top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Upaya Memajapahitkan Bali

    USAI menyatakan ambisinya menyatukan Nusantara, Bali menjadi wilayah pertama di luar Jawa yang menjadi target Maha Patih Gajah Mada dan pasukannya. Kesaktian raja Bali, Sri Asthasura Ratna Bhumi Banten (Ida Dalem Bedulu), yang terkenal itu membuat sang maha patih turun sendiri untuk menanganinya. Pertempuran hebat pun tak terhindarkan. Kakawin Nagarakrtagama mencatat gempuran pertama terjadi pada 1343 M. Peperangan itu pada akhirnya dimenangkan pihak Majapahit, ditandai dengan Prabu Ida Dalem Bedulu. Dengan kejadian tersebut, maka habislah pengaruh garis keturunan Bali Kuno sebagai penguasa di negerinya. “Setelah kerajaan runtuh, maka Pulau Bali menjadi kacau balau. Semuanya ini menjadi tanggungan Gajah Mada,” tulis Muhammad Yamin dalam Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara. Akibat kehilangan penguasanya, rakyat Bali dilanda kepanikan. Kekacauan terjadi di mana-mana. Umumnya mereka mencoba mengungsi ke tempat aman. Namun tidak sedikit yang menghimpun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan kembali. Pemberontakan pun semakin membesar di banyak tempat. Masyarakat Bali Aga, yang menyebut dirinya sebagai keturunan Bali Kuno, tak kunjung surut. Mereka menentang kekuasaan raja baru dan menghimpun banyak kekuatan untuk memberontak. Walau Gajah Mada telah melakukan banyak siasat, tetapi dibutuhkan waktu setahun untuk dapat menundukkan kerajaan Bali. Rakyat sangat gigih mempertahankan wilayahnya dari cengkraman Majapahit. Agar kekacauan tidak berlarut-larut, Gajah Mada meminta bantuan Danghyang Kepakisan, seorang Brahmana dari Kediri. Tiga cucu Danghyang Kepakisan –Sri Juru, Sri Bima Sakti, dan Sri Aji Kresna Kepakisan– kemudian diangkat oleh Gajah Mada menjadi Cakradara (raja daerah). Masing-masing bertanggung jawab atas Blambangan, Pasuruan, dan Bali. “Selanjutnya, berdatangan para Brahmana, Arya, dan Ksatria untuk menempati wilayah-wilayah yang telah dikuasai Majapahit di Bali,” tulis Tjokorda Raka Putra dalam Babad Dalem: Warih Ida Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan. Para Arya (masyarakat kasta tinggi) yang membantu menaklukan Bali disebar ke desa-desa strategis di Bali. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi rakyat Bali agar tunduk pada raja baru dan Majapahit, serta mengganti elit penguasa yang lama sebagai penjaga keamanan di Bali. Menurut kisah Babad Dalem, Arya Kenceng ditempatkan di Desa Gelgel, Arya Kepakisan di Desa Bedahulu, Arya Beleteng di Desa Tangkas, Arya Belog di Desa Kaba-Kaba, dan Arya Sentong di Desa Pacung. Semuanya adalah titik penting dalam proses penguasaan Bali. Sementara itu, pada 1352 Gajah Mada mewakili Kerajaan Majapahit secara langsung memberikan kekuasaan tertinggi di Bali kepada cucu terakhir Kepakisan, yaitu Dalem Sri Kresna Kepakisan. Raja baru Bali itu lalu mendirikan istana di Samprangan, Gianyar. Sehinga munculah kerajaan Samprangan sebagai penguasa baru di Bali. “Samprangan sebagai lokasi pusat pemerintahan yang baru dipilih berdasarkan pertimbangan jarak dan untuk menjauhi desa-desa pedalaman yang masih terus melakukan pemberontakan,” tulis I Wayan Ardika, dkk. dalam Sejarah Bali: Dari Prasejarah hingga Modern . Dalam upayanya memajapahitkan Bali, Kresna Kepakisan sempat merasa lelah. Ia meminta dipulangkan ke Jawa karena perlawanan rakyat Bali tak kunjung surut. Raja lalu mengirimkan utusan ke Majapahit. Gajah Mada yang mendengar hal itu segera menolak permintaannya. Untuk melegitimasi kekuasaan Cakradaranya di Bali, Gajah Mada menghadiahi pakaian kebesaran kerajaan, lengkap dengan sebuah keris bernama Ki Durga Dingkul dan tombak bernama Si Olang Guguh . Selain itu dibuat juga piagam pengesahan yang seluruh permukaannya dilapisi emas. Karena masih diliputi kecemasan, Gajah Mada pun bertolak ke Bali untuk menemui Kresna Kepakisan. Di sana Gajah Mada membantu mengubah seluruh struktur kenegaraan di Bali. Untuk urusan pemerintahan dan birokrasi mereka sepenuhnya mengadopsi sistem dari Majapahit. Sementara sosial, ekonomi, dan budaya, disesuaikan dengan kebiasaan setempat. Demi menjaga ketentraman kerajaannya dan memutus rantai pemberontakan, atas saran Gajah Mada, sang raja memutuskan untuk menjalin hubungan baik dengan keturunan raja-raja Bali Kuno. Mereka yang sebelumnya disingkirkan, mulai dirangkul menjalankan kekuasaan di daerah-daerah yang masyarakatnya masih setia kepada Kerajaan Bali Kuno. Pelaksanaan upacara agama dan leluhur juga terus dilestarikan di seluruh Bali. “Sri Dalem Kresna Kepakisan dianggap sebagai raja yang telah berhasil menunaikan tugas dan kewajibannya sebagai fasilitator Majapahit di Bali dan wilayah taklukannya,” tulis I Wayan Ardika, dkk.

  • Menikahi Saudara Sepupu pada Zaman Kuno

    Konon kabarnya, perkawinan Wijaya dan keempat putri Kertanagara adalah perkawinan antara misan ketiga. Sang Sri Parameswari Tribhuwana, si sulung yang tanpa cela; Dyah Duhita yang sempurna kecantikannya; Prajnaparamita, dikenal dengan nama Jayendradewi, dewi yang sempurna kemolekannya; Lalu si bungsu Gayatri yang ramah, yang dijadikan Rajapatni di dalam keraton, keempatnya masih bersaudara dekat dengan Sang Kertarajasa. Ayahnya, Dyah Lembu Tal ialah sepupu Kertanagara. Sang Narendra senang menjadi sepupu ketiga para putri. Mereka pun jadi punya cita-cita yang sama. “Karena itu juga bagaimana istri-istri raja bersatu dengannya, mempunyai cita-cita yang sama, apapun perintahnya kepada mereka semua memberikan kesenangan kepada dunia,” tulis Prapanca dalam Nagarakrtagama. Berbeda dengan di India, di Jawa perkawinan antarsaudara sepupu umum dilakukan. Prasasti dan naskah menjadi buktinya. Utamanya, perkawinan ini dilakukan di antara keluarga kerajaan. Menurut arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa, hal ini kemungkinan demi menjaga harta agar tak jatuh ke orang lain. Praktiknya sudah terjadi sejak masa Mataram Kuno. Selain antarsaudara sepupu, ada perkawinan politis antara raja, atau kerabat raja dengan putri, atau kerabat dekat bangsawan yang berada di bawah kekuasaannya. “Ini untuk memperkokoh kedudukan, juga dimaksudkan untuk menghindarkan kekuasaan mereka jatuh ke tangan orang lain,” kata Titi. Menikahi saudara sepupu paling nampak dilakukan pada masa Majapahit. Di antara penguasa daerahnya, yang merupakan kerabat dekat raja, banyak yang masih saudara sepupu. Mereka ini kemudian diikat hubungan perkawinan. Setelah Wijaya menikahi empat sepupunya sekaligus, cucunya, Hayam Wuruk, menikah dengan anak dari suami bibinya. Kemudian Wikramawarddhana menikahi Kusumawarddhani, putri dari kakak laki-laki ibunya. Suhita menikah dengan Ratnapangkaja, anak dari adik perempuan ayahnya. Wijayaparakramawarddhana menikah dengan Jayawarddhani, putri dari adik perempuan ayahnya. Rajasawarddhana menikah dengan Bhre Tanjungpura, putri dari adik laki-laki ayahnya. Kemudian Girisawarddhana menikah dengan Bhre Kabalan, cucu perempuan dari adik kakeknya. Terakhir, Singhawikramawarddhana menikah dengan Bhre Singhapura, putri dari anak sepupunya. Jauh sebelum itu Airlangga sudah melakukannya. Penguasa Kahuripan itu menikahi putri Dharmawangsa Tguh sebagaimana yang tertulis dalam Prasasti Pucangan (1037). Beberapa naskah sastra pun mengisahkan perkawinan antarsepupu. Kakawin Krsnayana dan Hariwangsa menyebutkan Kresna dan Rukmini sebagai saudara sepupu. Ibu Rukmini, Dewi Prthukirti adalah adik ayahnya Kresna. Pun dalam Kakawin Ghatotkacasraya disebutkan antara Ksitisundari, putri Kresna dan Rukmini, dan kekasihnya Abhimanyu, anak Arjuna dan Subhadra, masih saudara sepupu. Juga dalam Kakawin Sutasoma, disebutkan Sutasoma adalah saudara sepupu Dyah Candrawati. Sebenarnya, apabila mengikuti hukum India, perkawinan semacam ini dilarang. Di Kitab Manawadharmasastra tertulis seorang laki-laki dilarang menikah dengan perempuan yang masih sapinda . Itu artinya dia masih ada hubungan tujuh generasi dari pihak ayah dan lima generasi dari pihak ibu dengan si lelaki. Kitab itu juga melarang pernikahan dengan anak dari adik ayah atau dengan anak dari adik ibunya atau anak dari kakak laki-laki ibu. “Meskipun demikian pada praktiknya di beberapa bagian di India, terutama di bagian selatan mereka melakukan perkawinan antara saudara sepupu, malah dianjurkan,” kata Titi.

  • Turnamen Tertua Itu Bernama Wimbledon

    PETENIS anggun asal Jerman Angelique Kerber memendam senang sekaligus tegang. Dia kembali berlaga pentas Wimbledon edisi ke-133 musim panas ini, 1-14 Juli 2019. Kerber “merumput” lagi di All England Lawn Tennis and Croquet Club sebagai juara bertahan tunggal putri. “Rasanya berbeda karena Anda kembali sebagai juara bertahan kali ini, jadi turnamen tahun ini spesial bagi saya. Banyak emosi dan kenangan dari tahun lalu, tentunya. Saya memulai dari nol lagi dan harus fokus di babak pertama. Pastinya saya juga berusaha menikmati tiap momen di dalam maupun luar lapangan,” ungkapnya, dikutip The Guardian , Senin (1/7/2019). Perasaan serupa juga menaungi Novak Djokovic, juara bertahan tunggal putra turnamen tenis tertua dunia itu. Petenis Serbia pemilik rangking 1 dunia (ATP) itu kembali untuk memburu gelar Wimbledon kelimanya, setelah sebelumnya memuncaki edisi 2011, 2014, 2015, dan 2018. Publik tanah air sendiri bisa berbangga dalam Wimbledon tahun ini. Pasalnya, Christoper Rungkat menjadi wakil Indonesia di nomor ganda putra berpasangan dengan petenis Taiwan Cheng-Peng Hsieh. Keikutsertaan Christoper membuka peluang raihan gelar yang pernah dibawa pulang petenis tanah air sebelumnya. Seperti yang ditorehkan Angelique Widjaja kala memenangi tunggal putri junior Wimbledon 2001 atau Tami Grende yang memetik gelar Wimbledon 2014 di nomor ganda putri junior berpasangan dengan petenis China Qui Yu Ye. Tami Grende (kiri) saat memenangkan Wimbledon Junior 2014 (Foto: All England Lawn Tennis Club) Meski level junior, raihan itu tetap membanggakan. Wimbledon merupakan turnamen tenis terorganisir tertua, pada 1877, laiknya FA Cup sebagai kompetisi sepakbola tertua dunia. Wimbledon satu-satunya turnamen Grand Slam yang dimainkan di lapangan rumput yang tersisa. Selain jadi turnamen tenis tertua dunia, Wimbledon diakui sebagai kompetisi olahraga terorganisir tertua kedua setelah turnamen olahraga layar Americas Cup yang lebih tua 26 tahun. Muasal Wimbledon Kelahiran turnamen Wimbledon tak lepas dari perjalanan sebuah klub olahraga para bangsawan Inggris, The All England Croquet Club. Klub tersebut didirikan pada 1868 oleh enam editor majalah mingguan The Field : John H. Walsh, R.F. Dalton, John Hindle Hale, A. Law, S.H. Clark Maddock, dan Walter Jones Whitmore. Seiring menurunnya antusiasme terhadap olahraga croquet, Walsh memodifikasi lapangan tenis menjadi lapangan rumput untuk bisa dijadikan cabang tambahan di klubnya. Tenis mulai populer saat itu. Pada 14 April 1877, tenis lapangan rumput resmi dijadikan olahraga kedua klub itu hingga mengubah nama klub jadi All England Croquet and Lawn Tennis Club (AEC<C). Ilustrasi turnamen Wimbledon pertama pada 1877 (Foto: wimbledon.com) Walsh pula yang memprakarsai gelaran turnamen amatir terbuka sebulan berselang. Mengutip Wimbledon: The Official History of the Championships karya John Barrett, turnamen itu menerima peserta dengan biaya pendaftaran 1,1 shilling. Peralatan raket dan sepatu tanpa hak juga harus bawa sendiri, sementara bola-bolanya disediakan panitia. “Kondisinya masih seadanya dan sederhana. Sejumlah lapangan rumput dengan net setinggi lima kaki. Raket-raket yang digunakan juga merupakan modifikasi dari sepatu salju,” sebut Barrett. AEC<C mencetuskan turnamen berbayar itu untuk membiayai perbaikan alat-alat pemotong rumput mereka yang rusak. Kendati nama resmi turnamen yang dihelat pada 9-19 Juli 1877  itu The Championship, publik mengenalnya sebagai Wimbledon Championship lantaran venue -nya berlokasi di lapangan Worple Road SW19 distrik Wimbledon, London. Dari sebaran iklan dan pengumuman yang diedarkan The Field edisi 9 Juni 1877, turnamen itu total diikuti 22 pemain amatir. Wimbledon pertama ini juga baru menampilkan nomor tunggal putra. Semua pemainnya juga masih asal Inggris. Adalah Spencer Gore yang, sebelumnya merupakan atlet kriket, jadi juaranya setelah di final menundukkan Charles Heathcote. Gore pun jadi orang pertama yang merengkuh hadiah utama berupa trofi Field Cup, trofi perak berbentuk cangkir setinggi 18 inci berpahat tulisan: “The All England Lawn Tennis Club Single Handed Championship of the World”. Trofi itu sempat hilang pada 1883 hingga AEC<C mesti menggantinya dengan trofi serupa bernama Challenge Cup yang diperebutkan mulai 1884. Sementara, kategori putri baru diikutsertakan dalam Wimbledon pada 1884. Pialanya, “Venus Rosewater Dish”, berupa piringan perak berdiameter 18,75 inci berpahat deskripsi Dewi Minerva. Maud Watson menjadi peraih pertama trofi itu. May Sutton jadi petenis asing pertama yang menangkan Wimbledon pada 1905 (Foto: wimbledon.com) Memasuki awal abad ke-20, Wimbledon yang jumlah pesertanya terus bertambah, mulai kedatangan peserta asing. “(Petenis) Amerika May Sutton Bundey jadi petenis asing yang menang pada Wimbledon 1905 di pertandingan putri. Norman Brookes dari Australia jadi pemenang asing pertama tunggal putra pada 1907,” sebut John Nauright dalam Sports Around the World: History, Culture and Practice. Namun, turnamen Wimbledon yang kian mendunia baru bertransformasi ke profesional pada 1968. Prize money mulai diperkenalkan pada 1968 dengan besar hadiah dua ribu poundsterling untuk juara tunggal putra dan 750 pounds untuk putri. Ironisnya, masuknya peserta asing membuat petenis Inggris Raya malah jarang menang. Legenda Fred Perry pernah memutus nasib buruk petenis tuan rumah saat menjuarai edisi 1934, setelah terakhir kali petenis Inggris lainnya, Arthur Gore menang pada 1909. Sejak era keterbukaan pada 1968, bahkan hanya Andy Murray petenis Inggris yang pernah menang, pada 2013 dan 2016.

  • Kapolri Total Mendalami Spiritual

    SUPARDI berdiri tegak. Merapatkan tumit. Berkonsentrasi. Dia meraba tangan hingga lengan kanan, berganti ke tangan hingga lengan kiri, lalu dada, perut, paha, lutut, kaki, betis, belakang paha, pinggul, punggung, pundak, dan terakhir mengusap wajah. Dia menarik nafas dari rongga dada lalu memutar lengan ke belakang, dan tumit sedikit terangkat. Gerakan itu diulanginya hingga duapuluh kali putaran.

  • Soekanto Dikudeta di Tengah Prahara

    TAHUN 1959 adalah tahun terberat bagi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo dalam kedudukannya sebagai Menteri Muda/Kepala Kepolisian Negara. Kepentingan partai politik menyusup di antara perwira-perwira polisi. Salah satunya AKBP Soetarto, kepala Bagian Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN) Komisariat Jawa Tengah yang bersimpati pada Partai Komunis Indonesia (PKI). Soetarto pula, sebagai ketua umum Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI), yang mendesak Soekanto untuk mengadakan konferensi kepala-kepala polisi seluruh provinsi di Indonesia.

  • Awal Rencana Bangun O-Bahn di Indonesia

    Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sedang mengkaji pengadaan transportasi massal O-Bahn di kota-kota besar Indonesia. O-Bahn menyerupai moda Bus Rapid Transit (BRT). Ada lajur khusus untuknya di jalan umum beraspal. Ia juga bisa berjalan di atas rel seperti moda Light Rapid Transit (LRT). Itulah kenapa orang menganggapnya kemempelaian antara BRT dan LRT. O-Bahn atau Omnibus Bahnhoff kali pertama berkembang di kota Essen, Jerman, pada 1980. Panjang jalur sebermula 3 kilometer. Lalu bertambah menjadi 5 kilometer dan melewati terowongan. Bus racikan Daimler Benz itu berjalan menggunakan tenaga listrik dan mampu bergerak secara otomatis berkat teknologi terbaru. Tersemat ban khusus di samping ban utama. Ban khusus itu memandu bus tetap berada di jalurnya ketika berjalan di atas rel. Maka sering pula O-Bahn disebut sebagai bus terpandu ( guided bus ). O-Bahn memiliki keunggulan dibandingkan moda transportasi massal berbasis rel. Utamanya segi finansial dan keluwesan gerak. “Para insinyur Daimler Benz mengatakan biaya pengembangan O-Bahn tidak akan lebih mahal daripada moda kereta api,” tulis New Scientist , 12 Mei 1983.  Kepincut O-Bahn Maka O-Bahn segera menarik minat pemerintah kota lain seperti Birmingham, Inggris, pada 1984, dan Adelaide, Australia, pada 1986. Setahun berselang, Jakarta pun ikut-ikutan kepincut moda O-Bahn. Kala itu masa Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1987—1992). Masanya penuh oleh diskusi rencana pembangunan beragam moda transportasi massal untuk Jakarta. Semua berbasis rel. Dari Mass Rapid Transit (MRT), LRT, sampai Kereta Rel Listrik. Diskusi itu melibatkan Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Kementerian Riset dan Teknologi, Bank Dunia, Japan International Cooperation Agency, Pemerintah Daerah (Pemda) Jakarta, dan Pemda Jawa Barat. Mereka merasa perlu cepat memecahkan petaka lalu lintas Jakarta demi keberlanjutan pembangunan. Selain transportasi massal berbasis rel, Wiyogo menginginkan moda transportasi lainnya. Pilihannya tersemat pada Bus Terpandu (BT). “Kami juga sedang memprogramkan bus terpandu dari Kebayoran menuju Kota, yang jalurnya sudah mulai direncanakan,” kata Wiyogo dalam Catatan Seorang Gubernur . Dia meminta investor swasta untuk mewujudkannya. Menteri Perhubungan Azwar Anas dan Menristek B.J. Habibie menyatakan setuju terhadap rencana Wiyogo membangun O-Bahn di Jakarta. Menurut Azwar dan Habibie, pembangunan O-Bahn sejalan dengan prinsip dan arahan pengembangan transportasi dari pemerintah pusat. Salah satu prinsipnya ialah penyediaan jasa transportasi berdasarkan permintaan dari penumpang. “Pendekatan ini diterapkan untuk daerah-daerah yang lebih maju dan berkembang serta secara komersial layak dioperasikan,” kata Azwar Anas dalam Clayperon , No. 31 Tahun 1992. Jakarta tergolong daerah maju dan berkembang. Para penumpang membutuhkan moda transportasi cepat dan luwes seperti O-Bahn. Dilihat dari pilihan masyarakat di kota-kota besar negara maju terhadap transportasi massal, O-Bahn menduduki peringkat ketiga di bawah LRT dan KRL. Ini menjadi dasar kuat keinginan pemerintah menghadirkan O-Bahn. Tetapi masalahnya, pemerintah belum bisa mewujudkan pembangunan O-Bahn tersebab cekak dana. “Sebenarnya merupakan permasalahan klasik,” kata Azwar Anas. Karena itulah Menhub dan Menristek sepemikiran dengan Wiyogo bahwa swasta harus memegang peran penting dalam menyediakan transportasi tersebut. Masalah Dana Kemudian pihak swasta menyongsong tantangan pemerintah. PT. Citra Summa, konsorsium patungan grup Bimantara dan Summa, menggelar seminar pada 26—27 Juni 1991 tentang peluang swasta dalam pengembangan sistem transportasi kota metropolitan di Indonesia. Ir. Sri Bintang Pamungkas mewakili PT Citra Summa tampil membawakan makalah tentang rencana pembangunan O-Bahn. Tajuknya “Rencana Angkutan Bus Cepat Massal Terpandu Pada Jalan Layang Sepanjang Blok M-Kota”. Makalah termaksud menjabarkan masalah kemacetan di Jakarta seperti perbandingan jumlah pengguna kendaraan pribadi dan angkutan umum, jalur-jalur padat, laju pertumbuhan jalan dan populasi kendaraan bermotor, perkiraan kenaikan jumlah penduduk, dan kerugian akibat lalu-lintas yang semrawut, solusi untuk petaka itu: Angkutan Cepat Massal Bus Terpandu (ACM BT). Bintang menjelaskan seperti apa wujud Bus Terpandu. “BT jelas memerlukan track khusus yang bisa dipilih pada permukaan tanah ( on ground ), di atas permukaan tanah (elevated, atau layang) ataupun di bawah tanah ( under ground ). Alternatif yang amat memungkinkan adalah kombinasi on ground dengan elevated ,” tulis Clayperon , mengutip makalah Bintang. Bintang memaparkan pula prinsip pembangunan BT. “Harus diperhatikan kepentingan umum yang di atas segalanya, tidak membongkar bangunan monumental yang ada, konstruksi estetis, memperhatikan instalasi yang ada di bawah serta di atas tanah.” Bintang meyakinkan bahwa tarif BT terjangkau oleh berbagai kalangan. Moda ini juga akan memberi pekerja kelas bawah beragam manfaat. “Bagi kelompok dengan status sosial menengah ke bawah, yang hampir bekerja selalu di tempat, ACM BT merupakan tawaran yang menarik.” Pemerintah antusias menanggapi makalah tersebut. Azwar Anas kemudian melapor kepada Presiden Soeharto. Dia memperoleh lampu hijau untuk memulai pembangunan O-Bahn. Pengerjaannya berada di pihak swasta sepenuhnya. Serupa dengan proyek MRT. Keduanya akan saling mendukung. “Sistem O-bahn direncanakan untuk mobilitas 10.800 penumpang per jam, dianggap sebagai transisi sebelum membangun KA bawah tanah,” tulis Kompas , 7 November 1991. Tetapi rencana pembangunan O-Bahn buyar. Tak pernah ada cukup dana untuk sekadar memulainya. Studi kelayakannya pun mandeg sehingga izin pembangunan O-Bahn tak kunjung keluar. Soerjadi Soedjirdja, pengganti Wiyogo, tak pernah lagi menyinggung O-Bahn. Sejak itu, rencana membangun O-Bahn pun terkubur.   Perlu menunggu 27 tahun agar rencana membangun O-Bahn bangkit kembali. Akankah kali ini rencana O-Bahn terwujud?

  • Polusi Jenderal

    PADA 17 Juni 2019, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia. Melalui peraturan tersebut, personil aktif TNI kembali diperbolehkan menduduki jabatan sipil.  Pejabat fungsional TNI, yang meliputi pejabat fungsional keahlian dan pejabatan fungsional keterampilan, menurut peraturan tersebut berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala unit kerja atau organisasi di mana yang bersangkutan ditugaskan. Prajurit yang menduduki jabatan fungsional dipindahkan dalam jabatan struktural, maka jabatan fungsionalnya diberhentikan. Namun, setelah prajurit itu diberhentikan dari jabatan fungsional TNI, dapat diangkat kembali sesuai dengan jenjang jabatan fungsonal TNI terakhirnya berdasarkan perundang-undangan, apabila tersedia formasi jabatan. Penandatanganan perpres tersebut menimbulkan pro-kontra di masyarakat yang memang sudah khawatir sejak perpres masih jadi wacana. “Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada doktrin dwifungsi ABRI (fungsi sosial-politik) yang sudah dihapus sejak reformasi,” ujar Direktur Imparsial Al Araf, dikutip kompas . com , 13/2/19. Terlepas dari pro-kontra yang ada, perpres tersebut merupakan langkah pemerintah dalam mengatasi kelebihan perwira di tubuh TNI yang ada sejak 2010. “Ini softlanding , bagian dari rencana yang dulu kita tolak, bagaimana tentara masuk wilayah sipil. Secara halus sih baik, tapi semangat di belakangnya, semangatnya bagi-bagi jatah, bagi-bagi jabatan karena banyak jenderal yang nganggur; surplus perwira,” kata Muhammad Isnur, ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dikutip cnnindonesia . com , 2 Juli 2019. Masalah kelebihan perwira bukan fenomena baru di Indonesia. Pada 1999, Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto sampai menggulirkan rencana pemensiunan 4000 militer aktif yang dikaryakan di berbagai jabatan sipil. “Tentara yang dikaryakan itu diberi dua pilihan. Mereka dipersilakan untuk mengambil pensiun dengan tetap menjadi pejabat sipil atau kembali ke ABRI, tetapi kehilangan jabatan sipilnya,” tulis PanjiMasyarakat No. 48, 17 Maret 1999. Langkah tersebut diambil Wiranto sebagai upaya perlahan penghapusan dwifungsi ABRI sebagaimana diamanatkan Reformasi sekaligus mengatasi kelebihan jumlah perwira yang tak sebanding dengan ketersediaan jabatan di tubuh ABRI. “Mereka yang kembali ke Mabes ABRI tak dapat jabatan karena sudah berada di luar struktur. Dia harus ngantri lagi dan tidak tahu jabatannya apa. Mungkin dia juga kalah bersaing dengan rekan-rekan seangkatan yang masih berada di dalam struktur,” kata Wiranto, dikutip PanjiMasyarakat . Akibat kebijakan itu, banyak perwira lebih memilih pensiun dari militer. Letjen Sutiyoso, yang saat itu menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, salah satunya. “ Wong saya sudah di sini. Saya juga mulai mencintai pekerjaan atau tugas ini. Kalau memang harus memilih, saya akan memilih sebagai sipil saja,” kata Sutiyoso. Namun, masalah kelebihan perwira itu jelas belum separah pada masa revousi. Kelindan antara keterlambatan pemerintah membentuk institusi militer, kondisi institusi militer yang dibentuk masih jauh dari ideal, dan suasana revolusi menjadi pangkal persoalan itu. Siapapun orang bisa jadi jenderal, entah lewat penunjukan dari kelompoknya atau penunjukan diri sendiri. “Bayangkan saja, ada anak muda yang dapat pangkat jenderal, lalu bikin pasukan sendiri yang bisa diindoktrinasinya,” ujar panglima Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor Didi Kartasasmita dalam memoarnya, Pengabdian Bagi Kemerdekaan . Akibatnya, jenderal-jenderal bermunculan. Di ibukota Yogyakarta bahkan sampai muncul gurauan “Tidak mungkin kita kalah oleh tentara Belanda, sebab jumlah jenderal kita lebih banyak!” Didi yang ikut diminta membantu pengorganisasian militer secara profesional sampai heran bercampur kesal melihat realitas tersebut. “Ya, pada waktu itu di Yogya sudah polusi jenderal,” ujarnya.

  • Bantuan Paman Sam untuk Polri

    PERTENGAHAN Januari 1950. Said Soekanto, kepala Djawatan Kepolisian Nasional (DKN), menemui Merle Cochran, duta besar Amerika untuk Indonesia. Selain menyinggung peralatan-peralatan yang akan diajukan ke pemerintah Amerika sebagai bagian dari bantuan $5 juta bagi kepolisian Indonesia, Soekanto menanyakan kemungkinan pengembangan pelatihan serta beberapa isu lainnya.

  • Misi Rahasia Soekanto Mencari Senjata

    PERINTAH datang dari Mohammad Hatta, wakil presiden yang juga perdana menteri. Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo selaku kepala Djawatan Kepolisian Negara (DKN) diberi kuasa untuk meninjau dan mempelajari bentuk, susunan, dan perlengkapan kepolisian di luar negeri. “Tidak ada agenda lain. Tidak ada by design . Dari sisi surat perintah, ya cuma untuk mempelajari polisi di negara lain,” ujar sejarawan Ambar Wulan. Bersama Awaloedin Djamin, Ambar menulis biografi Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo .

  • Enam Tragedi Kapal Selam Rusia

    MUSIM panas bulan ketujuh baru saja memasuki hari pertamanya, Rusia sudah berduka. Dilaporkan, 14 awak kapal selam mereka tewas dalam sebuah insiden di perairan dekat Severomorsk, Senin (1/7/2019). Kementerian Pertahanan Rusia baru menyingkap tragedi ini sehari kemudian. “Pada 1 Juli, sebuah kebakaran terjadi selama survei batimetri dalam sebuah riset sains terkait kemampuan kapal selam di laut dalam. Empat belas awak tewas akibat keracunan asap kebakaran,” bunyi keterangan Kemenhan Rusia, dikutip Deutsche Welle , Rabu (3/7/2019). Presiden Rusia Vladimir Putin disebutkan sudah memerintahkan Menhan Sergei Shoigu untuk melawat ke Severomorsk. Panglima AL Rusia Laksamana Nikolai Yevmenov telah mengadakan investigasi terhadapnya. Namun, keterangan soal detail kecelakaan, identitas personel, pun jenis kapal selam masih dirahasiakan. Informasi yang beredar hanya menyebutkan, kapal selam yang tenggelam adalah salah satu kapal selam dari Armada Utara. Dua spekulasi yang disebutkan datang dari sumber anonim pun muncul. Suratkabar Novaya Gazeta menyebutkan yang tertimpa tragedi adalah Kapal Selam Project 210 bernomor lambung AS-12 “Losharik”. Sementara, Open Media menyebutkan yang tenggelam adalah Kapal Selam Project 667BDRM bernomor lambung BS-64. Terlepas dari masih bungkamnya otoritas Rusia, insiden tersebut menambah panjang daftar hitam tragedi kapal selam mereka sepanjang sejarah, termasuk saat masih di bawah panji Uni Soviet. Setidaknya lebih dari dua lusin insiden pernah dialami kapal-kapal selam Rusia. Berikut lima tragedi paling parah pasca-Perang Dunia II: K-19 “Hiroshima” Sebelum diluncurkan pada 8 April 1959, kapal selam nuklir generasi pertama Soviet dari Hotel-class ini sudah memakan korban. Saat masih dibuat, mengutip The Los Angeles Times , 3 Januari 1994, kapal selam ini menewaskan delapan buruh konstruksinya plus seorang teknisi listrik dan teknisi mesin. Saat ritual “pembaptisan”, botol yang dilempar ke lambung kapal tak pecah sebagiamana yang lain. Para kru kapal yang dikomandani Kapten Nikolai Zateyev sudah merasa itu jadi pertanda buruk. Benar saja. Dua tahun bertugas di Atlantik Utara, kapal berbobot 4.095 ton ini ditimpa petaka kala menjalani latihan dekat lepas pantai Greenland pada 4 Juli 1961. Reaktor nuklir kapal rusak, menyebabkan uap radioaktif memasuki sistem ventilasi udara. Transmisi darurat pun dikirimkan, tak hanya ditangkap kolega mereka di Kapal Selam S-270. Pada akhirnya ke-139 awaknya bisa pulang dengan selamat, memang. Namun dalam kurun dua tahun, 22 awaknya meninggal perlahan akibat terpapar radiasi nuklir. Tragedi itu diangkat Hollywood ke layar lebar lewat K-19: The Widowmaker (2002). K-3 “Leninsky Komsomol” Kapal yang lahir dari tipe Project 627 ini diluncurkan Soviet pada 4 Juni 1958. Diungkapkan R. Davies dalam Nautilus: The Story of Man Under the Sea , kapal itu merupakan kapal selam nuklir pertama kepunyaan Soviet yang ditugaskan di Armada Utara. Nama resmi Project 627 “Kit” baru diubah jadi Leninsky Komsomol lantaran prototipe -nya dibuat di Leningrad. Pada 17 Juni 1962, ia juga jadi wakil Soviet, yang tak mau kalah dari Amerika, dalam mencapai laut dalam Kutub Utara. USS Nautilus telah mencapainya tiga tahun sebelum itu. Sepakterjang manis K-3 namun hanya sampai 8 September 1967. Pada hari itu, cairan hidrolik di mesin kapal berbobot 3.433 ton itu bocor dan meledak sehingga memicu kebakaran. Akibatnya, 39 krunya tewas. Investigasi kasusnya berjalan hingga September 2012. Fakta komisi investigasi menemukan penyebab ganjilnya, yakni ditemukan korek api di kompartemen torpedo dan botol bir dekat tangki pemberat kapal yang menyebabkan ledakan besar. K-8 Ungkapan petir tak menyambar dua kali tak berlaku bagi kapal selam K-8 dari November-class. Dalam kurun satu dasawarsa, kapal berbobot 3.065 ton itu ketiban dua kali petaka. Inventory of Accidents and Losses at Sea Involving Radioactive Material keluaran International Atomic Energy Agency (IAEA) 2001 mengungkapkan, tabung generator uap pecah saat K-8berlayar di Laut Barents, 13 Oktober 1960. Akibatnya, pendingin Reaktor Nuklir VM-A kehilangan daya dan kebocoran terjadi. Gas radioaktif menyebar ke seluruh kompartemen. Hampir semua dari 104 awaknya terpapar radiasi meski kemudian selamat dan kapalnya tak tenggelam. Satu dekade berlalu usai diperbaiki, K-8 kembali melaut dalam rangka latihan “Ocean-70” di Teluk Biscay, 8 April 1970. Nahas, korsleting listrik di dua kompartemen menyebabkannya kebakaran. Kapten Vsevolod Bessonov sempat memerintahkan ke-103 awak meninggalkan kapal agar ditolong kapal Soviet lain. Tapi karena K-8 akan ditarik dengan kapal lain, kapten beserta 52 kru dan delapan marinir dari kapal Soviet lain kembali ke geladak K-8 untuk mengatur proses penarikan. Nahas, ke-61 personel itu justru tewas akibat api yang sempat reda kembali berkobar. Hanya 73 kru yang selamat dalam bencana itu. K-278 “Komsomolets” Mulai bertugas di Armada Utara pada 1983, lima tahun berselang kapal bertenaga nuklir dengan bobot 5.750 ini diberi nama Komsomolets (artinya anggota pemuda Komsomol alias Persatuan Pemuda Komunis Leninis). Tak lain karena selain usia para awaknya masih sangat muda, K-278 juga bisa dioperasikan dengan hanya 57 kru. Biasanya di atas 100 personil. K-278juga sempat mencetak rekor menyelam sampai kedalaman 1.020 meter, pada 4 Agustus 1984 di Laut Norwegia. Tetapi, tragedi 7 April 1989 membuat K-278 bersemayam di dasar Laut Barents berikut 42 dari 69 total krunya, termasuk Kapten Evgeny Vanin. The Economist 15 April 1989 menyingkap, mesin K-278 kapal terbakar gegara korsleting listrik saat sedang menyelam di kedalaman 335 meter. Upaya membuka tangki pemberat dan sinyal darurat diggulirkan. Namun saat pesawat amfibi Soviet datang dan melemparkan rakit darurat, sudah sangat terlambat. Hanya 25 yang bisa selamat. Sisanya yang sempat selamat dari kebakaran, tewas akibat hypothermia. K-141 “Kursk” Diluncurkan pada 1994, K-141 Kursk dari kelas Oscar II jadi salah satu kebanggaan Armada Utara di masanya. Ironisnya, kapal berbobot 16.400 ton itu justru jadi “tumbal” dalam latihan gabungan AL Rusia pertama di Laut Barents, 12 Agustus 2000. Seluruh 118 awaknya tewas dan tenggelamnya Kursk jadi bencana kapal selam Rusia terparah dan paling mengundang kontroversi. “Investigasinya berjalan dua tahun dengan hasil berupa laporan rahasia sebanyak 133 volume. Tapi mereka hanya merilis empat halaman lewat media Rossiyskaya Gazeta . Sungguh mereka tak siap secara peralatan penyelamatan serta inkompeten,” kata pakar politik Rusia Brannon Robert dalam Russian Civil-Military Relations . Bencana bermula dari kebocoran tabung gas di kompartemen torpedo. Dua ledakan terjadi dan menewaskan hampir semua kru, kecuali 23 personil yang berhasil mengunci diri di sebuah kompartemen. Upaya penyelamatan berulangkali oleh para kolega di atas permukaan gagal gegara minimnya kualitas peralatan. Inggris mencoba membantu namun ditolak. Presiden Putin baru memberi lampu hijau pihak asing membantu lima hari pasca-kejadian! Alhasil, saat para penyelam Norwegia dengan kapsul selam berhasil mencapai kompartemen para “pengungsi” di insiden, semuanya sudah terlambat. Kisah kontroversial itu diangkat ke layar lebar dengan tajuk Kursk / The Command yang rilis 21 Juni 2019.

  • Sudah Kena Pes Tertimpa Apes

    PADA 1910, wabah pes menyerang Malang, Jawa Timur. Tak butuh lama bagi nestapa ini untuk menyebar ke daerah-daerah lain. Semarang dan Yogyakarta jadi korban berikutnya. Akibatnya, dari 1910-1939, pes memakan 39.254 korban jiwa di Jawa Timur, 76.354 di Jawa Tengah, dan 4.535 di Yogyakarta. Wabah pes terus merembet ke barat Jawa. Pada 1920-an, pes menyerang Cirebon, Priangan, dan Batavia dengan angka kematian yang terus meningkat. Dari 1933-1935, wabah pes mencapai puncaknya di Jawa Barat dengan kematian mencapai 69.775 jiwa. Untuk menanganinya, pemerintah Hindia Belanda memerintahkan Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD, Dinas Kesehatan Publik) membentuk program pemberantasan pes. Ketika wabah pes makin menjadi dan menjalar ke berbagai daerah, pemberantasan pes tidak lagi dinaungi BGD yang berada di Batavia melainkan diurus daerah masing-masing. Pada 2 Januari 1915, persiapan pembentukan Dienst der Pestbestijding (DDP, Dinas Pemberantasan Pes) di tiap daerah terjangkit pes. Tiga minggu kemudian, 28 Januari 1915, Gubernur Jenderal Alexander Willem F Idenburg mengeluarkan surat keputusan No.2 yang menetapkan Dienst der Pestbestijding sebagai lembaga otonom untuk melayani distrik terjangkit pes. DDP, yang keberadarannya terlepas dari BGD, kewenangannya berada di masing-masing karesidenan. Petugas kesehatan, mulai dari mantri, perawat Eropa, hingga dokter Jawa, dikirim ke kampung-kampung untuk memeriksa penduduk pribumi. Tjipto Mangunkusumo, salah satunya, yang ikut memberantas pes di Malang. Di Surakarta, mantri pes dan pengawasnya datang ke rumah penduduk untuk memeriksa setiap Rabu. Kegiatan mereka menutupi ketiadaan dokter-dokter Eropa, yang jarang sekali mau berkunjung ke kampung. Selain karena akses yang suliit dijangkau dari kota, ketidakmauan dokter Eropa disebabkan adanya kesenjangan kelas dan sentimen rasial yang bikin dokter kulit putih enggan menyentuh pasien pribuminya. Diskriminasi itu tampak jelas jika dibandingkan dengan penanganan pes pada orang Eropa. Para kulit putih penderita pes umumnya langsung dilarikan ke rumah sakit secara cuma-cuma, dapat makanan bergizi gratis, dan pemeriksaan rutin setiap hari oleh dokter kulit putih. Sementara, orang yang tinggal serumah dengan pasien pes kulit putih harus menjalani isolasi selama dua minggu. Mereka menjalaninya dengan fasilitas amat layak, berupa bangunan barak observasi kokoh dan luas. Kondisi itu berbeda jauh dari yang diterima kaum terjajah. Jika satu warga terbukti menderita pes, satu kampung langsung diungsikan ke barak obsevasi. Barak untuk pribumi itu terbuat dari papan, beratap daun, dan terdapat tiang bambu. Hal ini jadi paradoks lantaran pemerintah memerintahkan penduduk pribumi untuk mengganti bahan baku rumah mereka dari bambu jadi bata dan kayu. Banyak penduduk menolak dipindahkan ke barak. “Kebanyakan orang pribumi menganggap ekses penerapan kebijakan pemerintah kolonial jauh lebih menakutkan dan menyengsarakan dibanding penyakit pes itu sendiri,” tulis Martina Safitri dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”. Penanganan pes pada pribumi pun bukan karena pemerintah kolonial peduli pada kesehatan warga jajahannya, melainkan semata tak ingin tertular penyakit nestapa itu. Terkadang, pemerintah tak bisa berbuat banyak menghadapi penolakan warga untuk diungsikan. Pasalnya, jumlah polisi dan pejabat desa yang mengamankan rumah tidak sebanding dengan jumlah rumah yang harus dijaga. Itu antara lain bisa dilihat di Desa Gandjar, Malang yang memiliki 150 keluarga yang harus dipindahkan sedangkan jumlah polisi hanya 2-3 orang. Banyak penduduk yang sudah dipindahkan pun nekat kembali ke desa pada malam hari untuk menjaga rumah masing-masing. Mereka kembali ke barak, yang letaknya di luar permukiman, menjelang pagi. Main kucing-kucingan itu disebabkan penduduk khawatir barang-barang di rumah mereka raib atau lebih buruk lagi, rumah mereka dibakar karena dianggap sarang tikus berkutu pembawa penyakit pes. “Pada abad ke-20, beberapa Layanan Pes membakar habis sebuah desa yang dijangkiti pes. Tindakan ini meningkatkan kecurigaan kaum nasionalis pada layanan medis Eropa,” tulis Peter Boomgard dalam “The Development of Colonial Health Care in Java”. Rumah-rumah yang sudah dibakar itu kemudian dibangun ulang dengan bata dan kayu. Namun, jumlah kompensasi dari pemerintah amat kecil sehingga sulit membangun ulang rumah yang sudah dibumihanguskan sekampung itu. Di Semarang, bila seseorang tidak bisa melakukan perbaikan rumah sesuai aturan, terpaksa menyerahkan tanahnya kepada gemeente. Aturan yang memberatkan penduduk itu masih ditambah lagi dengan kewajiban mengapur tembok rumah dan rutin menjemur semua perlengkapan, seperti kasur, bantal, pakaian dan lain-lain. Namun, tembok rumah siapa yang harus dikapuri jika tanahnya direbut?

  • Penyakit yang Ditakuti pada Zaman Majapahit

    Kebetulan waktu itu Prabu Jayanagara sakit bengkak sehingga tak dapat keluar. Tanca disuruh memotong bengkak itu. Ia mendatangi tempat sang raja tidur. Dipotongnya bengkak itu oleh Tanca sekali, dua kali. Tapi tak mempan.   Tanca meminta baginda raja meninggalkan baju zirahnya, yang kemudian diletakkan di sebelah tempat tidur. Berhasilah operasi Tanca, bengkak itu dipotongnya. Begitulah kisah akhir hidup Raja Jayanagara berdasarkan naskah Pararaton. Earl Drake dalam Gayatri Rajapatni: Perempuan Di Balik Kejayaan Majapahit, menafsirkan bengkak itu sebagai tumor. Sementara Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan menyebut penyakit itu bubuh atau bisul. Setelah selesai mengoprasi penyakit Jayanagara, Tanca malah mengambil kesempatan itu untuk menikam sang raja. Dia kemudian ditikam balik oleh Gajah Mada. Epigraf Universitas Gadjah Mada, Riboet Darmosoetopo dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU menjelaskan, pada masa Jawa Kuno penyakit termasuk dalam wikara, artinya perubahan, khususnya keadaan tubuh dan mental yang lebih buruk dari biasanya. Berdasarkan data prasasti abad ke-9-10 dan kesusastraan, ada bermacam-macam wikara. Ada wikara yang disebabkan penyakit, wikara sejak lahir, wikara yang terjadi karena perubahan kejiwaan, dan wikara karena kena kutuk. Wikara yang disebabkan penyakit adalah bubuhên atau wudunen (bisul) . Lalu ada Bulêr atau sakit katarak dan sakit mata lainnya yaitu belek. Kemudian ada Humbêlên atau sakit pilek, wudug atau lepra, panastis atau sakit malaria, dan ulêrên atau sakit karena cacing. Sementara yang termasuk wikara bawaan sejak lahir di antaranya bisu (tak dapat bicara), picêk ( buta), pincak atau tumbung (indra pembau yang kehilangan daya bau), bule (albino), busung ( berperut besar). Pun beberapa penyakit kelamin seperti burut atau wêlu (hernia), darih ( impoten pada perempuan), dan kuming ( impoten pada laki-laki). Kemudian beser ( selalu buang air kecil), pandak ( cebol atau kerdil), gambol ( berpunuk), hayan (ayan atau epilepsi), mengi atau asma ( bengek ), wungkuk (bongkok), serta kdi ( banci). Adapula wikara yang disebabkan gangguan jiwa seperti buyan ( gila) dan janggitan ( sakit jiwa karena terkena kutuk). Wikara yang disebabkan kena kutuk dapat bersifat jasmani maupun rohani. Prasasti Wiharu II (851 Saka atau 929) menyebut ada orang yang meninggal dunia karena perutnya membengkak ( matya busunga ). Prasasti itu juga mencatat penderita ayan ( ayana ), orang yang disambar petir padahal tak sedang hujan ( samberen ing glap tanpa hudan ), dan tenggelam di bendungan ( klêmakên ring dawuhan ). Penyakit karena kutukan dibahas pula dalam Kitab Rajapatigundala , naskah undang-undang yang ditulis Raja Bhatati (nama lain Kertanagara) dan disusun kembali pada zaman Majapahit. Pada bagian sapatha disebut nama-nama penyakit yang akan menimpa orang jika tak mematuhi hukum. “…, untuk orang yang tidak mematuhi, dia akan mendapat kesengsaraan,… hidup mereka akan tanpa mendapat kesehatan, mereka akan sakit kusta, tidak dapat melihat dengan sempurna, sakit gila, cacat mental, buta, bungkuk. Maka semua orang yang tidak mematuhi akan dikutuk oleh Raja Patigundala yang suci,” sebut kitab itu. Pun dalam Kitab Korawacrama yang diperkirakan berasal dari abad ke-14. Dikisahkan Bhatara Guru terkejut ketika melihat banyaknya penyakit yang diderita manusia. “ …, terkejutlah Bhattara guru ketika melihat manusia, ternyata banyak yang menderita sakit, ada wudug (lepra), ana buyan (gila), ana wiket (mempunyai banyak luka), pincang welu (hernia), beser (selalu ingin buang air), turuh (kerusakan pada salah satu organ tubuh), apus (kehilangan tenaga), wuta (buta), tuli (tuli), bisu (bisu), barah (lepra yang sudah parah), uleren (cacingan), umis (pendarahan), lampang (sejenis penyakit kulit), bule (albino), gondong (leher membengkak), amis antem (berbau amis), masegir (berbau tidak enak), apek (berbau apek), demikian keadaan manusia,…” tulisnya. Kendati begitu, menurut Riboet, ada anggapan bahwa sebagian orang yang mempunyai cacat jasmani justru mempunyai kelebihan kekuatan rohaniah. Karenanya mereka dijadikan abdi dalem palawija atau abdi dalem ameng-amengan. Mereka itu tergolong watak i jro atau golongan dalam keraton. Mereka terdiri atas orang wungkuk (bongkok), bule , pandak, wuta (buta), jenggi (berkulit hitam), pincang, dan kdi (banci). Di antara macam-macam wikara itu, ada tujuh wikara yang sangat ditakuti oleh masyarakat Jawa Kuno, yaitu kuming (impoten), panten (banci), gringen (sakit-sakitan), wudug (lepra), busung (perut membengkak), janggitan (gila), dan keneng sapa (terkena kutuk). Bahkan ada sejumlah wikara yang dapat menghancurkan kehidupan suami istri. Di antaranya kuming, panten, wudug, dan ayan. Hal itu termaktub dalam teks hukum Agama atau Kutaramanawa yang berlaku, khususnya pada masa Majapahit. Isinya, seorang istri boleh membatalkan perkawinannya jika suaminya menderita beberapa penyakit tertentu, yaitu gila, batuk kering, ayan, impoten, dan banci. Bila akhirnya istri tak suka kepadanya, sang istri diimbau untuk menunggu tiga tahun. Selama itu sang suami diberi kesempatan untuk berobat. Namun, jika selama tiga tahun tak sembuh, kata aturan itu, jangan salahkan istri kalau menikah lagi dengan orang lain. “ Tukon (mahar) tak usah dikembalikan kepada suaminya. Menunggu dahan bertunas namanya,” tulis aturan itu.

bottom of page