top of page

Hasil pencarian

9588 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Emas Kegemaran Bangsawan Jawa

    Tradisi mengoleksi emas telah lama hidup dan berkembang di Pulau Jawa. Pada suatu masa logam mulia itu pernah beredar di pasaran dengan harga yang sangat murah. Meski begitu, nilai emas ini tidak pernah jatuh. Para penguasa dan bangsawan pun menggunakannya sebagai simbol kekuasaan. Banyak benda koleksi mereka terbuat dari emas. Menurut kesaksian seorang pengembara Tiongkok, termuat dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa karya WP Groeneveldt, peralatan makan raja-raja di Jawa saat melakukan perjamuan seluruhnya terbuat dari emas. Bahkan khusus untuk raja, peralatan emasnya bertabur batu permata sehingga terlihat jelas perbedaan statusnya. Para penguasa itu hidup dalam kemewahan. Kesaksian utusan Tiongkok tersebut diperkuat dengan penemuan ribuan benda berbahan emas pada 1990 di ladang dusun Ploso Kuning, desa Wonoboyo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Terdapat hampir 7.000 koin emas dan perak, beragam perhiasan, beragam bejana, dan perkakas lainnya. Menurut buku yang disusun tim penulis Museum Nasional Indonesia dalam Treasures of the National Museum Jakarta, timbunan emas, yang kemudian dikenal sebagai “Harta Karun Wonoboyo” itu diketahui menjadi penemuan terbesar objek emas di Indonesia. “Penemuan ini ditemukan belum terlalu lama. Masing-masing orang yang menemukannya mempunyai hak atas bagian dari benda-benda yang ditemukan, dan benda-benda ini diserahkan satu per satu, jadi tidak jelas apakah semua telah diserahkan,” tulis tim penulis Museum Nasional Indonesia. Koleksi Para Bangsawan Berdasar data yang diperoleh, harta karun Wonoboyo ini diperkirakan berasal dari abad ke-10 atau abad sebelumnya. Hal itu terlihat dari tempat bentuk penyimpanan emas –wadah periuk-belanga dari Tiongkok– yang banyak digunakan untuk mengumpulkan benda-benda berharga pada abad ke-10. Menurut Martowikrido Wahyono dalam Old Javanese Gold (4th-15th century): An Archaeometrical Approach , emas di Wonoboyo berasal dari periode akhir abad ke-9 hingga pertengahan abad ke-10. Asumsinya didasarkan pada kesesuaian antara tulisan di beberapa mangkun dengan prasasti Lintakan yang berasal dari tahun 900-an. Selain itu keberadaan dua perangkat perhiasan yang ditata secara rumit dan dua perhiasan bercorak bunga teratai berlapis emas, serta ketiadaan pencitraan dewa-dewi atau peralatan upacara, semakin memperkuat dugaan bahwa harta karun Wonoboyo merupakan isi ruang harta seorang pangeran dari keluarga dekat raja masa kekuasaan Kerajaan Medang hingga Mataram Kuno di Jawa. Periodisasi harta karun Wonoboyo tersebut didukung juga oleh keterkaitan antara figur manusia pada dua mangkok yang menggambarkan sosok dalam kisah Ramayana dan cerita yang tidak teridentifikasi, dengan figur dari periode Jawa awal yang ditemukan di tempat lain. Kedua figur tersebut memiliki tatanan bentuk serupa. “Kemungkinan besar bahwa sepanjang masa Hindu-Budha raja-raja dan bangsawan tinggi mempunyai kekayaan dalam bentuk perangkat dibuat dari logam mulia, digunakan untuk upacara. Sayangnya sejauh ini tidak ada lagi harta karun kerajaan ditemukan,” ungkap Wahyono. Pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit juga memiliki sejumlah harta yang jumlahnya diperkirakan sama besar dengan harta karun Wonoboyo. Peneliti Stuart Robson dalam Desawarna (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca , menjelaskan jika Hayam Wuruk memiliki sejumlah emas yang sangat besar. Kereta kerajaan pada masa kekuasaannya berhiaskan emas dan permata. Bahkan dalam sebuah upacara agung, raja menggunakan tandu khusus yang dihiasi perhiasan emas. Tidak hanya raja, para pejabat istana juga memiliki begitu banyak benda yang terbuat dari emas. Seperangkat alat menyirih dan kipas emas, kata Robson, merupakan suatu hal yang wajar dimiliki para bangsawan tersebut. Mereka menggunakannya sebagai bukti kebesaran dan untuk membedakan keberadaan para bangsawan ini dengan rakyat lain. “Setelah berakhirnya masa Hindu-Budha, anggota kalangan istana masih tetap memanjakan diri mereka dengan emas yang sama berlimpahnya dengan sebelumnya,” ungkap Tim Penulis Museum Nasional. Tidak Menghasilkan Emas Meski keberadaan emas berlimpah namunJawa bukanlah pulai penghasil logam mulia tersebut. Untuk menutupi kebutuhan emas yang begitu tinggi, para penguasa Jawa mendapatkannya dari pulau lain. Mereka melakukan transaksi jual-beli dengan para saudagar, serta kerajaan lain di luar Pulau Jawa. Di samping pemanfaatan simpanan emas, serta timbunan emas dari masa sebelumnya. Penjelajah Portugis Tome Pires sekitar tahun 1513 melihat secara langsung keberadaan emas-emas yang sangat banyak saat kunjungannya di Pulau Jawa. Dalam catatan perjalanannya Suma Oriental , Pires menyebut jika emas di Jawa tersedia dalam jumlah besar dengan kualitas yang baik dan harga yang murah. Pires pernah melihat seorang Raja Hindu di pedalaman Jawa yang hidup bergelimpangan emas. Logam mulia ini digunakan oleh para pengawalnya, diperkirakan sebanyak 2.000 orang, dalam bentuk senjata –keris, tombak, dan pedang. Lengan mereka juga dihiasi gelang emas dan perak. Bukti kekayaan sang raja juga diperlihatkan dengan kalung emas yang tergantung di leher anjing-anjing peliharaannya. Sementara itu kesaksian para pejabat VOC yang datang setelah Pires menyebut dikalangan masyarakat Jawa mulai muncul mata pencaharian baru, yakni pemburu emas. Pejabat VOC Rijklof van Goens dalam pengamatannya sering mendapati makam-makam dan reruntuhan masa Hindu-Budha hingga Islam yang digali oleh para pemburu emas ini. Kesakisan Goens itu tercatat dalam buku De vijf gezenstchappen van Rijklof van Goens naar het Hof van Mataram karya sejarawan HJ De Graaf. Pada abad ke-18, pejabat VOC lainnya, Elzo Sterrenberg juga mendapati beberapa titik penggalian di sekitar kompleks Candi Prambanan. Para pencari emas ini percaya bahwa sekitar candi besar itu terdapat lubang-lubang penyimpanan emas. Namun Sterrenberg tidak menjelaskan apakah para pemburu itu berhasil menemukan emas yang dimaksud. Hingga masa pemerintahan Thomas Stanford Raffles (1811-1816) penggalian masih sering terjadi di datarang tinggi Dieng. Ia memperoleh informasi bahwa penggalian itu dilakukan untuk mencari koin emas, keris, serta arca. Kegiatan pencarian emas menjadi salah satu kegemaran rakyat yang tidak pernah sepi peminat. Pada 1941, Museum Batavia memperoleh ratusan benda dari emas yang diperoleh dari wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saat itu angka tersebut terbilang sangat besar. “Dan di Jawa penemuan peninggalan kuno dari emas masih terjadi sampai sekarang, meskipun sering jatuh ke tangannya pedagang atau kolektor dan tidak masuk museum,” ungkap Tim Penulis Museum Nasional.

  • Kengerian Pandemi Global dalam Lukisan

    SEIRING pergantian hari, warga dunia yang terjangkit COVID-19 alias virus corona makin bertambah. Semakin bertambah pula korban jiwa akibat pandemi bak malaikat maut itu. Di Indonesia, persentasenya kini paling tinggi dari 176 negara. Per Kamis (19/3/2020), kasus positif COVID-19 dilaporkan sudah bertambah menjadi 309. Sementara case fatality rate (CFR)-nya sudah di atas 8 persen, tertinggi dari ratusan negara yang dilanda pandemi COVID-19 lantaran kini sudah 25 pasien yang meninggal. Pandemi COVID-19 tak pilih-pilih sasaran. Seperti di mancanegara, di Indonesia pandemi itu juga menjangkiti golongan elit maupun kaum melarat. Dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, misalnya, COVID-19 menjangkiti Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Baca juga: Karnaval Rio yang disetop sebagai imbas pagebuk COVID-19 Masyarakat yang panik berusaha menyelamatkan diri dengan berbagai cara, tak peduli dengan cara egois bahkan culas. Selain banyak yang menimbun masker dan hand sanitizer , mereka juga memborong sejumlah komoditas herbal macam temulawak. Kondisi semacam itu sedikit-banyak serupa dengan gambaran The Triumph of Death, salah satu mahakarya pelukis Belanda Pieter Bruegel the Elder. Lukisan cat minyak di atas panel kayu berdimensi 117 cm x 162 cm yang dibuat sekitar tahun 1562 itu sejak 1827 bersemayam di ruang pamer Museo del Prado, Madrid, Spanyol. Maut Tak Pandang Bulu Bruegel –atau di beberapa sumber dituliskan Brueghel– pelukis beraliran petit genre dari era Flemish Renaissance itu melukis banyak adegan kengerian tentang kematian akibat Black Death (Maut Hitam) atau Black Plague (Wabah Hitam). Pandemi akibat bakteri Yersinia pestis penyebab pes itu bermula pada tahun 1346. Pandemi itu kembali melanda Eropa dan seluruh dunia berturut-turut di abad ke-15, 16, dan abad ke-17. Total 200 juta jiwa manusia melayang karenanya. Bruegel, diungkapkan sejarawan seni James Snyder dalam Northern Renaissance Art: Painting, Sculpture, the Graphic Arts from 1350 to 1575 , turut melewati dua gelombang pandemi Black Death yang menerjang Eropa pada periode 1563-1566 dan 1573-1588. Maka pandemi Black Death yang mengerikan itu terekam kuat di kepalanya, yang lalu dituangkannya ke atas kanvas. Kolase lukisan self-portrait Pieter Bruegel the Elder (Foto: albertina.at ) Dalam lukisan The Triumph of Death , Bruegel menggambarkan banyak detail bagaimana orang-orang menghadapi maut masing-masing dengan latar panorama bumi nan tandus. “Lautan dipenuhi bangkai-bangkai kapal berserakan. Dari tepi pantai terlihat bumi yang tandus dan hangus tanpa kehidupan apapun sejauh mata memandang,” tulis Snyder. Detail lainnya adalah barisan tengkorak yang hidup dan meneror setiap manusia yang ditemuinya berikut beragam adegan kematian mengerikan. Mulai dari pemenggalan kepala, pembakaran hidup-hidup, penenggelaman, hingga eksekusi dengan roda kereta kuda. Adegan-adegan itu merupakan aneka metode eksekusi mati manusia yang jamak di abad ke-16. Lalu, penggambaran manusia dari kelas bawah hingga bangsawan yang digiring sejumlah tengkorak hidup ke dalam sebuah peti raksasa. Peti itu ternyata merupakan perangkap kematian berhias salib di atasnya, seiring sejumlah tengkorak membunyikan lonceng kematian. Baca juga: Pandemi COVID-19 yang memaksa batalnya gelaran Carnevale Venezia Di bagian kiri bawah, Bruegel menggambarkan seorang raja yang juga tak berdaya. Pundi-pundi emasnya tak bisa menyelamatkannya dari maut. Sementara di kanan bawah, Bruegel menggambarkan kaum yang gemar hidup glamor yang berusaha melawan namun akhirnya gentar ketika berhadapan langsung dengan maut itu sendiri. Ia menggambarkan kaum yang senang hidup foya-foya, judi, dan main perempuan yang mulanya merasa tak takut mati, akhirnya tetap ditelan maut. Begitulah Bruegel mendeskripsikan keadaan manusia “kota” di Eropa yang tak berdaya membendung Black Death . “Lukisan Bruegel memperlihatkan adegan kepunahan massal, dengan maut dan barisan tengkorak membunuh apa yang ditemuinya, adegan yang merujuk wabah besar (Black Death, red. ) yang menewaskan berjuta-juta orang di Eropa. Wabah itu terus terjadi hingga abad ke-19,” tulis Paul Rockett dalam Pieter Bruegel the Elder. Inspirasi di Balik Karya Selain melihat sendiri dampak pandemi Black Death, inspirasi Bruegel membuat The Triumph of Death datang dari kisah di Alkitab dan perjalanannya ke Belgia hingga Italia dalam kurun 1551-1555. Penggunaan media panel kayunya terilhami lukisan bertajuk sama, The Triumph of Death, yang pelukisnya hingga kini belum diketahui. Lukisan di tembok itu dia lihat di Palazzo Sclafani di Palermo, Italia. “Juga tentang tema kematian dengan penggambaran tengkorak yang kemungkinan besar Bruegel terinspirasi lukisan Dance of Death di sebuah pemakaman di Paris yang sudah ada sejak 1424, dan kemudian dibuat ulang di atas panel kayu oleh penerbit Guyot Marchant pada 1485. Dalam lukisan itu juga digambarkan bagaimana sejumlah tengkorak hidup menggiring seorang manusia suci menghadapi maut,” lanjut Rockett. Baca juga: Kala Black Death Hampir Memusnahkan Eropa Fresco atau lukisan tembok "The Triumph of Death" di Palazzo Sclafani (Foto: Galleria Regionale della Sicilia) “Penggambaran itu, bahwa manusia baik ia bangsawan maupun rakyat jelata, berbagi penderitaan, merupakan pesan bahwa kematian bisa datang tanpa peringatan. Inspirasi itu kemungkinan besar terilhami dari karya-karya Hans Holbein the Younger (1497-1543) yang lazim membuat karya tentang manusia-manusia yang digiring malaikat kematian menghadapi maut,” lanjutnya. Inspirasi dari kisah di Alkitab dituangkan Bruegel dalam bentuk seseorang yang dipasung dengan batu di lehernya dan hendak ditenggelamkan oleh sejumlah tengkorak hidup. Kisah itu didalilkan dalam Matius 18:6 yang berbunyi: “Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ditenggelamkan ke dalam laut.” Juga dalam Lukas 17:2 yang berbunyi: “Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, daripada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini.” Baca juga: Keris dalam Lukisan Rembrandt Terakhir, tentang simbol betapa lemahnya manusia, terlepas dari kesombongan semasa hidup. Bruegel menggambarkannya dalam satu adegan seorang wanita yang tergeletak di depan sebuah kereta kuda yang hendak melindasnya. Wanita itu memegang kayu gulungan benang dan sebuah gunting, interpretasi Atropos. Atropos atau Aisa dalam mitos Yunani adalah salah satu dari tiga serangkai Moirai, yakni dewi-dewi yang memegang takdir manusia. Menurut James Baldwin dalam The Story of Atalanta , Atropos digambarkan sebagai dewi yang memegang benang gulung dan gunting karena dari ketiga Moirai, Atroposlah yang berurusan dalam menentukan kematian seorang manusia dengan menggunting benangnya. Kolase penggambaran Dewi Atropos (Foto: greekmythology.com ) Riwayat lukisan itu, menukil laman resmi Museo del Prado , hingga tahun 1591 dimiliki diplomat Italia Vespasiano Gonzaga yang juga Adipati Sabbioneta, sebuah kota di kawasan Lombardia. Lukisa itu lalu berpindah tangan ke sesama bangsawan Isabella Gonzaga sebelum dimiliki Putri Anna Carraffa dari Stigliano pada 1644. Setelah berpindah tangan kembali pada 1644, lukisan itu menjadi koleksi Ramiro Núñez de Guzmán II, adipati Medina de las Torres. Pada 1746, lukisan itu masuk ke koleksi di Istana La Granja de San Ildefoso setelah dibeli Ratu Spanyol Isabel de Farnesio dan sejak 1827 lukisannya dipindah ke Museo del Prado hingga sekarang. Baca juga: Hikayat Lukisan Gatotkaca

  • Sejarah Karantina untuk Cegah Penyakit Merajalela Masa Hindia Belanda

    PRESIDEN Joko Widodo akhirnya mengeluarkan himbauan untuk mengkarantina diri guna mencegah penularan virus korona Minggu, 15 Maret 2020 lalu. Sekolah diliburkan, para pekerja diharapkan bekerja di rumah, dan masyarakat diminta untuk beribadah di rumah saja. Namun, tak semua perusahaan memberlakukan kebijakan Kerja Dari Rumah (KDR) atau Work From Home  (WFH). Pun tak semua orang mampu mengkarantina diri. Pada Senin, 16 Maret 2020 di Jakarta, misalnya, masih banyak warga beraktivitas. Transportasi umum seperti Halte Trans Jakarta bahkan dipadati penumpang lantaran armada dikurangi sementara tidak semua lembaga memberlakukan WFH. Padahal, upaya mengkarantina diri dianggap cukup efektif untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang sudah ditetapkan WHO sebagai pandemik. Beberapa negara yang sudah lebih dulu terjangkit virus korona pun telah menerapkan self-isolation seperti Tiongkok, Korea, dan Italia.    Model pertahanan kesehatan dengan mengisolasi diri ini juga pernah jadi upaya pencegahan di masa lampau. Kala pes melanda Jawa pada 1911, pemerintah kolonial lewat Dienst der Pestbestijding (Dinas Pemberantasan Pes) mengeluarkan larangan menjenguk orang sakit. Warga juga diwajibkan untuk melapor kepada mantri pes jika ada anggota keluarga yang sakit atau meninggal. Desa yang terjangkit pes diisolasi dengan diberi dinding pembatas antar-desa. Barak isolasi juga dibangun tak jauh dari desa tersebut. Secara rutin, dokter dan mantri pes mengontrol tiap barak dan memantau kondisi desa terjangkit. Malang sebagai kota awal munculnya pes diisolasi. Seluruh penduduk pribumi dan Tionghoa yang tinggal di sepanjang Lawang hingga Pohgajih dikarantina selama 5-10 hari meski pada praktiknya ada yang dikarantina hingga 30 hari. Sementara, karantina tidak diberlakukan pada seluruh orang Eropa yang tinggal di wilayah tersebut. Orang Eropa cukup memeriksakan diri ke dokter yang akan memutuskan perlu tidaknya dikarantina. Namun kala wabah pes kian merebak hingga ke luar Malang, tindakan karantina hanya berlaku pada penderita pes dan keluarganya. Penduduk yang berjarak 100 meter dari rumah pasien terdampak tak lagi ikut dikarantina. Prosedur karantina yang dilakukan kala pes mewabah ini berpegang pada ordonansi karantina. Liesbeth Hesselink, peneliti sejarah kesehatan Hindia Belanda sekaligus penulis Healers on the Colonial Market, kala dihubungi Historia menjelaskan bahwa ordonansi karantina diterapkan beberapa kali dalam penanganan penyakit menular di negeri jajahan, seperti kusta, kolera, pes, dan influenza. Selain berpijak pada ordonansi karantina, kebijakan diambil berdasarkan aturan yang dimuat Staatsblad van Nederlandsch Indie nomor 277 tahun 1911 tentang pemberian wewenang kepada pejabat pemerintah untuk melakukan karantina pada daerah yang terkena wabah. Aturan ini menegaskan, orang-orang dilarang keluar-masuk daerah terjangkit dan akan mendapat sanksi pidana bila melanggar. Selain itu, kebijakan karantina diambil bertolak dari Perjanjian Sanitasi yang dirundingkan beberapa negara yang memiliki koloni di Asia. “Konferensi internasional diadakan untuk merumuskan solusi bersama, misalnya Perjanjian Sanitasi di Paris pada 1910. Pada dasarnya, semua kekuatan kolonial di Asia takut akan penyakit menular,” kata Liesbeth pada Historia. Ketakutan itu tak bisa lepas dari memori kolektif orang Eropa akan Black Death pada 1347-1348 yang memakan banyak korban. Kala Black Death mengancam, Eropa memberlakukan karantina bahkan melakukan apa yang kini disebut lockdown . Kala pes mewabah, Italia menerapkan sistem pertahanan kesehatan yang kompleks. Eugenia Tognotti, profesor sejarah kedokteran University of Sassari (Italia), dalam tulisannya yang dimuat Time “I’m a Historian of Epidemics and Quarantine. Now I’m Living That History on Lockdown in Italy”, menyebut pada dasarnya pertahanan kesehatan dari wabah terletak pada kebijakan karantina, sanitasi, disinfeksi, dan regulasi sosial untuk populasi yang paling berisiko. Ketika jumlah pasien membludak dan tenaga medis kewalahan menangani, inisiatif dari otoritas sipil memegang peranan penting dalam pertahanan kesehatan. Pada epidemi kolera tahun 1884, para pejabat lokal di Calabria memaksa menteri dalam negeri untuk melarang kereta dari luar daerah memasuki kota itu. Kala Flu Spanyol menjangkiti Italia pada 1918, sekolah, bioskop, teater, dan tempat pertemuan ditutup. Segala jenis pertemuan seperti pemakaman dan upacara keagamaan dilarang. Para pemuka agama pun diminta untuk mensterilkan jubah yang biasa mereka pakai untuk memimpin ibadah. Tognotti mendeskripsikan kota Italia pada musim gugur 1918 sebagai kota sepi, gelap, dan hanya toko farmasi yang buka. Mobilitas orang-orang pun dibatasi. Mereka yang ingin keluar atau masuk ke daerah yang berisiko harus menyertakan surat izin. Di Hindia Belanda, upaya pembatasan mobilisasi massa dilakukan pada kapal-kapal. Orang-orang diizinkan untuk menumpang kapal di Teluk Betung hanya jika bersedia dikarantina terlebih dahulu. “Karantina ini hanya mungkin bagi orang kaya, yang bisa membayar uang jaminan sebesar f 100 untuk orang Eropa atau f 25 untuk pribumi dan Tiongkok,” kata Liesbeth. Lebih jauh ia menambahkan, orang-orang miskin (kebanyakan dari mereka adalah kuli) dimasukkan ke dalam gudang tidak layak di tengah pasar. Gudang itu bahkan tak bisa melindungi mereka dari cuaca. Jemaah haji yang kembali dari Mekah juga mendapat perhatian khusus dari pemerintah kolonial. Sebelum diketahui bahwa pes berasal dari kutu tikus yang tak sengaja terangkut bersama impor beras Burma, rumor awal menyebut wabah itu berasal dari kapal-kapal haji. Pemerintah kolonial pesimis untuk mengendalikan semua kapal yang masuk lantaran jumlahnya amat banyak. Pemerintah juga tak bisa melarang orang Muslim pergi ke Mekah. Oleh karena itu untuk menyiasatinya, pada Mei 1911 pemerintah mengeluarkan ordonansi karantina khusus untuk orang-orang yang baru pulang haji. Semua jemaah, menurut ordonansi, harus tinggal selama 5-10 hari di karantina dekat pelabuhan. Layanan karantina di Pulau Onrust kemudian diperbesar untuk menyediakan tempat bagi 3000 orang dalam 40 barak. “Normalnya hanya pengawasan untuk diagnosis pes,” kata Liesbeth. Haji yang terdiagnosis menderita pes selanjutnya dikarantina di rumah. Kebijakan tersebut dikritik surat kabar De Preanger Bode . Karantina mandiri untuk penderita pes dianggap tidak aman untuk mencegah penyebaran karena penduduk Jawa cukup padat. De Preanger Bode juga menyarankan agar jamaah haji mendisinfeksi pakaian dan barang-barang yang dibawa selama berhaji sebelum kembali ke desa masing-masing. Pasalnya, pes berasal dari kutu tikus yang bisa jadi menyelinap dalam barang-barang para jemaah selama di kapal. Pendisinfeksian merupakan langkah preventif agar para jamaah tak membawa penyakit tersebut ke kampung halaman mereka. Bila kemudian ditemukan kasus pes di desa, warga wajib melaporkannya. Dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, Martina Safitry menulis bahwa apabila terdapat penderita pes yang meninggal, tubuhnya tidak boleh dikubur melainkan harus segera dibakar. Keluarga penderita pes pun harus dikarantina untuk mencari kemungkinan penularan. Sebelum tahun 1915, rumah yang terkena pes akan dilakukan disinfeksi dengan menggunakan layar besar yang menutupi seluruh rumah. Upaya tersebut dinilai dokter L Otten yang mengembangkan vaksin pes di Institute Pasteur, Bandung,  tidak efektif karena ketika asap dari fumigasi telah hilang, ada kemungkinan tikus akan kembali lagi ke rumah. Biaya yang dikeluarkan untuk mengasapi satu rumah pun relatif mahal, sekira f 20. Cara tersebut kemudian diganti dengan memprioritaskan perbaikan struktur dan bentuk rumah anti tikus. Dinding anyaman bambu diganti dengan bata, tiang bambu diganti dengan kayu agar tak ada lagi tempat untuk tikus membuat sarang. Seluruh upaya pemberantasan itu ditargetkan selesai pada 1917. Namun penyakit datang silih berganti. Setelah pes pada akhir 1918, Hindia Belanda diserang influenza. Hampir serupa dengan penanganan pes, orang-orang yang terjangkit influenza juga dikarantina. Kapal-kapal yang transit bahkan dilarang menurunkan penumpang atau melakukan kontak agar tak ada penyebaran penyakit dari laut ke daratan. Priyanto Wibowo dkk. dalam Yang Terlupakan Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda menyebut orang-orang yang berada di atas kapal sangat rentan terhadap penularan penyakit influenza mengingat penularan melalui angin laut selama perjalanan amat mudah terjadi. Orang-orang yang berasal dari negara yang telah terjangkit, sambungnya, juga dianggap berbahaya. Kondisi kesehatan yang buruk di kapal dan terbatasnya fasilitas kesehatan di sana menambah kewaspadaan terhadap kapal-kapal yang tiba. Dalam waktu tidak sampai setengah tahun, jumlah pasien influenza dapat ditekan dan tidak terdapat lonjakan tajam. Terbukti, usaha pencegahan dengan isolasi dan karantina berhasil menekan penyebaran penyakit. Banyak orang selamat, wabah pun berhasil dijinakkan. “Karantina sudah banyak diberlakukan. Orang harus tinggal di rumah dan hanya diperbolehkan meninggalkan rumah jika ada keperluan mendesak. Tetapi ada pula diskusi jika perlakuan ketat dengan menjatuhkan denda pada orang yang keluar rumah tanpa izin, seperti Italia dan Spanyol sebenarnya tidak perlu dilakukan,” kata Liesbeth.

  • Sebelum Keris Berfungsi Magis

    PUTRI Indumati mendekati Raja Awanti yang sudah menunggu penuh harap. Ia sudah berkhayal sang putri akan memilihnya di antara raja dan pangeran lainnya dalam sayembara itu. Namun, Putri Indumati berpaling. Dirinya tidak tertarik, tak ada tanda gairah sedikit pun. Meranalah raja negeri Awanti karena sudah diabaikan. Air matanya mengalir deras. Karena berduka, ia menulis puisi yang mengharukan pada sarung kerisnya. Kisah itu ditulis Mpu Monaguna pada abad ke-13 dalam karyanya, Kakawin   Sumanasantaka. Dalam penggalan kisah itu, Mpu Monaguna menggambarkan bahwa keris tak selalu berfungsi sebagai alat tikam. Raja negeri Awanti, raja yang berani di medan perang, menjadikan keris miliknya sebagai media meluapkan perasaan. Guru Besar Arkeologi UGM, Timbul Haryono   menjelaskan masyarakat Jawa, khususnya pada masa lalu, percaya bahwa keris berperan dalam seluruh perjalanan hidupnya, sejak lahir hingga mati. “Sebagai contoh, keris bentuk Brojol digunakan oleh para dukun bayi dalam membantu proses kelahiran,” tulis Timbul dalam “Keris dalam Sistem Budaya Masyarakat Jawa Tradisional Ditinjau dari Pendekatan Arkeologi”, termuat di Keris dalam Perspektif Keilmuan . Fungsi Praktis Kapan awalnya keris mulai dikenal? Sejarawan Danys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya  menganggap sejarah keris kurang begitu jelas. Ia menulis bahwa pemakaian keris muncul sejak masa akhir Majapahit. Kata kris sebenarnya sudah muncul di dalam prasasti dari abad ke-9 dan ke-10. Beberapa prasasti menyebutkan kata kris dalam bahasa Jawa Kuno. Misalnya dalam Prasasti Poh dari 827 Saka (905). Kris  disebutkan bersama alat logam lainnya, seperti alat pertukangan dan alat pertanian, sebagai salah satu perlengkapan sesaji dalam upacara penetapan sima  (daerah perdikan). “Menjadi jelas bahwa sejak abad ke-9 keris telah ditempatkan di dalam ranah aktivitas ritual yaitu berfungsi sebagai artefak kelengkapan ritual. Namun perlu diteliti apa makna keris dalam konteks upacara penetapan sima itu,” jelas Timbul. Arkeolog Edi Sedyawati punya pendapat berbeda, disebutkannya kris bersama benda-benda fungsional lainnya berarti pada sekira abad ke-9 dan ke-10, kris  masih mempunyai kegunaan praktis. Ia belum bernuansa mistik dan dianggap sebagai pusaka sebagaimana keris pada masa kemudian hingga kini. “Benda dari logam yang menyertai upacara sima  itu disebut saji sang makudur . Di antaranya adalah twek punukan , yaitu pemotong atau penusuk yang berpunggung. Mungkin itu maksudnya arit. Lalu ada nakka-cheda  (pemotong kuku), wangkyul (cangkul?), serta kris ,” tulis Edi dalam “Keris pada Masa Jawa Kuna”, termuat di Keris dalam Perspektif Keilmuan. Ini didukung pula oleh karya-karya sastra berbahasa Jawa Kuno sejak abad ke-11. Dalam Kakawin Arjunawiwaha misalnya, yang ditulis saat pemerintahan Raja Airlangga, ditemukan kutipan yang menyatakan bahwa kris  adalah senjata untuk perang. Sama juga dengan Kakawin Sumanasantaka yang mengisahkan keris sebagai alat tikam. Karya ini juga mengisahkan keris dipakai oleh para janda untuk bunuh diri. Keris atau lebih tepat sebutannya patrem  kalau di dalam naskah-naskah kesusastraan. Misalnya Kakawin Sumanasantaka mengisahkan di Kerajaan Widarbha, ketika raja, ayah Putri Sri Indumati, mangkat, permaisurinya, ikut menyusul dengan melakukan bela pati. “Kerismu ( patrem ) ini, Tuanku, akan kutikamkan pada tubuhku. Mari temui aku di perjalanan,” kata sang ratu. Selain permaisuri, Jayaluh, abdi setia Putri Indumati, juga begitu sedih gustinya mangkat. Ia pun mengakhiri hidupnya mengikuti junjungannya itu. “Lihat ini, putri, kris ( patrem ) ini, alat maut ini akan kupakai menikam diriku sekarang,” ujarnya. S. Supomo dalam Kakawin Sumanasantaka: Mati karena Bunga Sumanasa menjelaskan, dalam kakawin lain diketahui juga kalau para janda memakai beragam senjata untuk bunuh diri seperti khadga  dalam Bharatayuddha dan Hariwangsa , curiga  dalam Hariwangsa dan Sutasoma . “Apa bedanya semua senjata itu, yaitu kata lain dari keris, tak jelas. Namun acuan dalam Hariwangsa  mengisyaratkan khadga, curiga , dan patrem adalah sinonim,” jelas Supomo. Lambang Kebesaran Sementara dalam Kakawin Sutasoma , yang ditulis pada abad ke-14, yaitu pada masa Majapahit, disebutkan senjata itu diberi sarung, dibuka jika hendak dipakai. “lnformasi ini telah merujuk kepada adat memperlakukan keris seperti yang dikenal di masa kini, yaitu disimpan di dalam sarungnya. Ini juga dimaksudkan untuk menyembunyikan identitas bilah keris yang bersangkutan,” tulis Edi. Keris agaknya mulai menjadi lambang kebesaran pemakainya, khususnya raja. Ini disaksikan oleh Ma Huan, penerjemah resmi Cheng Ho, yang kapalnya merapat di Jawa pada abad ke-15. Dalam catatannya Yingya Shenglan,  ia menceritakan bahwa di Majapahit, di mana raja menetap, raja punya kebiasaan khusus dalam berpakaian. Raja tidak menutup tubuh bagian atasnya. Tubuh bagian bawahnya ditutupi satu atau dua kain berbunga-bunga. Untuk mengencangkan sarung ini digunakan kain tipis atau linen yang dikencangkan di sekitar perut. Kain semacam ini disebut selendang. Raja lalu membawa satu atau dua pisau pendek yang disebut pu-lak . Ia tidak mengenakan alas kaki. Menurut W.P Groeneveldt ,   pu-lak  mungkin merupakan terjemahan dari kata pribumi, badik. Senjata ini lebih kecil dari pedang dan lebih besar dari pisau. “Sepertinya orang Tionghoa menggunakan nama ini untuk setiap senjata yang mirip. Tentu saja orang Jawa menyebutnya keris,” tulis Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa . Kemudian ada lagi catatan penjelajah Portugis, Tome Pires yang menjelajah ke Nusantara pada abad ke-16. Dalam Suma Oriental, Pires menyebut bahwa para bangsawan Jawa merias diri dengan mewah. Mereka menggunakan berbagai macam keris, pedang, dan tombak yang berlapis emas. Bukan hanya di Jawa, di Aceh keris punya kedudukan yang tinggi. John Davis, seorang navigator Inggris dalam catatannya mengungkapkan pengalamannya ketika berlabuh di Teluk Aceh pada Juni 1599. Ia mencatat, sang kapten kapal, Cornelis de Houtman didandani menurut adat setempat ketika akan menemui raja setempat. Ia diberi sebilah keris sebagai tanda kehormatan. Menurut Davis, keris itu sejenis pisau belati yang gagang dan pegangannya terbuat dari sejenis logam yang menurut perkiraan raja nilainya jauh melebihi emas. Keris itu juga bertatahkan batu-batu rubi. Logamnya memiliki kilau yang sangat bagus. “Memakai keris itu artinya mati jika bukan atas kehendak raja,” catat Davis. Namun, apabila raja memberikan keris itu, artinya si pemegang keris mendapatkan kebebasan mutlak. Ia mengambil makanan tanpa membayar dan memerintah orang lain laiknya budak. Raja sendiri punya kebiasaan mengenakan keris yang diselipkan pada ikat pinggangnya. Bukan hanya satu, melainkan empat. Dua dipakai di depan, dua lainnya di belakang. Keris-keris itu bertatahkan berlian dan batu rubi.   Bentuk Awal Keris Bagaimana dengan bentuk kris, apakah memang sejak lama sudah seperti keris pada masa kini? “Termasuk yang dikenal dengan sebutan kris  pada prasasti-prasasti sekitar abad ke-10, hanyalah dapat diperkirakan (bentuknya,  red .),” tulis Edi. Timbul menyebutkan tipe awal keris bisa ditelusuri ke belakang hingga masa berkembangnya budaya megalitik Pasemah di Sumatra Selatan. Ini tergambar dalam relief batu gajah, di mana seorang tokoh mengenakan semacam belati yang terselip di ikat pinggangnya. Pada masa perkembangan Hindu-Buddha, lewat adegan-adegan dalam relief candi dijumpai tokoh yang memegang senjata tajam. Salah satunya Dewi Durgamahisasuramardini yang bertangan 8 atau 10, pada salah satu tangannya memegang khadga  (pedang pendek). Senjata seperti itu juga sering disandang oleh arca penjaga, Dwarapala, yang digambarkan berbadan besar. “Senjata inilah yang paling dekat kemiripan bentuknya dengan keris, walau perbedaannya jelas juga, yaitu bilahnya lebih lebar merata, sedangkan keris lebih ramping meruncing,” tulis Edi. Bentuk keris mirip dengan masa kini baru muncul pada abad ke-14. Dalam relief di Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, terdapat adegan tempat kerja pandai besi, di mana terlihat sejumlah benda besi yang dihasilkan. Di antaranya sebuah alat tusuk berbilah ramping meruncing, seperti bilah keris yang dikenal kini. “Bentuk keris seperti yang dikenal sekarang sudah lazim didapati pada abad ke-14,” jelas Edi.*

  • Dinho Oh Dinho...

    DI saat orang di berbagai belahan dunia tengah direpotkan oleh pandemi COVID-19 (virus corona ),legenda hidup sepakbola Brasil Ronaldinhomasih bisa menimang-nimang bola dan mencetak gol demi gol.Memang itu bukan di lapangan sepakbola seperti biasanya, namun di dalam penjara. Sejak akhir pekan lalu hingga Senin, (16/3/2020), ia sudah mencetak 11 gol untuk sebuah tim di turnamen futsal di dalam penjara. Ya, Dinho (sapaan Ronaldinho) bersama kakaknya, Roberto de Assis Moreira, ditahan di penjara berkeamanan maksimal di Asunción, Paraguay sejak 6 Maret 2020.Penyebabnya, Dinho dan kakaknya mencoba masuk ke negeri berjuluk “Corazón de América” (jantungnya Amerika) itu menggunakan paspor dan identitas palsu. Mengutip The Guardian , Selasa (17/3/2020), Dinho ditahan di penjara itu dalam waktu yang belum ditentukan, sembari menunggu rampungnya penyelidikan. Kuasa hukum Dinho dan Roberto meminta penangguhan penahanan, namuntak dikabulkan Kepolisian Asunción. Keduanya membela diri bahwa paspor dan identitas palsu itu didapat dari pihak sponsor yang mengundangnya datang ke Paraguay. Pasalnya paspor Brasil dan Spanyol Dinho disita penegak hukum Brasil sejak Juli 2019 akibat mengemplang pajak. “Saya sedih mendengar apa yang terjadi kepada teman saya. Dia tak layak mengalaminya,” cetus eks-rekan setim Dinho di timnas Brasil, Rivaldo. Dinho (berkaus putih) bersama kakaknya, Roberto de Assis Moreira kala digiring petugas keamanan akibat 'ke-gep' masuk Paraguay pakai paspor palsu (Foto: Twitter @Mafipe) Namun Dinho tetaplah Dinho. Selain masih menyisakan magis di kakinya dalam turnamen di balik dinding penjara itu, bekas bintang Paris Saint-Germain (PSG), Barcelona, dan AC Milan itu masih jadi pribadi yang murah senyum di setiap saat. “Seperti biasa Anda melihatnya di televisi ketika tampil bermain bola, dia selalu tersenyum,” ungkap Nelson Cuevas, eks bintang timnas Paraguay yang menjenguknya. Siapa Tak Kenal Dinho? Para penikmat bola di manapun mengenal Dinho sebagaimana legenda-legenda penyerang Brasil lainmacam Pelé, Zico, hingga Ronaldo. Sejak merumputdi Eropa bersama tiga klub pada 2001 hingga satu dekade kemudian, Dinho berandil dalam tujuh trofi yang dimenangkan Barca, termasuk satu gelar Liga Champions musim 2005-2006. Sukses itu membuat namanya masuk ke timnas Brasil. Di timnas, Dinho punya andil besar membawa tim Samba merebut Copa América 1999 dan trofi Piala Dunia untuk kelima kalinya di Korea-Jepang tahun 2002. Pada 2011, ia mudik ke Brasil di sisa-sisa kariernya bersama Atlético Mineiro, Querétaro (2014), dan Fluminense (2015) sampai gantung sepatu. Seperti halnya banyak bintang sepakbola Brasil, Dinho bisa punya bab masa jaya di buku kariernya – dengan bergelimang prestasi pribadi, salah satunya trofi Ballon d’Or 2005 – bukan tanpa perjuangan. Ia meniti kariernya se j a k dini sebagai anak yatim . Rebecca Thatcher Murcia dalam biografi bertajuk Ronaldinho menguraikan, Dinho lahir pada 21 Maret 1980 di Porto Alegre, provinsi Rio Grande do Sul dengan nama Ronaldo de Assis Moreira. Ia anak ketiga dari pasutri João de Assis Moreira dan Dona Miguelina Elói Assis dos Santos. Dua kakaknya, Deisi (perempuan) dan Roberto (laki-laki). Roberto kelak menjadi manajer Dinho dan turut mendekam di balik jeruji besi di Paraguay. “Keluarganya hidup di lingkungan miskin di Porto Alegre. Ayahnya seorang buruh las di galangan kapal dan petugas jaga malam di markas klub Grêmio. Terkadang ayahnya juga bermain di klub amatir Esporte Clube Cruzeiro. Ibunya, selain membesarkan anak-anak, juga menyambi jadi sales kosmetik,” tulis Murcia. Dinho pertamakali dikenalkan sepakbola oleh ayahnya kala berusia lima tahun. Ia jatuh hati pada permainan si kulit bundar meski belum di lapangan hijau. Dinho kecil sudah gemar belajar juggling bola seraya main-main sepakbola pantai dan futsal. “Ayahnya dan kakaknya mengajarinya skill sepakbola di rumah. Dia akan bermain selama berjam-jam. Kadang dia belajar sendiri juggling bola di udara, tidak hanya dengan kakinya, tapi juga dengan lutut, kepala, dan dadanya. Dia juga belajar sendiri men- dribble bola cepat dan kemampuan mengontrol bola dari pesepakbola pro yang ia tonton lewat layar kaca,” sambungnya. Dua cuplikan Dinho cilik kala menimba ilmu di akademi muda Grêmio (Foto: Twitter @10Ronaldinho) Saat usia tujuh tahun, ia bergabung ke akademi muda Grêmio. Privilege itu bisa ia nikmati mengingat Robertomerupakan salah satu pemain utama di klub berjuluk Imortal Tricolor tersebut. Dengan kemampuannya yang di atas rata-rata anak sebayanya, Dinho sering dimainkan di tim anak-anak yang lebih tua. Sejak itu ia mulai dipanggil teman-teman setimnya dengan “Ronaldinho” yang artinya “Ronaldo kecil” karena ia menjadi pemain termuda di tim. Sementara, futsal dan sepakbola pantai masih gandrung dilakoninya beriringan dengan sepakbola lapangan hijau. “Banyak gerakan yang saya ciptakan sendiri datangnya dari futsal. Karena permainannya dilakukan di lapangan yang kecil dan kontrol bola sangat berbeda dalam futsal dan sepakbola. Kontrol bola saya selama ini sangat mirip dengan kontrol bola pemain futsal,” kataDinho, dikutip John A. Torres dalam Soccer Star Ronaldinho. Setahun kemudian,keluarga mereka pindah ke rumah yang lebih layak di tengah kota Porto Alegre. Rumah itu diberikan klub untuk kakaknya, Roberto. Namun duka seketika mengusik kebahagiaan keluarga yang menempati rumah baru itu. “Terjadi tragedi saat keluarganya tengah menyiapkan pesta ulangtahun Roberto yang ke-18 dan anniversary pernikahan orangtuanya yang ke-19. Ayahnya mengalami serangan jantung hingga terpeleset dan ambruk di tepi kolam renang. Ia tak sadarkan diri lantaran kepalanya terbentur lantai. Walau sudah berusaha diselamatkan dan dilarikan ke rumahsakit, nyawa ayahnya tak tertolong,” lanjutnya. Dinho harus menjadi anak yatimsaat usianya baru delapan tahun. Dukanya bertambahdengan cedera parahnya Roberto yang tak bisa disembuhkan sehingga harus tutup karier lebih dini. Dinho sempat mengurung diri di kamarnya beberapa waktu akibat kedukaan yang bertubi-tubi itu. Dinho akhirnya teringat banyak wejangan mendiang ayahnya tentang sepakbola. “Semakin hari sentuhan bola di kakinya semakin baik. Dia selalu teringat banyak pesan ayahnya, salah satunya: ‘biarkan segalanya bergulir simpel’. Ia pun mengamalkannya di lapangan,” tambah Torres. Puncak pencapaian Dinho di timnas kala memenangi Piala Dunia 2002 (Foto: Twitter @10Ronaldinho) Di pundaknyalah harapan masa depan keluarganya diusung. Dinho bangkit. Namanya mulai dikenal luas setelah jadi sorotan sejumlah media lokal. Gara-garanya, saat berusia 13 tahun Dinho bikin geger usai mencetak 23 gol dalam sebuah laga yang berakhir dengan skor 23-0. “Ada beberapa detail yang belum jelas tentang itu, apakah terjadi di sebuah laga sepakbola lapangan hijau atau futsal. Namun hal itu tak menjadi masalah karena banyak wartawan suratkabar dan televisi yang tertegun dan pemain belia itu menjadi selebritis instan,” lanjutnya. Ditolak Madrid, Dipinang Barca Sejak masuk tim utama Grêmio pada 1998, Dinho mulai menebar magisnya. Di final Campeonato Gaúcho Série A1 kontra tim sekota Internacional, Dinho kembali menjadi pemberitaan gegara mempermalukan Dunga, gelandang veteran cum kapten timnas Brasil saat menang Piala Dunia 1994 . Momen itu terjadi kala Dunga menempel ketat pergerakan Dinho.Si bintang muda melakukan trik bola lambung ke atas kepala Dunga agar ia lepas dari kawalan, lantas disusul dengan dribble bola cepat khasnya yang sudah dilakoninya sejak di tim muda Grêmio. “Saya bekerja dengan beberapa pemain hebat di masa saya melatih di periode paling menarik dalam karier mereka kala masih berusia 19-20 tahun. Namun dengan tak mengurangi rasa hormat pada yang lain, kemampuan Ronaldinho berada di atas mereka semua,” sanjung Celso Roth, pelatih Grêmio periode 1998-1999, dikutip Jethro Soutar dalam Ronaldinho: Football’s Flamboyant Maestro. Alhasil, sejak 1997 Dinho sudah masuk timnas Brasil U-17. Ia menjadi bagian tim Samba kala menggondol Piala Dunia U-17 pada 1997 yang digelar di Port Said, Mesir. Meski di Grêmio ia hanya memberi gelarCampeonato Gaucho pada 1999, nama Dinho masuk catatan sejumlah pemandu bakat klub-klub top Eropa. Pada 2001, ia memukau Arsenal yang menjadi klub pertama yang naksir pada permainannya.Sayangnya ia batal merumput bersama klub berjuluk The Gunners itu di Liga Inggriskarena tersandung izin kerja. Pun dengan pinangan klub Skotlandia, St. Mirren, dengan perkara yang sama. Merantau ke Eropa, PSG jadi klub pertama Dinho di Benua Biru (Foto: Twitter @nel17brian/@10Ronaldinho) Beruntung, Paris St. Germain berkenan mengurus izin kerjanya meski prosesnya rumit. Dinho akhirnya resmi berkostum PSG dengan nilai transfer 5 juta euro berdurasi lima tahun kontrak. Di musim perdananya, Dinho turut serta menyumbang gelar Piala Intertoto 2001. Namun, ia tak akur dengan pelatih PSG Luis Fernandez. Penyebabnya lantaran Dinho mulai tertular kehidupan malam, hingga beberapakali terlambat latihan. P ada jendela transfer 2003, nama Dinho sempat diincar dua raksasa Spanyol, Real Madrid dan Barcelona. Dinho yang karier nya sedang melangi t setelah setahun sebelumnya memenangi Piala Dunia 2002 , menjadi salah satu nama di bursa transfer yang paling santer dihubungkan dengan dua raksasa Spanyol itu. Sel a in Dinho ada David Beckham dan Thierry Henry. Henry kemudian berada di luar radar lantaran akhirnya memutuskan bertahan di Arsenal. Sementara Real Madrid lebih memilih Beckham lantaran kerupawanannya masuk dalam kriteria bos MadridFlorentino Perez, yang menginginkan skuad Galaticos-nya terdiri dari para pemain tampan. Dinho pun disingkirkan karena wajahnya tak setampan Beckham. Namun, dewi fortuna masih menaunginya. Bos baru Barca, Joan Laporta, kepincut performaDinho. Ia sampai rela merogoh kocekklub 30 juta euro sebagai mahar yang melampaui penawaran Manchester United. Keputusan Laporta tak salah. Ia jadi pembeda dan pengubah peruntungan Barca yang sebelumnya sedang mengalami masa-masa sulit. Berturut-turut, Dinho ikut menyumbang saham kala Barca juara La Liga musim 2004-2005, dan 2005-2006, serta Supercopa de España 2005 dan 2006. Tak ketinggalan satu trofi Liga Champions 2005-2006. Dengan Dinho dan Lionel Messi yang kala itu tengah naik daun, Barca kembali jadi rival yang diperhitungkan Madrid. Setiap kali El Clásico (duel Barca-Madrid) terjadi, tak terhingga momen seru dan sengit terjadi, baik kala beradu di Camp Nou maupun Estadio Santiago Bernabèu. Dinho kala "ngajarin" Real Madrid main bola dalam duel El Clasico dengan dua golnya pada 19 November 2005 (Foto: fcbarcelona.com )   Dalam laga 19 November 2005 di markas Madrid, Dinho bahkan menceploskan doblete alias dwigol ke gawang Iker Casillasuntuk menegaskan kemenangan 3-0. Aksi-aksi cantiknya kala menari-nari dengan bola sebelum mencetak dua golnyamemaksa fans Madrid di Santiago Bernabeu memberi standing ovation . Dinho tercatat jadi jugador Barca kedua setelah Diego Maradona yang menerima penghormatan itu pada 1983di tempat yang sama. “Saya takkan melupakan momen ini karena sangat jarang bagi pesepakbola menerima penghormatan itu dari fans lawan,” ujar Dinho, dinukil The Independent , 21 November 2005. Namun sejak 2008 kala pindah ke AC Milan, perlahan magis Dinho mulai pudar. Pun saat pulang kampung ke Brasil hingga pensiun pada 2015. Meski begitu, ia tetap legenda hidup yang takkan dilupakan Messi dkk. “Ronaldinho adalah pemain yang bertanggungjawab atas perubahan di Barca. Kala itu kami mengalami masa yang buruk dan perubahan itu datang seiring kedatangannya dan itu hal yang luar biasa,” kenang Messi di laman resmi klub, fcbarcelona.com , 13 Oktober 2016.

  • Wabah Penyakit dalam Perang Makassar

    CORNELIS Janzoon Speelman, komandan pasukan VOC, mengibarkan bendera merah pada 21 Desember 1666. Tanda dimulainya perang VOC melawan Kerajaan Gowa-Tallo yang dipimpin Sultan Hasanuddin. VOC dengan sekutunya Arung Palakka unggul dalam pertempuran sehingga memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667. Perjanjian Bungaya mengharuskan semua benteng yang dimiliki oleh kerajaan Gowa-Tallo dihancurkan kecuali Sombaopu dan Jumpandang –kemudian diubah namanya menjadi Fort Rotterdam. Ternyata, perjanjian itu tidak menghentikan perlawanan. Karaeng Karunrung, penasihat sekaligus Mangkubumi Kerajaan Gowa-Tallo, memutuskan terus melawan. “Perlawanan terhadap VOC dipelopori oleh Karaeng Karunrung yang sudah sejak awal sangat benci kepada orang-orang Belanda. Beliau sering mendesak agar Sultan Hasanuddin meneruskan peperangan dan bertempur sampai tetes darah penghabisan,” tulis Sagimun M.D. dalam biografi Sultan Hasanudin: Ayang Jantan dari Ufuk Timur . Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo konflik bersenjata melawan Makassar merupakan konflik besar kedua yang dilakukan VOC. Berbeda dengan konflik pertama melawan Mataram (1627–1629), VOC melakukan ofensif terhadap Makassar. Perang kembali pecah pada 21 April 1668. Pertempuran itu mereda karena epidemi atau penyakit menular. “Di tengah-tengah masa perang, yaitu April sampai Juli 1668 berjangkitlah epidemi sehingga kedua pihak tidak banyak melakukan operasi. Sekitar tiga ratus orang lebih pasukan VOC dan kira-kira dua ribu atau separuh dari [sekutunya] pasukan Bugis terserang penyakit panas dan meninggal,” tulis Sartono dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium . Sagimun mencatat setiap hari ada saja pasukan VOC yang mati karena sakit. Adakalanya dalam sehari, tujuh sampai delapan orang dikuburkan. Bahkan, Speelman juga jatuh sakit sehingga harus meninggalkan Ujungpandang. Selama itu, pimpinan diserahkan kepada Danckert van der Straten. Setelah kurang lebih sebulan istirahat, Speelman kembali memimpin. Namun, keadaan kesehatan orang-orang Belanda sangat menyedihkan. Lima orang dokter bedah ( opperchirurgijns ) meninggal dunia dan 15 orang pandai besi mati. Dari 40 pasukan bantuan yang datang dari Batavia dua bulan sebelumnya, hanya delapan orang yang dapat berdiri; sebagian besar sakit dan lima orang mati. Pada Maret 1668, dalam sebulan 139 orang mati di daratan, sedangkan di kapal-kapal 52 orang menemui ajal. Pada September 1668, VOC mengirimkan 108 orang yang sakit keras ke Batavia, namun dalam perjalanan 100 orang mati. Para perwira juga jatuh sakit. Speelman menderita sakit perut. Orang keduanya, Straten meninggal dunia karena penyakit beri-beri. Kapten Du Pont juga menderita beri-beri. Sedangkan Kapten de Bitter kena peluru di kakinya sehingga harus dirawat. Keadaan menyedihkan pasukan VOC itu tidak dimanfaatkan oleh pasukan Gowa-Tallo. Mungkin mereka juga terkena wabah penyakit. “Sayang sekali hal ini kurang diketahui dan kurang diselidiki untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh pasukan Gowa dengan mengadakan psywar  atau perang urat saraf dibarengi serangan bertubi-tubi,” tulis Sagimun. Dalam keadaan kepayahan, Speelman dan pasukannya bertahan sambil menunggu bantuan datang dari Batavia dan sekutunya. Setelah memenangkan pertempuran pada 4 Juli, 11-12 Agustus, dan 12 Oktober 1668, Speelmen mengarahkan seluruh kekuatannya untuk merebut Sombaopu. Benteng dengan istana raja itu merupakan lambang kekuasaan Gowa-Tallo sehingga dipertahankan mati-matian. VOC berhasil mematahkan perlawanan di sebelah utara benteng Sombaopu pada 14-15 April 1669. Tinggal pelawanan terakhir yang dipimpin oleh Karaeng Karunrung. VOC mulai menyerang pada 14 Juni 1669. Akhirnya, Karaeng Karunrung mengaku kalah dan benteng Sombaopu jatuh ke tangan VOC pada 24 Juni 1669. Perang Makassar yang berlangsung kurang lebih tiga tahun berakhir. Perjanjian damai diadakan di Batavia pada 20 Desember 1669.*

  • Barisan Wanita Pelatjoer, Penyebar Bakteri di Markas Tentara Belanda

    Satya Graha masih ingat bagaimana pada 1946-1947, perang telah membuat Yogyakarta begitu kumuh. Seiring membanjirnya para pengungsi, kota itu menjadi kawasan yang rawan tindak kejahatan. Para maling berkeliaran bukan saja di malam hari juga di siang hari bolong. Namun yang paling memusingkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Yogyakarta pun menjadi wilayah teraktif dalam soal transaksi seks. “ Praktek pelacuran marak di berbagai sudut kota hingga Yogyakarta saat itu terancam serangan penyakit kelamin,”kenang jurnalis tua yang pernah menghabiskan masa remajanya di kota gudeg tersebut. Situasi itu pula yang dikeluhkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX di hadapan Mayor Jenderal Moestopo. Kepada penasehat khusus militer Presiden Sukarno itu, Sri Sultan meminta solusi supaya kota yang dipimpinnya kembali aman dan tentram. Entah bagaimana awalnya, Moestopo kemudian memiliki ide  nyeleneh : memberdayakan para  pekerja seks komersial itu untuk terlibat dalam revolusi. Caranya: dengan mengirimkan mereka ke daerah pendudukan Belanda dan berpraktek di sana. Tujuannya selain mengacaukan kondisi sosial juga untuk menurunkan daya tempur para prajurit Belanda. “Istilah Pak Moes, mereka itu dilibatkan dalam  psywar  (perang psikologis),” ujar sejarawan Moehkardi kepada  Historia . Moestopo kemudian menghimpun para pekerja seks komersial itu . Bahkan bukan saja dari Yogyakarta, sebagian juga didatangkan langsung dari Surabaya dan Gresik. Para pe rempuan dunia malam itu lantas diajarinya hidup disiplin dan ilmu perang. Tak tanggung-tanggung, Moestopo mengangkat para instruktur militer untuk membimbing langsung para  pekerja seks komersial itu. Salah satunya adalah Kolonel T.B. Simatupang. Masih segar dalam ingatan Simatupang, suatu malam dia dijemput oleh Moestopo. Sang jenderal menyatakan bahwa sejak malam itu Simatupang harus memberikan pelajaran mengenai dasar-dasar ilmu perang kepada suatu kelompok yang sedang disiapkan menjalankan tugas di daerah musuh. “Waktu itu saya diajak memasuki suatu ruang pelajaran yang setengah gelap dan di hadapan saya telah berdiri sejumlah perempuan muda yang semua matanya ditutup sehingga saya tak bisa mengenal mereka,” ujar Simatupang seperti dikisahkan kepada  Sinar Harapan  edisi 30 September 1986. Di tengah berlangsungnya  “pendidikan militer ” itu, pada pertengahan 1946, Markas Besar Tentara (MBT) menugaskan Moestopo ke front Subang di Jawa Barat. Di front yang juga dikenal sebagai Sektor Bandung Utara-Timur ini, uniknya Moestopo ada di bawah komando seorang “letnan kolonel” yakni Sukanda Bratamanggala. Namun tak ada yang tidak mungkin di era revolusi. Apapun bisa diadakan, termasuk seorang letnan kolonel yang membawahi seorang mayor jenderal. Singkat cerita, Moestopo pindah ke front Subang. Bersamanya, ikut pula sekitar 100 prajurit dunia hitam-nya. Dia menamakan pasukannya sebagai Pasukan TERATE (Tentara Rahasia Tertinggi), yang terdiri dari dua unit: BM (Barisan Maling) dan BWP (Barisan Wanita Pelatjoer). Menurut sejarawan Robert B. Cribb, sebagai komandan lapangan, Moestopo menempatkan para kadet Akademi Militer Yogyakarta yang tengah belajar praktek tempur. Selaku salah satu instruktur di akademi militer tersebut, Moestopo memang memiliki wewenang itu. “Dua unit itu kemudia dioperasikan di dalam kota Bandung. Tugasnya selain untuk mencuri senjata, pakaian dan alat-alat tempur juga menimbulkan kekacauan dan kebingungan di kalangan tentara Belanda,”tulis Cribb dalam  Ganster and Revolutionaries, The Jakarta People’s Militia and Indonesian Revolution 1945-1949. Khusus untuk BWP, Moestopo memberi target kepada mereka untuk menjadikan pos-pos militer Belanda di seluruh  Bandung kacau balau secara mental sehingga hilang konsentrasi tempur mereka. Lebih jauh, sang jenderal berharap treponema pallidum (bakteri penyebab sipilis) yang bersarang di tubuh para prajurit BWP bisa menjadi senjata biologis terbaik dari pihak Republik guna mengalahkan serdadu-serdadu Belanda. Penggunaan senjata biologis itu bisa jadi terinspirasi dari pengalaman Moestopo semasa dididik menjadi perwira Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor pada 1944. Kala itu, dia pernah membuat karya ilmiah berjudul ‘Penggunaan Bambu Runcing yang Pucuknya Diberi Tahi Kuda Untuk People Defence dan Attack serta Biological War Fare’. Di hadapan para perwira militer Jepang, Moestopo mempresentasikan bagaimana kuman clostridium tetani yang terkandung dalam kotoran kuda bisa menjadi senjata biologis yang mematikan bagi musuh. Tidak hanya lulus dan menjadi yang terbaik, karyanya itu dipuji setinggi langit oleh para perwira Jepang saat itu. Awalnya, misi BWP bisa terwujud secara maksimal. Menurut Himawan Soetanto (alumni Akademi Militer Yogyakarta yang pernah menjadi anak buah Moestopo), banyak serdadu Belanda yang sakit terkena penyakit menular seksual. Situasi itu menyebabkan terjadinya evakuasi besar-besaran dari pos-pos militer mereka hingga otomatis mengurangi kekuatan personil tempur di garis depan. “Itu memudahkan tugas kami menghancurkan pos-pos mereka,” ungkap mantan Panglima Kodam Siliwangi di tahun 1970-an itu. Namun lambat laut, keberadaan BWP justru menjadi senjata makan tuan. Di tengah kejenuhan garis depan, rasa kesepian pun melanda para gerilyawan Republik. Rupanya kemunculan para perempuan muda yang berpengalaman dalam soal seks itu justru membuat kedisiplinan sebagaian tentara Republik mulai melumer. Dan akibatnya  alih-alih mengacaukan keamanan wilayah pendudukan musuh dan melemahkan moril tentara Belanda, kehadiran BWP justru berimbas negatif kepada kesehatan para gerilyawan. “Yang terjangkit penyakit itu, justru kebanyakan malah dari prajurit kita” ungkap Moehkardi. Karena pertimbangan itulah, beberapa waktu setelah merajalelanya penyakit kotor di kalangan anak buahnya, Moestopo lantas menarik unit BWP dari front dan membubarkannya. Maka sejak itu, berakhirlah kiprah para prajurit kupu-kupu malam tersebut di Sektor Bandung Utara-Timur .

  • Masuk Desa Tanpa Busana Karena Diserang Belanda

    BEGITU Belanda melancarkan Agresi Militer II yang diikuti dengan penangkapan para petinggi republik, Chairul Saleh, pengikut Tan Malaka yang menentang jalur diplomasi politik, memerintahkan bawahannya untuk memulai long march  kembali ke Jawa Barat. “Kita harus kembali ke pos kita masing-masing. Pos perjuangan kita adalah Krawang, Jawa Barat. Kumpulkan dan siapkan pasukan, kita harus secepatnya berangkat. Kumpulkan kawan-kawan, kumpulkan senjata yang ada. Hari ini juga kita meninggalkan Yogya lewat Krawang, Purwakarta menuju Sanggabuana,” kata Chairul sebagaimana dikutip Irna HN Soewito dkk. dalam biografi berjudul Chairul Saleh Tokoh Kontroversial . Sikap Chairul yang memilih angkat senjata sebagai ketidaksetujuan terhadap politik diplomasi pemerintah membuatnya menjadi lawan pasukan republik. “Satu di antara kelompok-kelompok radikal yang penghancurannya ditugaskan kepada Angkatan Darat adalah lasykar komunis-nasionalis yang berdiri di belakang Tan Malaka. Kelompok lasykar yang terakhir –yang jumlahnya cukup besar dan yang setia kepada ajaran Tan Malaka– ditundukkan dalam bulan Oktober 1949 di Banten Selatan. Pemimpin mereka, Chaerul Saleh, baru dapat ditangkap bulan Maret tahun berikutnya,” tulis Ulf Sundhaussen dalam  Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi   ABRI . Dari rumah-markas di Jalan Bausasran, Yogyakarta, Chairul cs. lalu bergerak dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompok Chairul berangkat paling akhir. Di Ngasem, Chairul mampir ke rumah seorang kawannya unutk meminta sedikit bekal beras dan uang. Kelompok-kelompok kecil tadi akhirnya kembali bertemu dan bergabung setelah mencapai Gunung Menoreh, Magelang. Perjalanan mereka kian ramai setelah sepasukan dari Polri yang hendak ke Indramayu memutuskan bergabung. “Penggabungan ini cukup membantu, empat belas orang bersenjata 10 karaben dan 2 pucuk pistol,” sambung Irna dkk. Sekira 35 hari setelah keberangkatan itu, Chairul dan kawan-kawan itu akhirnya sampai di perbatasan Jawa Barat. Dalam masa sebulan lebih itu, suka-duka silih berganti mengiringi perjalanan berat mereka. Kelaparan, kedinginan, kekhawatiran, bahkan kesedihan akibat kehilangan teman menjadi warna dalam perjalanan itu. Chairul sendiri saat itu telah berjalan menggunakan tongkat akibat telapak kakinya bengkak dan berair setelah sepatunya jebol sebelum masuk Purwokerto. “Dasar kaki borjuis, tidak mau menyesuaikan diri,” kata Chairul membanyol. Gaya kepemimpinan Chairul yang egaliter dan kerap membanyol itu mampu menjaga semangat anggota rombongan. Tak satupun dari mereka mengeluhkan perjalanan berat itu meski berulangkali maut nyaris menghampiri. Di persawahan Salem dekat perbatasan Jawa Barat, mereka diberondong peluru pesawat Mustang Belanda. Tak satupun dari peluru pesawat Belanda itu yang mengenai sasaran. Rombongan Chairul lalu melanjutkan perjalanan ke Cirebon melalui lereng Gunung Ciremai. Di sana, mereka menyempatkan beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Majalengka. Saat hendak menyeberangi Sungai Cimanuk, rombongan berhenti untuk menunggu perintah Chairul. Semua diperintahkan Chairul untuk melepas pakaian alias bugil karena masing-masing hanya membawa pakaian yang dikenakan. Setelah semua pakaian selesai ditanggalkan dan ditaruh di atas kepala masing-masing, Chairul memerintahkan Salim Bajeri berjalan duluan untuk menjajaki kedalaman sungai. Salim dipilih karena postur tubuhnya tinggi. Satu per satu anggota rombongan, termasuk Chairul, akhirnya mengikuti Salim. Saat mencapai tengah sungai, rentetan tembakan menyambut mereka. Para serdadu Belanda yang bersembunyi di tebing seberang ternyata telah menunggu kedatangan mereka. Chairul langsung memerintahkan rombongan untuk mundur dan berlindung di tempat aman. Kepanikan membuat mereka dengan cepat bisa keluar dari sungai. “Dalam keadaan telanjang bulat semua lari masuk kampung terdekat. Dapat dibayangkan bagaimana penduduk melihat sepasukan orang dalam keadaan bugil, berlari-lari mencari perlindungan di antara rumah-rumah mereka,” sambung Irna dkk.

  • Selera Naga Sejuta Rasa

    SUDAH empat tahun terakhir ini Banyuwangi menggelar Festival Imlek. Sebuah upaya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk mengangkat sekaligus memupuk kerukunan dalam keberagaman di Bumi Blambangan. Tapi ada yang spesial tahun ini. Bersamaan dengan Festival Imlek, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memperkenalkan Pecinan Street Food; pasar wisata kuliner yang menjajakan beragam makanan khas Tionghoa. “Pecinan Street Food akan rutin digelar setiap Jumat malam di areal jalanan menuju Kelenteng Hoo Tong Bio,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat peresmian pada 31 Januari 2020. “Jadi warga Banyuwangi dan wisatawan yang ingin menikmati masakan khas Tionghoa tidak perlu repot. Langsung saja ke tempat ini. Dijamin puas.” Pecinan Street Food digelar di sepanjang Jalan Ikan Gurame, Kelurahan Karangrejo, yang membentang sepanjang 300 meter. Di kawasan ini Anda bisa mencicipi dimsum, lontong cap go meh, bebek, ayam peking, sate tai chan, hingga nasi goreng hitam. Selain itu, Anda akan menikmati suasana khas nan indah yang kental dengan nuansa Tionghoa. Mulai dari musik, hiburan, hingga ornamen serba merah. Pecinan Street Food dipusatkan di sekitar Kelenteng Hoo Tong Bio, yang memiliki nilai sejarah penting bagi komunitas Tionghoa di Banyuwangi. Perlindungan Sejak lama orang Tionghoa menaruh perhatian pada perkembangan Blambangan, nama lama dari Banyuwangi. Ini dibuktikan dari kunjungan Cheng Ho ke Blambangan pada abad ke-14., sebagaimana dicatat dalam Ming Shih , sumber Tiongkok pada masa Dinasti Ming, yang diterjemahkan W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa . Kedatangan Cheng Ho bertepatan dengan konflik antara Blambangan dan Majapahit. Setelah itu tak ada informasi lain mengenai orang Tionghoa. Namun, orang Tionghoa dikenal sebagai pedagang ulung. Selain berdagang di pelabuhan-pelabuhan lain di Nusantara, mereka juga singgah di Pelabuhan Ulupampang di Blambangan, salah satu pelabuhan tersibuk di sekitar Selat Bali. Kelak, mereka membentuk jaringan perdagangan yang kuat. Bahkan ikut menyokong Agong Wilis dalam perlawanan melawan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) yang ingin menguasai Blambangan. Menurut kronik lokal Babad Notodiningratan , orang Tionghoa mulai menetap di Blambangan pada 1631. Jumlahnya kian meningkat setelah “geger pecinan” di Batavia pada 1740. Banyak orang Tionghoa menyelamatkan diri ke Blambangan. Mungkin mereka mendapat perlindungan dari Tan Hu Cinj in . Dari cerita turun-temurun, Tan Hu Cinjin berasal dari Propinsi Kwan Tung. Dia dikenal pintar dan terampil sebagai sinse, pakar hong shui, arsitek bangunan, dan pertamanan. Karena itu dia diminta raja Blambangan untuk membangun istana di daerah Macan Putih. Sebagai penghormatan atas jasa Tan Hu Cinjin, komunitas Tionghoa kemudian membangun Kelenteng Hoo Tong Bio yang berarti “kuil perlindungan orang-orang Tionghoa”. Kelenteng berada di Lateng (sekarang Blimbingsari, Rogojampi), tak jauh dari Pelabuhan Ulupampang. Tak diketahui pasti kapan didirikan. Namun keterangan pada semacam prasasti dalam kelenteng menunjukkan “Qianlong jiachen” (1784). Di situ juga termuat nama Tan Cin Jin dalam bentuk kaligrafi yang indah. Setelah ibukota Blambangan pindah dari Ulupampang (kini, Kecamatan Muncar) ke Banyuwangi, kelenteng pun ikut dipindahkan. Apalagi pemindahan ibukota disertai pemberlakuan wijkenstelsel dan passenstelsel , yang jadi pijakan munculnya Pecinan. Hingga kini Kelenteng Hoo Tong Bio masih berdiri kokoh dan menjadi salah satu bangunan tertua di Kabupaten Banyuwangi. Selain sebagai pusat keagamaan, Kelenteng Hoo Tong Bio berfungsi secara sosial dan budaya. Adaptasi Komunitas Tionghoa mempertahankan dan mengembangkan tradisi dan budaya leluhur, termasuk kulinernya. Mereka mencoba beradaptasi dengan lidah lokal. Jika semula masakan Tiongkok tidak memiliki rasa yang kaya, rumit, dan kompleks karena lebih menekankan citarasa asli, maka ketika bertemu bumbu-bumbu lokal akan menjadi lebih kaya rasa. Selain soal rasa, kuliner Tionghoa menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitar yang mayoritas beragama Islam. “Kalo orang mau cari masakan Chinese tapi halal, maka akan didapat setiap Jumat malam di sekitar kelenteng Hoo Tong Bio ini,” ujar Anas dalam sambutannya. “Perkawinan” antara selera Tionghoa dan citarasa lokal menjadi nyawa dalam Pecinan Street Food. Setiap Jumat malam, kawasan K e lenteng bakal dipenuhi aneka makanan mulai dari ayam kunpao, lontong cap go meh, hingga bebek dan ayam Peking. Anda bisa mencicipi aneka jajanan seperti kue keranjang, bakpao ayam, bacang, dan manisan Tiongkok. Ada juga minuman khas sep e rti teh bunga krisan, kopi, dan masih banyak lagi. Bahkan, sebenarnya kuliner khas Banyuwangi, yakni rujak soto, pun tak luput dari pengaruh Tionghoa. Denys Lombard, sejarawan Perancis, dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia , mencatat orang-orang Tionghoa berperan penting bagi kelahiran soto. Soto berawal dari bahasa Mandarin caudu atau jao to . Masakan khas Tionghoa ini kali pertama populer di Semarang pada abad ke-19 lalu menyebar ke daerah lainnya dengan berbagai varian rasa, cara memasak, bumbu, penyajian, pelengkap, dan citarasa. Di Banyuwangi, rujak soto sebenarnya racikan beragam sayuran; kacang panjang dan kangkung, potongan tahu dan tempe dengan bumbu kacang dan petis yang disiram kuah soto. Sajian rujak soto bisa dinikmati di pasar kuliner lainnya. Pecinan Street Food memang hanyalah salah satu konsep pasar kuliner tematik yang dikembangkan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Saat ini, tak kurang ada 19 pasar kuliner yang tersebar di berbagai kecamatan dengan waktu yang berbeda-beda. Inovasi ini bertujuan mendongkrak ekonomi lokal. Siapa tak tertarik?

  • Wabah Aneh yang Membuat Orang Menari

    PADA 1518, sebuah wabah aneh terjadi di Kota Strasbourg, di wilayah Kekaisaran Romawi Suci (kini masuk wilayah Prancis). Wabah ini bukan wabah penyakit seperti flu, infeksi, atau penyakit kulit menular lainnya, melainkan wabah yang membuat orang menari hingga meninggal dunia. Tragedi ganjil ini kemudian disebut sebagai choreomania atau wabah menari 1518. Wabah menari dimulai pada 14 Juli 1518 ketika Frau Troffea, seorang warga Strasbourg keluar rumah dan menari di jalanan. Ia menari tanpa alasan yang jelas, tanpa musik dan tanpa henti. Troffea menari selama tiga hari hingga kakinya lecet-lecet dan berlumuran darah. Orang-orang mengira ia kerasukan setan. Ia pun lalu dibawa ke sebuah tempat suci di Pegunungan Vosges. John Waller, ahli sejarah kedokteran di Michigan State University, dalam bukunya A Time to Dance, A Time to Die menyebut gejala yang dialami Troffea merebak cepat beberapa hari kemudian. Orang-orang mulai turun ke jalan dan mulai menari tanpa henti. “Dalam sebulan, menurut salah satu kronik sejarah, sebanyak 400 orang mengalami kegilaan. Hingga suatu waktu di akhir bulan Juli, hanya seminggu atau lebih setelah Frau Troffea mulai menari, epidemi ini mengambil wajah baru yang lebih kejam,” tulis Waller. Di musim panas yang menyiksa itu, mereka menari berhari-hari hingga kelelahan, kaki berdarah-darah, urat-urat terkoyak hingga terkena serangan jantung. Diperkirakan, setiap harinya ada 15 orang yang sekarat. Dalam sebuah manuskrip yang ditemukan di arsip kota yang dikutip Waller, tercatat, “Ada wabah aneh baru-baru ini. Terjadi di kalangan rakyat jelata. Banyak orang mengalami kegilaan. Mulai menari. Mereka terus menari siang malam. Tanpa hambatan. Sampai mereka jatuh pingsan. Banyak orang kehilangan nyawa karenanya.” Penelusuran Waller menunjukan bahwa wabah serupa ternyata pernah terjadi di Eropa. Namun, sebagian besar tidak diketahui apakah peristiwa tersebut merupakan kejadian nyata atau isapan jempol belaka. Sementara wabah menari di Strasbourg terjadi setelah ditemukannya mesin cetak sehingga terdapat beragam sumber yang mendokumentasikannya. Terkait penyebab wabah menari, ada dugaan bahwa epidemi ini bermula dari ergot. Ergot adalah penyakit jamur pada batang gandum lembab. Ergot dapat menyebabkan delusi, kejang-kejang dan guncangan hebat. Namun, korban-korban wabah menari ternyata tidak menunjukan gejala demikian. “Tidak satu pun dari ciri-ciri ini dijelaskan oleh saksi wabah menari Strasbourg, dan tampaknya tidak mungkin bahwa menari akan dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang lama sementara menderita gejala-gejala ini,” tulis Dr. Marc Burton dalam artikelnya di pastmedicalhistory.co.uk. Sejarawan lain menyebut peristiwa ini terkait dengan kultus sesat. Namun tak ada bukti memadai yang mendukung teori ini. “Mungkin tidak pernah diketahui secara pasti apa yang menyebabkan wabah aneh dan ganjil ini tetapi hal itu berfungsi sebagai pengingat akan sifat aneh dan tak terduga dari jiwa manusia,” sebut Marc. Sementara itu, Waller menyebut wabah menari berkaitan erat dengan perubahan kehidupan di Strasbourgh. Kala itu, dunia tengah mengalami ketidakpastian. Gagal panen, kelaparan, cacar dan berbagai penyakit mematikan muncul. Selain itu, tambah Waller, kondisi spiritual masyarakat saat itu juga perlu diteliti. Gabungan antara masalah duniawi dan spiritual ini yang kemungkinan menimbulkan tekanan-tekanan psikologis. Wabah tari, menurutnya, adalah respons terhadap kesengsaraan, sugesti, dan kepercayaan. “Otak di bawah tekanan berat selalu menghasilkan sensasi dan perilaku tertentu, walaupun di luar kehendak sendiri, memunculkan pemikiran dan keinginan penderita serta masyarakat di sekitar mereka,” sebutnya. Wabah menari mereda awal September 1518. Tak bisa dipastikan berapa korban meninggal. Sementara itu, wabah ini telah menyebabkan kekacauan dan huru-hara di beberapa kota di wilayah Kekaisaran Romawi Suci.*

  • Gerilyawan Tertolong Pohon Rambutan

    Setelah Belanda melancarkan agresi militer kedua, laskar rakyat di Sumatra Timur merapatkan barisan. Mereka sepakat untuk mengadakan perlawanan. Hari-H gerakan ditetapkan pada 29 Desember 1948 dengan sandi operasi: Melati. Pukul 20.00 malam, laskar rakyat bergerak. Secara serentak setiap sektor melakukan perlawanan. Laskar Gerindo dan Napindo adalah beberapa kelompok laskar yang terlibat. Hasil serangan dadakan itu cukup bikin Belanda kelimpungan sekaligus berang. Mesin pembangkit listrik pabrik Martoba di Pematang Siantar dirusak. Beberapa perkebunan teh di Martoba, Simbolon, Simpang Raya, Bahbutong, dan Marjanji dibakar. Kawat-kawat telepon di di Tanah Jawa, Pematang Raya, Kuala Namu, dan Tebing Tinggi diputus. Beberapa puluh hektare kebun tembakau yang sedang tumbuh subur di Deli Serdang dan Langkat pun tidak luput dari pengrusakan. “Perlawanan rakyat digerakkan serentak  di seluruh Sumatra Timur sesuai dengan jangkauan yang memungkinkan, mendapat reaksi tajam dam keras dari NEFIS (Satuan Dinas Intelijen Belanda),” tulis Tukidjan Pranoto dalam Tetes Embun di Bumi Simalungun . Untuk membalas aksi para gerilyawan, Belanda mengerahkan satuan polisi antigerilya bernama Troopen Intellegence Vor Gerilya (TIVG) yang dipimpin Mayor Van der Plank. Pasukan TIVG menguber beberapa pentolan laskar dari kampung ke kampung. Seturut dengan catatan Tukidjan, Hasan Zunaidi dan Kiyai Parman dari Gerindo tertangkap oleh TIVG dan kemudian ditembak mati. Sementara itu, beberapa anggota Napindo ditawan di Pematang Siantar.   Dalam pengejaran ke kampung Karang Anyer, Simalungun, TIVG memburu pentolan gerilyawan dari Laskar Napindo bernama Sarino. Tidak jauh dari rumah Sarino di dekat masjid Karang Anyer, Ishak Lubis, staf komando Napindo sedang berada di rumah salah seorang anggota Napindo. Disini dimulailah kisah aksi “menyelamatkan diri” itu. Ishak Lubis merasa terjebak begitu pasukan TIVG melakukan penggerebekan di kawasan rumah Sarino. Sadar berada dalam bahaya, Ishak Lubis buru-buru kabur dengan memanjat pohon rambutan di belakang rumah. Beberapa anggota TIVG memerhatikan Ishak Lubis yang sudah nongkrong di atas pohon. Tanpa sadar, Ishak Lubis langsung saja memetik rambutan lalu menawarkannya kepada serdadu Belanda di bawah sana. “Bapak mau?” sapa Ishak Lubis sembari menutupi rasa gemetarnya di atas pohon rambutan. “Iya,” sahut anggota TIVG. Begitu mendapat jawaban dari bawah, Ishak Lubis segera menjatuhkan beberapa tangkai rambutan kepada para pengejar laskar itu. Setelah mengambil rambutan, pasukan TIVG melanjutkan tugasnya. Mereka berhasil meringkus Sarino dan membawanya dengan mobil jip ke Pematang Siantar. Dengan tertangkapnya Sarino, penggerebekan dan pengejaran selesai, Pasukan TIVG itu pun kembali ke markasnya. Sementara itu, Ishak Lubis luput dari pencidukan.       “Ishak Lubis segera turun dan menemui pemilik rambutan dekat masjid itu, mengucapkan terimakasih dan selanjutnya dengan sepeda meninggalkan tempat itu,” demikian seperti dikisahkan Tukidjan.

  • Wabah Penyakit Mematikan di Banten dan Jawa Tengah

    Virus Corona atau Covid-19 telah ditetapkan sebagai pandemik. Wabah penyakit yang berasal dari Wuhan, China, itu kini telah menyebar di 157 negara per 16 Maret 2020. Di Indonesia tecatat 117 positif, 8 sembuh, dan 5 meninggal dunia. Sejarah telah mencatat, Indonesia tidak kebal terhadap wabah penyakit menular. Sebut saja flu Spanyol tahun 1918 telah membunuh 1,5 juta penduduk Indonesia. Jauh sebelumnya, pada abad ke-17, wabah penyakit menular juga melanda Jawa yang mengakibatkan kematian dalam jumlah besar. H.J. de Graaf, ahli Jawa kuno, dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, menyebut setelahSurabaya menyerah, tampak kemunduran dalam kegiatan militer Susuhunan (Sultan Agung). Kecuali disebabkan oleh perluasan keraton dan keletihan oleh kerja keras selama tahun-tahun sebelumnya, kemunduranini juga akibat penyakit menular. Dalam laporan ke Negeri Belanda tanggal 27 Oktober 1625 telah diberitakan bahwa rakyat mengalami cobaan berupa “kematian, peperangan, kelesuan, bahan makanan yang mahal, dan pajak yang berat di seluruh tanah Jawa”. Laporan itu menyebutkan penyakit menular itu mengakibatkan sepertiga penduduk di Banten meninggal dunia dalam lima bulan . Di Batavia ada beberapa anggota Kristen meninggal dunia karena penyakit ini. Di Cirebon dalam musim kemarau lebih dari 2.000 orang meninggal dunia. Di Kendal, Tegal, Jepara, dan semua tempat pantai sampai Surabaya, demikian pula di beberapa daerah pedalaman, orang yang meninggal dunia tidak dapat dihitung. De Graaf mencatat bahwa penyakit masih merajalela pada tahun 1626. Di banyak tempat dua pertiga dari penduduk tewas disebabkan penyakit yang luar biasa ini. Kematian juga karena kerjapaksa sehingga pertanian mengalami kemunduran besar, sawah-sawah yang subur menjadi gersang. Pada 1627, banyak penduduk meninggal dunia karena wabah penyakit dan perang saudara. Beberapa tempat perdagangan di pantai laut ditinggalkan, pertanian sangat mundur, dan yang selamat dari wabah penyakit menjalani hidup dalam kemiskinan. “Jadi, dapat disimpulkan bahwa tanah Jawa dari tahun 1625 sampai 1627 ditimpa oleh penyakit berat dan menular yang merongrong kesejahteraan dan kekuatan rakyat,” tulis De Graaf. Wabah penyakit apakah itu? De Graaf mengatakan bahwa“kebanyakan disebabkan oleh penyakit paru-paru yang membuat orang demikian sesak napas, sehingga dalam satu jam saja dapat meninggal.” Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin , menyebut “wabah radang paru-paru merupakan penyebab menular yang menakutkan di Jawa pada tahun 1625-1626. Penyakit dada yang mematikan dalam satu jam telah membunuh 1/3 penduduk Banten dan 2/3 di beberapa daerah di Jawa Tengah.” Sementara itu, sejarawan Claude Guillot menyebut dengan jelas penyakit itu adalah pes. “Menurunnya jumlah penduduk diperparah lagi dengan adanya wabah hebat penyakit pes tahun 1625 yang merenggut nyawa sepertiga jumlah penduduknya,” tulis Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X–XVII. Jumlah penduduk Kesultanan Banten antara 80.000 sampai 100.000 orang di pengujung abad ke-16, dan meningkat selama satu dasawarsa berikutnya sampai tahun 1609. Mulai tahun itu, jumlahnya mulai berkurang seiring pergantian pemerintahan yang mengekang kekuasaan para saudagar. Penurunan jumlah penduduk paling parah disebabkan oleh wabah pes. Sekitar tahun 1630, jumlah penduduknya menyusut drastis, kemungkinan besar tak lebih dari 50.000 orang. Menurut sejarawan Yuval Noah Harari dalam Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia , wabah paling terkenal yang dinamai Maut Hitam (Black Death) itu meletup pada dekade 1330, di suatu tempat di Asia timur atau tengah, ketika bakteri Yersinia pestis mulai menginfeksi manusia yang digigit kutu. Dari sana, dengan menumpang armada tikus dan kutu, wabah dengan cepat menyebar ke seluruh Asia, Eropa, Afrika Utara, dan hanya dalam waktu kurang dari dua tahun mencapai pesisir-pesisir Samudra Atlantik. Antara 75 juta sampai 200 juta orang mati – lebih dari seperempat populasi Eurasia. Wabah pes di Jawa terjadi pada Pandemik Kedua. Pada tahun yang sama (1625) wabah menghancurkan London, Inggris, dan Amsterdam, Belanda; masing-masing kehilangan penduduk antara 10% sampai 30%. Dari sana, mungkin saja para pedagang membawa wabah itu masuk ke Banten, mengingat saat itu wilayah paling barat Pulau Jawa itu menjadi tempat perdagangan internasional, di mana beberapa negara asing memiliki kantor dagang (loji). Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Yuval bahwa kota-kota sibuk yang dihubungkan oleh arus tiada putus pedagang, pejabat, dan peziarah menjadi alas tumpuan peradaban manusia sekaligus menjadi lahan tumbuh ideal patogen (parasit yang mampu menimbulkan penyakit, red .). “Setelah kelaparan,” Yuval menyimpulkan, “musuh besar kedua kemanusiaan adalah wabah dan penyakit menular.”

bottom of page