Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jaap Kunst Mengabdi pada Musik Tradisi
Pada musim semi 1919, seorang sarjana hukum sekaligus pemain biola dari Belanda, bersama dua temannya, penyanyi dan pianis, berlayar ke Hindia Belanda. Mereka melakukan tur musik selama delapan bulan ke berbagai daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi. Pada Mei 1920, harusnya mereka bertiga pulang ke Belanda. Namun sejak Natal 1919, sang pemain biola terpikat pada alunan gamelan yang didengarnya di Keraton Pakualaman Yogyakarta. Pengalaman itu membuatnya memutuskan untuk tetap tinggal. Orang itu adalah Jaap Kunst, yang kemudian jatuh cinta dengan musik tradisi Nusantara dan menjadi pelopor etnomusikologi. Jakob Kunst (Jaap Kunst) lahir di Groningen, 12 Agustus 1891, dari keluarga musikus, ayahnya guru piano, praktisi dan kritikus musik, dan ibunya seorang pianis. Sedangkan Jaap Kunst memilih biola sebagai alat musik favoritnya. Saat remaja Jaap Kunst belajar biola pada W. Dehé, E.C. Schroder, dan Louis Zimmerman di Amsterdam. Pada 1911, ia justru menempuh sekolah hukum di Universitas Groningen dan lulus pada 1917. Namun, saat kuliah ia mulai tertarik melakukan riset seni musik lokal, seperti lagu-lagu rakyat pulau Terschelling, Belanda. Jaap Kunst sempat bekerja di bank dan kantor walikota Amsterdam. Ketertarikannya pada musik membuatnya tak bertahan lama bekerja di sektor formal. Pada 1919, dia bersama dua rekannya, penyanyi Kitty Roelants-de Vogel dan pianis Jan Wagenaar, mengadakan tur musik ke Hindia Belanda. Setelah tur musik ke berbagai daerah di Hindia Belnda, dua rekan Jaap Kunst kembali ke Belanda. Ia sendiri tetap tinggal dan memulai penelitiannya mengenai musik tradisi. Ia kemudian bekerja di departemen pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lalu pada 1921, ia menikah dengan Kathy van Wely, yang mendukungnya dalam penelitian etnomusikologi. Nusi Lisabilla, Kepala Bagian Pengkajian dan Pengumpulan Museum Nasional yang juga kurator pameran “Jaap Kunst, Suara dari Masa Lalu” mengatakan bahwa Jaap Kunst mulai merekam alat musik tradisi pada 1922. Saat itu, ia mereka tujuh lagu yang dimainkan dengan gamelan. “Meskipun nanti kalau Mas dengar suaranya terlalu halus. Kurang terdengar dengan jelas, seperti dengungan saja,” kata Nusi kepada Historia. Pada 1926, Jaap Kunst menjadi wakil sekretaris Dewan Rekonsiliasi untuk Kereta Api dan Trem di Jawa dan Madura yang berkantor di Bandung. Di luar pekerjaannya, dia menyempatkan waktu untuk melakukan riset etnomusikologi. Ia lalu menjadi peneliti dalam penelitian musikologis sistematis pada 1930. Hingga 1932, Jaap Kunst melakukan penelitian dan pendokumentasian kegiatan seni di Hindia Belanda, mulai dari Batak, Nias, Bengkulu, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Maluku, hingga Papua. Kerja penelitian Jaap Kunst dilakukan atas keinginannya sendiri. Ia merasa khawatir jika suatu saat banyak alat musik, lagu atau produk seni musik tradisi punah. “Orang yang begitu peduli pada masa itu. Peduli bahwa suatu saat musik tradisi di Indonesia itu akan hilang. Itu sebabnya kenapa akhirnya ia memutuskan untuk menginventarisasi, mendokumentasi, baik dalam audio maupun visual,” ujar Nusi. Bahkan ketika datang pertama kali ke Nias pada 1930, Jaap Kunst merasa sangat menyesal karena banyak tradisi yang sudah punah dan tak ada generasi yang bisa melestarikannya. “1930 itu dari sekarang sudah berapa tahun ya? Itu berpuluh tahun yang lalu, dia merasa sudah telat datang ke Nias. Karena ia melihat sudah banyak hal-hal yang hilang. Tradisi yang hilang,” ungkap Nusi. Jaap Kunst menetap di Bandung hingga 1932. Selama di Bandung, ia membuat arsip musik yang berisi koleksi alat musik, rekaman, foto hingga film. “Dia mengumpulkan pribadi, dari uang pribadi. Sampai-sampai katanya ia mengurangi jatah makannya untuk bisa membeli macam-macam dan bisa pergi ke mana-mana,” sebut Nusi. Foto-foto Jaap Kunst yang dipamerkan dalam "Jaap Kunst, Suara dari Masa Lalu" di Museum Nasional. (Fernando Randy/Historia). Pada 1932, Jaap Kunst pindah ke Batavia. Ia menjadi kurator alat musik di Koninklijk Bataviaasch Genoatschap van Kunsten en Watenschappen (kini Museum Nasional). Rumahnya, di Jalan Kebon Sirih No. 14, menjadi tempatnya bekerja dan menyimpan ribuan koleksi yang ia pindahkan dari Bandung. Palmer Keen, musikolog yang mengikuti jejak Jaap Kunst dalam penelitian musik tradisi Nusantara menyebut bahwa kerja-kerja penelitian Kunst sangat penting. Terlebih, ia adalah perintis etnomusikologi. “Penelitian ia sangat penting buat etnomusikologi karena sebelum ia keliling Nusantara meneliti musik, mengoleksi alat musik, bikin rekaman dan foto, tidak pernah ada yang meneliti musik (tradisi) secara dalam,” kata Palmer Keen kepada Historia . Bahkan, menurut Keen, hingga dekade 1980-an, belum ada lagi yang melakukan penelitian serupa. “Setelah itu tahun 1920-an 1930-an tidak ada lagi yang seperti dia. Sampai tahun 1980-an 1990-an mulai ada etnomusikolog seperti Margareth Kartomi dari Australia dan Philip Yampolsky dari Amerika yang mulai meneliti musik secara lengkap di Indonesia,” terang Keen. Keen menyebut kini telah banyak peneliti musik klasik atau musik keraton yang berfokus pada Keraton Yogyakarta, Keraton Solo serta musik di Bali. Namun, masih sangat jarang dilakukan penelitian terhadap seni musik di daerah-daerah terpencil. “Tapi yang meneliti musik rakyat, folk music , di luar daerah itu (Yogyakarta, Solo dan Bali) dan di pulau-pulau kecil di Sulawesi, Kalimantan, tidak ada orang sama sekali yang pernah meneliti itu. Jadi walau penelitian itu sudah 100 tahun lalu, itu tetap sangat berguna sampai sekarang,” ujar Keen. Pada 7 Maret 1934, bersama keluarganya, Jaap Kunst mengambil cuti ke Eropa dan berencana kembali pada November. Sebelum ke Belanda, ia telah memindahkan koleksi arsip musikologi yang dikelolanya. Sekitar 1000 alat musik, 325 rekaman silinder lilin, 700 positif kaca dan 450 slide dipindahkan ke Koninklijk Bataviaasch Genoatschap van Kunsten en Watenschappen. Rencana Jaap Kunst untuk kembali pada November ternyata gagal. Alasan kesehatan dan tidak tersedianya anggaran penelitian membuatnya tak bisa kembali lagi ke Hindia Belanda. Meski demikian, di Amsterdam, ia menjadi kurator di Departemen Antropologi Budaya pada Koloniaal Instituut (Tropenmuseum) yang diidam-idamkannya. Jaap Kunst sempat akan ke Jawa selama enam bulan untuk sebuah pekerjaan dengan perusahaan radio Hindia Belanda, NIROM. Mereka berencana merekam musik kadipaten, musik Sunda, Bali, dan mungkin Madura. Namun, Perang Dunia II membuatnya gagal ke Hindia Belanda untuk kedua kalinya. Pada 1942, Jaap Kunst menjadi dosen khusus (tanpa gaji) mengajar mata kuliah Sejarah dan Teori Musik Jawa di Jurusan Musikologi Komparatif di Universitas Amsterdam. Ia juga mengajar di Prancis, Amerika Selatan, dan Amerika Utara. Ia pernah menulis surat untuk R. Goris pada 1926 yang mengatakan bahwa jika pensiun ia ingin menetap di Bali atau Terschelling. “Hati saya selalu berada di kedua tempat itu,” tulis Kunst. Namun, keinginannya itu tak pernah terwujud. Jaap Kunst meninggal dunia akibat kanker pada 7 Desember 1960. Ia meninggalkan ribuan koleksi dan bahan penelitian, serta lusinan buku tentang musik tradisi.
- Anti Jepang Gaya Bupati Magetan
SUATU pagi pada 1943. Kesibukan di kantor Kabupaten Magetan tetiba berubah jadi mencekam. Para pegawai kabupaten ketakutan dan menghindar kala seorang perwira militer Jepang marah-marah sambil menghunus gunto , pedang panjang khas negeri matahari terbit. Tak jelas benar apa yang menyebabkan perwira Jepang itu murka dan menebar ancaman, namun yang pasti tak ada satu pun orang-orang di sana saat itu yang berani bereaksi kecuali Raden Mas Tumenggung Aryo Soerjo, sang bupati Magetan. Alih-alih gentar, Soerjo justru mendekati perwira yang tengah kalap tersebut. Dalam nada yang keras namun berwibawa, ia memarahi sang perwira yang sudah mengganggu ketenteraman lingkungan kerjanya. “Saudara ini sudah datang tanpa permisi dan mengenalkan diri, membuat kericuhan pula di sini! Saudara harus tahu, karena saya merasa benar saya tidak takut sama sekali kepada anda!” bentaknya. Dihadapi dengan sikap berani dan elegan seperti itu, sebagai seorang samurai, si perwira Jepang menjadi malu. Ia pun menurunkan tensi dan coba membicarakan masalah yang ia hadapi secara baik-baik. Masalah berakhir setelah perwira Jepang minta maaf karena mengganggu ketentraman orang-orang yang bekerja di kabupaten. “Itulah Eyang Soerjo, ia tak pernah ragu sama sekali dalam bertindak jika melihat sesuatu yang menurutnya salah,” ujar Donny Ariotedjo, salah seorang cucu Soerjo. Tersebutlah pada awal Maret 1942, balatentara Jepang memasuki wilayah Hindia Belanda. Kendati KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) coba menahan laju tentara Jepang, namun mereka tak berdaya dalam setiap pertempuran. Akhirnya, pada 8 Maret 1942, Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Tertinggi KNIL Jenderal Hein ter Poorten menyerah kepada Panglima Tentara Jepang Ke-16 Jenderal Hitoshi Imamura di Kalijati, Jawa Barat. Sejak itu Hindia Belanda di bawah kuasa militer Jepang. Menurut sejarawan Aiko Kurosawa, kedatangan Jepang yang mengklaim sebagai “saudara tua” itu semula disambut baik oleh rakyat Hindia yang sedang rindu akan kemerdekaan. Sambutan itu kemudian dibalas oleh penguasa militer Jepang dengan mengizinkan orang Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih serta mengumandangkan lagu Indonesia Raya . “Bahasa Belanda sebagai bahasa resmi sebelumnya diganti oleh bahasa Indonesia dan jabatan-jabatan strategis segera berpindah tangan ke orang-orang Jepang dan bumiputera,” ungkap profesor emerita dari Universitas Keio, Tokyo itu. Namun di Magetan, situasi agak berbeda. Alih-alih memberikan sambutan meriah seperti di kota-kota besar, masyarakat Magetan pada awalnya merasa bingung dan ketakutan. Nyaris hari demi hari, rakyat Magetan tak berani untuk keluar rumah. Mereka hanya bisa menunggu dengan cemas, apa yang akan terjadi kemudian. Menurut Sutjiatiningsih dalam Pahlawan Nasional Gubernur Soerjo , sebagai bupati Magetan, Soerjo berupaya agar “kelumpuhan aktivitas” tersebut segera berakhir. Atas insiatif sendiri, ia menyerukan kepada rakyat Magetan untuk tidak perlu takut. Pernyataan tersebut diikuti dengan contoh yang ia berikan sendiri: setiap pagi bersama sang istri, Soerjo berjalan-jalan di alun-alun Magetan. “Kebiasaan itu merupakan simbol bahwa dalam kondisi yang tak menentu sekali pun, sang pemimpin sama sekali tak meninggalkan rakyatnya,” tulis Sutjiatiningsih. Menyaksikan bupatinya berada di tengah-tengah mereka, masyarakat Magetan mulai berani keluar rumah untuk menjalankan kembali kewajiban mereka sehari-hari. Kehidupan pun berjalan seperti sediakala. Berita keberhasilan Bupati Soerjo mengembalikan kepercayaan diri rakyatnya didengar pejabat militer Jepang di Magetan. Ia pun tetap didapuk untuk memimpin rakyat Magetan. Bupati Soerjo sejatinya sangat membenci perilaku penguasa militer Jepang, namun ia sadar sementara dirinya tidak berbuat apa-apa selain menerima uluran kerja sama dengan mereka. Namun Soerjo yakin bahwa keberadaan orang-orang Jepang di Indonesia tidak akan lama. Selain melihat kondisi perang yang pelan-pelan menyudutkan posisi Jepang, terutama setelah Amerika Serikat terlibat, jauh sebelumnya para orang tua di Jawa sudah meramalkan bahwa “orang-orang kate bermata sipit itu” tak akan lama berada di Nusantara. Hari demi hari, Bupati Soerjo tetap memimpin rakyat Magetan dalam suka dan duka. Kendati memutuskan untuk bekerja sama dengan penguasa militer Jepang, sikap Soerjo jauh dari watak seorang penjilat. Itu dibuktikan dengan tidak sudinya ia memenuhi permintaan penguasa militer Jepang mengumpulkan perempuan muda untuk diserahkan kepada para serdadu sebagai pelampiasan nafsu mereka. Sikap tegas sang Bupati tidak saja dianut sendiri, namun kerap ia katakan sebagai perintah resmi kepada bawahannya. “Eyang Soerjo selalu menekankan kepada para bawahannya jangan sampai mau disuruh-suruh mencarikan perempuan oleh orang-orang Jepang itu,” tutur Witjaksono, salah seorang cucu Soerjo. Penguasa militer Jepang benar-benar menjadikan wilayah bekas jajahan Belanda sebagai modal perang melawan Sekutu. Dengan memanfaatkan tanah subur dan produktif, mereka memaksa rakyat untuk memberikan sebagian besar hasil pertanian kepada penguasa militer Jepang. Padi yang merupakan makanan pokok penduduk pun tak lepas dari incaran mereka. Akibatnya rakyat tak bisa menikmati hasil jerih payahnya dan terpaksa hidup miskin karena tak memiliki apa-apa lagi. Bukan hal yang aneh jika saat itu rakyat hanya mengkonsumsi singkong, jagung bahkan akar pohon pisang untuk pengganti nasi. Sebagai lauknya, mereka terpaksa memakan bekicot, tikus sawah dan belalang. Ketiadaan uang membuat rakyat juga tak memiliki daya beli. Untuk pakaian sehari-hari, mereka terpaksa menjadikan karung goni sebagai bahan baju dan celana. “Kalau dipakai rasanya tidak enak dan gatal luar biasa karena pakaian goni yang kami pakai sering dijadikan sarang kutu busuk,” ujar Kasmijo (93), penduduk Magetan yang pernah mengalami masa penjajahan Jepang. Selain menjadikannya tenaga logistik, penguasa militer Jepang memaksa orang-orang yang masih muda terlibat dalam persiapan perang. Puluhan ribu kaum lelaki produktif dijadikan romusha (prajurit pekerja) dan dikirim ke berbagai fron terdepan untuk membangun benteng pertahanan, jalan kereta api, lapangan terbang, jembatan dan dermaga. Khusus bagi para pemuda, mereka direkrut menjadi tenaga tempur dalam berbagai kesatuan “sukarelawan” semacam Heiho, Sainedan, Keibodan, dan tentara Peta atau Pembela Tanah Air. Kaum perempuan pun tak lepas dari kesewenang-wenangan penguasa militer Jepang. Dengan dalih akan dipekerjakan di bagian administrasi, mereka dipaksa sebagai pemuas nafsu para serdadu yang baru pulang dari medan laga. Jumlah jugun ianfu (perempuan penghibur, arti harfiahnya: asisten tentara) ini sangat banyak, hingga mencapai puluhan ribu. Bukan hanya di wilayah eks jajahan Belanda, mereka pun disebar ke wilayah-wilayah luar yang dikuasai oleh militer Jepang seperti Singapura, Malaya dan Burma. Sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan yang dikendalikan militer Jepang, Soerjo menghadapi dilema dalam situasi yang suram itu. Bisa dipastikan, menghadapi kesewenang-wenangan serdadu Jepang terhadap rakyatnya, Soerjo sendiri nyaris tak bisa berbuat banyak. Hanya satu yang berani ia lakukan yaitu menolak mentah-mentah permintaan penguasa militer Jepang untuk menyerahkan kaum perempuan sebagai jugun ianfu . Anehnya, militer Jepang sendiri tak berani menindak “pembangkangan” Soerjo itu. “Mungkin mereka sadar Eyang Soerjo adalah tokoh yang sangat dicintai rakyatnya hingga jika menangkapnya hanya akan menimbulkan gejolak,” ujar Donny Ariotejo.
- Kisah Hamka dan Si Kuning
SUATU subuh tahun 1950-an, Hamka dikejutkan dengan erangan seekor kucing kecil di sekitar rumahnya. Sedari malam suara kucing memang sudah terdengar oleh keluarga Hamka tetapi karena jauh mereka mengabaikannya. Namun kini suaranya sudah sangat dekat, seperti ada di depan teras rumah. Suara itu benar-benar mengganggu kekhusyukan shalat Hamka dan keluarganya. Selepas shalat, Hamka buru-buru mendatangi sumber suara tersebut. Dan benar saja, di depan pintu rumahnya sudah ada seekor anak kucing domestik berwarna kuning yang tampak kotor dan kurus. Kondisinya cukup memperihatinkan. Diceritakan oleh putra ke-5 Hamka, Irfan Hamka dalam Ayah: Kisah Buya Hamka , kucing itu segera dibawa masuk dan dibersihkan oleh ayahnya. Tidak lupa secangkir susu dan beberapa potongan kain disiapkan untuk si kucing. Hamka terlihat begitu senang melihat kucing kurus itu terlelap setelah menghabiskan susu yang ia siapkan. “Si Kuning” begitulah Hamka memanggil peliharaan barunya itu. Empat bulan berlalu, Si Kuning yang saat ditemukan sangat lusuh telah tumbuh menjadi kucing remaja yang begitu sehat. Ia mempunyai tugas khusus di keluarga Hamka: berburu tikus. Sejak ada si Kuning, kata Irfan, rumah di Gang Toa Hong II, Kebon Jeruk itu terbebas dari tikus-tikus yang selama ini sangat mengganggu. “Si Kuning sangat menurut pada Ayah. Pernah ketika Ayah berpergian ke Amerika selama empat bulan, Si Kuning tampak kesepian. Ia mengeong terus mencari-cari Ayah,” ucap Irfan. Pada pertengahan tahun 1956, Hamka dan keluarganya pindah rumah ke Jalan Raden Fatah. Tidak lupa mereka membawa serta Si Kuning. Kucing itu ditempatkan di dalam sebuah sangkar besi. Namun karena proses pindahan menyita banyak waktu, Si Kuning hampir dua hari tidak dikeluarkan. Mereka khawatir si Kuning akan berkeliaran dan mengganggu. Sorenya, entah siapa yang membuka, kucing itu sudah ada di luar kandangnya. Ia berlarian kesana kemari. Karena fokus seluruh keluarga sedang teralihkan, Si Kuning tidak ada yang memantau. Hingga akhirnya mereka sadar kalau kucing kesayangan Hamka telah hilang. Irfan dan seluruh anggota keluarga lalu mencari Si Kuning di sekitar rumah mereka. Namun tetap tidak ditemukan. Sang ayah, yang saat itu bekerja di Kementerian Agama, sedang melakukan perjalanan dinas. Ia sama sekali belum tahu kabar hilangnya Si Kuning. “Sampai malam Si Kuning tidak ditemukan. Ayah marah ketika mendengar kucing kesayangannya hilang,” kata Irfan. Dua minggu berlalu. Si Kuning masih belum juga ditemukan. Keluarga pun sudah pasrah dengan kepergian kucing itu. Namun tanpa diduga, kabar keberadaan Si Kuning kembali terdengar. Ketika itu Irfan dan sang ibu sedang berkunjung ke beberapa tetangga di rumahnya dulu di Gang Toa Hong. Menurut para tetangga, kucing Hamka terlihat berkeliaran selama beberapa hari di bekas rumah mereka. Kemudian kembali menghilang. Irfan terkejut sekaligus heran mendengar kabar tersebut. Bagaimana bisa Si Kuning tahu jalan ke rumah itu, mengingat ketika proses pindahan kucing itu ditempatkan di dalam truk bersama perabotan lainnya. Dua bulan sudah si Kuning hilang. Kabar dari para tetangga sebelumnya tidak cukup membantu keluarga Hamka menemukan si kucing. Namun suatu sore, ketika seluruh anggota keluarga sedang bersantai, terdengar suara kucing di depan rumah. Sontak semua orang terbangun dan berlari keluar. Bukan main, dugaan mereka tepat kalau kucing itu adalah Si Kuning. “Kami mengenal betul suara Si Kuning. Dengan lemas, kucing jantang berbulu kuning itu muncul di depan pintu yang terbuka. Melihat kedatangan Si Kuning, ayah yang sedang turut menikmati mi rebus langsung berjongkok dan memangku kucing kesayangan itu dengan terharu,” kenang Irfan. Si Kuning segera diberi makan dan diobati. Ia begitu kurus dan terdapat sejumlah luka di tubuhnya. Dalam beberapa hari, kondisi Si Kuning sudah mulai membaik. Ia sudah kembali berlarian kesana kemari seperti biasa. Semua orang masih dibuat tidak percaya. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana perjuangan Si Kuning kembali ke rumah itu. Terlebih jarak rumah sebelumnya dan tempat tinggalnya sekarang yang cukup jauh, hampir 50 kilometer jauhnya. Ada beberapa kebiasaan unik Si Kuning ketika bersama Hamka. Setiap malam kucing itu tidur di kamar Hamka. Tempat kesukaannya: sudut tempat tidur, dekat kaki Hamka. Selain itu Si Kuning juga sering duduk di pangkuan Hamka ketika sedang menulis karangannya. Kebiasaan lain Si Kuning yang sangat diingat Irfan adalah kebiasaan ikut Hamka ke masjid. “Bila berjalan, ia selalu di muka Ayah. Baik pergi maupun pulang. Waktu shubuh, maghrib, ataupun isya, selama Ayah dan kami shalat, Si Kuning selalu menunggu dengan setia di dekat pintu masjid. Banyak jamaah yang terheran menyaksikan kesetiaan si Kuning pada Ayah,” kata Irfan. Pada 1964, Si Kuning dan Hamka sempat terpisah dalam waktu yang cukup lama. Tuduhan pemerintah terhadap Hamka membuat ia terpaksa harus mendekam di balik jeruji besi. Pada masa-masa tersebut, Si Kuning bertingkah aneh. Menurut Irfan kucing itu jarang pulang. Hanya pada waktu makan saja ia kembali ke rumah, kemudian menghilang lagi. Tetangga sering melihatnya berkeliaran di sekitar masjid tempat Hamka biasa shalat. Ketika Hamka dibebaskan, Si Kuning kembali bertingkah normal. Ia lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Namun posisinya sebagai hewan paling disayang mulai sedikit tergantikan. Selain perhatian dari Hamka yang berkurang karena kesibukan, kemunculan kucing lain pun menjadi sebab utamanya. Kucing putih berjenis Angora pemberian seorang kawan telah menjadi primadona baru di keluarga tersebut. “Sejak kehadiran kucing berbulu gimbal warna putih itu, Si Kuning tidak pernah lagi masuk ke dalam rumah Ayah. Tampaknya Ibu (ibu tiri Irfan) kami tidak membolehkan Si Kuning datang. Mungkin takut berkelahi dengan kucing Angora yang menjadi kesayangan Ibu,” terang Irfan. Setelah Hamka wafat, Si Kuning kembali meninggalkan rumah. Kali ini kepergiannya tidak diketahui oleh siapapun. Dari keterangan adiknya, Hilmi, Irfan mengetahui kalau beberapa orang pernah melihat keberadaan kucing itu sekitar masjid. Kondisinya sudah sangat lemah. Tetangga mereka yang pernah berziarah ke makam Hamka juga bertutur jika melihat Si Kuning di dekat pusara Hamka. Kucing itu sudah sangat dikenal di lingkungan rumah Hamka sehingga orang-orang pasti akan langsung mengenali dirinya. “Karena penasaran, selesai shalat Jum’at aku langsung menuju Tanah Kusir (makam Hamka). Di sana, aku tidak melihat Si Kuning. Kujelajahi area pemakaman namun tidak juga kujumpai Si Kuning. Ada memang beberapa ekor kucing yang kutemui, namun Si Kuning tidak ada. Beberapa kali lagi aku ziarah ke makam Ayah, tetap Si Kuning tak lagi kujumpai,” tutur Irfan.
- Ingin Mulai Aksi Massa, Aktivis Malah Ditangkap Massa
BERITA kekalahan Jepang membuat para pemuda yang dimotori Chairul Saleh, Sukarni, Wikana, Adam Malik, Maruto Nitimihardjo tak sabar ingin kemerdekaan segera diumumkan. Untuk itulah mereka mendesak pemimpin nasional golongan tua, yang diwakili Sukarno-Hatta, segera memproklamasikan kemerdekaan. Sambil terus memajukan kehendaknya, para pemuda terus bergerak menyelesaikan segala rencana yang bakal dilakukan ketika kemerdekaan telah dicapai. Mereka mencetak dan menyebarkan pamflet-pamflet kemerdekaan, menggalang massa, dan mengatur siasat untuk bergerak begitu Indonesia telah dicetuskan. Kesibukan para pemuda di situasi yang bergerak cepat itu membuat BM Diah, wartawan Asia Raya yang ikut bergabung bersama kelompok pemuda nasionalis, bingung begitu keluar dari tahanan Jepang. “Tanggal 15 Agustus pagi saya berada di luar penjara Jepang, di udara bebas. Segera setelah di luar, saya menemui keluarga saya. Kemudian mencari kawan-kawan yang bergerak dalam Angkatan Baru. Saya mencari Sukarni di rumahnya. Tidak ada. Dikatakan bahwa ia menyembunyikan diri karena bersama saya delapan hari lalu banyak pemuda diburu polisi Jepang. Kemudian saya mencari Chairul Saleh. Juga saya tidak mendapatkannya di rumahnya. Saya mencari Supeno dan Soediro di Cikini, di tempat kami kadang-kadang berkumpul. Juga mereka tidak saya temukan,” kata BM Diah memoarnya, Catatan BM Diah: Peran “Pivotal” Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-’45 . Kesibukan itulah yang membuat tokoh-tokoh pemuda justru alpa di Hari-H proklamasi. “Pada hari proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, kawan-kawan tidak ada yang hadir di Pegangsaan 56. Kami masing-masing sibuk. Saya dengan Pandu meroneo pamflet proklamasi. Sedangkan Chairul katanya diamankan orangnya Kaigun di Jln. Kebon Sirih 71, dengan alasan untuk menghindari penangkapan dari orang-orangnya Gunseikanbu (semacam garnisun). Sukarni, saya tidak tahu dia di mana, Adam Malik sedang sibuk menyiarkan proklamasi lewat kantor berita Domei bersama Syarudin. Pendek kata, kami tidak ada yang hadir,” kata Maruto Nitimihardjo dalam testimoninya di biografi Chairul, Chairul Saleh Tokoh Kontroversial . Sore setelah proklamasi dibacakan, Maruto, Chairul, Adam, Wikana dan beberapa anak buahnya, serta Jawoto berkumpul kembali di sekolahnya Jawoto. “Kita semua groggy , frustasi,” sambung Maruto. Keadaan berlainan dari yang mereka rencanakan sebelumnya membuat mereka frustasi. “Kita sudah capai-capai kok tidak ada aksi kelanjutan?” Saking frustrasinya, Pandu Kartawiguna bahkan sampai stres dan mengamuk. Kerisnya dia cabut dari sarungnya dan dia coba bunuh siapapun yang kebetulan melintas di dekatnya. “Dengan susah payah kita menenangkan Bung Pandu.” Setelah beristirahat dan suasana tenang, mereka kembali berembuk. Diputuskan bahwa keesokan harinya, 18 Agustus, mereka kembali bergerak. Sasarannya Gedung Raad van India (kini Gedung BP-7 di Kompleks Kemenlu, Pejambon). Di sanalah para anggota PPKI bersidang. Pada Hari-H, para pemuda yang sudah pindah markas ke Prapatan 10, lalu menyabot sidang PPKI dengan menculik beberapa pemimpinnya. “Kita boikot, karena kita anggap bahwa badan tersebut berbau Jepang,” sambung Maruto. Selain Sukarno-Hatta, anggota PPKI yang hadir memenuhi permintaan pemuda ke Prapatan 10 antara lain Achmad Subarjo, Teuku Moh. Hasan, dan Mr. Ketut Puja. Sutan Sjahrir kemudian datang setelah dijemput Abubakar Lubis dan kawan-kawan penghuni Prapatan 10 yang pengikut Sjahrir. Hasil dari pertemuan itu adalah kesepakatan melaksanakan apa yang tercantum dalam proklamasi: pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Selain itu, menggerakkan rakyat di ibukota untuk menunjukkan Indonesia sudah merdeka. Untuk itu, isyarat pembuka gerakan pun ditetapkan berupa: tembakan meriam penangkis udara di Kemayoran, pembakaran di Jatinegara, dan penggerakan satu batalyon Heiho di Jatinegara untuk menguasai Jakarta. Namun, kurangnya koordinasi dan adanya miskomunikasi membuat aksi-aksi yang ditetapkan berjalan sendiri-sendiri dan berakhir tanpa sesuai rencana. “Pamflet proklamasi yang sudah kita sebarkan pun tidak kita ketahui, apa sudah tersebar ke pelosok-pelosok dan bagaimana reaksi masyarakat? Tanda berkobarnya api di Jatinegara yang sedianya dinyalakan oleh Saudara Jamil dengan membakar rumah WTS di Kebonpala, berkesudahan Jamil ditangkap oleh rakyat di sekitarnya. Pendek kata, semua gagal,” kata Maruto.
- Asal-Usul Nama Candi Borobudur
Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, langsung tertarik ketika Tan Jin Sing, bercerita soal candi besar di Desa Bumisegoro, dekat Muntilan. Ia pun meminta Tan Jing Sing melihat candi itu. Sesampainya di sana, Tan Jing Sing mengajak warga desa bernama Paimin sebagai penunjuk jalan. “Menurut Paimin namanya candi Borobudur,” tulis TS Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta . Niken Wirasanti, arkeolog Universitas Gadjah Mada, dalam “B orobudur: Misteri Batu Tak Berujung ” termuat di 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur , menyebut entah bagaimana asal asulnya candi itu sudah bernama Borobudur. Begitu banyak misteri soal Borobudur hingga persoalan nama pun telah banyak menarik perhatian para ahli dan pemerhati seni untuk menelusurinya . Rafflesdalam History of Java menulis berdasarkan cerita penduduk desa di sekitar candi bahwa Borobudur berasal dari kata boro dan budur . Budur artinya "purba". Karenanya Borobudur dapat diartikan "boro purba". Sementara Raffles sendiri berpendapat Borobudur berasal dari kata boro artinya "agung" dan budur dari kata Buddha. Jadi, arti Borobudur adalah "Buddha yang Agung". Pakar sastra Jawa Kuno, R.M. Ng. Poerbatjaraka, menerjemahkan boro dengan "biara" karena ada nama tempat yang diawali dengan kata boro , yaitu Boro Kidul, artinya "Biara di Selatan". Kemudian arkeolog Belanda, Willem Frederik Stutterheim mengartikan Borobudur sebagai "biara di atas bukit" karena buḍur berasal dari bahasa Minangkabau, buduā , artinya "sedikit menonjol" atau "bukit". Sedangkan J.L. Moens mengatakan Borobudur merupakan nama Jawa. Asalnya dari kata bhārabudhūr dalam bahasa India Selatan yang artinya "kota". Jadi, Borobudur artinya "kota Buddha". Berbeda lagi dengan filolog Belanda, J.G. de Casparis. Ia mengaitkan Candi Borobudur dengan Prasasti Sri Kahulunan yang dikeluarkan pada 824. Telaahnya menghasilkan istilah bhumisambarabhudara . Nama itulah yang menjadi nama Borobudur. Interpretasi Casparis itu kemudian populer dan terus dirujuk sebagai acuan tentang berdirinya Candi Borobudur. Pendapatnya mendapat dukungan dari John N. Miksic, peneliti dari Southeast Asian Studies Department, National University of Singapore. Ia juga menyebut kalau kata Borobudur berasal dari bhumisambhara ( -bbudhara ). Pun sejarawan Slamet Muljana yang menyebut Borobudur berasal dari kata Kamulān Bhūmisambhara . “Di lingkungan masyarakat ilmiah pendapat itu masih dipermasalahkan dan tetap menjadi misteri yang hingga kini tak henti-hentinya diteliti,” jelas Niken. Karenanya hingga kini asal-usul nama Borobudur masih belum jelas dan masih membuka banyak pendapat. Ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti, dalam “Reinterpretasi Nama Candi Borobudur” termuat di Jurnal Amerta Vol 30. No. I, Juni 2018, berpendapat dalam mencari arti kata Borobudur, langkah awal adalah mencari kata boro dan budur yang terdapat di dalam data tekstual. Utamanya dalam karya sastra dari masa Jawa Kuno. Itu baik berupa prosa, kidung, maupun kakawin. Candi Borobudur dalam Berbagai Sumber Secara umum, sumber candi dan sumber tekstual sering tak saling mendukung. Arkeolog Universitas Gadjah Mada, Djoko Dwiyanto dalam “Kewaspadaan Terhadap Candi Borobudur Berdasarkan Data Epigrafis”, termuat di 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur, menyebut satu-satunya candi yang dapat dikaitkan secara langsung dengan sumber prasasti adalah Candi Kalasan di Yogyakarta, yaitu dengan Prasasti Kalasan dari 778. prasasti itu “Tempat pemujaan bagi Tarabhawana, sebuah bangunan suci yang bernama Kalasa sebagai tempat pemujaan umatnya,” kata prasasti itu. Bangunan suci yang dikaitkan dengan prasasti umumnya hanya berupa penafsiran kecocokan di antara keduanya. “(Contohnya, red .) Uraian gugusan candi yang terdapat dalam prasasti Siwagrha dari 856 dapat disesuaikan dengan susunan kompleks percandian Lara Jonggrang atau Prambanan,” jelas Joko. Selain dengan keterangan Prasasti Sri Kahulunan, Borobudur juga dihubungkan dengan Prasasti Karangtengah. Di dalamnya terdapat keterangan seorang raja bernama Samaratungga. Putrinya, Pramodawardhani mendirikan bangunan suci Jinalaya dan Wenuwana. Casparis mengaitkan Wenuwana dengan Candi Mendut. Sedangkan arkeolog Soekmono mengidentifikasinya sebagai Candi Ngawen atas dasar persamaan bunyi nama. Adapun Jinalaya diduga merujuk pada Candi Borobudur. Selain dengan prasasti, ada juga karya sastra yang menyebut Borobudur, di antaranya Babad Tanah Jawi. Karya inidiperkirakanditulis pada abad ke-18. Di dalamnya ada cerita pemberontak Ki Mas Dana yang melarikan diri ke Bukit Borobudur. Pringgalaya mengejar dan menangkapnya, kemudian dihadapkan ke sunan untuk menerima hukuman yang kejam. J.L.A Brandes, filolog dan sejarawan seni asal Belanda, sebagaimana dikutip J.F. Scheltema dalam Monumental Java , meyakini Bukit Borobudur itu adalah Candi Borobudur yang terdapat di Magelang, Jawa Tengah. Karena tak ada lokasi lain yang punya nama semirip itu. Rujukan tentang candi ini diduga yang dimaksud oleh Mpu Pranpanca dalam Nagarakrtagama dari masa Majapahit . Di sana disebutkan salah satu bangunan suci Buddha yang bernama Budur. Ini sesuai dengan tulisan Raffles, History of Java , yang menyebut Candi Borobudur berada di Distrik Budur. “Demikianlah kasugatan kabajradharan (bangunan suci Buddha Bajradhara) adalah sebagai berikut… yang lainnya yaitu Budur, Wirun, Wungkulur, dan Mananggung, Watukura, Bajrasana, dan Pajambayan, Samalanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu, Poh Aji, Wangkali, dan Beru, Lembah, Dalinan, Pangadwan, adalah daerah perdikan pertama yang ditetapkan,” catat Mpu Prapanca. Namun, Titi mengatakan bahwa kata Budur, selain sebagai nama bangunan suci, juga merujuk pada salah satu jenis minuman keras. Dalam tulisannya yang lain, “Minuman Pada Masyarakat Jawa Kuno”, yang termuat dalam Proceeding Pertemuan Ilmiah Arkeologi V. II.B, Titi mendaftar semua jenis minuman keras, yang ada dalam data tekstual, termasuk budur seperti disebut dalam teks Ādiparwa . “…Brāhmaṇa tidak makan daging babi yang diternakkan, tidak minum minuman keras, surāpāna namanya minuman keras dan sejenisnya yang disebut tuak, waragaŋ, baḍyag, tuak tal, buḍur, demikian (disebutkan dalam) kitab suci Bagawān Śukra,” catat teks itu. Ada lagi dalam teks Calon Arang : “Tidak lama datang apa yang diminta: tuak, nasik, laukpauk, tampo, brěm, kilang, dan yang lainnya sampai srěbat-buḍur." Kemudian dalam Kidung Harsawijaya: “Makanan, minuman keras tidak ketinggalan, tuak, badeg, siwalan, buḍur dan mrěsi, sěrbat bersama dengan arak harum." Dengan lebih jelas, Kakawin Kāṇḍawawanadahana (Terbakarnya Hutan Kāṇḍawa), yaitu naskah yang sampai saat ini belum diterjemahkan, menjelaskan asal usul budur. “Membuat perumahan sementara...dengan atap dari daun buḍur." Titi pun menyimpulkan bahwa buḍur adalah nama tumbuhan sejenis aren atau enau. Airnya bisa dibuat minuman keras dan daunnya dijadikan atap rumah. Karenanya, menurut Titi, tak aneh jika Borobudur bisa diartikan sebagai "biara yang ada di Budur" atau biara yang ada di tempat yang banyak ditumbuhi pohon budur . Di Indonesia banyak ditemukan nama tempat yang menggunakan nama tumbuhan. Misalnya, seperti di Jakarta, ada Kampung Rambutan, Kebon Nanas, Kebon Kacang, dan Kemang. Penamaan itu sudah terjadi dulu. Titi mengatakan dalam prasasti banyak nama desa yang memakai nama tanaman. Contohnya Poh (mangga), Bungur , dan Nyū (kelapa). “Saya setuju dengan pendapat Poerbatjaraka yang menyebut Borobudur adalah biara di Buḍur. Kata Buḍur diambil dari sejenis tanaman aren, yang mungkin pada saat itu banyak ditemukan di tempat itu,” jelas dia.
- Pierre Tendean, Si Galak yang Memikat
Pada hari Jumat terakhir sebelum tragedi 1 Oktober 1965, Jenderal Abdul Haris Nasution berkunjung ke Bandung. Nasution diundang memberikan ceramah kepada anggota Resimen Mahasiswa Batalyon Universitas Padjajaran. Dalam acara itu, Nasution dikawal oleh seorang ajudannya yang berparas indo. “Yang mendampingi saya adalah adalah ajudan yang paling muda, Letnan Satu Pierre Tendean. Ia terhitung pemuda yang ganteng, dan terus ia saja menjadi sasaran kerumunan para mahasiswa,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru. Tercatat 15 April 1965, Pierre resmi menjadi ajudan Nasution yang waktu itu menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). Pierre merupakan ajudan termuda yang berpangkat letnan satu. Sementara tiga ajudan Nasution lainnya sudah berpangkat kapten. Mengemban tugas sebagai ajudan mengharuskan Pierre ikut ke mana saja Nasution bertugas. Menurut biografi resmi Pierre Tendean dalam Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi , kegiatan Nasution yang paling sering di kawal Pierre adalah agenda main tenis. Keluarga Nasution biasanya main tenis dua kali seminggu di lapangan tenis Menteng dan Senayan. Menurut Saifuddin Sofyan, mantan pemungut bola ( ball boy ) lapangan tenis Senayan, Pierre termasuk orang yang pendiam. Bicara hanya seperlunya saja. Pierre juga tidak segan menindak petugas lapangan tenis apabila berbuat lalai. Misalnya, saat ikatan net kurang kencang. Biasanya, Saifuddin dan kawan-kawannya kena hukuman oleh Pierre berupa push up di tempat. Lain waktu, Nasution pulang dinas dari Bandara Kemayoran menuju ke rumahnya di Jalan Teuku Umar No. 40. Saat itu mobil Nasution terjebak macet. Pierre yang mendampingi segera berinisiatif turun dari mobil dan turun ke jalan. Jadilah Pierre Tendean menjadi petugas lalu lintas dadakan. Akibat ulah Pierre, mobil yang ditumpangi Nasution akhirnya bisa melengos di jalan sekaligus mengurai kemacetan yang ada. Di kediaman Nasution, Pierre menempati paviliun khusus tempat tinggal para ajudan. Pierre sering diledek “Jawa Londo” oleh anak-anak Menteng sekitar kediaman Nasution. Olokan tersebut lantaran fisik Pierre yang berkulit putih, berhidung mancung, dan postur jangkung 175 cm. Tapi kalau sudah berbicara, maka Pierre terdengar medok dengan logat Jawa-Semarangnya yang sangat kental. Kepada putri-putri Nasution, Pierre menampilkan perangai yang berbeda. Terhadap si sulung Yanti yang kala itu beranjak remaja, Pierre bersikap tegas, disipilin, dan terkesan galak. Yanti kerap kena tegur Pierre kalau menginap di rumah kawannya atau ketahuan coba-coba belajar menyetir mobil. Namun kalau berhadapan dengan sang adik, Ade Irma, Pierre luluh. Pierre cenderung melunak dan memanjakan putri bungsu Nasution ini. Saban sore, Pierre selalu menemani Ade bermain sepeda di halaman belakang rumah. Sementara istri Nas, Sunarti, kerap kali berperan menjadi pamong yang selalu menasihati Pierre, terutama soal percintaannya dengan Rukmini. “Walaupun demikian, Yanti mengakui bahwa wajah Pierre ganteng luar biasa, yang memesona lawan jenis. Namun, dengan kekakuannya, Pierre jarang tampak genit di depan kaum hawa,” catat tim penulis biograsi resmi Pierre Tendean yang disunting Abie Besman. Selain kegiatan di dalam kota, Pierre pun harus siaga sewaktu-waktu Nasution dinas ke kota lain. Nasution acap kali menjadi tamu undangan sebagai pembicara dalam konferensi atau seminar nasional. Biasanya, Pierre lah yang sering diminta Nasution untuk mendampingi dalam kunjungan di luar kota. Di saat Nasution menjadi pembicara, sosok Pierre ternyata menjadi pusat perhatian. Paras tampan Pierre selalu jadi magnet peserta seminar terutama peserta dari kalangan kaum hawa. Bukan sebuah pemandangan lazim jika seorang pria keturunan Indonesia-Prancis berbadan tegap mengawal seorang jenderal penting di jajaran angkatan bersenjata. Para perempuan yang penasaran sering berbisik dan bertanya, siapa sosok pemuda tampan yang mengajudani Jenderal Nasution itu? Hal yang sama pun terjadi ketika Pierre mendampingi Nasution di Bandung, yang menjadi tugas terakhir pengawalannya. Para peserta memang mendengar pidato atau ceramah dari sang jenderal tetapi mata mereka teralihkan ketika melihat sosok Pierre Tendean. Kiranya, dari sinilah muncul istilah yang populer saat itu, “Telinga kami untuk Pak Nas, tetapi mata kami untuk ajudannya.”
- Ketika Bangsa Eropa Memperebutkan Maluku
DAYA tarik Kepulauan Maluku seolah tidak akan ada habisnya. Rempah kebanggan mereka (pala dan cengkeh) telah membuka jalan bagi kepulauan di sebelah timur Makassar itu bergaul dengan bangsa dari belahan bumi lain. Berjalan cukup baik di awal, namun berubah kacau kemudian. Bangsa asing itu perlahan memperlihatkan kerakusannya. Tercatat ada empat bangsa Eropa yang secara gamblang berlomba menarik hati rakyat Maluku, yakni Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris. Semuanya datang dalam waktu yang cukup berdekatan. Setiap kali satu kekuatan runtuh, kekuatan lain dengan sigap mengambil alih. Maluku tidak pernah sepi dari para pencari kekuasaan. Inggris menjadi yang paling dicintai, sementara Belanda yang paling dicaci. Sejak abad ke-16 hingga empat abad setelahnya, Maluku secara langsung terlibat dalam ajang pergumulan orang-orang Eropa tersebut. Wilayah Ambon, Bacan, Banda, Ternate, dan Tidore menjadi pusat kegiatan para pendatang itu. Berawal dari penemuan jalur menuju Nusantara oleh bangsa Portugis, petualangan mereka mencari aneka bumbu yang mewah di Eropa itu pun dimulai. Dari hasil penelitian sejarawan Meta Sekar Puji Astuti diketahui bahwa orang-orang Eropa itu datang karena dorongan sebuah dongeng yang sengaja dibuat di tempat mereka. Dongeng yang berasal dari para pedagang Arab itu menyebut sebuah tanaman yang dapat memberi cita rasa untuk segala jenis makanan. Bahkan dipercaya mampu menyembuhkan beberapa jenis penyakit yang saat itu mewabah di daratan Eropa. Namun yang paling menarik perhatian rakyat Benua Biru adalah harganya. “Selama bertahun-tahun pala diperdagangkan di Jalur Sutra oleh orang-orang Arab dengan harga ribuan kali lipat dari wilayah asalnya,” kata Meta kepada Historia. Gabungan Kekuatan Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang tiba di Maluku. Para pelaut dari barat daya Eropa ini merapatkan kapalnya pada 1512, setelah setahun sebelumnya memastikan penguasaan Malaka. Menurut Tome Pires dalam Suma Oriental , para penjelajah Portugis tiba di bawah pimpinan Fransisco Serrao, salah satu kapten kapal dalam ekspedisi Antonio de Abreu. Dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang menginjakkan kakinya di wilayah Maluku. Kedatangan Serrao di Maluku mendapat sambutan yang hangat dari penduduk. Meski sejumlah hambatan, utamanya komunikasi, sempat membatasi hubungan kedua bangsa ini, dengan cepat halangan tersebut diatasi. Orang-orang Portugis mampu beradaptasi dengan baik. Belum lama mereka tinggal, kepercayaan rakyat sudah berhasil didapat. Penduduk Ternate, kata Pires, menjadi kawan terdekat bangsa Portugis di Maluku. Pemimpinnya, Sultan Bayanullah, banyak memberikan bantuan. “Kabarnya raja ini sangat memegang teguh keadilan. Ia menjaga rakyatnya agar tetap patuh. Ia berkata bahwa ia akan sangat senang bertemu dengan pendeta Kristen, karena apabila keyakinan kita tampak lebih baik di matanya maka ia akan meninggalkan sektenya (agama Islam), kemudian memeluk agama Kristen.” Perlahan namun pasti, orang-orang Portugis mulai menyebarkan pengaruhnya di Maluku. Mula-mula Ternate dikuasai, baik secara politik maupun budaya, kemudian daerah-daerah di sekitarnya turut menjadi incaran. Namun hambatan besar mulai dirasakan saat mereka mencoba menguasai Tidore. Wilayah yang sejak lama berselisih dengan Ternate itu menolak kehadiran mereka. Portugis pun lantas menggunakan cara keras dalam usaha menguasai kerajaan milik ayah Sultan Bayanullah tersebut. Tekanan dari Portugis membuat posisi Tidore terpojok. Gempuran persenjataan lengkap bangsa Eropa itu sangat menyulitkan. Tidore membutuhkan bantuan besar. Dalam penelitian Hubert Jacobs, A Treatise on the Moluccas: Probably the Prellminary Version of Antonio Galvao’s Lost , disebutkan bahwa pertolongan tak terduga tiba pada 8 November 1521. Dua orang pelaut Spanyol, Carvalhinho dan Goncalo Gomes, tiba di Tidore bersama sejumlah pasukan. Mereka diterima dengan baik ketika memasuki pelabuhan Tidore. Spanyol pun praktis terlibat dalam perselisihan Tidore-Ternate. Sekaligus menantang musuh bebuyutannya di Eropa yakni Portugis dalam perebutan kuasa atas rempah Maluku. “Dengan demikian dalam perang itu terdapat di satu pihak Tidore yang dibantu orang-orang Spanyol dan di lain pihak Ternate yang dibantu orang-orang Portugis,” Sartono Kartodirdjo, dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia: Jilid 3 . Perang di Maluku terjadi dalam suasana yang serba tidak menentu. Meski dalam sejumlah peperangan kekuatan Ternate bersama kawan-kawan Portugisnya lebih unggul, tetapi mereka tidak bisa mempertahankan keutuhan dari dalam. Koalisi Tidore-Spanyol dan Ternate-Portugis ternyata tidak bertahan lama. Semakin lama rakyat semakin melihat sifat buruk orang-orang Eropa itu, yang sedari awal hanya mengincar rempah-rempah milik mereka dengan cara memecah belah penduduk Maluku. Keruntuhan kuasa Spanyol dan Portugis di Maluku semakin terlihat setelah kedua negara itu menyepakati Perjanjian Zaragoza pada 22 April 1529. Di tambah sejumlah peristiwa di dalam masing-masing kerajaan yang melibatkan bangsa asing, membuat suasana semakin keruh. Ikut campurnya mereka dalam urusan politik kerajaan adalah sebab utama rakyat ingin kedua bangsa itu keluar dari Maluku. Sejumlah perlawanan mulai digelorakan rakyat di beberapa tempat. Meski dua tokoh utama, Ternate dan Tidore, belum berbaikan, tetapi perlawanan yang terpecah itu mulai merepotkan kedudukan Portugis dan Spanyol. Rakyat berhasil menduduki benteng pertahanan, dan melucuti persenjataan keduanya. Portugis bahkan terusir dari tanah Ternate pada 28 Desember 1577. Mereka pun terpaksa mengungsi ke pulau-pulau sekitar untuk mengamankan diri. “Portugis dan Spanyol disatukan di bawah Raja Felipe II, dan raja ini menyuruh Gubernur Jenderal Spanyol yang berkedudukan di Filipina untuk memberi bantuan kepada orang-orang Portugis di Maluku,” tulis Kartodirdjo. Dibantu tentara Spanyol, Portugis berusaha merebut kembali Ternate. Namun sayang pada 1605, Belanda keburu datang mengacaukan jalannya perang di perairan Maluku. Kekuatan gabungan Portugis-Spanyol pun akhirnya teralihkan ke Belanda. Rakyat Maluku yang sudah muak dengan dua bangsa Eropa tersebut lantas memberi bantuan kepada Belanda. Meski tidak tahu bagaimana perangai para pendatang ini. Gabungan kekuatan Ternate-Belanda mampu memukul mundur Spanyol dari Ternate dan Tidore. Segera Belanda membangun benteng-benteng pertahanan di beberapa tempat strategis. Pada 1620-an Belanda sudah berhasil mengamankan posisinya di Perairan Maluku. Mereka akhirnya bisa mulai memonopoli rempah dengan tenang. Menuju Perjalanan Panjang Rupanya ketenangan dalam proses monopoli ini tidak begitu saja didapat. Meski Portugis dan Spanyol telah disingkirkan, Belanda kembali dipusingkan dengan keberadaan orang-orang Inggris. Pasukan Raja James itu telah menempati perairan Maluku sejak 1605. Namun mereka tidak ikut serta dalam konflik Portugis-Spanyol. Inggris sibuk membangun wilayah koloninya, seperti terlihat di pulau Run. Menurut I.O. Nanulaitta dalam Kapitan Pattimura , rakyat Maluku dipaksa berhutang budi kepada Belanda ketika proses pengusiran Portugis dan Spanyol. Akibatnya mereka harus menuruti segala permintaan Belanda, termasuk melarang penduduk menjual rempah-rempahnya kepada bangsa lain. Semua perdagangan rempah diatur dengan menempatkan Belanda sebagai prioritas. Para penguasa diikat oleh kontrak agar Belanda dapat mudah memonopoli rempah-rempah. Mereka juga mulai membangun pertahanan, dan menyiagakan banyak armada di perairan Maluku. Hal itu dilakukan guna menghalau serangan dari Inggris yang sudah menguasai Banda. Dalam The Banda Islands: Hidden Histories and Mirackles of Nature , Jan Russell menyebut jika Belanda sulit menembus pertahanan Inggris di Banda. Mereka pun sementara hanya bisa menancapkan pengaruhnya di Ambon, Saparua, dan sebagian Maluku Tengah. “Orang Banda itu cukup cerdik. Mereka lebih suka berbisnis dengan orang Inggris dibandingkan dengan orang Belanda,” ucap Meta. Kebencian rakyat terhadap orang-orang Belanda mulai muncul setelah pemerintahan asing itu membuat kebijakan yang memberatkan rakyat. Perlakuan semena-mena, ditambah sistem tanam paksa yang menyengsarakan, membuat rakyat Maluku semakin menutup hatinya untuk para kompeni. Rakyat semakin yakin bahwa orang-orang ini tidak lebih baik dari Portugis dan Spanyol. Tahun 1796 terjadi keributan di Ambon. Kehadiran kapal-kapal berbendera Inggris membuat rakyat bertanya-tanya tentang situasai yang terjadi. Bendera Belanda yang semula berkibar di benteng Victoria juga sudah berganti menjadi ‘Union Jack’ milik Inggris. Ratusan tentara bersenjata lengkap ada di seluruh penjuru kota. Rupanya telah terjadi pergantian kekuasaan antara Belanda dan Inggris atas perairan Maluku. Perang yang berkecamuk di Eropa antara Inggris dan Prancis memaksa kerajaan Belanda menyerahkan seluruh wilayah jajahannya di Afrika dan Asia kepada Inggris. “Banyak di antara mereka yang tidak dapat mengerti keterangan itu. Pengetahuan mereka tentang Eropa yang begitu jauh letaknya tidak seberapa. Apalagi mau mengerti pergolakan apa yang sedang terjadi di sana,” tulis Nanulaitta. Kepanikan melanda rakyat Maluku. Mereka khawatir tentang nasibnya di bawah penjajah baru ini. Tindakan nekat pun akhirnya menjadi pilihan. Sejumlah orang mencoba menyerang benteng pertahanan Inggris. Namun pada akhirnya perlawanan tersebut dapat dihalau. Sebagai konsekuensi, para pemberontak itu dieksekusi. Perlahan Inggris membangun pemerintahan di seluruh perairan Maluku. Pengalaman selama di Banda dan Run, ditambah informasi tentang cara Belanda memerintah, membuat Inggris cukup berhati-hati dalam membuat kebijakan. Melalui peraturan yang dibuat, Inggris melakukan pendekatan terhadap rakyat dengan cara yang berbeda. Beberapa peraturan perdagangan yang sebelumnya sangat memberatkan mulai diperlunak. Kerja rodi tetap dipertahankan namun diperingan. Rakyat juga diberi kebebasan dalam berbagai aktifitas. Bahkan Inggris melibatkan penduduk dalam sistem militer mereka, dan membentuk kesatuan khusus untuk rakyat. “Harapan baru akan hidup yang lebih baik timbul lagi. Kebun-kebun cengkih dan pala memberi harapan besar. Perniagaan menjadi ramai. Hanya terhadap penyelundupan Inggris bertindak keras juga,” kata Nanulaitta. Namun kesedihan kembali harus dirasakan rakyat Maluku. Tujuh tahun kebebasan di bawah pemerintah Inggris sirna begitu saja ketika mengetahui orang-orang Belanda kembali menerima hak atas tanah Maluku. Keresahan melanda seluruh negeri. Kepergian bangsa yang memberi kedamaian sangat diratapi rakyat Maluku. Tahun-tahun berikutnya konflik antara Inggris dan Belanda atas Maluku terus terjadi. Keduanya bergantian memberi pengaruh di tanah kelahiran Pattimura tersebut. Sampai pada kondisi di mana Inggris sudah tidak dapat lagi menginjakkan kakinya di sana. Sebuah perjanjian tahun 1816, Traktat London, menyelesaikan konflik Inggris-Belanda di Maluku untuk selama-lamanya. Dengan gagahnya Belanda mampu menyingkirkan tiga pesaing berat, dan berkuasa penuh atas Maluku.
- Ciputra dan Proyek Senen
Ciputra, konglomerat Indonesia, wafat pada 27 November 2019 dalam usia 88 tahun. Hidupnya cukup panjang untuk ukuran manusia abad ini. Dia melewati bermacam zaman dan era pemerintahan. Dari kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, era Sukarno, otoritarianisme Soeharto, sampai masa Reformasi. Rina Ciputra Sastrawinata, anak tertua Ciputra, mengatakan ayahnya tidak mengidap penyakit serius sebelum wafat. “Ayah saya meninggal karena usianya,” kata Rina dalam konferensi pers di Artpreneur Ciputra, Jakarta, Kamis 28 November 2019. Ciputra bekerja menangani puluhan perusahaan hingga usia senja. Dia tercatat jarang sakit dan dirawat. Dia lebih sering terlihat sehat dan bugar dalam beragam kesempatan. Sembari berkelakar, dia sempat berbagi rahasia hidup sehat dan bugar. “Saya sukses, tetapi setiap hari saya hanya makan rumput. Soalnya saya hanya makan nasi, roti, dan sayur-sayuran yang tidak mengandung zat purin, penyebab perkapuran. Hahaha…” kata Ciputra dalam Eksekutif , Agustus 1996. Ketika itu usianya sudah 65 tahun dan duduk sebagai Direktur Utama PT Pembangunan Jaya. Ciputra juga rutin bermeditasi dan melakukan waitankung (Senam Sehat Indonesia). “Setiap hari saya bermeditasi dan berolahraga,” kata Ciputra. Karena tak ingin membuat senam itu hanya bermanfaat bagi dirinya, dia sebarkan waitankung kepada karyawan dan direksi di Grup Pembangunan Jaya, grup perusahaan yang dia pimpin selama hampir 35 tahun. “Ciputra selalu punya keinginan agar hal-hal baik yang dinikmatinya juga dinikmati oleh orang lain,” catat Bondan Winarno dalam Kiat Menjadi Konglomerat: Pengalaman Grup Jaya . Dari prinsip berbagi kenikmatan itulah, dia terlibat meremajakan Pasar Senen, proyek pertamanya di PT Pembangunan Jaya. Tapi kadang niat berbagi kenikmatan itu tak selalu laras dengan keinginan banyak orang. Menunggu Gubernur PT Pembangunan Jaya berdiri di Jakarta pada 3 September 1961. Ciputra selalu mengisahkan awal keterlibatannya di Pembangunan Jaya, bermula dari membaca Star Weekly pada 1961. Dia katakan Star Weekly memuat maklumat Soemarno, Gubernur Jakarta 1960—1964, kepada pihak swasta agar turut membangun Jakarta. “Saya ingin mengikutsertakan seluruh masyarakat dalam usaha pembangunan besar-besaran Jakarta Raya. Dan saya tahu dan yakin, bahwa masyarakat ibu kota mempunyai potensi yang besar, baik dalam hal manajemen, maupun dalam modal (keuangan),” kata Soemarno dalam Star Weekly, 15 April 1961. Jakarta tengah giat dengan aneka pembangunan fisik pada dekade awal 1960-an. Sukarno membayangkan Jakarta akan menjadi wajah muka Indonesia baru. Dia rencanakan pembangunan gedung-gedung bertingkat, jalan-jalan lebar nan lapang, jembatan layang modern, dan kompleks olahraga megah. Ciputra kepincut dengan ajakan Soemarno dan terkesan pada semangat menggebu Sukarno. Dia pun ambil koper, berangkat dari Bandung menuju Jakarta. Dia bilang tak akan melupakan dua temannya jika memperoleh proyek di Jakarta. Ciputra meninggalkan sementara pekerjaannya di CV Daja Tjipta. Dia telah merintis perusahaan itu bersama dua kawannya sejak masih kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada pertengahan dekade 1950-an. Perkembangannya bagus, tetapi lambat. “Moda bisnisnya juga begitu-begitu saja. Menerima order, tawar-menawar, dan pembangunan pun berjalan sesuai biaya yang disepakati,” kata Ciputra kepada Alberthiene Endah dalam The Passion of My Life . Ciputra menginginkan perusahaannya melompat lebih jauh dan berkembang melampaui bisnis kontraktor atau jasa konsultan arsitek. Ciputra beberapa kali berjalan melihat sudut-sudut kota Bandung dan Jakarta. Pasarnya becek, bangunannya rusak, rapuh dimakan usia, dan tak elok dipandang mata. Dia membayangkan keadaan buruk itu masih bisa berubah jadi lebih baik. Dia menikmati mimpinya dan bertekad mewujudkannya. Caranya dengan mengubah perusahaannya menjelma pengembang wilayah (developer ). Kesempatan itu terbuka luas di Jakarta, kota yang tengah gandrung dengan pembangunan fisik di banyak sudut, tetapi sudut lainnya justru bobrok dan jauh dari pembangunan. Tapi menemui Soemarno bukanlah perkara mudah. Ciputra seorang arsitek piyik . Baru lulus dari ITB dan cuma punya perusahaan kecil. Selain itu, jadwal Soemarno pun sangat padat. Di kota sebesar Jakarta, reputasi Ciputra benar-benar nolpothol . Tak punya nama. Dia harus menunggu berhari-hari di kantor gubernur hanya untuk bertemu dengan Soemarno. Tapi kesabarannya terbayar. “Melalui seorang keluarga, saya bisa menemui Pak Marno di rumahnya pukul 9 malam. Di situ saya sampaikan bahwa saya ingin membantu pemda,” kata Ciputra dalam Eksekutif . Soemarno bertanya apa konsep Ciputra tentang pembangunan Jakarta. “Saya katakan bahwa sebuah kota bisa dipercantik dan terlihat lebih modern dengan peremajaan, selain juga membangun properti baru. Konsep pembangunan harus sebesar-besarnya menonjolkan daya guna, dengan biaya efisien tapi hasil bangunannya kokoh,” kata Ciputra dalam The Passion of My Life . Konsep Ciputra rupanya klop dengan rencana Soemarno meremajakan Pasar Senen. “Pasar Senen ini sibuknya dan kotornya bukan main, siang dan malam, dua puluh empat jam terus menerus,” kata Soemarno dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945— 1966. Maka Soemarno meminta Ciputra bikin rencana peremajaan Pasar Senen. Saham 3 Persen Ciputra meminjam sepeda motor. Dia mengelilingi Pasar Senen saban terang tanah untuk mengumpulkan bahan. Malam hari, dia tidur di rumah sepupunya. Sempit, tetapi cukup dekat dengan Pasar Senen. Menghemat jarak tempuh dan membuat kerjanya mangkus. Setelah bahan terkumpul, Ciputra kembali ke Bandung untuk menyelesaikan rencananya dengan bantuan dua temannya. “Dalam dua minggu mereka sudah merampungkan rencana yang siap diajukan kepada Gubernur Soemarno,” ungkap Bondan Winarno dalam Tantangan Jadi Peluang: Kegagalan dan Sukses Pembangunan Jaya Selama 25 Tahun . Soemarno menyetujui rencana Ciputra, lantas membawanya ke Sukarno untuk presentasi. Sukarno manggut-manggut dan mengajukan dua pertanyaan: pengelolaan sampah dan cara membangun pasar sebesar Senen. Ciputra merencanakan sampah pasar akan dikumpulkan di suatu tempat, kemudian diangkut oleh Dinas Kebersihan. Tentang cara membangun, dia jelaskan tahapannya. Dari pembebasan lahan, pembangunan toko-toko darurat atau penampungan sementara di sekitar Senen, sampai pembangunan blok demi blok. Semua rapi dan terencana. “Presiden Sukarno lalu menyetujui agar proyek itu segera dilaksanakan,” lanjut Bondan. Masalahnya kemudian adalah uang. Rencana Ciputra bagus, tapi uang untuk mengkonkretkan rencana itu darimana? Ciputra angkat tangan. Soemarno juga pusing dengan soal uang. Karena itu, dia mengajak pihak swasta dan tokoh bisnis lainnya. Mereka adalah J.D. Massie, R.A.B. Massie, Jusuf Muda Dalam, S.S. Amidharmo, Hasjim Ning, dan A.M. Dasaad. Mereka seiya sekata untuk membiayai Proyek Senen melalui pendirian perusahaan. Syaratnya, perusahaan itu tidak dikelola pemerintah pusat atau daerah. “Perusahaan negara terikat oleh begitu banyak birokrasi sehingga akan lamban dalam menangani pekerjaan seperti itu. Selain itu, perusahaan negara tidak terlalu berani menyerempet bahaya karena pertanggungjawaban administratifnya repot,” kata mereka. Soemarno tak bisa menampiknya. Dia merestui pendirian perusahaan itu. Inilah PT Pembangunan Jaya, pelaksana teknis Proyek Senen. Modal awalnya Rp10 juta setara dengan Rp93 juta nilai uang sekarang. Hasil patungan pengusaha kakap tadi. Mereka mendapat saham sesuai dengan porsi setorannya. Hasjim Ning menjadi direktur utamanya. Pemerintah Daerah Jakarta tidak keluar uang sepicis pun. Tetapi sebagai pemegang otoritas Proyek Senen, mereka memperoleh saham 25 persen dalam PT Pembangunan Jaya. Kepemilikan ini tak berlangsung lama. Sebab UU No. 5 Tahun 1962 melarang keterlibatan pemerintah dalam usaha swasta. Pemerintah daerah menyerahkan kembali saham tersebut. Ciputra hanya memegang saham sebanyak tiga persen. Itu pun dari meminjam dana pengusaha lainnya. Saham itu juga masih harus dibagi dengan dua temannya di CV Daja Tjipta. Kepikiran yang Digusur Kekuatan dana awal Pembangunan Jaya sebenarnya tak cukup untuk membiayai Proyek Senen. Ciputra mengusulkan pengalihan dana untuk pembangunan rumah di Slipi, Jakarta Tengah. Sebab jika menunggu uang terkumpul, nilai uang akan tergerus inflasi. Keuntungan dari Proyek Slipi digunakan untuk membiayai Proyek Senen. "Peranan proyek-proyek pembantu adalah efektif untuk kebutuhan keuangan Proyek Senen," catat Soemarno. Proyek Senen mulai bergulir pada 26 April 1964. Warga sekitar dikumpulkan. Pengumuman diberikan. Lahan-lahan akan dibebaskan. Rumah-rumah bakal dihancurkan. Ganti rugi segera disiapkan. Toko-toko darurat nantinya didirikan. Bahkan makam-makam pun harus ikut dipindahkan. Ciputra sebagai pemimpin proyek kerap memperoleh kritik warga. Seorang warga datang padanya dan mengaku pensiunan tentara. Dia menodongkan pistol ke Ciputra. Alasannya tidak puas dengan proses ganti rugi. Padahal proses ganti rugi dan pembebasan lahan sepenuhnya urusan pemerintah daerah. “Saya lelah dikritik, Pak,” curhat Ciputra ke Hasjim Ning. Selain kritik, datang pula peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ketegangan merebak di mana-mana. Perekonomian lumpuh. Kerja berhenti sementara. Tapi tahun 1966 menjadi titik balik. Ali Sadikin menjabat gubernur Jakarta. Perekonomian bergeliat lagi. Proyek Senen dimulai kembali. Proyek berjalan cepat. Pasar Senen tampil dengan wajah baru. Sebuah gedung empat lantai dengan luas 28.551 m2. “Jakarta terkesima. Bung Karno dan Bang Ali merasa puas,” kata Ciputra. Ada rasa bangga dalam dirinya. Tapi dia kepikiran juga dengan penduduk yang tergusur. Orang-orang yang marah. Orang-orang yang kehidupannya tak akan pernah sama lagi. “Barangkali ada ratusan keluarga yang kemudian hidupnya menjadi mundur bahkan terpuruk setelah kami paksa pindah. Siapa yang tahu?” kenang Ciputra kepada Alberthiene Endah. Prinsip berbagi kenikmatan tidak selalu berjalan mulus. Ciputra memutuskan mundur dari Proyek Senen dan bertekad hanya kerja sebagai pengembang. Dia memutuskan kerja selanjutnya adalah mencari lahan kosong dan nganggur. Lalu mengubahnya bernilai guna.
- Bunuh Diri Kelas Soegoro Atmoprasodjo
PENJARA Kota Baru, Hollandia (kini Jayapura), 9 Juli 1946. Soegoro Atmoprasodjo dikunjungi oleh muridnya, Frans Kaisiepo dan Corinus Krey. Situasi penjagaan begitu ketat karena Soegoro termasuk tahanan kelas kakap. Beruntung, Frans Kaisiepo bisa melobi seorang penjaga yang sama-sama berasal dari Pulau Biak. “Tak usahlah saya jelaskan bagaimana susahnya untuk bertemu seseorang tahanan yang diberi cap komunis,” tutur Frans Kaisiepo dalam risalahnya berjudul “Irian Barat” yang ditulis di Kokonao pada 1 Oktober 1962. Risalah itu termuat dalam khasanah arsip pribadi Marzuki Arifin No. 383 yang saat ini tersimpan dalam Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pertemuan keduanya berlangsung selama satu jam. Soegoro mewejangi Frans dan Corinus agar bersama teman-temannya yang lain terus berjuang melawan pemerintah Belanda. Di akhir perbincangan, haru menyelimuti pertemuan guru dan murid itu. Menurut Frans, pertemuan hari itu merupakan hari terbesar dalam sejarah Irian (kini Papua). “Waktu bersalam-salaman tak sengaja keluarlah air mata beliau membasahi pipinya,” kenang Frans. Menghantam dari Dalam Menurut Bernarda Meteray, sejarawan Universitas Cendrawasih, Soegoro merupakan bekas tawanan Digoel yang ditunjuk Residen Papua (setara gubernur) Jan Pieter Karel van Eechoud untuk menjadi pengajar sekaligus direktur asrama Sekolah Pamong Praja di Holandia. Pemerintah kolonial bersedia merekrut Soegoro karena kekurangan tenaga pengajar. Sekolah yang dibuka pada 1 Januari 1945 itu mengadakan kursus singkat pamong dan mantri bagi putra-putra asli Papua. Selain Frans dan Corinus, nama-nama lain seperti Marcus Kaisiepo, Lukas Rumkorem, Lisias Rumbiak, Nicolaas Jouwe, Marthen Indey, Silas Papare, Baldus Mofu, O Manupapami, dan Herman Wajoi merupakan siswa di sekolah yang sama. Mereka adalah elit terdidik Papua generasi pertama yang berhubungan langsung dengan Soegoro. “Soegoro adalah orang Indonesia pertama yang berperan besar memengaruhi orang Papua menentang Belanda sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,” tulis Bernarda dalam disertasinya yang dibukukan Nasionalisme Ganda Orang Papua . Sebagai seorang guru, Soegoro berkesempatan mengajarkan sejarah dan budaya Indonesia. Salah satu cara yang dilakukan Soegoro adalah dengan mengajarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya . Dalam berbagai diskusi, Soegoro mengajak para siswanya untuk berpikir bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia. Dia menggambarkan Indonesia sebagai bangsa multikultur sebagaimana Papua yang terdiri dari banyak suku. Soegoro juga berusaha meyakinkan muridnya bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku memerlukan persatuan untuk menentang Belanda. Sebagai pegawai pemerintah Belanda, Soegoro adalah bagian kelas priyayi yang memiliki kesempatan untuk hidup enak dan tenang di bawah bayang kolonial. Tapi dia melewatkannya dan malah melakukan bunuh diri kelas dengan melakukan pemberontakan. Sejak tanggal 31 Agustus 1945, Soegoro menghimpun para muridnya yang terpercaya. Dia juga menjalin kontak dengan ratusan mantan tentara Heiho yang berasal dari Sumatra dan Jawa. Bernarda mencatat Soegoro akan melancarkan aksi pada 15 dan 16 Desember 1945. Sementara dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare yang disusun tim Depdikbud menyebut rencana pemberontakan Soegoro akan dilaksanakan pada hari Natal 25 Desember. Nahas bagi Soegoro, rencana pemberontakannya keburu bocor. Pemerintah Belanda segera bereaksi dengan mendatangkan pasukan dari Rabaul (kini Papua Nugini). Di Hollandia terjadi penangkapan besar-besaran. Soegoro sendiri ikut kena ringkus bersama beberapa muridnya. “Sebagai penanggung jawab dalam rencana ini, maka sebagai tertuduh adalah Marthen Indey, Silas Papare, dan Soegoro Atmoprasodjo dijatuhi hukuman penjara, sedangkan anggota lainnya dibebaskan dari tuduhan,” tulis Onnie Lumintang, Pius Suryo Haryono, Restu Gunawan, dan Dwi Ratna Nurhajirini dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare. Soegoro dicurigai terlibat dalam pencurian senjata di depot tentara. Bentrokan yang terjadi antara pihak pemerintah melalui kompi orang-orang Manado dengann pemberontak menyebabkan jatuhnya korban dan orang luka-luka yang tidak perlu. Kejadian ini jelas bikin kecewa van Eechoud yang kadung menggadang Seogoro sebagai anak emasnya. “Bagi dia hal ini secara khusus menyakitkan, karena kecurigaan terkuat ditujukan kepada anak emasnya, Seogoro, seorang mantan Digoel, yang sangat ia percayai,” tulis sejarawan Belanda, Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Doyan Melawan Meski meringkuk dalam jeruji besi, Soegoro belum jera melawan. Pada Juli 1946, pemberontakan kembali dirancang. Mereka yang terlibat antara lain: Marthen Indey, Corinus Krey, Bastian Tauran, 11 orang Ambon yang bekerja sebagai tukang reparasi, tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), anggota Batalyon Papua, dan 30 pemuda Papua yang berasal dari sekitar Danau Sentani. Rencananya, aksi ini dimulai dengan membebaskan Soegoro dan tahanan lainnya dari penjara. Setelah itu, kelompok ini akan menyerbu dan membunuh semua orang Eropa di Hollandia. Lagi-lagi Soegoro gagal. Seturut penelitian Bernarda, ada anggota batalyon yang menginformasikan kepada pemerintah bahwa tentara KNIL yang beragama Islam hendak menyerang warga Hollandia yang beragama Kristen pada hari Natal. Alih-alih dibebaskan, Soegoro tetap mendekam di penjara dan menjalani interogasi. Menurut Suyatno Hadinoto, pengadilan mendakwa bersalah Soegoro dan memvonisnya hukuman mati. Soegoro sempat mengirim pesan kepada istrinya untuk bercerai. Keputusan itu diambil Soogoro karena tidak ingin menyusahkan sang istri. “Ia perlu menceraikan istrinya dulu dengan harapan istrinya dapat suami baru, sehingga kepergiannya tidak meninggalkan penderitaan bagi pihak lain, juga istrinya,” tulis Suyatno dalam Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat. Dari Hollandia, Soegoro dipindahkan ke Penjara Tanah Merah, di Merauke. Terhadap nasib Soegoro, pemerintah Indonesia akhirnya campur tangan juga. Lobi dari pihak Jakarta pada 9 Desember 1947 meringankan hukuman terhadap Soegoro menjadi 14 tahun penjara. Belum lagi rampung menjalani masa kurungan, Soegoro berhasil kabur dari penjara. Bermodalkan seekor kuda yang diberikan penduduk, Soegoro meloloskan diri dari kejaran tentara NICA, termasuk dengan cara nyebur ke rawa-rawa Sungai Digoel yang terkenal dengan keganasan buayanya. Soegoro terus melanjutkan pelariannya ke Papua Nugini sampai Australia. Di Melbourne, Soegoro diterima oleh rekan seperjuangannya Mohamad Bondan , sekretaris jenderal Central Komite Indonesia Merdeka (CENKIM) yang juga mantan Digulis. Hingga pada 1950, Soegoro berhasil kembali ke Jawa. Soegoro gagal total dalam melancarkan pemberontakan kepada Belanda. Kendati demikian, sebagai seorang pengkader, dia merupakan pejuang yang cukup berhasil. Sebagian dari murid-muridnya berperan penting bagi Indonesia di kemudian hari. Dari 4 pahlawan nasional asal Papua, 2 diantaranya ialah murid Soegoro. Mereka antara lain Frans Kaisiepo dan Marthen Indey. Frans Kaisepo bahkan menjadi gubernur Papua (masih bernama Irian Barat) pasca integrasi yang menjabat periode 1964—1973. Pemerintah Indonesia menobatkan Frans dan Marthen sebagai pahlawan nasional pada 1993.
- DNA dan Keragaman Manusia
PERNYATAAN seorang milenial yang tengah go-international, Agnes Monica alias Agnez Mo, bikin geger. Dia menyatakan tak punya darah Indonesia dalam sebuah wawancara. Kendati esensi pernyataannya tidak salah, cara penyampaian Agnes akhirnya disalahpersepsikan. Sejarawan Bonnie Triyana menyatakan, secara biologis tidak ada yang namanya gen maupun DNA orang Indonesia. Indonesia adalah konsep nation-state dari sebuah wilayah yang pernah jadi jalur perlintasan empat gelombang migrasi nenek moyang manusia dari Afrika. Secara ilmiah, gelombang migrasi itu dijabarkan dalam teori “Out of Africa”. Maka, menilik hasil dari proyek tes DNA yang digarap Historia.id bersama Kemendikbud RI dalam Pameran Asal Usul Orang Indonesia , sebanyak 16 relawan yang dites punya sebaran asal-usul gen dan DNA yang beragam. Nah, apa itu DNA? Apa bedanya dengan genetika, ras, atau etnis? Dalam beragam literatur ilmiah, DNA ( Deoxyribonucleic acid ) atau Asam deoksiribonukleat adalah sebuah molekul yang menjadi penyusun utama setiap makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan. Dr. Ryu Hasan menerangkan A-Z perihal genetika dan DNA yang terkandung di tubuh manusia (Foto: Fernando Randy/Historia) Menurut pakar neurogenetika dan biologi molekuler dr. Roslan Yusni Hasan atau biasa disapa Ryu Hasan, DNA itu semacam kode genetik dalam tubuh makhluk hidup, termasuk manusia. Sederhananya ia mengibaratkan DNA adalah unsur terkecil dari sebuah buku besar catatan diri manusia yang namanya genom. “Genom/buku ini terdiri dari 23 bab yang namanya kromosom. Tiap bab/kromosom terdiri dari ribuan cerita/gen. Nah, gen disusun oleh paragraf-paragraf yang namanya exon dan intron . Exon ibarat cerita utama dan intron adalah iklan namun sama-sama penting. Tiap paragraf/ exon dan intron disusun oleh kata yang namanya codon. Setiap kata/ codon disusun oleh yang namanya basa. Ya A,C,G,T ( adenine , cytosine , guanine , thymine ) itu. Setiap kata itu awalnya disebut RNA dan kemudian menjadi DNA,” ujar Ryu Hasan dalam perbincangannya dengan Historia. Ilmuwan pertama yang meneliti tentang DNA itu sendiri terurut ke belakang dari penemuan ahli fisika Swiss Friedrich Miescher pada 1869. Dalam “Discovering DNA: Friedrich Miescher and the Early Years of Nucleic acid Research”, dimuat dalam Human Genetics , R. Dahm menyebut Miescher lebih dulu mengisolasi molekul asam nukleat dari sebuah perban bekas operasi. Seiring waktu, sejumlah ilmuwan lain mengembangkan temuan itu, dari pengisolasian RNA (Ribonucleic acid) hingga DNA. Setelah Miescher, pada 1909 Phoebus Levene mengidentifikasi basa, senyawa gula, dan senyawa nukleat fosfor dari RNA. Dua dekade berselang (1929) ia juga yang mengidentifikasi senyawa gula deoxyribose hingga menjadikannya DNA. Pada 1933, Jean Brachet menemukan inti sel nucleus dalam DNA. Empat tahun berselang, William Astbury menemukan DNA memiliki struktur reguler lewat penguraian melalui x-ray . “Penampakan” DNA yang dikristalisasi pertamakali lewat foto x-ray diambil pertamakali oleh Raymond Gosling pada 1952, dinamakan Photo 51, di mana foto itu diakui sebagai model pertama DNA dengan struktur double-helix. “Yang pertamakali ditemukan itu adanya RNA. Lalu DNA yang digunakan para ahli sampai sekarang karena (strukturnya) lebih stabil daripada RNA. Lalu pemetaan genom manusia konkret dibuat pertamakali secara lengkap itu baru 26 Juni 2000,” sambung Ryu. Yang dimaksud Ryu adalah “Human Genome Project” yang digarap International Human Genome Sequencing Consortium. Perampungannya baru diumumkan kepada publik pada 14 April 2003. Sejak itulah mulai ramai institusi riset biologi “menawarkan” program-program tes DNA. Mengapa Manusia Berbeda-beda? Intisari tes DNA yang digarap Historia.id dan Kemendikbud adalah, menggambarkan bahwa manusia Indonesia punya asal-usul DNA yang sangat beragam. Itu terkait dengan empat gelombang migrasi “Out of Africa” puluhan ribu tahun silam, merujuk pada teori Homo sapiens alias manusia modern pertama berasal dari bagian timur Afrika yang diperkirakan sudah eksis antara 300-200 ribu tahun lalu. “Dari situ muncul pembagian dua populasi yang punya sejarah panjang 200 ribu tahun lalu. Yaitu orang-orang yang sekarang jadi suku Khoisan dan Pigmi. Baru sekitar 60 ribu tahun lalu Homo sapiens yang keluar dari Afrika menyebar ke banyak wilayah. Bahkan 50 ribu tahun lalu sudah ada yang mencapai Australia. Lalu sekitar 45 ribu tahun lalu sudah ada yang di Siberia. Dan, butuh sekitar 30 ribu tahun kemudian yang di Siberia itu menyebar ke Amerika Selatan,” lanjut Ryu. Seiring waktu, lantaran faktor lingkungan tempat para manusia modern itu tinggal, tampilan fisik mereka berubah hingga akhirnya menjadikan manusia di segenap bumi punya rupa yang berbeda-beda. Manusia di Eropa berkulit putih, di Amerika (suku asli Indian) berkulit kemerahan, di Asia berkulit kuning dan coklat, dan di Afrika yang tetap berkulit hitam. Tapi, lanjut Ryu, gen pembawa kulit terang sudah ada di orang-orang Afrika kulit hitam ratusan ribu tahun lalu itu. “Jadi gen dan DNA itu sendiri tidak bicara apa-apa tentang perbedaan. Ada yang namanya gen untuk orang kulit terang, itu SLC24A5, yang terdiri dari sekitar 20 ribu pasang basa dan kode genetik. Cuma satu bedanya. Yang (manusia) berkulit terang itu bermutasi sesuai lingkungannya. Itu saja. Kode mutasinya hanya berubah dari A jadi G. Satu huruf itu yang membedakan seseorang berkulit terang dan gelap. Hanya mutasi kecil saja,” terangnya. Perihal genetik, DNA, serta Teori Out of Africa itu sontak “menggugurkan” teori ras yang dipaparkan ilmuwan Amerika Samuel Morton pada 1839 lewat risetnya yang dibukukan, Crania Americana. Teori itu menyatakan manusia diciptakan berbeda-beda berdasarkan ras: Kaukasia, Mongoloid, Indian-Amerika, Melayu (Asia Tenggara), dan Negroid (Afrika). “Morton itu ‘Bapak Rasialis’. Setelah ada teori baru tentang evolusi, kemudian genetika, semua (ide teori ras) itu salah. Manusia pertama ya dari Afrika. Bicara perbedaan misalnya orang Denmark dan orang Bantul, itu sama saja seperti orang Bantul dengan orang Kulonprogo – secara genetik enggak ada beda. Ekspresi (penampilan fisik) berbeda tergantung adaptasi lingkungan.” Oleh karena itu, lebih jauh, konsep pribumi dan non-pribumi pun gugur. Secara genetik dan DNA, tidak ada orang Indonesia yang disebut pribumi. Gagasan itu sekadar dampak dari situasi sosial-politis yang ada di masing-masing wilayah bumi. “Kalau disebut pribumi, ya kita semua pribumi. Bumi ini punya kita. Sekarang gini, apa bedanya pribumi Sunda dan Jawa? Batasnya di mana? Siapa yang membatasi? Nah, politis itu. Kita semua pendatang kok. Bahkan Homo erectus saja ditemukan Eugène Dubois di Trinil, di mana dia sudah ada sebelum Homo sapiens , itu juga pendatang,” tandas Ryu.






















