunan jembatan itu dengan semangat memperbaiki kondisi masyarakat. Tapi apa daya, gambaran ideal Kabul tentang sebuah jembatan yang berdiri kukuh teguh menghubungkan kedua sisi sungai Cibawor berantakan seketika saat koruptor menggerogoti anggaran proyek pembangunan jembatan itu. Tak tanggung-tanggung, korupsi dilakukan mulai dari pejabat tinggi sampai dengan pegawai sekelas mandor. Di tengah anggaran yang makin minim, kualitas jembatan yang makin menurun, tengat waktu penyelesaian jembatan pun makin mepet. Dipaksakan untuk selesai pada perayaan hari ulangtahun Golongan Lestari Menang, partai penguasa yang paling berkuasa dari segala kekuasaan di negeri ini. Kabul ngotot agar jembatan menggunakan material terbaik, juga bersikeras agar peresmian jembatan tak dipaksakan bersamaan hari ulangtahun Golongan Lestari Menang. Sikap Kabul jadi anomali di tengah kehendak banyak orang yang ingin ambil untung sendiri-sendiri. Walhasil, seperti yang sudah diduga, jembatan ambrol, tak berumur panjang. Cerita tentang karut marutnya pelaksanaan proyek pembangunan jembatan itu dilukiskan dengan sangat baik oleh Ahmad Tohari dalam novelnya Orang-Orang Proyek . Ini novel lama, terbit pertama kali pada 2002, menggambarkan situasi pada masa Orde Baru, dengan segala macam tindakan korupsi, intimidasi dan represi. Tentu saja tak ada KPK dan operasi tangkap tangan di dalam cerita itu. Yang ada adalah sosok-sosok pegawai pemerintah yang korup dan tak malu memamerkan kekayaan hasil colongannya, seperti Dalkijo pegawai negeri yang gemar bermewah-mewah. Sementara itu orang-orang seperti Kabul yang idealis pada akhirnya seringkali harus tersisih atau menyerah pada keadaan yang tak mampu lagi dia benahi. Pernah seorang kawan berkelakar setengah getir tentang perbedaan bagaimana sebuah proyek dulu dan sekarang dijalankan. Kalau dulu, kata dia, orang berebut untuk jadi pimpinan proyek (Pimpro), posisi yang ditempati Kabul dalam novel Ahmad Tohari itu. Kalau sekarang, orang mikir-mikir dua kali untuk memegang proyek. Lebih mengherankan lagi, seorang pejabat daerah pernah bercerita kepada saya, “Zaman sekarang kita mesti hati-hati, jangankan salah, benar saja bisa masuk penjara,” kata dia was-was. Apakah artinya zaman sekarang ini korupsi banyak berkurang dibanding pada masa yang lalu? Atau jangan-jangan banyak orang takut untuk menjalankan pekerjaan karena baik salah atau benar bisa terancam masuk penjara? Terbitlah sebuah hipotesis alias dugaan: barangkali orang di zaman sekarang tak melakukan korupsi bukan karena sadar kalau korupsi itu salah, tapi lebih karena takut ketahuan (yang artinya, mungkin, kalau tidak ketahuan ya jalan terus). Yang pasti, setiap hari selalu saja kita menemukan berita perkara korupsi muncul di berbagai media massa. Belum lagi korupsi yang disebabkan oleh “mental proyek” alias bikin proyek akal-akalan yang sama sekali tak berdasarkan pada kebutuhan obyektif. Seperti cerita beberapa sekolah di Jakarta yang ujug-ujug dapat alat fitnes, seakan-akan pendidikan bertujuan untuk membentuk tubuh lulusannya jadi six pack , gagah berotot bak binaragawan. Atau kisah lain tentang UPS ( Uninterruptible Power Supply ) untuk 49 sekolah di wilayah Jakarta. Harga UPS dipatok kurang lebih Rp5 milyar per unit padahal harganya kurang dari Rp.150 juta. “Proyekisme” yang menjangkiti sebagian birokrat dan politikus inilah yang sejatinya bermodus sama denga zaman yang lalu. Bila semasa Kabul membangun jembatan Cibawor modus “proyekisme” dilakukan dengan mengurangi jatah harga semen, pasir dan besi, maka di zaman sekarang “proyekisme” ditempuh dengan jalan membikin “pembangkit listrik tenaga UPS” seakan-akan PLN bakal melakukan pemadaman lisrik selama sebulan. Luar biasa!*
- Leluhur Langsung Bangsa Indonesia dari Taiwan
Ribuan tahun lalu bangsa Indonesia pernah disatukan oleh akar tradisi yang sama: bahasa Austronesia. “Kita semua memang berbeda, tetapi kita memiliki kesamaan yang dirangkai melalui Austronesia sebagai benang merahnya,” ujar Harry Truman Simanjuntak, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Hingga kini, para ahli sepakat bahwa para penutur Austronesia yang datang dari Taiwan adalah leluhur langsung bangsa Indonesia. Dari segi fisik, penutur Austronesia tergolong ras Mongoloid Selatan. Dalam perkembangannya, penampilan fisik memang menjadi sangat beragam. Kemampuan beradaptasi penutur Austronesia terhadap lingkungan baru mendorong terciptanya keragaman etnis. Pengaruh lainnya datang dari interaksi bologis antarkelompok atau dengan pendatang lainnya yang menyebabkan terjadinya percampuran gen. Secara bahasa, warisan Austronesia ditandai dengan kata-kata yang mirip dalam bunyi dan makna. Beberapa kata, seperti bilangan satu sampai sepuluh di berbagai kawasan persebaran Austronesia menunjukkan adanya kekerabatan itu. Baca juga: Ikuti Proyek DNA: Sebineka Apa Kamu? Misalnya, dalam bahasa Jawa kuno, hitungan satu sampai sepuluh, yaitu: sa, rwa, telu, pat, lima, nem, pitu, wwalu, sanga, sapuluh. Dalam bahasa Minangkabau, hitungan satu sampai sepuluh, yaitu: ciek, duo, tigo, ampek, limo, anam, tujuah, salapan, sambilan, sapuluah. Dalam bahasa Bugis, hitungannya menjadi seddi, dua, tellu, eppa, lima, enneng, pitu, aruwa, asera, seppulo. Itu tak jauh berbeda dengan bahasa Tagalog yang kini menjadi bahasa resmi di Filipina, yaitu: isá, dalawa, tatló, ápat, lima, ánim, pitó, waló, siyám, sampû. Penjelasannya, pada perkembangan awal, interaksi antarpulau masih terbatas. Ini menjadikan budaya lokal menonjol. Datangnya pengaruh dari luar memunculkan budaya yang berbeda sebagai bagian dari adaptasi. “Yang lebih dekat tentu dapat pengaruh yang lebih besar dibanding yang jauh. Ini yang kemudian menciptakan kebinekaan,” ujar Truman. Baca juga: Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika Di Asia Tenggara, menurut Robert Blust dalam The Austronesian Languages , budaya luar sudah mulai mempengaruhi para penutur Austronesia sejak 2.000 tahun lalu. Budaya India, Cina, Islam, dan Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris) datang memulai keragaman di tengah kebudayaan yang dibawa para penutur Austronesia. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Bukti arkeologis membuktikan kedatangan pengaruh luar itu. Seperti prasasti dari kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang menggunakan bahasa Sanskerta maupun Jawa kuno. Efeknya, kini bahasa yang ada di Nusantara pun semakin beragam. Menurut Truman, bicara mengenai leluhur artinya berbicara mengenai diri sendiri, di sini, saat ini. Para ahli percaya nilai yang dimiliki oleh kehidupan para penutur Austronesia pantas diaktualisasikan di masa sekarang untuk kepentingan masa depan. “Memaknai sejarah leluhur bangsa diperlukan untuk membangun peradaban berkepribadian, berlandaskan kebudayaan yang jauh berakar, menancap hingga ke masa lampau,” katanya. Baca juga: Bukti Terbaru Asal Usul Manusia Modern I Made Geria, kepala Puslit Arkenas, pun melihat adanya peluang bagaimana nilai yang terkandung dalam akar budaya ini bisa memperkuat tali kebangsaan. Katanya, memaknai bahwa bangsa ini memiliki leluhur yang sama akan mampu memberikan harmoni meski Indonesia terdiri dari beragam ras, agama, etnis, dan budaya. Justru dengan memahami ini akan meningkatkan kesadaran identitas sebagai bangsa yang bineka. “Artinya, kita semua di sini dengan nilai kearifan diberi kekuatan untuk menjaga. Ini mungkin yang disebut penguatan kebangsaan,” ucapnya.
- Bukan Biro Siti Nurbaya
TERDORONG melihat banyak temannya yang mapan dan punya karier bagus kesulitan mencari pasangan, Subky Hasbie merintis biro jodoh. Pada 1974, dia mendirikan Yakmi Services Corporation (Yasco) –kemudian Yasco diganti jadi Yayasan Scorpio. Waktu pendiriannya tepat. Saat itu, hanya ada dua rubrik jodoh di dua suratkabar Jakarta, sementara peminat selalu tumbuh. “Rubrik di kedua koran itu ternyata juga tidak dikelola dengan serius. Buktinya, dia yang saat itu masih lajang, ingin mencoba mencari jodoh lewat rubrik itu tetapi suratnya tidak pernah ditanggapi dan namanya pun tidak pernah nongol di daftar yang dicetak,” tulis Jackie Ambadar, Miranty Abidin, dan Yanty Isa dalam Selalu Ada Peluang . Sempat dianggap aneh, Hasbie jalan terus. Dia menjalin kerjasama dengan Buana Minggu . Pada 11 Mei 1974, rubrik biro jodoh di mingguan itu pun mulai terbit. “Hari itu kemudian saya tetapkan sebagai tanggal resmi berdirinya Yasco,” ujarnya, dikutip Jawa Pos, 19 Desember 2008. Respons berdatangan. Ratusan surat dan telepon masuk ke kantornya di Jalan Ki S. Mangunsarkoro, Jakarta Pusat –setelah berkali-kali pindah kini di Jalan Kramat Lontar. Jumlah anggota yang mendaftar maupun peminat terus meningkat. Beberapa pasangan naik ke pelaminan. Kenangan yang berhasil diterbitkan dalam buku Rumahku, Istanaku pada 1980. Hasbie pria kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 1944. Dia pernah menjabat kepala bagian Litbang Departemen Agama dan asisten ketua umum Majelis Ulama Indonesia. Kini, biro jodohnya masih tetap eksis.
- Melacak Jejak Suku Mante
Sesosok manusia tertangkap kamera pengendara motor trail yang sedang menjelajah hutan di Aceh. Mereka mengejar orang kerdil yang berlari cepat itu. Rekaman yang diunggah ke laman youtube kemudian viral dan mendapat pemberitaan luas. Ahli antropologi yang dikutip media massa menduga orang itu adalah suku Mante yang hidup di hutan. Suku kuno ini sempat dinyatakan punah, namun rekaman itu membuktikan mereka masih ada. Selain Mante, mereka juga disebut dengan beberapa nama: Mantir, Mantra, Manteu, dan Bante. Buku Ensiklopedi Aceh: Adat, Bahasa, Geografi, Kesenian, Sejarah, menyebut bahwa di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Aceh adalah dari suku Mantir (Manteu, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Mante ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang. Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh dan Nusantara, bangsa Aceh termasuk ke dalam lingkungan rumpun bangsa Melayu, yaitu bangsa-bangsa Mante (Bante), Lanun, Sakai Djakun, Semang (orang laut), Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan Pahang menurut etnologi, ada hubungannya dengan bangsa Phonesia dan Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga. “Menurut Zainuddin etnis Aceh mempunyai kesamaan dengan etnis Melayu lainnya yang ada di Malaysia yaitu dari Perak dan Pahang. Etnis tersebut diduga berasal dari Babylonia dan India,” tulis Abdul Rani Usman, kepala pusat penelitian dan penerbitan UIN Ar-Raniry Aceh, dalam Sejarah Peradaban Aceh . Menurut Usman, para imigran datang ke Aceh pada ribuan tahun sebelum masehi. Kehadiran mereka dalam dua gelombang. Periode pertama merupakan suku Melayu lama, mereka hidup di daerah pesisir Aceh. Kedatangan suku Melayu baru membuat mereka masuk dan menetap di pedalaman. Suku Melayu lama enggan menerima pembauran sehingga mereka menetap di dataran tinggi. “Imigran yang lebih dulu berimigrasi disebut etnis Gayo di Aceh Tengah dan suku Mante di Aceh Besar,” tulis Usman. Sampai sekarang belum ada penelitian yang khusus dan mendalam mengenai suku Mante. Keberadaan suku itu berdasarkan cerita masyarakat Aceh yang pernah melihatnya. Hal itu diakui oleh Christiaan Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk masalah pribumi dan Arab/Islam, yang menyelidiki masyarakat Aceh agar dapat ditaklukkan dalam Perang Aceh. Dalam bukunya, Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya, Volume 2 , Snouck mencatat bahwa “menurut kabar, orang Mante ini tanpa busana dan tubuh mereka berambut tebal; dikabarkan bahwa mereka mendiami pegunungan di Mukim XXII; akan tetapi, semua informasi kita hanya berasal dari cerita.” Snouck mendapatkan cerita dari penduduk Aceh yang mengisahkan bahwa “di masa kakek mereka sepasang suami-istri orang Mante tertangkap dan dihadapkan kepada Sultan Aceh. Akan tetapi, meskipun dengan segala upaya, penghuni hutan itu menolak untuk berbicara atau makan, dan akhirnya mati kelaparan.” Sebagai suku primitif yang tinggal di dalam hutan, orang Mante pernah dijadikan label untuk merendahkan orang lain. Menurut Snouck, dalam tulisan tentang Aceh dan dalam percakapan sehari-hari, orang yang tolol dan serba canggung disamakan dengan orang Mante. Di daerah dataran rendah, perkataan ini juga dipakai untuk memberi julukan kepada penduduk dataran tinggi, yang dianggap mereka kurang beradab dan dalam arti yang sama juga diterapkan pada penduduk pantai barat yang berdarah campuran. Bahkan, menurut Snouck, Mante (orang hutan) juga disebut sebagai “sekelompok orang yang sering diceritakan sebagai makhluk jahat dalam dongengan Aceh.” Kendati demikian, dalam masyarakat Aceh pernah terdapat penggolongan rakyat kedalam soeke (suku) atau kawon (kaum) berdasarkan keturunan dari nenek moyang pihak laki-laki dan adat istiadatnya. Pada masa itu, ada empat kawon antara lain Kawon Ja Sandang yaitu orang Hindu yang bekerja untuk majikan masing-masing; Kawon Imeum peut (kaum imam empat) yaitu orang Hindu yang telah memeluk agama Islam; dan Kawon Tok Batu terdiri dari orang-orang asing, seperti Arab, Parsi, Turki, Keling, dan Tionghoa. Sedangkan orang Mante dan Batak masuk dalam Kawon Lherentoih (suku tiga ratus).






















