Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Yang Lestari Setelah Multatuli Pergi
LORONG di lingkungan RSUD Dr. Adjidarmo itu disusuri Arjan Onderdenwinjgaard. Pria Belanda berambut dan berengos putih itu sempat mencoba mengingat lagi tujuannya. Hingga tiba pada sebuah bangunan telantar di belakang rumahsakit berplat merah di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten. Pandangan matanya ke mana-mana. Serasa sarat keprihatinan di dalam dada melihat sisa-sisa bekas tempat tinggal eks Asisten Residen Lebak, humanis, cum penulis yang pernah menggemparkan negerinya sendiri, Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. ‘Sret…sret…sret…’ Beberapakali ia mencoba menyeka puing lantai keramik zaman modern yang sudah rompal dengan kakinya. Ia terhenti ketika sudah melihat apa di baliknya. Sisa-sisa ubin kuno yang ternyata sempat ditindih lapisan keramik era modern yang tentunya tak berasal dari zaman berkuasanya Bupati Lebak Adipati Karta Natanegara (periode 1830-1865). Ubin motif persegi lima dengan kombinasi warna hitam dan putih. Setidaknya hanya itu yang tersisa dari bangunan lama tempat tinggal Multatuli, selain sebidang tembok setinggi kira-kira 6,5 meter yang menempel di bangunan zaman modern namun sudah mangkrak itu. Setidaknya begitu sutradara Yogi D. Sumule membuka tirai dokumenter Setelah Multatuli Pergi . Film yang mengorbit dalam rangka memperingati 200 tahun kelahiran Multatuli. Sosok Belanda pertama yang melantangkan kesewenang-wenangan dan perselingkuhan kaum feodal di Lebak dan kolonialis negerinya lewat novel satir Max Havelaar (1860). Maka tak heran alur cerita yang mengikuti perjalanan Arjan membawanya ke Museum Multatuli dekat Alun-Alun Rangkasbitung. Museum bertama antikolonial pertama di Indonesia yang baru diresmikan medio Februari 2018. Selain menengok narasi sejarah kolonial di dalamnya, Arjan juga lega melihat salah satu sumbangannya masih terpelihara – sebuah bekas ubin lama peninggalan rumah Multatuli yang menyisakan puing saat ia berkunjung pertamakali ke Lebak 32 tahun silam. Bupati Lebak Hj.Iti Octavia Jayabaya memberikan sambutan dalam pemutaran perdana film "Setelah Multatuli Pergi" di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak (Foto: Dok. Bonnie Triyana) Beberapa plot Setelah Multatuli Pergi juga kemudian berselip deretan footage lawas milik Arjan kala datang ke Lebak, awal 1987, secara bergantian dengan alur maju-mundur. Selebihnya, Arjan seolah melakoni napak tilas sebagaimana yang ia lakukan 32 tahun lalu, baik saat mengintip suasana pasar nan sibuk di Rangkasbitung, hingga perjalanannya yang menantang ke Desa Badur. Kenapa Badur? Buat Arjan, ia merasa harus kembali ke desa terpencil di pedalaman Lebak yang aksesnya masih tak sedap itu. Alasan pertama, lantaran Desa Badur merupakan latarbelakang salah satu petikan roman Saidjah dan Adinda yang dikandung Max Havelaar. Film yang digarap mulai awal 2019 itu diputar perdana di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, Banten, Sabtu (7/3/2020) yang lalu. Bupati Lebak Hj. Iti Octavia Jayabaya turut hadir bersama puluhan tamu undangan dan penonton lainnya di pendopo museum. Setelah pemutaran perdananya, menurut rencana film ini bakal menjajal panggung festival di beberapa negara, termasuk Belanda mulai April mendatang. Di Balik Layar Tone dalam Setelah Multatuli Pergi yang jernih cukup nyaman untuk asupan pandangan mata sepanjang durasi sekira 90 menit. Pun dengan iringan scoring yang minimalis nan pas, agar substansi yang ingin disampaikan dalam alur cerita tetap menonjol. Untuk perjalanan Arjan di titimangsa 2019 narasinya mengombinasikan metode observatori dan ekspositori, di mana selain menyuguhkannya via aktivitas Arjan di Kota Rangkasbitung hingga Desa Badur, juga lewat wawancara beberapa tokoh terkait. Mulai dari sejarawan cum pemred Historia.id Bonnie Triyana, Kepala Museum Multatuli Ubaidillah Muchtar, hingga Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya yang notabene masih putri dari bupati sebelumnya, Mulyadi Jayabaya. Tak ketinggalan Arjan menyambangi beberapa tokoh arus bawah di Desa Badur, seperti H. Sapari yang mengaku sebagai keturunan Saidjah, hingga Jumar dan Rasti Guna. Menariknya, Jumar dan Rasti Guna pernah pula tertangkap mata kamera yang dibawa Arjan kala pertamakali menginjakkan kaki di Desa Badur 32 tahun lampau. Makanya kala bersua, Arjan pun memperlihatkan lagi rekaman video lawas itu kepada Jumar dan Rasti. Dua sosok yang dianggapnya sebagai Saidjah dan Adinda “milik” Arjan. Dua sosok yang jadi serat inti Arjan mengisahkan narasi dalam dokumenter ini. Suasana Nobar Perdana film "Setelah Multatuli Pergi" (Foto: Dok. Yogi D. Sumule) Bicara rekaman video lawasnya, Arjan bercerita bahwa video itu dibuat dalam rangka pekerjaannya sebagai wartawan lepas Katholieke Radio Omroep ( KRO ). Video yang akhirnya selama 32 tahun itu juga ia simpan dan baru pada 2019 digunakan untuk “bahan jahitan” film Setelah Multatuli Pergi. “Untuk ukuran video lama, rekamannya masih baik ya. Waktu itu saya gunakan Camcorder Semi Pro Sony. Aslinya waktu saya ambil gambar 1987 itu ada enam tape . Ya, kira-kira durasinya sembilan jam. Tetapi hanya sekitar 15-20 menit yang dipakai di film ini. Tapi kemudian saya kecewa. Karena ketika saya tawarkan ke dua stasiun TV di Belanda, mereka menolak,” ujar Arjan kepada Historia . “Saya kecewanya karena mereka menolak sebelum melihat isi videonya. Katanya kualitas teknisnya tidak baik karena saya hanya pakai camcorder. Padahal di zaman Orde Baru, tidak mungkin bisa dengan kru ke Indonesia dan syuting begitu tanpa izin dan tanpa diikuti agen pemerintah. Berarti itu semua syuting saya rahasia,” sambung pria yang juga sudah terlibat di 12 film Indonesia itu. Yang Tercecer Sederhananya, Arjan kembali ke Lebak setelah 32 tahun atau menjelang dua abad kelahiran Multatuli (2 Maret 1820), ibarat ingin membandingkan kehidupan rakyat Lebak. Mengulang yang dilakoninya pada 1987 kala ia napak tilas isi roman Max Havelaar , utamanya bab-bab tentang Hindia Belanda (kini Indonesia) di Rangkasbitung hingga Badur dalam rangka 100 tahun wafatnya Multatuli (19 Februari 1887). Bahwa apa yang tercecer usai Multatuli pergi, pun kala Belanda angkat kaki dari Bumi Pertiwi, pergulatan hidup itu masih setia menemani. Utamanya bagi orang-orang kecil macam Jumar dan Rasti – Saidjah dan Adinda “milik” Arjan. Betapa pendidikan masih sulit dinikmati Jumar dan Rasti hingga berimbas pada masa depan mereka yang gampang ditebak – juga harus bergulat pedih. “Yang saya alami pada 1987 dan 2019 adalah, bahwa tidak seorangpun peduli dengan rakyat Lebak. Semua fokus pada buku ( Max Havelaar ), berdebat ini fiksi atau fakta, ini mitos atau bukan. Di 1987 pun suasana yang saya bayangkan di Max Havelaar tidak berubah. Saya masih bisa bayangkan Saidjah-Adinda hidup di sana,” tambah Arjan. “Bedanya 2019 sudah ada rumah tembok, sebelumnya 1987 semua masih rumah panggung. Makanya saya kembali ke Badur dalam hal itu mewakili rakyat kecil Lebak. Bahwa sampai zaman ini keadaan tidak banyak berubah. Kekuasaan juga masih dikuasai kaum elit, seperti zamannya Multatuli,” tutur Arjan menyiratkan kritik. Keluarga Jumar masih hidup dalam keadaan memprihatinkan (Foto: Dok. Arjan Onderdenwijgaard) Kritik sosial juga begitu terasa dalam Setelah Multatuli Pergi, kala Arjan menemui seorang seniman mural yang termarjinalkan. Padahal mural bergambar wajah Multatuli yang mengungkit kata-kata: “Apakah ketamakan pejabat terkait keluarga yg kuat”, begitu menyentil lantaran mengungkit relasi sensitif terkait garis keluarga dalam lingkar kekuasaan saat ini. “Bahwa si pelukis mural itu antara enggak berani atau enggak sadar, bahwa karyanya itu perlawanan. Itu kritik yang kuat. Si pelukis, Jumar, sampai Rasti, memang tidak serta-merta nyambung terkait tulisan dan pesan Max Havelaar. Tapi apa yang terjadi pada mereka, perjuangan dan perlawanan itu masih begitu aktual karena terjadi di manapun di dunia ini,” papar Arjan. “Kalau bisa menyesapi substansinya itu menyedihkan. Mereka mewakili rakyat kecil seperti yang ditulis Multatuli. Meski fiksi tapi cerita fiksi itu seperti ditulis Multatuli, menggambarkan kebenaran yang luas. Mungkin tidak hanya apa yang kita lihat tapi justru cara pikir orangnya. Cara mereka putus asa atau berjuang begitu kuat untuk bertahan hidup,” tandasnya.
- Janji Semu Ratu Belanda
DI depan corong radio London, Ratu Belanda Wilhelmina berpidato. Bukan dalam bahasa Belanda, Sri Ratu menyampaikan sabdanya lewat bahasa Inggris. Hal ini dapat dimengerti sebab keberadaan Ratu Wilhelmina di Inggris dalam status pelarian setelah negerinya diduduki oleh tentara Jerman. Dalam pidatonya, Wilhelmina mengenang betapa kejinya serangan Jepang terhadap Amerika Serikat (AS) setahun silam. Sang Ratu menekankan peran Belanda yang tanpa ragu ikut ke kancah perang berada bersama AS sebagai sekutu. Pidato tersebut disiarkan pada 7 Desember 1942 dan harian Inggris, Time ikut pula memuatnya. Yang menarik, Wilhelmina juga menyanjung jasa negeri koloninya, Hindia Belanda. Wilhelmina menyampaikan rasa terimakasih kepada Hindia Belanda karena telah mempertahankan diri dari serbuan pasukan Jepang dengan heroik. Dan pada kesempatan itulah untuk kali pertama, Sang Ratu menyebut nama Indonesia dalam pidato resminya. Indonesia –bersama dengan Suriname dan Curacao– kata Wilhelmina akan dilibatkan dalam satu konferensi yang setara dengan Kerajaan Belanda. Ratu Belanda itu menjanjikan bentuk pemerintahan baru bagi negeri koloninya untuk bebas sesuai dengan spirit Piagam Atlantik. Wilhelmina bersedia memenuhi janjinya untuk duduk berembuk bersama Indonesia setelah perang berakhir. Sekilas terdengar seperti angin sejuk, namun pidato Wilhelmina itu mengandung muatan politis cukup besar. Di tengah deru Perang Dunia II yang masih berlangsung, Belanda tengah menarik simpati para sekutunya. Belanda sejatinya masih memiliki kepentingan terhadap negeri koloni. “Tanpa memandang apakah pernyataan tersebut jujur atau hanya basa-basi, pernyataan Ratu Wilhelmina tersebut berhasil menimbulkan akibat yang diharapkan,” ujar sejarawan Universitas Amsterdam Belanda Frances Gouda dan peneliti militer Thijs Brocadees Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949. Menurut Gouda dan Zaalberg, pemerintah Belanda melalui pidato Ratu Wilhelmina ingin menggiring opini guna menarik dukungan AS. Di balik pidato itu, tersebutlah peran Hubertus van Mook, pamong praja Belanda yang berpengalaman sekaligus progresif. Van Mook kelak menjadi penguasa Belanda yang terakhir dan sangat berpengaruh bagi negeri tersebut selama revolusi kemerdekaan Indonesia berlangsung. Memang terbukti, sepanjang Perang Dunia II, Presiden AS, Franklin Roosevelt memakai janji Wilhelmina sebagai contoh untuk ditiru Inggris dan Prancis. Pernyataan Roosevelt kepada Duta Besar Australia di Washington pada akhir 1944 menjadi bukti keberpihakan AS kepada Belanda. Roosevelt percaya Belanda akan menepati janji memberikan demokrasi dan status persemakmuran kepada koloninya di Asia Tenggara. Keganjilan dalam pidato Ratu Wilhelmina juga disampaikan oleh sejarawan Belanda lainnya, Cees Fasseur. Menurut guru besar sejarah Universitas Leiden ini mengapa pidato sepenting itu baru diucapkan di masa perang. Ketika pemerintah Belanda berada dalam pengasingan dan wilayah negeri Belanda diduduki Jerman. “Pendudukan Jerman atas Nederland telah menjadikan Indonesia sebagai sebuah wilayah berpemerintahan kolonial tanpa negeri induk,” tulis Fasseur seperti dikutip M. Adnan Kamal dalam Kepulauan Rempah-Rempah . Di Hindia Belanda sendiri, komitmen Ratu Wilhelmina itu kurang begitu bergaung. Orang-orang Indonesia menyambut dingin pidato Sri Ratu. Menurut sejarawan Ongokham dalam Runtuhnya Hindia Belanda , peluang besar Belanda untuk mempertahankan Hindia Belanda kandas setelah penolakan terhadap Petisi Soetardjo. Ketika ancaman pendudukan Jepang datang, ajakan Ratu Wilhelmina mempertahankan Hindia hanya seruan yang melempem. Dan ketika perang usai, janji Wilhelmina pun tidak pernah benar-benar ditunaikan. Sabda Sri Ratu tidak lebih dari janji politik yang dijadikan alat oleh para politisinya belaka. Alih-alih diwujudkan, Belanda malah melakukan dua agresi militer-nya untuk kembali menguasai Hindia yang telah memerdekakan diri sebagai Republik Indonesia.*
- Melacak Keris Mistis Pangeran Diponegoro
RATUSAN tahun sudah sejak keris Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro dianggap hilang dari tempat penyimpanannya di museum Belanda. Lewat pencarian yang panjang, keris itu ditemukan dan dikembalikan kepada Indonesia. Sejumlah penelitian dilakukan untuk menemukan Kiai Nogo Siluman. Pada 1984, Pieter Pott, mantan kurator Museum Volkenkunde (sekarang National Museum of World Cultures, NMVW) di Leiden yang kemudian menjadi direkturnya itu mencoba melacak Kiai Nogo Siluman dalam koleksi Museum Volkenkunde. Penelitian ini juga termasuk kelanjutan dari perjanjian pada 1975 antara pemerintah RI dan Belanda mengenai pengembalian warisan budaya yang berkaitan dengan tokoh bersejarah. “Dilanjutkan karena masih ada keterangan bahwa keris Diponegoro masih di Belanda. Kemungkinan besar ingin melengkapi benda milik Diponegoro di Belanda yang sudah lebih dulu dikembalikan ke Indonesia,” ujar Sri Margana, ketua Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada, kepada Historia. Baca juga: Hilang Ratusan Tahun, Keris Diponegoro Ditemukan di Belanda Margana adalah salah satu peneliti yang diminta untuk mengkonfirmasi identitas koleksi keris di National Museum of World Cultures (NMVW) di Leiden, Belanda. Keris berhias kepala naga tadi salah satunya. Berdasarkan Laporan Penelitian yang dibuat NMVW pada 20 Januari 2020, Pott menduga keris bernomor RV-360-5821 sebagai Kiai Nogo Siluman. Menurutnya, keris milik Diponegoro itu disumbangkan oleh Hamengku Buwono V pada akhir Perang Jawa kepada Kolonel Jan-Baptist Cleerens. Temuannya didasarkan pada arsip KKZ yang disimpan oleh Rijksmuseum. “Tetapi temuan kami memiliki kesimpulan yang berbeda,” catat laporan itu. Penelusuran Pott sempat dihentikan karena mungkin dianggap tak membawa hasil yang signifikan. “Karena mungkin konsen museum dan pemerintah Belanda sudah terarah pada kerjasama lainnya,” ujar Margana. Pendekatan Baru Pada 2017, NMVW kembali melacak keberadaan keris. Museum ini mempekerjakan sejumlah peneliti. Tak cuma peneliti dari Belanda, tapi juga tim ahli dari museum di Wina, Austria. Tugasnya menyelidiki keberadaan keris tanpa menjadikan penelitian sebelumnya sebagai referensi. Pendekatan baru pun dilakukan dengan menggunakan arsip dan sumber-sumber sekunder. Salah satunya adalah membandingkan keris dalam koleksi Museum Volkenkunde dengan dua dokumen, yaitu korespondensi antara sekretariat negara dan Direktur Jenderal Departemen Pekerjaan Umum, Industri Nasional dan Koloni, serta dokumen Sentot Alibasyah Prawirodirdjo yang di dalamnya terdapat pula kesaksian pelukis Raden Saleh. Dari arsip itu diketahui paling tidak ada empat ciri yang bisa menandai Keris Nogo Siluman. Keris ini berasal dari Kesultanan Yogyakarta, paling tidak ditempa sebelum tahun 1830, terdapat hiasan naga, dan memiliki jejak emas pada bilahnya. “Keris dalam koleksi Museum Volkenkunde yang terkait dengan KKZ kemudian dicocokkan kriteria ini,” catat laporan itu. Ditemukanlah satu keris yang cocok dengan deskripsi Raden Saleh tentang Kiai Nogo Siluman. Sejumlah ahli kemudian dimintai pendapat tentang keris itu secara terpisah. Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman Tak Pernah Hilang Pakar yang pertama mencatat bahwa keris memiliki bilah dari abad ke-18. Namun gagangnya tidak terlalu tua. Pakar kedua menilai pula kalau pegangan keris lebih muda daripada bilahnya. Bilahnya sendiri sangat tua dan usang. Namun akibat ritual jamasan yang dilakukan terhadapnya, tubuh naga hampir menghilang. Ahli kedua ini juga menyebut keris itu milik anggota Kesultanan Yogyakarta. Pihak Rijksmuseum juga ditanyai soal keris. Ini untuk mengesampingkan kemungkinan kalau Kiai Nogo Siluman dibawa ke Museum Nasional Sejarah dan Seni pada 1883. Koleksi mereka kini menjadi bagian koleksi Rijksmuseum. Dari sana ditetapkan kalau empat keris dan dua senjata tajam lainnya yang berasal dari KKZ di Rijksmuseum tak cocok dengan kriteria Kiai Nogo Siluman. Selanjutnya, pada Januari 2019, beberapa pakar keris dari Indonesia mengunjungi Museum Volkenkunde. Mereka diminta melihat keris yang diduga sebagai Kiai Nogo Siluman dan beberapa keris lain yang tak terkait dengan KKZ. Karena kasus ini dinilai sensitif, mereka tidak diberitahu kesimpulan sementara soal satu koleksi yang diduga kuat sebagai Kiai Nogo Siluman. Dalam pengamatan, mereka menemukan adanya candrasengkala pada bilah keris yang diduga kuat sebagai Kiai Nogo Siluman. Candrasengkala yang dimaksud terdiri dari simbol binatang yang merujuk pada tahun tertentu. Baca juga: Keris Pangeran Diponegoro Tiba di Tanah Air Para ahli menyebut ada tiga binatang pada bilah keris itu, yaitu naga, rusa, dan gajah. Ini menandakan senjata itu diditempa pada 1633. “Menurut para ahli, keris dimiliki oleh Sultan Agung (1593-1645), leluhur Pangeran Diponegoro. Kualitas besi dan desain senjata menunjukkan bahwa dulunya milik Sultan Agung,” catatnya. Setelah kunjungan para ahli keris dari Indonesia, NMVW mencari lagi pendapat kedua. Lagi-lagi mereka tidak mengungkapkan hasil sementara penelitian yang sedang berlangsung. Pakar pertama yang sebelumnya sudah disebutkan diminta melihat candrasengkala pada keris. Interpretasinya berbeda. Selain naga dan rusa, si pakar ini melihat hewan ketiga bukan sebagai gajah tetapi singa atau harimau. Kombinasi simbol-simbol ini mengarah pada abad ke-18, mungkin 1759. Si pakar tadi percaya keris ini milik orang berpangkat tinggi di Kesultanan Yogyakarta. Namun tak mungkin Sultan Agung. Baca juga: Memetakan Perjalanan Keris Pangeran Diponegoro Pakar itu juga diminta memeriksa keris lain yang dulu pernah diajukan oleh Pieter Pott. Kesimpulannya keris itu tak bisa dikaitkan dengan Pangeran Diponegoro. “Karena bukan dari periode yang tepat. Keris dengan nomor RV-360-5821 dibuat sekira 1850,” catat laporan itu. Pada Desember 2019,NMVW meminta agar metode penelitian mereka sejauh ini diperiksa dan dievaluasi oleh pakar. Pakar peninjau itu didatangkan ke Belanda. Ia mewawancarai para peneliti, meninjau koleksi keris di museum, dan mempertimbangkan temuan yang sudah ada. Pakar peninjau akhirnya menyimpulkan bahwa penelitian itu sudah dilakukan secara komprehensif. “Semua sumber dan koleksi tampaknya telah dipertimbangkan oleh para peneliti NMVW yang melakukan pekerjaan ini sejak 2017,” catat laporan itu. Si pakar juga akhirnya mengkonfirmasi temuan para peneliti NMVW bahwa keris yang diajukan dalam penelitian 2017 memang Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro. Penanda Nogo Siluman Pada awal 2020, tim dari Indonesia kebagian tugas untuk mengkonfirmasi kesimpulan yang dibuat oleh peneliti Belanda. Apakah benar yang diajukan pihak Belanda memang keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro. “Ternyata setelah kami datang ke sana kami punya pandangan yang sedikit berbeda dari para peneliti sebelumnya,” kata Margana. Ukiran hewan ketiga yang oleh tim verifikasi sebelumnya disebut sebagai gajah, singa atau harimau rupanya menurut Margana adalah seekor naga. “Ketika saya melihat langsung keris itu, binatang yang dianggap gajah, harimau atau singa itu ternyata justru adalah kunci apa yang disebut Nogo Siluman itu,” ujarnya. Dia menggambarkan, pada bagian paling bawah dari bilah keris, di dekat pegangannya, ditemukan ukiran naga tersembunyi dengan kepala menoleh ke kanan. Tangan kanan dan kirinya seperti hendak mencakar. Baca juga: Riwayat Keris Bertuah Milik Diponegoro “Versi naga siluman Jawa itu kalau lihat patung-patungnya yang biasanya terbuat dari perunggu atau kuningan terlihat sekali ini. Jadi agak berbeda dari naga versi wayang Jawa,” kata dia. Kalau dalam wayang, kata Margana, umumnya mereka memakai mahkota. Di bagian tubuhnya juga terdapat sayap. Sementara kalau naga siluman tidak digambarkan dengan mahkota. Alih-alih mahkota, naga itu seperti berambut yang terurai, kemudian juga memiliki cakar. “Kalau wayang kan tidak ada tangan tapi sayap,” lanjutnya. Dengan begitu, dalam keris itu terdapat ukitan dua naga. Naga pertama adalah yang dideskripsikan Raden Saleh, yaitu pada bagian tubuhnya terdapat jejak emas. Naga kedua adalah si naga yang menjadi cerminan Nogo Siluman, sebagaimana keris itu diberi nama. Baca juga: Keris Diponegoro Dikembalikan Belanda, Ini Kata Peter Carey “Jadi terkonfirmasi kalau ini Kiai Nogo Siluman tapi dengan catatan,” kata Margana. “Lalu apakah di dalam keris ini memang ada candrasengkalan , mungkin perlu diteliti lebih lanjut.” Dengan dikembalikannya keris Pangeran Diponegoro kepada Indonesia, Margana pun bilang, bahwa tak cukup jika hanya menerima dengan senang. Keris ini menyimpan makna yang besar. Melihat kemungkinan kalau keris ini dipakai dalam peperangan, artinya ia bisa menjadi simbol perlawanan Diponegoro secara keseluruhan. “Ini penting, artinya harus punya nilai tambah bagi historiografis Indonesia. Harus dibuat narasi yang pas. Jadi bisa ditempatkan sesuai perannya,” kata Margana lagi.*
- Jakarta Mencegah Corona
Berita mengejutkan meluncur dari Presiden Joko Widodo hari Senin, 2 Maret 2020. Ditemani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Jokowi mengumumkan bahwa dua warga negara Indonesia positif terkena Corona. Jokowi mengungkapkan bahwa dua orang tersebut tertular oleh warga Jepang. Sontak berita tersebut membuat kepanikan, tak terkecuali di Jakarta. Dua pasien Korona itu sehari-hari berdomisili di Depok, Jawa Barat. Jarak Depok ke Jakarta dekat. Bahkan selang beberapa hari pemerintah kembali mengumumkan bahwa bertambah dua orang lagi warga Indonesia yang positif virus tersebut. Banyak pekerja di Jakarta berasal dari Depok. Keadaan kian gaduh. Orang-orang memborong barang kebutuhan pokok. Panic buying. Padahal itu tidak perlu. Sejarah wabah flu mematikan sebenarnya cukup lekat dengan Indonesia. Jauh sebelum Corona, Flu Spanyol juga pernah masuk ke Indonesia. Flu Spanyol merupakan wabah flu yang memiliki dampak luas dari segi sebaran dan korbannya. Flu Spanyol mulai masuk ke Jawa pada Juli 1918. Penyebaran awalnya diperkirakan melalui para awak kapal laut atau kapal kargo dari Sumatra Utara. Awalnya, pemerintah Hindia Belanda dan masyarakat tidak menyadari datangnya virus ini karena lebih terfokus pada penyakit berbahaya lainya. Korban mulai berjatuhan. Rumah sakit sontak mendadak penuh. Bahkan beberapa sampai menolak pasien. Jumlah korban Flu Spanyol tidak diketahui secara pasti. Tapi menurut Colin Brown dalam “The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia”, korban Flu Spanyol di Hindia Belanda mencapai 1,5 juta jiwa. Angka sangat besar untuk Hindia Belanda kala itu. Sejumlah warga Jakarta menggunakan masker di halte busway . (Fernando Randy/Historia). Seorang pengguna MRT bermasker saat membeli tiket di loket MRT Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Sejumlah warga Jakarta menggunakan masker sebagai tindakan pencegahan terhadap virus Corona. (Fernando Randy/Historia). Dua warga menggunakan masker saat berjalan di trotoar kawasan Sudirman Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Seorang warga menggunakan masker di kawasan Blora, Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Seorang pekerja saat menggunakan gel pembersih tangan di stasiun MRT Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Para pekerja melintas di jembatan penyeberangan Jakarta dengan menggunakan masker. (Fernando Randy/Historia). Sejumlah warga menggunakan masker saat jam pulang kantor di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Pihak keamanan pun turut serta menggunakan masker untuk mencegah virus Corona. (Fernando Randy/Historia). Seorang pria bermasker saat membeli tisu di kawasan Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Pihak MRT mengukur suhu tubuh setiap pengguna MRT sebagai tindakan pencegahan Corona. (Fernando Randy/Historia). Kembali ke masa kini, Indonesia tengah berjuang melawan wabah virus. Ditemukan pertama kali di Wuhan China, Corona atau Covid-19 saat ini telah semakin meluas dan menjangkiti ribuan orang. Tanpa vaksin yang tak kunjung ditemukan, orang-orang mulai cemas. Pemerintah telah membuat sejumlah pedoman untuk mengatasi kecemasan. Misalnya mengajak warga menggunakan masker ketika sakit. Wajah-wajah bermasker bermunculan di mana-mana. Masyarakat dan pemerintah pun menjadi lebih peka dengan kesehatan. Terlihat dari disediakannya banyak pembersih tangan di angkutan-angkutan umum. Semua tentu berharap virus ini cepat berlalu dan kebiasaan sehat warga Jakarta tetap dipelihara. Karena tentunya kesehatan memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Para pengguna Transjakarta menggunakan masker untuk mencegah Corona. (Fernando Randy/Historia). Para pekerja melintas di Blora dan menggunakan masker untuk mencegah Corona. (Fernando Randy/Historia).
- Menyuarakan Nasib Buruh Perempuan
Pada peringatan Hari Perempuan Sedunia 2020, Aliansi Gerakan Perempuan Anti-Kekerasan (Gerak Perempuan) menyerukan untuk Melawan Kekerasan Sistematis terhadap Perempuan. Beberapa poin masalah yang diangkat ialah ketiadaan regulasi yang memberikan perlindungan terhadap perempuan baik dalam undang-undang maupun peraturan turunannya serta kondisi kerja yang tidak ramah perempuan. Contoh paling anyar ialah nasib buruh PT Alpen Food Industri (PT AFI) yang memproduksi es krim Aice. Mereka mengeluhkan kondisi kerja yang tak sejalan dengan ketentuan. Beberapa di antaranya, diskriminasi pengupahan, risiko mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, kontaminasi lingkungan, dan shift kerja ibu hamil pada malam hari. Dalam rilisan persnya, Gerak Perempuan menyebutkan akibat dari kondisi kerja yang eksploitatif ini, sepanjang 2019, terjadi 14 kasus keguguran yang dialami buruh perempuan dan 6 orang lainnya kehilangan bayi yang baru dilahirkan. Namun alih-alih menciptakan ruang kerja yang lebih ramah bagi perempuan dan memastikan hak buruh dijalakan, pemerintah malah tergesa-gesa memproses Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang tidak memberi ruang pada kebutuhan pekerja perempuan, seperti hak reproduksi. Belum lagi RUU Ketahanan Keluarga yang berusaha mengembalikan peran perempuan untuk mengurus keluarga. RUU semacam ini kental atmosfer konservatisme yang alih-alih mendorong perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya sesuai keinginan malah berusaha mundur ke era sebelumnya. “Omnibus Law itu pakai kerangka globalisasi kapitalis yang dalam kompetisi akan menyingkirkan perempuan. Sementara RUU Ketahanan Keluarga itu akan membuat perempuan di rumah saja,” kata Ruth Indiah Rahayu, peneliti feminis Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) pada Historia. Nasib Buruh Perempuan Usaha advokasi nasib buruh perempuan sudah dilakukan sejak Indonesia belum merdeka. Pada 1941, Maria Ullfah beserta rekannya di organisasi Isteri Indonesia berkunjung ke pabrik sepatu Bata. “Pabrik yang berdiri baru satu tahun itu punya kurang lebih 1000 personel, 600 laki-laki dan 400 perempuan,” tulis Maria Ullfah dalam “Perempuan-Perempuan Kita yang Bekerja di Pabrik Bata” dimuat Isteri Indonesia Januari 1941. Di sana, ia mengamati bagaimana buruh-buruh perempuan tinggal dan bertahan hidup. Dari sekian banyak buruh, hanya terdapat tiga mandor perempuan dengan gaji f 7.50 per minggu. Sementara ratusan perempuan lainnya bekerja sebagai tukang jahit sepatu dengan gaji per minggu f 4. Dari gaji tersebut, mereka sisihkan f 0.90 per minggu untuk biaya pondok. Harga tersebut untuk pondok termurah yang mereka kunjungi. Menurut Maria Ullfah pondok murah itu kurang layak sebab tak tersedia dapur dan ukurannya amat kecil. Ia pun mensurvei pondok-pondok lain di sekitar Pabrik Bata. “Pondok yang sewanya f 1.20 per minggu inilah yang menarik hati kami. Bagi kaum ibu, pondok inilah yang bagus dan netjes ,” terang Maria Ullfah. Sujatin Kartowijono juga pernah melakukan hal serupa. Dalam biografinya Mencari Makna Hidupku, dia mengisahkan pada 1930-an pernah mengunjungi para buruh di pabrik Batik Lasem yang sedang melakukan protes. Dari kesaksian Sujatin, para buruh perempuan mendapat perlakuan sewenang-wenang, beban kerja tinggi namun upah minim. Pada 1945 SK Trmurti, Umi Sardjono, bersama Barisan Buruh Wanita (BBW) mengorganisasi gerakan untuk memperjuangkan hak buruh perempuan sekaligus kemerdekaan Indonesia. “Ada tiga kondisi buruh perempuan yang diperjuangkan Trimurti, yakni tentang cuti baik haid maupun melahirkan, diskriminasi upah, dan tuntutan agar buruh perempuan bebas dari kekerasan fisik,” kata Ruth. Bahkan Trimurti juga memperjuangkan agar istri para buruh tidak diperlakukan semena-mena. Dalam artian, mereka tidak ditelantarkan atau dipoligami seenaknya. Pada 1946 BBW dilebur dalam Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), sejak itu hak buruh perempuan diperjuangkan dalam SOBSI, salah satunya tentang upah sama. Namun menurut Saskia Eleonora Wieringa dalam bukunya Penghancuran Gerakan Perempuan meski organisasi ini siap memperjuangkan hak-hak perempuan, tapi mereka tidak akan berjuang menentang dominasi lelaki sendiri. Suara tentang hak buruh semacam ini juga diserukan pada peringatan Hari Perempuan Sedunia 1954. Para perempuan menekankan tuntutan pada penghapusan diskriminasi upah, hak dalam perkawinan, dan moralitas. Namun demikian, pada dekade 1950-an, Hari Perempuan Sedunia belum mendapat sambutan antusias di Indonesia. Gerwani mempeloporinya dan hanya sedikit kalangan yang ikut memperingati. Ketidakpopuleran perayaan 8 Maret ini membuat Gerwani mengajak banyak organisasi perempuan untuk memperingatinya. Mereka juga membuat kebijakan bahwa karya tulis Clara Zetkin, feminis Partai Sosialis Jerman yang mengusulkan ditetapkannya tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia, dijadikan bacaan wajib bagi kader-kadernya. Meski kebanyakan organisasi perempuan yang memperingati 8 Maret adalah organisasi sosialis, Perwari tercatat pernah merayakan Hari Perempuan walaupun gaungnya tak besar. Federasi perempuan, Kowani, mulai merayakan Hari Perempuan Sedunia pada dekade 1960-an. Kowani bahkan membentuk panitia persiapan peringatan Hari Perempuan Sedunia. Pada perayaan tahun 1961, Wanita Komunis (Wankom), kelompok perempuan anggota PKI (mulai disebut demikian sejak 1957), mengeluarkan pernyataan untuk memperkuat persatuan perempuan, khususnya buruh, tani, dan anti-feodal. PBB petama kali memperingati Hari Perempuan Internasional pada 1975 bersamaan dengan program dekade perempuan. Meski Indonesia termasuk negara yang ikut menjalankan dekade perempuan, namun lantaran situasi politik di bawah kepemimpinan Soeharto, maka Indonesia tak merayakan Hari Perempuan Sedunia. Baru setelah reformasi peringatan 8 Maret kembali dirayakan hingga hari ini. Sejak pukul 10.00 pagi, para perempuan turun ke jalan, menyuarakan penolakannya pada RUU Ketahanan Keluarga dan Cipta Kerja.
- Keris dalam Lukisan Rembrandt
SEBAGAIMANA Hercules dalam mitos Yunani, Samson yang dalam Alkitab disebut Simson, juga dikisahkan sebagai manusia terkuat. Namun sekuat-kuatnya manusia punya kelemahan. Menilik legenda, Samson si pria perkasa itu jadi loyo tak berdaya setelah rambutnya dipotong Delilah, kekasih yang mengkhianatinya. Maestro seni rupa Belanda, Rembrandt Harmenszoon van Rijn, menggambarkannya dalam lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 61,3x50,1 cm bertajuk Samson Betrayed by Delilah (1628/1630). Lukisan yang menggambarkan salah satu adegan kisah Samson dalam Perjanjian Lama , di mana Delilah hendak menggunting rambut Samson yang sedang terlelap di pangkuannya. Rambut yang selama ini jadi sumber kekuatannya. “Penggambaran zaman itu (abad ke-17, red), penggambaran dari Alkitab sebagai lukisan sejarah, memang sedang nge-tren ya, seiring penyebaran gospel ke negara-negara koloni,” tutur kurator cum sejarawan seni Amir Sidharta kepada Historia. Makanya Rembrandt dengan gaya realismenya juga tak hanya punya satu karya yang melukiskan kisah sejarah dalam Alkitab. Malah pada 1636 ia kembali menelurkan karya yang masih bertema kisah Samson dalam Alkitab bertajuk The Blinding of Samson . Lukisan cat minyak di atas kanvas berdimensi besar, 205x272 cm itu, menggambarkan dua prajurit yang tengah membelenggu Samson, satu prajurit bersiaga dengan tombaknya dan seorang prajurit lain yang menghujamkan senjata unik berulir ke mata kanan Samson. Lukisan "Samson Betrayed by Delilah" (Foto: Repro "Rembrandt: The Painter Thinking") Unik lantaran bentuknya begitu mirip keris, senjata tradisional asal Jawa. Pada lukisan Samson Betrayed by Delilah sebelumnya pun juga Rembrandt menampakkan keris itu menjadi senjata yang dibawa-bawa Samson. “Memang keris ya. Kelihatan jelas sekali bahwa itu keris. Tetapi penggunaannya kacau ya. Seolah-olah bisa dengan mudah dipegang dan tidak tajam,” lanjut Amir. Sebagaimana diuraikan Amir, memang dalam dua penggambaran kisah Samson dengan senjata keris di dalamnya, tampak penggunaan keris yang tak lazim. Pertama , menyoal keris di lukisan Samsom Betrayed by Delilah . Di situ kerisnya tampak bergantung pada sabuk yang dipakai Samson kala tertidur di pangkuan Delilah. “Keris yang digantungkan dari sabuknya merupakan bentuk penggunaan yang tidak sebagaimana mestinya. Cara yang benar membawa senjata itu adalah dengan diselipkan di antara pakaian di bagian pinggul,” ungkap Karina H. Corrigan dkk dalam artikel “Rembrandt van Rijn, ‘Self-Portrait as an Oriental Potentate with a Weapon’, 1634” yang dimuat di Asia in Amsterdam: The Culture of Luxury in the Golden Age. Kedua dalam The Blinding of Samson , digambarkan mata Samson ditusuk kerisnya yang menjadi senjatanya sendiri oleh seorang prajurit. Masalahnya, sang prajurit memegang keris untuk menghujamkannya ke mata Samson, di bagian bilahnya, bukan deder atau gagangnya. “Iya itu yang dipegang bagian tajamnya malah. Mungkin karena ketidaktahuan (Rembrandt, red ) saja ya. Tidak tahu bagaimana cara menggunakannya dengan benar, sehingga penggambarannya seperti itu,” imbuh Amir lagi. Namun dari mana inspirasi itu berasal, sampai-sampai Rembrandt secara detail menyisipkan seonggok keris dalam lukisannya? Benarkah Rembrandt sendiri punya koleksi keris? “Saya bisa mengonfirmasi. Rembrandt memiliki sebilah keris. Dia punya banyak koleksi senjata, termasuk di dalamnya senjata-senjata eksotik,” timpal kurator Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda, Harm Stevens kepada Historia. Rembrandt sejak usia muda memang selain kondang sebagai pelukis, ia juga dikenal sebagai kolektor barang-barang antik. Utamanya sejak menginjak usia 26 tahun dan hidup glamor sebagai seorang borjuis di yang tinggal di kawasan elit Amsterdam tahun 1643. Maklum, kala itu tengah bergulir Gouden Eeuw atau era keemasan Belanda sebagai salah satu kolonialis terkaya dunia. Rembrandt muda di sela kesibukannya mencipta karya di atas kanvas, juga membantu pamannya, Hendrick di balai pelelangan dan perdagangan barang seni, mengingat Hendrick merupakan pedagang seni yang berpengaruh di Amsterdam saat itu. “Para pelanggan Rembrandt terdiri dari para saudagar kaya yang berkaitan erat dengan perdagangan dan keuangan global. Ia juga kenal dekat dengan beberapa pejabat tinggi Kongsi Dagang Hindia Timur (Verenigde Oostindische Compagnie/VOC). Tetangganya, Willem Boreel, seorang pengacara VOC. Teman dekatnya, Hendrick Scholten, sempat menjadi gubernur VOC,” tulis Stephanie Schrader dalam Rembrandt and the Inspiration of India. Lukisan "The Blinding of Samson" (Foto: Repro "Rembrandt: The Painter Thinking") Maka tak mengherankan jika Rembrandt juga punya koleksi benda-benda seni yang eksotis dari Hindia Timur (nama lama Hindia Belanda dan kemudian Indonesia). Namun bagaimana akhirnya ia tertarik, setidaknya punya sebilah keris sebagai salah satu koleksi senjata eksotisnya? “Rembrandt mengoleksi banyak benda eksotis. Di antaranya juga ada dua mangkuk dari Hindia Timur. Keris dengan hiasan berpahatnya seringkali memukau para kolektor. Salah satunya pelukis Pieter Lastman, di mana ia punya sebilah keris. Hingga kemudian diikuti muridnya, Rembrandt van Rijn yang juga memilikinya,” sambung Corrigan dkk. Jadi bisa dibilang bahwa ketertarikan Rembrandt pada keris juga sangat terpengaruh Lastman yang notabene mentornya. Toh gaya lukisan realisme yang dipengaruhi Caravaggio dalam karya-karya Lastman juga diikuti Rembrandt. Dikabarkan keris koleksi Rembrandt itu masih tersimpan Museum Het Rembrandthuis di Amsterdam. Adapun lukisan Samson Betrayed by Delilah , mengutip Ernest van de Wetering dalam Rembrandt: The Painter Thinking , mulanya dihadiahkan kepada Prins d’Orange Frederik Hendrik pad 1632. Lukisan itu turun-temurun diwariskan ke keturunannya, hingga kematian Raja Willem pada 1702, di mana lukisannya dilungsurkan kepada Raja Prusia Frederick II yang memindahkannya ke Berlin pada 1742. Oleh karenanya sampai kini pun lukisannya masih tersimpan di Berlin, tepatnya di museum seni Gemäldegalerie. Sedangkan lukisan The Blinding of Samson yang juga dihadiahkan ke Kerajaan Belanda, hingga kemudian diakuisisi Reichsvizekanzler atau Wakil Kanselir Kekaisaran Jerman Friedrich Karl von Schönborn di awal abad ke-18, untuk kemudian dibawa ke Wina, Austria. Sejak Mei 1905 hingga sekarang lukisannya dipamerkan di museum seni Städelsches Kunstinstitut und Städtische Galerie, Frankfurt am Main, Jerman, setelah ditebus dari keluarga Von Schönborn senilai 336 ribu marks.
- Bidan Ujung Tombak Penyehatan Generasi Baru
SETELAH Belanda hengkang, Indonesia berusaha membenahi sistem tata kesehatan masyarakat. Dengan kembalinya dokter Eropa ke negeri masing-masing, jumlah dokter di negara baru ini pun amat minim, pun layanan kesehatan ibu dan anak. Untuk mengatasi minimnya jumlah dokter, pemerintah meminta bidan, mantri, bahkan perawat bertindak sebagai pemimpin layanan kesehatan di pedalaman. Mereka harus memberi layanan kesehatan umum, layanan persalinan dan postpartum, cek kesehatan, Keluarga Berencana, vaksinasi, dan konsultasi kesehatan warga. Sebagai ujung tombak dalam pemeliharaan kesehatan ibu dan anak khususnya di pedalaman, para bidan lulusan RS Budi Kemulyaan berkumpul pada 15 September 1950 untuk merumuskan tujuan bersama. Mereka sepakat membentuk perkumpulan yang bertujuan menghidupkan rasa persaudaraan sesama bidan dan perempuan pada umumnya dan menyokong kerjasama dengan pemerintah dalam menjaga kesehatan rakyat. Lantaran perkumpulan itu bersifat amat lokal, para bidan kembali berkumpul pada 24 Juni 1951. Kali ini bidan dari berbagai daerah hadir. Selain Suleki Soemardjan, bidan lulusan kebidanan RS Jebres Solo yang merupakan istri sosiolog kondang Selo Soemardjan, hadir pula Bidan Fatimah Muin, Sri Mulyani, Sukaesih, dan kawan-kawan. Pertemuan ini menyempurnakan hasil musyawarah sebelumnya dan melahirkan Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Fatiman Muin terpilih sebagai ketuanya. Pertemuan itu juga membahas langkah IBI dalam mendukung program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang diluncurkan pemerintah pada 1951. Dalam upaya meningkatkan KIA, pemerintah berencana membangun Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) di desa-desa. Untuk merealisasikannya, Kementerian Kesehatan mengadakan Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada 1953. Sebagai koordinator para bidan, peran IBI dilakukan dengan mendata ketersediaan bidan di daerah. Ruang lingkup dan tugas bidan pun meluas pasca-mendapat KTB. Bidan tak hanya melayani pengawasan kehamilan, pertolongan kehamilan, dan perawatan ibu nifas. Lebih jauh, mereka yang sudah menjalani KTB ditugasan untuk memberikan layanan kesehatan secara umum di masyarakat. Dikutip dari Bidan Sebuah Perjalanan Karier, Prof. dr. Sarwono Prawirohardjo, penasehat Ikatan Bidan Indonesia, mengatakan layanan KIA berkaitan dengan kelangsungan hidup, di mana tingkat kesehatan yang optimal sangat menentukan keselamatan bangsa. Pernyataan Sarwono sejalan dengan buku Pedoman dan Berita yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1966. Disebutkan buku itu bahwa pemeliharaan kesehatan masyarakat, ibu, bayi, dan anak dilakukan dalam rangka mempertinggi (meningkatkan) ketahanan revolusi. Model layanan kesehatan di era kolonial yang hanya bisa diakses segelintir orang pun ditinggalkan. Akses kesehatan pasca-kemerdekaan diharapkan dapat diakses semua rakyat dan “mencari sistem baru yang sesuai dengan sosialisme Indonesia.” Para bidan yang bertugas memimpin BKIA menjadi garda tedepan dalam penyediaan layanan pemeriksaan pra dan pasca-persalinan, pemeriksaan bayi dan anak, termasuk pemberian vaksinasi, imunisasi, serta penyuluhan mengenai pemeliharaan kesehatan. Masalah gizi anak dan pelayanan Keluarga Berencana pun jadi urusan para bidan yang bertugas di BKIA. Selain bertugas di BKIA, para bidan juga bertanggung jawab atas pengawasan kesehatan di lingkungan tugasnya. Mereka tak jarang melalukan kunjungan ke rumah warga yang sakit untuk memberikan penyuluhan tentang perawatan kesehatan. Pengawasan kesehatan anak prasekolah di Taman Kanak-Kanak pun menjadi tugas para bidan. Pada Kongres IBI 1955, Suleki terpilih sebagai ketua IBI menggantikan Ruth Soh Sanu yang menjadi ketua sejak 1953. Dalam Bidan Indonesia Menyongsong Masa Depan yang diterbitkan bertepatan dengan 50 tahun IBI, Mustika mencatat bahwa kala kondisi politik sedang tak menentu akibat pemilu 1955, IBI berusaha melakukan konsolidasi agar persatuan para bidan tak terpengaruh polarisasi politik dan tetap teguh pada tugas kemanusiaan. Sosialisasi program KIA pun terus dilakukan. Suleki bahkan menyumbangkan rumahnya di Jalan Johar Baru Jakarta Pusat pada IBI untuk dipakai sebagai BKIA. Pada perkembangan selanjutnya, pelayanan KIA terintegrasi dengan layanan kesehatan yang tersedia di Puskesmas. Bidan tetap mengepalai BKIA, sementara manajerial Puskesmas tetap dipegang oleh kepala Puskesmas yang seringnya dijabat dokter umum. Keberhasilan program BKIA pun bisa ditilik dari menurunnya masalah kurang gizi, Angka Kematian Ibu, atau Angka Kematian Bayi (AKB). Berdasarkan data statistik 1950-an, jumlah angka kematian ibu mencapai 55.000 sementara AKB mencapai 600.000 karena kurang perawatan. Angka ini terus menurun. Pada 1960, AKB yaitu 216 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara pada akhir 1980 AKB menjadi 68 per 1.000 kelahiran hidup.*
- Ketika Daud Beureueh Disuguhi Nasi Garam
SEKALI waktu Mayor Jenderal (tituler) Tengku Daud Beureueh berkunjung ke Tanah Karo. Daud Beureueh merupakan gubernur militer untuk wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Selama tiga hari, Daud Beureueh menginspeksi pasukan Resimen I Divisi X Sumatra yang dipimpin Letkol Djamin Gintings. Selain itu, ulama kharismatik asal Aceh itu berceramah untuk meningkatkan moral pasukan menghadapi Belanda. Pada hari ketiga, 28 Januari 1948, rombongan Daud Beureueh tiba di Kutabaluhberteng. Komandan front setempat, Kapten Rimrim Ginting menjadi perwira yang bertugas mempersiapkan penyambutan dan pelayanan. Kepada para rombongan, Kapten Rimrim memberitahukan bahwa makanan berupa nasi bungkus sudah tersedia. “Tiap bungkus berisi nasi beserta dua buah cabai merah dan sedikit garam. Tidak ada lauk yang lain,” tutur Djamin Gintings dalam catatan hariannya yang pada 1964 dibukukan dengan judul Bukit Kadir . Sambil tersenyum masam Daud Beureueh dan para perwira pengiringnya terpaksa memakan isi nasi bungkus yang disajikan. Apa boleh buat, perut mereka sudah keroncongan. Walau sudah barang tentu tidak sesuai selera, mereka melahap saja nasi garam-cabe itu daripada kelaparan. Letkol Djamin Gintings sang komandan resimen beserta staf nya agak keheranan menyaksikan menu makanan yang memprihatinkan itu. Pasalnya, biaya makanan untuk menyambut gubernur militer sudah diberikan. Biaya yang dianggarkan bahkan cukup untuk menyembelih seekor sapi atau kerbau. Setelah selesai makan, gunjingan pun bermunculan. Mayor Minggu mengoceh kepada sesama perwira. “Komandan apa ini, biaya telah diberikan, tapi makanan cuma dengan cabai," katanya dalam nada ketus. Alih-alih merasa malu, komandan front Kapten Rimrim Ginting malah menjadi tersinggung. Dengan muka merah ia lalu menimpali omelan atasannya itu, “Saya harap Mayor jangan bicara lagi seperti itu, sebab Mayor belum tahu maksud saya.” Daud Beureueh memanggil Kapten Rimrim Ginting. Sambil tersenyum kecut, dia menanyakan riwayat hidup sang komandan front. Setelah rombongan Daud Beureueh berangkat meninggalkan Kutabuluhberteng, barulah makanan yang enak-enak disuguhkan. Kapten Rimrim menginstruksikan pasukannya untuk menyantap makanan itu. Mereka pun bersantap ria diiringi rasa terkejut dan sedikit keanehan. “Mengapa Komandan berbuat demikian?” tanya salah seorang prajurit. “Maksud saya menunjukkan kepada rombongan Gubernur Militer,” kata Kapten Rimrim. “Bahwa kita setiap harinya makan nasi hanya dengan cabai dan garam di front ini. Kalau para pembesar datang baru diberi ektramakanan.” Rupanya Kapten Rimrim ingin memberikan pelajaran agar pasukannya juga diperhatikan dengan diberikan asupan makanan yang cukup. Duh, berani-beraninya ya.*
- Riwayat Keris Bertuah Milik Diponegoro
KERIS Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro sudah tiba di Tanah Air, Kamis (5/3/2020). Setelah 189 tahun berada di tangan Belanda, ia dipulangkan lima hari jelang lawatan kenegaraan Raja Belanda Willem-Alexander ke Indonesia. Namun riwayat keris itu sendiri masih terselubung misteri. Menurut Peter Carey, sejarawan peneliti Pangeran Diponegoro, keris Kiai Nogo Siluman merupakan satu dari sekian benda pusaka ternama peninggalan pemimpin perlawanan Perang Jawa (1825-1830) yang selama ini disebutkan hilang. Tapi bagaimana keris itu bisa dibawa negosiator ulung Kolonel Jan-Baptist Cleerens ke Belanda pada 1831 masih jadi tanda tanya. “Diponegoro punya banyak keris. Tentu itu (Kiai Nogo Siluman) bukan satu-satunya. Tapi bagaimana Cleerens memperoleh keris itu masih belum jelas. Apakah keris itu diberikan Diponegoro sebagai bentuk kepercayaan dalam negosiasi di Banyumas, atau Cleerens diberi oleh Jenderal (Hendrik Merkus Baron) de Kock setelah Diponegoro ditangkap di Magelang,” ujar Peter Carey kepada Historia . Pasalnya menilik Babad Diponegoro , lanjut Carey, tak pernah ada catatan bahwa keris Diponegoro dilucuti. Penyebutan tentang keris Kiai Nogo Siluman pun hanya tertera pada dua dokumen, yakni surat Sentot Prawirodirjo, salah satu panglima perang Diponegoro tertanggal 27 Mei 1830 kepada perwira kavaleri Belanda, François Delatre, dan keterangan pelukis Raden Saleh pada Januari 1831 atas permintaan Direktur Koninklijke Kabinet van Zaldzaamheden (KKZ) SRP van de Kasteele. “ Kiai berarti tuan. Semua yang dimiliki seorang raja memakai nama ini. Nogo adalah ular dalam dongeng dengan sebuah mahkota di kepalanya. Siluman adalah sebuah nama yang terkait dengan bakat-bakat luar biasa, semacam kemampuan untuk menghilang dan seterusnya. Karena itu, nama keris Kiai Nogo Siluman berarti raja ular penyihir, sejauh hal itu dimungkinkan untuk menerjemahkan sebuah nama yang megah,” sebut Raden Saleh dalam penilaian singkatnya, mengutip Werner Kraus dalam Raden Saleh dan Karyanya. Peter Carey, sejarawan Inggris peneliti riwayat Pangeran Diponegoro (Youtube OVIS UI). Dari keterangan Raden Saleh sudah terasa betapa keramat keris Kiai Nogo Siluman. Soal dari mana Diponegoro mendapatkan keris itu, Carey pun belum bisa memastikan siapa yang membuat atau apakah keris itu merupakan pemberian, sebagaimana Keris Kiai Abijoyo yang dilungsurkan dari ayahnya, Sri Sultan Hamengkubuwono III. Dalam biografi Diponegoro, The Power of Prophecy , Carey sekadar menyebut keris itu diberi nama “Siluman”, kemungkinan karena ia bersemedi di Gua Siluman dalam pengelanaannya pada 1805 dan kemudian didatangi Putri Genowati, salah satu wakil Ratu Kidul yang menguasai Pantai Selatan. Karenanya Carey mengurai “isian” keris itu mengandung makna hubungan antara manusia di dunia nyata dan makhluk-makhluk gaib di alam tak kasat mata. “Keris Kiai Nogo Siluman itu mempunyai isi makna tentang hubungan antara manusia dan dunia gaib. Dan keris yang punya luk 13 itu sering dilempar ke laut kidul, hingga kemudian tersembur semacam pintu terbuka di atas dunia para dewa-dewi. Diponegoro sangat hafal itu dan Ratu Kidul pernah datang untuk menawarkan bantuan pasukan gaib untuk mengusir Belanda. Tapi Diponegoro bilang, ia tidak membutuhkan pertolongan dunia gaib untuk urusan duniawi,” sambung Carey. Dari penilaian itu pula, ditambah ketiadaan catatan dalam Babad Diponegoro tentang apakah keris itu yang senantiasa dipakai Diponegoro dalam peperangannya terhadap Belanda, Carey ragu bahwa Kiai Nogo Siluman merupakan keris Diponegoro yang paling utama dan paling keramat di antara semua pusakanya. Di antara pusaka-pusaka yang dimiliki Pangeran Diponegoro, keris Kiai Ageng Bondoyudo masih diakui sebagai yang dianggap paling utama. Selain punya “isian” sebagai penguasa semua roh di Cilacap, keris itu pula yang menemani Diponegoro kala disemayamkan di Kampung Melayu, Makassar, saat wafatnya 8 Januari 1855. “Keris yang paling penting adalah Kiai Ageng Bondoyudo itu. Keris paling berharga yang punya isi. Sampai ia berpesan saat (sebelum) meninggal, bahwa keris itu tidak boleh sembarangan diwariskan dan harus dikuburkan bersamanya karena di keris itulah dia punya (menyimpan) aji-aji dan kekuatan gaib yang tidak layak berada di tangan orang lain,” tandas Carey.
- Keris Diponegoro Dikembalikan Belanda, Ini Kata Peter Carey
SUDAH 189 tahun keris Kiai Nogo Siluman berada di Belanda. Hari ini, Kamis (5/3/2020) atau lima hari jelang kunjungan Raja Belanda ke Indonesia, keris kondang milik Pangeran Diponegoro ini dikembalikan dan disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, dokumen tentang keris Kiai Nogo Siluman raib bak ditelan bumi dan baru ditemukan dan diidentifikasi lagi medio 2017. Keris yang sebelumnya berada di Museum Volkenkunde, Leiden itu lantas secara resmi diserahkan ke Duta Besar RI untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja pada Selasa (3/3/2020) dan dibawa pulang ke tanah air untuk diserahkan ke Museum Nasional pagi ini. “Saya agak heran, bagaimana bisa sebegitu teledor keris dari seorang Diponegoro bisa hilang. Padahal keris ini masuk dalam koleksi kerajaan (Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden atau KKZ) sejak Januari 1831,” ujar sejarawan Peter Carey kepada Historia. Keris Kiai Nogo Siluman didapatkan Kolonel Jan-Baptist Cleerens pada negosiasi pertama dengan Pangeran Diponegoro di Banyumas. Lantas dibawa ke Belanda untuk dipersembahkan ke Raja Willem I pada Januari 1831 sebagai simbol kemenangan Belanda pada Perang Jawa (1825-1830). Sejarawan peneliti Pangeran Diponegoro, Peter Carey. (Twitter @CDrieenhuizen) Keris itu kemudian disimpan di KKZ. Bahkan pernah turut jadi benda yang dipamerkan dalam sebuah pameran budaya dunia di Amerika Serikat, yakni Centennial Exposition di Philadelphia, pada 1876. Namun pada 1883, menyusul pembubaran KKZ, semua koleksi disebar ke tujuh museum lain. Sialnya, seabrek dokumen tentang koleksi-koleksi itu, termasuk keris Kiai Nogo Siluman, dinyatakan hilang. “Jadi setelah KKZ dibubarkan pada 1883, sama sekali tidak ada informasi yang betul-betul merujuk kepada keris (Kiai Nogo Siluman). Keris seperti hilang. Dari sekian banyak keris lain juga tidak dipelihara dengan baik oleh koleksi kerajaan (KKZ),” ujar Peter Carey yang dikenal sebagai Indonesianis peneliti kehidupan Pangeran Diponegoro. “Lain dengan apa yang dipunya koleksi Kerajaan Inggris. Ada beberapa benda dari Indonesia tapi sudah didaftarkan, sudah diteliti, punya nomor yang jelas, sehingga kita bisa melacaknya lewat laman daring. Semua itu tidak dibuat Belanda,” ketus Carey. Pun saat Belanda dan Indonesia terlibat Cultural Accords pada 1975, keris Kiai Nogo Siluman masih misterius. Hanya tombak Kiai Rondhan dan pelana kuda Diponegoro yang kembali dan jadi koleksi Museum Nasional, Jakarta. Adapun riset tentang keris Kiai Nogo Siluman baru terjadi medio 2017. Selain desakan eksternal akan isu dekolonisasi, risetnya dipicu beberapa buku yang terbit kemudian mengenai Diponegoro. Salah satunya karya Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of and Old Order in Java, 1785-1855. “Setelah ada beberapa buku, termasuk buku saya, mulai ada arus yang mau menguak sorot Diponegoro. Tahun 2017 mereka baru melakukan riset. Dalam pandangan saya, ini mencerminkan tidak bertanggungjawabnya Belanda. Jika mereka punya rasa hormat, mereka akan merawat betul benda bersejarah itu,” ujar Carey. “Mungkin riwayat yang terjadi dengan keris ini mencerminkan apa yang terjadi dengan sekian banyak pembuangan tokoh lainnya yang kemudian dilupakan setelah dikuasai. Ini seperti citra Belanda terhadap perlakuan mereka atas kebudayaan Jawa. Mereka datang ke sini untuk menjadi kolonialis yang sukses, menangkap Diponegoro, lantas peduli setan dengan hal lainnya,” tandas Carey .
- Keris Pangeran Diponegoro Tiba di Tanah Air
KERIS Pangeran Diponegoro yang ditemukan di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, resmi diserahkan kepada Museum Nasional Indonesia, Kamis, 5 Maret 2020. Penyerahan keris dilakukan Duta Besar Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja dan diterima langsung oleh Kepala Museum Nasional Indonesia Siswanto. “Semoga hari ini menjadi berkat bagi kita semua. Karena hari ini merupakan momentum yang bersejarah dengan kembalinya keris Pangeran Diponegoro sejak keluar dari tanah air kita 150 tahun lalu,” ujar Dubes Puja. Puja tiba di Jakarta pagi tadi menumpang pesawat Garuda Indonesia dari Amsterdam dan membawa serta keris Pangeran Diponegoro tersebut. Menurutnya, inilah keris Kiai Nogo Siluman yang selama ini dicari-cari. “Riset dokumentasi yang dilakukan menunjukkan ke arah keris ini. Sehingga pakar kita dan juga dari pihak Museum Volkenkunde yakin seyakin-yakinnya bahwa ini adalah keris yang dicari-cari, yaitu keris Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro,” ujar Puja di Museum Nasional. Keris Kiai Nogo Siluman sempat tak teridentifikasi pasca Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden (KKZ) atau Koleksi Langka Kerajaan dibubarkan. Pencarian kembali keris Kiai Nogo Siluman dimulai tahun 1984 oleh Peter Pott, kurator Museum Volkenkunde. Namun, penelitian Pott kemudian terhenti. Pencarian kembali dilakukan Johanna Leigjfeldt (2017) dan Tom Quist (2019). Quist dan Leigjfeldt kemudian menemukan tiga keterangan yang kemudian digunakan untuk mengidentifikasi keris Kiai Nogo Siluman. Keterangan pertama berasal dari surat Sentot Prawirodirjo, mantan perwira perang Diponegoro. Yang kedua keterangan Kolonel Jan-Baptist Cleerens yang membawa keris tersebut. Ketiga, surat dari pelukis Raden Saleh yang mendeskripsikan bentuk keris itu. Sejarawan UGM Sri Margana memeriksa keris Kiai Nogo Siluman di Museum Volkenkunde, Leiden, 24 Februari 2020. Disaksikan oleh Direktur Nationaal Museum van Wereldculturen Stijn Schoonderwoerd, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja. (Bonnie Triyana/Historia). Bukti-bukti tersebut telah dikonfirmasi oleh Ketua Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada Sri Margana yang tergabung dalam tim ahli dari Indonesia. Pada 24 Februari lalu, Margana datang ke Belanda untuk memastikan keaslian keris tersebut. Keris Nogo Siluman berbahan dasar besi berwarna hitam dengan ukiran berwarna emas. Terdapat wujud naga yang tubuhnya memanjang di sekujur bilah keris. Tubuh naga ini dulunya dilapisi emas namun sekarang hanya beberapa jejak emas yang tersisa. Sementara itu, ada satu lagi wujud naga yang membuat keris ini dinamai Kiai Nogo Siluman. Ukiran naga itu tersembunyi di bagian bawah bilah keris yang berdekatan dengan gagang keris. Sosok naga ini hanya bisa terlihat dari posisi tertentu. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid menyebut rencananya keris tersebut akan dipamerkan saat pertemuan Raja Belanda Willem-Alexander dengan Presiden Joko Widodo, 10 Maret mendatang. Selain itu, keris Nogo Siluman akan dipamerkan secara khusus di Museum Nasional agar publik dapat menyaksikannya. Dalam pameran yang sama juga akan ditampilkan sejumlah benda pusaka Diponegoro yang telah dikembalikan pada 1978, yakni tombak, pelana kuda dan payung kehormatan, serta tongkat Kyai Cokro yang telah dikembalikan pada 2015. “Kita memberi kesempatan kepada publik untuk ikut menikmati kebahagiaan ini. Jadi kita sangat berterimakasih sekali dan berharap pihak Museum Nasional menjaga pusaka ini, betul-betul memastikan keamanan seluruh benda berharga ini,” kata Hilmar.*





















