top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Menguak Sisi Lain Freeport

    PT Freeport Indonesia (PTFI) punya sederet reputasi buruk. Perusahaan asal Amerika ini dikenal sebagai "penjarah" kekayaan alam di Papua lewat eksploitasi pertambangan. Selama setengah abad lebih beroperasi, Freeport terus mendulang laba. Sementara itu, kontribusi bagi masyarakat Papua sebagai tuan rumah tidak begitu kentara. Berbagai media asing bahkan membubuhkan predikat “ number one public enemy ” kepada Freeport. Benarkah demikian? “Sangat tidak masuk akal bila PTFI yang dianggap sebagai VOC, neokolonialisme dan lain-lain, predikat buruk melekat di dalamnya, tetapi dapat bertahan lebih dari 50 tahun,” kata Marsekal (Purn.) Chappy Hakim dalam peluncuran bukunya Freeport: Catatan Pribadi Chappy Hakim di Perpustakaan Nasional RI, 28 Oktober 2019. Chappy pernah menjabat Kepala Staf AU (KSAU) periode 2002-2005. Pada 2016, pemerintah Indonesia dan Presiden Direktur Freeport McMoran Richard C. Akerson menunjuk Chappy sebagai presiden direktur PTFI. Ketika menduduki jabatan eksekutif tertinggi, Chappy memikul beban untuk menambal sejumlah “bopeng” di wajah PTFI. Namun tidak lama Chappy menjabat presiden direktur karena mengundurkan diri pada 2017. Ini terjadi setelah pemerintah mengeluarkan peraturan (PP No. 1 tahun 2017) yang mengharuskan PTFI menghentikan kegiatannya di Papua. Peluncuran buku Freeport: Catatan Pribadi Chappy Hakim  di auditorium Perpustakaan Nasional. (Martin Sitompul/Historia.ID). Mengubah Citra “Penjarah” Dalam catatan pribadinya, Chappy meluruskan banyak hal tentang Freeport. Menurutnya pegunungan Grasberg yang jadi basis utama eksploitasi PTFI bukanlah tambang emas, melainkan tambang tembaga dengan kandungan emas dan perak terbesar di dunia. Soal komposisi tenaga kerja, Chappy mencatat PTFI memperkerjakan lebih kurang 99 persen orang Indonesia yang 36 persennya adalah putra daerah asal Papua. Hanya 1 persen yang ekspatriat. Tidak seperti kebanyakan perusahaan milik negara (BUMN), Chappy mengatakan bahwa PTFI bersih dari kelakuan korupsi.   “Selama 50 tahun lebih tidak pernah ada skandal korupsi di Freeport, salah satu penyebabnya adalah sistem manajamen dan pengawasan yang sangat ketat,” ujar Chappy. Chappy mencatat, sejak 1996, PTFI telah menggelontorkan Rp9,1 trilyun untuk masyarakat setempat yang bermukim dekat lokasi penambangan. Investasi yang tidak banyak terekspose ke publik ini meliputi pembangunan Kota Kuala Kencana sebagai percontohan kawasan bebas penyakit malaria, infrastruktur (darat dan udara) di Tembagapura dan Mimika. Dalam pengembangan sumber daya manusia, PTFI membangun berbagai fasilitas sekolah, fasilitas kesehatan. PTFI juga mensponsori klub sepak bola Persipura dan membangun kompleks olahraga Mimika Sport Complex yang dipersiapkan untuk PON 2020.    Menurut Chappy seandainya pun PTFI tidak beroperasi, pegunungan Grasberg yang sulit dijangkau ini hanyalah kawasan hampa manusia. Pemerintah Indonesia belum tentu punya modal dan kemampuan untuk mengolahnya. “Freeport tidak bermasalah,” kata Chappy merujuk sistem manajemen maupun tata kelola internal, “yang bermasalah itu orang-orang yang ada di rumah kita sendiri.” Dalam hal ini, Chappy merujuk kasus “Papa Minta Saham” pada 2015 yang menyeret nama Setya Novanto, ketua DPR saat itu.   “Kalau melihat sejarah masuknya PTFI ini banyak menimbulkan pertanyan-pertanyaan yang tidak pernah terjawab dan jawaban-jawaban itu –sesuai dengan kreativitas kita– banyak sekali. Itulah sebabnya kemudian ia menjadi number one public enemy, ” kata Chappy. Kiri-kanan: Ninok Laksono, Chappy Hakim, Gayus Lumbuun, dan Jaya Suprana. (Martin Sitompul/Historia.ID). Terlanjur Buruk Sepak terjang Freeport dalam catatan Chappy Hakim menuai berbagai tanggapan. Kehadiran Freeport di Indonesia berkaitan sekali dengan persoalan memori di masa lalu. Sederet reputasi buruk yang melekat pada Freeport melalui proses yang begitu panjang. Perlu diingat, kedatangan Freeport ke Indonesia merupakan undangan dari pemerintah Orde Baru yang saat itu berkuasa. Wartawan senior Ninok Laksono mengatakan, nama Freeport tidak dapat terlepas dari citra perambah kekayaan alam Papua demi untung sebesar-besarnya. Belum lagi isu ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan sebagai dampak yang ditimbulkan dari kegiatan eksplorasi. Pada 1980-an, Ninok menyaksikan kejomplangan yang terjadi antara orang Papua yang masih tidak berpakaian sementara di komplek permukiman pekerja Freeport di Tembagapura dibangun laiknya kota Amerika. “Bagaikan langit dan bumi,” kata Ninok. Menurut Ninok berbicara mengenai Freeport maka merujuk bagaimana sejarah masuknya ke Indonesia. Freeport merupakan perusahaan asing pertama yang digandeng rezim Orde Baru lewat Undang-Undang Penamanan Modal tahun 1967. Sejak itulah malai Freeport mengeruk isi gunung tembaga di Grasberg. “Ini terjadi karena di satu sisi kita membangun resources untuk pembangunan yang dicanangkan Presiden Soeharto tapi tidak memiliki dana dan teknologi. Jadi, win-win nya itu diberikan kesempatan kepada investor asing untuk mengolah sumber daya kita. Memang masa itu, dan masa berikutnya kita tidak mengerti persislah,” kata Ninok. Citra yang sama turut dirasakan budayawan Jaya Suprana. Menurut pendiri  Museum Rekor Indonesia (MURI) ini, Freeport tidak ubahnya seperti perampok yang menggerogoti kekayaan alam di Papua. “Sangat buruk,” katanya. Kendati demikian, Jaya juga secara adil menyatakan kesan positifnya terhadap kontribusi Freeport, terutama dalam mendukung keanekaragaman beragama. “Satu-satunya mesjid dan gereja di dalam tambang di bawah tanah di dunia itu hanya ada di Freeport. Itu kan makanannya Museum Rekor Indonesia,” ujar Jaya, “saya perlu meletakan itu bukan untuk memberikan nilai tapi memberi penjelasan kepada masyarakat Indonesia apa sebenarnya Freeport ini.”    Sementara itu, ekonom Kwik Kian Gie menegaskan Freeport menangguk untung yang sangat besar selama beroperasi di Papua. Dia pun mengakui tidak ada korupsi di perusahaan raksasa itu. Tapi Kwik yang pernah jadi menteri koordinator ekonomi di era Megawati itu menutup uraiannya dengan sebuah tanya. “Kalau kita melihat Konferensi Jenewa tahun 1967 –yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia– apakah tidak ada corruption of mind di sana yang menimbulkan berbagai pertentangan dan perdebatan?”*

  • Jalan Panjang Indonesia Raya

    “KALAU bangsa Belanda punya lagu kebangsaan Wilhelmus , mengapa Indonesia belum punya. Sebab itu sekarang saya sedang mulai mengarang lagu dan saya beritahukan juga kepada bapak dan saudara-saudaraku untuk mendapat restunya,” kata Wage Rudolf Supratman kepada Oerip Kasansengari, kakak iparnya, pada pertengahan 1926. Rupanya waktu itu Supratman tengah terusik dengan sebuah kalimat dalam artikel majalah Timbul . “Alangkah baiknya kalau ada salah seorang dari pemuda Indonesia yang bisa menciptakan lagu kebangsaan Indonesia, sebab lain-lain bangsa semua telah memiliki lagu kebangsaannya masing-masing!” tulis majalah Timbul . Sebenarnya saat itu sudah ada lagu Dari Barat Sampai ke Timur sebagai lagu kaum pergerakan. Tetapi, menurut Supratman, lagu itu belum mengesankan dan menggugah semangat berjuang. Ide membikin lagu kebangsaan yang bukan sekadar lagu pergerakan pun muncul. Hasrat Supratman untuk menggubah lagu kebangsaan kemudian semakin bertambah setelah tersiar berita dari Indonesische Studieclub yang dipimpin Sukarno, bahwa perlu adanya segera lagu nasional. Menurut Bondan Winarno dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya , dalam proses menggubah lagu ini Supratman dibantu Theo Pangemanan, tokoh kepanduan yang mahir bermusik. Ketika nadanya telah tercipta, dia langsung menetapkan judul Indonesia  untuk lagu ini. Sementara itu, liriknya mengambil inspirasi dari jargon dan ungkapan aktivis pergerakan yang akrab didengarnya dalam percakapan-percakapan di Gang Kramat. Berkumandang Kali Pertama Pada 1928, para pemuda pergerakan tengah sibuk mempersiapkan Kongres Pemuda II. Supratman kemudian menulis surat kepada panitia guna memperkenalkan lagunya dan untuk diperdengarkan dalam kongres. Gayung bersambut, panitia mengizinkan lagu itu diperdengarkan dalam penutupan kongres. Kongres Pemuda II pun digelar di rumah milik Sie Kong Liong, Jalan Kramat Raya 106 Jakarta. Supratman membawakan lagu itu dengan biolanya usai sidang pleno ketiga. Penampilannya mendapat sambutan hangat peserta kongres dan meminta lagu itu dinyayikan beserta liriknya. “Hadirin segera senang dengan lagu itu dan minta diulang. Dolly, salah satu gadis remaja, putri sulung Haji Agus Salim, menyanyikan lirik lagu tersebut,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Historie Indonesia Jilid 2 . Pada momen itu, untuk pertama kalinya lagu Indonesia  diperbolehkan dengan catatan tanpa lirik “Merdeka…Merdeka”. Supratman menggubah lirik asli yang mencantumkan kata “merdeka” dengan kata “mulia.” Maka, sambil berdiri di atas kursi, dengan suara lantang Dolly Salim berseru, “Indones… Indones… mulia… mulia!” Para peserta kongres pun menyayikannya bersama. Pada 10 November 1928, untuk pertama kalinya lagu Indonesia  dipublikasikan dalam surat kabar. Surat kabar berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin Po , memuat lagu dan notasi Indonesia Raya  pada edisi No. 293. Selain mencetak, Supratman juga meminta Sin Po  untuk menjual dalam bentuk partitur lepas. Padahal, pemuatan maupun percetakan lagu Indonesia  melanggar aturan pemerintah kolonial Belanda. Pengusaha rokok kretek Moro Seneng di Tulungagung, Jawa Timur, juga memuat utuh syair lagu dalam buku peringatan lima tahun perusahaan kreteknya. Tak hanya itu, Supratman juga menyebarluaskan lagunya dalam bentuk piringan hitam. Dia meminta bantuan temannya, Yo Kim Tjan, yang berhasil mencetaknya dalam piringan hitam. Lagu Indonesia  lalu menjadi lagu wajib yang hampir selalu dinyanyikan di setiap pertemuan-pertemuan organisasi. Seiring dengan kian populernya lagu itu di kalangan aktivis pergerakan, Supratman berinisiatif untuk mengubah judulnya. Tidak terlalu terang alasannya, lagu itu kemudian berjudul Indonesia Raya . “Wage Rudolf Supratman menerbitkan sendiri naskah lagu Indonesia Raya  itu dalam cetakan rapi yang berjumlah lebih dari seribu lembar. Semua sahabat dan kenalannya, diberinya dengan cuma-cuma. Sebagian besar lainnya, dijual dengan harga dua puluh sen. Dalam waktu singkat saja, sudah terjual habis,” tulis Sularto dalam Wage Rudolf Supratman . Lagu Kebangsaan Sejak diterima Kongres Pemuda, Indonesia Raya  biasa dinyanyikan dalam pembukaan sidang partai-partai politik. Misalnya pada konges kedua Partai Nasional Indonesia (PNI) di Jakarta, 18-20 Desember 1929. Untuk memeriahkan kongres, Supratman diminta memperdengarkan lagu Indonesia Raya  dengan gesekan biolanya bersama suatu orkes. Ketika lagu kebangsaan itu hendak dimulai, Sukarno selaku ketua PNI, meminta hadirin berdiri, untuk menghormat lagu Indonesia Raya .   “Sejak itu hingga pada saat ini dan seterusnya apabila lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan, maka selalu dihormati dan dinyanyikan dengan berdiri,” tulis Oerip Kasansengari dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja . Kongres PNI juga menetapkan Indonesia Raya  sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Penetapan ini dikukuhkan dalam Kongres Rakyat Indonesia yang digelar Gabungan Politik Indonesia (Gapi) pada Desember 1939. Selain itu, Kongres juga menetapkan bendera Merah Putih sebagai bendera nasional dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Pada masa pendudukan Jepang, lagu Indonesia Raya  sempat bebas berkumandang. Namun tak berapa lama, setelah Maret 1942, lagu ini dilarang keras diperdengarkan dan dinyayikan. Radio Tokyo yang sebelumnya pada awal dan akhir siaran selalu memperdengarkan lagu Indonesia Raya  juga menghentikannya. Pada 1944, tokoh-tokoh Indonesia diizinkan membentuk Panitia Lagu Kebangsaan. Mereka melakukan beberapa perubahan musikal serta susunan kata-kata syair lagu tanpa mengubah struktur, komposisi, dan tema. Pasca kemerdekaan, tepatnya pada akhir tahun 1950, Jusuf Ronodipuro, kepala RRI studio Jakarta, meminta Jos Cleber, perantau asal Belanda, seorang pemain violin, trombon dan arranger  musik yang piawai, menggubah partitur lagu Indonesia Raya  untuk orkes filharmoni. Saat itu lagu Indonesia Raya yang dipakai masih merupakan hasil garapan Nobuo Ida, direktur Jakarta Hoso Kyoku pada zaman Jepang. Tahun 1951, Cleber merampungkan aransemen baru Indonesia Raya  dengan perekaman yang dibantu 140 pemusik gabungan dari ketiga orkes RRI serta menggunakan mikrofon Westrex dan tape recorder Philips. Menurut Bondan, hasil aransemen Cleber diperdengarkan kepada Presiden Sukarno. Di sini muncul perdebatan antara Sukarno dan Cleber. Cleber pun merevisi aransemennya. Revisi kedua kembali dibawa ke hadapan Sukarno. “Harus ada bagian yang lieflijk , yaitu bagian sebelum refrain . Refrain -nya sendiri harus meledak dan menciptakan klimaks,” kata Sukarno. Cleber merevisinya sekali lagi dan kali ini, dia bisa menebak tepat keinginan Sukarno. Revisi ketiga ini disukai Sukarno tanpa perubahan lagi. Versi inilah yang kemudian dipakai hingga hari ini.*

  • Sengkarut Sengketa Stadion Andi Mattalatta

    HOMEBASE untuk klub-klub besar Indonesia sudah sewajarnya punya penampakan megah dan berstandar internasional sebagai wajah sepakbola yang dibanggakan. Persija punya Stadion Utama Gelora Bung Karno atau Stadion Patriot di Bekasi. Persib punya Gelora Bandung Lautan Api atau Stadion Si Jalak Harupat. Sriwijaya FC punya Jakabaring. Persebaya punya Gelora Bung Tomo. Kendati statusnya masih sewa alias bukan milik klub, stadion-stadion megah itu rencananya akan dijadikan bagian dari 10 venue untuk Piala Dunia U-20 tahun 2021. Sayang tak semua klub besar memiliki stadion megah. PSM Makassar contohnya. Stadion Andi Mattalatta yang menjadi homebase -nya sejak lama, kondisinya bikin gerah hati. Sisi muka tribun utama bagian dalam Stadion Andi Mattalatta-Mattoanging (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Selain rumput di lingkar luar lapangannya gersang, stadion yang dibangun 1957 itu kondisi bangunannya kusam, tribunnya pun memprihatinkan. Seat di tribun VIP-nya diselimuti debu. Persoalan yang jauh lebih penting, kini stadion yang dulu bernama Mattoanging itu sedang jadi rebutan. Sebagaimana diuraikan di artikel sebelumnya, Stadion Mattoanging dibangun Letkol Andi Mattalatta, panglima Penguasa Perang Daerah (Peperda) Sulawesi Selatan. Pada 1950-an, lokasinya masih dikuasai banyak gerombolan, mulai dari eks-KNIL (Tentara Hindia Belanda) Andi Azis, gerombolan eks-laskar DI/TII Kahar Muzakkar, hingga Permesta. “Dulu di sini sudah ada lapangan. Itu yang sekarang jadi kantor TVRI Sulsel (di sisi timur stadion). Rintisan pertamanya yang mengelola itu Yayasan Stadion Makassar. Tapi kemudian dia kesulitan dana. Lalu banyak juga lahannya diserobot bekas pejuang. Lalu datanglah Andi Mattalatta yang kemudian mengondusifkan situasi di Makassar pada 1957,” tutur Ketua Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS) Andi Karim Beso Manggabarani kepada Historia. Mattalatta membangunnya dengan kocek pribadi sebagai realisasi sistem uitholling, sistem untuk menarik kembali para pemuda yang sebelumnya tergoda ikut gerombolan pengacau. Ia ingin para pemuda itu menyalurkan energinya di bidang olahraga ketimbang jadi pengacau. Puncaknya, Mattalatta mendatangkan Pekan Olahraga Nasional (PON) IV ke sana, 27 September-6 Oktober 1957. Prasasti berdirinya Stadion Mattoanging yang pada 2006 diubah namanya menjadi Stadion Andi Mattalatta (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Namun, Andi Mattalatta tak menasbihkan diri sebagai pemiliknya. Ketika pada 1959 dia melanjutkan pendidikan ke Seskoad, pengelolaan stadion pun diserahkan pada pihak lain. Dalam catatan Andi Mattalatta bertajuk “Asal-Usul Tanah Complex Sarana Olahraga Mattoanging dan Terbentuknya YOSS” tertanggal 10 Juli 2004, tanggungjawab stadion sebelum Andi Mattalatta masuk Seskoad diserahkan ke Ketua Harian Komite Olahraga Indonesia (KOI) Sulawesi Andi Pangerang Pettarani. “Lalu pada 1960-an diserahkan ke provinsi. Ternyata pak Achmad Lamo (Gubernur Sulsel 1966-1978) enggak ada jiwa olahraganya. Dia kasih urus DORI (Dewan Olahraga RI, kini KONI) Sulsel. Stadion terbengkala karena DORI tak punya dana. Jadi istilahnya Pak Andi Mattalatta hanya titip. Setelah pulang sekolah (Seskoad) saya ambil alih,” lanjut Andi Karim. Maka setelah pulang ke Makassar pada 1971, Mattalatta terkejut. Selain stadion dan beberapa venue yang ia bangun untuk PON 1957 tak terurus KONI, dia juga mendapati venue kolam renang dialihfungsikan menjadi bioskop. “ Sintel-baan (trek lari/atletik) stadion telah dibongkar, diganti dengan sintebaan batu-bata. Saluran air lapangan pecah-pecah akibat sering dibuat apel persenjataan dan panser-panser berat. Ruangan penampungan atlet dijadikan tempat tinggal pegawai KONI dan keluarganya,” tulis Mattalatta. Mayjen (Purn) Andi Mattalatta yang membangun Stadion Mattoanging sejak 1957 (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Pengelolaan stadion pun diambil kembali oleh Mattalatta dari gubernur. Setelah Mattalatta jadi ketua KONI Sulsel, ia mencanangkan pendirian yayasan pengelola kompleks olahraga Mattoanging. Meski sudah direncanakan pada 1979, baru pada 1982 YOSS berdiri lewat Akta Notaris Nomor 146, tertanggal Ujung Padang, 22 Januari 1982. Serah-terimanya dari KONI Sulsel ke YOSS lewat Keputusan Rapat Paripurna KONI Sulsel XIV Nomor 02 tahun 1984. “Karena sebelumnya KONI juga anggarannya terbatas. Kalau dibentuk yayasan, bisa bergerak mencari kerjasama. Sejak itu kita juga mendanai semua pemeliharaan, tidak memakai dana APBD. Kalau dibilang ini (stadion) jelek, kenapa pemda tidak mau kasih dana?” sambung Andi Karim. Pengesahannya diperkuat Berita Acara Serahterima Nomor 055 tahun 1985 yang juga ditandatangani Gubernur Sulsel Achmad Amiruddin. Sejak itu, YOSS pengelola Stadion Mattoanging yang sah. “Pak Andi Mattalatta juga sudah terbitkan ini gedung olahraga dan stadion, surat ukur tanah tahun 1986,” imbuhnya. Awal-mula jadi Rebutan Lokasi stadion yang terletak di kawasan ramai itu menarik banyak pihak untuk menguasainya. Pada 1992, seorang konglomerat via PT. Asindo Griyatama berupaya memilikinya guna dijadikan kawasan bisnis. Mengutip Pedoman Rakyat , 30 Juli 1993, perusahaan itu ingin membeli lahan stadion senilai Rp17 miliar dan untuk gantinya, mereka akan menyediakan stadion anyar di Sudiang. Hal itu terjadi lantaran pada 1992 terjadi ketegangan antara YOSS dan Pemprov Sulsel. Pemprov mengklaim kawasan stadion adalah asetnya dan hendak menjualnya ke pihak swasta tersebut. Landasan hukumnya, konon pemprov membuatkan sertifkat palsu. Rencana tukar-guling itu bahkan disebutkan sudah lewat persetujuan DPRD Sulsel. Namun pada akhirnya rencana itu batal. “Andi Mattalatta melapor lewat surat pribadinya ke Presiden RI (Soeharto), Ketua BPK M. Jusuf, dan Mendagri Rudini. Surat beliau itulah barangkali yang membuat upaya transaksi itu tak berkelanjutan,” terang anggota Dewan Pembina YOSS M. Arief Wangsa dalam catatannya bertanggal 24 November 2004 bertajuk “YOSS Pasca Andi Mattalatta, Gelora Perjuangan dan Gelora Andi Mattalatta. Masalahnya, banyak pihak merasa kondisi stadion tak dipelihara YOSS sebagaimana mestinya. Kondisi stadion yang memprihatinkan jadi buktinya. Puncaknya, PSM Makassar tak lolos verifikasi untuk mendapatkan lisensi guna berlaga di AFC Cup 2017 akibat stadion tak memenuhi standar AFF dan AFC. “AFC Licensing itu memberi gambaran yang sangat jelas seperti apa tatanan pengelolaan sepakbola. Padahal saat itu kami mendapat tiket AFC karena finis nomor tiga (klasemen liga),” ujar CEO PSM Munafri Arifuddin kepada Historia. Pengusaha yang akrab disapa Appi itu menyatakan klub sudah berulangkali melakukan pendekatan pada YOSS, sejak klub masih dipegang Nurdin Halid. “Dari berapa tahun lalu sudah dibicarakan. Tapi ini tidak bisa karena secara internal antara YOSS dengan Pemprov belum selesai persoalannya. Selama ini kami mendandani sendiri (stadion). Itulah yang terjadi. Kalau kita tak berbuat, jangankan berpikir standar internasional, standar Liga 1 saja mungkin tidak bisa kita laksanakan di sini,” lanjutnya. CEO PSM Makassar Munafri Arifuddin (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Sekjen Macz Man (basis suporter terbesar PSM) Mustafa Amri menyatakan, dia bersama manajemen klub mencoba menawarkan klub mengambil alih pengelolaan agar stadion bisa direnovasi menjadi stadion yang bisa dibanggakan. “Saya ke anaknya Pak (Sadikin) Aksa, dia (Erwin Aksa) bilang sama saya: ‘Sampaikan ke YOSS, berapa dalam setahun yang bersumber dari stadion. Kalau misal dalam setahun Rp1 miliar, saya bisa berikan dia Rp2 miliar untuk saya kelola.’ Saya temui (pembina YOSS) Ilham Mattalatta. Saya sampaikan begitu, dia tidak mau,” kata Mustafa menimpali. Alhasil, Mustafa dan kawan-kawan harus menanggung malu. “Teman-teman suporter lain sampai heran, kenapa tim sekaliber PSM punya stadion kayak gini. Anak-anak Aremania kalau bertandang ke sini bilang, ‘Ini sawah apa stadion?’ Kawan-kawan lain juga bilang ini stadion atau kandang kambing. Mau bagaimana lagi? YOSS sebagai pengelola tidak pernah ada kontribusinya sampai sekarang,” ujarnya. Sengketa Memanas September 2019, sengketa YOSS dengan Pemprov memanas lagi. Pemprov berniat mengusir paksa YOSS dari stadion itu. Sejak Oktober, di depan stadion terpasang papan pengumuman bertuliskan: Tanah Milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 40 Tanggal 1 Oktober 1987. YOSS lantas melayangkan gugatan yang prosesnya sudah sampai Kejati Sulsel. YOSS mensinyalir ada permainan Pemprov dengan mengalihkanStadion Andi Mattalatta menjadi asetnya. Dengan begitu, pemprov bisa menutupi kasus mangkraknya Stadion Barombongyang sudah menghabiskan dana besar dengan dalih dananya untuk revitalisasi Stadion Andi Mattalatta. “Sebenarnya waktu Dirjen Kemendagri tahun 2017 menjabat Plt. gubernur, ditemukan aset pemda kurang lebih 300 mobil dinas tak jelas. Makanya dia minta KPK buka cabang supervisi di Sulsel dan sertifikat aspal dimasukkan sebagai aset (Stadion Andi Mattalatta). Terus ada pihak ketiga yang memanfaatkan situasi ini untuk mengontrak kompleks stadion selama 25 tahun. Ini sebenarnya pengalihan isu pemda yang gagal membangun stadion (Barombong) dua periode sudah habis Rp300 miliar dan belum dipakai sudah roboh,” ujar Andi Karim lagi. Soal klaim Pemprov dengan sertifikat hak pakai tahun 1987 di atas, Andi Karim heran lantaran stadion sudah dibangun Andi Mattalatta sejak jauh sebelum itu dan YOSS sebagai pengelola pun sudah berdiri pada 1982, legalitas lahan pun sudah ada lewat surat ukur tanah tahun 1986. “Kan lucu. Ini barang (stadion) sudah dibangun 1957. Sekarang bicara PSM ingin punya stadion bagus, kenapa dia tidak pakai itu Barombong supaya bisa dilihat buktinya. Nah dia mainkan pers, membalikkan fakta. Apalagi yang kurang di sana? Hampir setahun belum dibentuk pengelolanya. Rumput sudah dibiayai Rp200 juta hancur karena tidak ada pengelola. Jadi dia mau cari yang praktis di tengah kota dan dia tak mau keluar uang, makanya dia manfaatkan pemda.” Ketua YOSS Andi Karim Beso berupaya pertahankan hak pengelolaan Stadion Andi Mattalatta yang disebutkan akan direbut Pemprov Sulses (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Klaim pemda yang disebutkan Andi Karim itu perkaranya bermula dari surat Sekda Sulsel yang berbunyi kawasan stadion dialihfungsikan YOSS yang tidak ada hubungannya dengan olahraga. Andi Karim pun membantah. “Saya tanya, kalau ini aset pemerintah, perlihatkan saya satu lembar bukti saja, ada uang pemda bangun ini aset? Satu rupiah saja. Soal alih fungsi, apa ada buktinya? Justru KONI (Sulsel) dulu tahun 1970 dipihakketigakan jadi bioskop. Lalu sekarang (klaim) gubernur apa hubungannya sama kita? Kan mestinya ada surat dulu dari KONI panggil kita mau ambil ini barang. Baru ke Pemda, lalu ke YOSS. Ini dari prosedurnya saja sudah salah,” cetus salah satu menantu almarhum Andi Mattalatta itu. Soal status sertifikat “hak pakai” yang diklaim Pemprov, Andi Karim kembali membantah. “Ternyata bukan sertifikat hak milik. Hak pakai 25 tahun. Logikanya kalau pemda yang punya ini lahan, kenapa dia terbitkan hak pakai? Ini berarti niatnya sudah lain. Ini pengalihan karena gagal pemerintah yang lalu bangun Barombong,” tandas Andi Karim.

  • Jabatan untuk yang Berjasa

    Pada masa Jawa kuno, penguasa membagi-bagikan jatah kekuasaan adalah hal lumrah. Inilah cara mengganjar mereka yang berjasa mengantarkan dan mempertahankan singgasana kekuasaan. Ninie Sunsati, arkeolog Universitas Indonesia dalam Airlangga Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI menjelaskan, raja berada di puncak hierarki pelapisan sosial. Sebagai balas jasa, seorang raja berhak memberikan hak khusus atau istimewa kepada seseorang atau sekelompok orang. Data prasasti membuktikan daftar hak istimewa sudah ada sejak masa Mpu Sindok, penerus takhta Medang di wilayah Jawa Timur. Catatannya bahkan semakin panjang pada masa Kadiri dan Majapahit.   Lumrahnya anugerah raja berupa hak-hak istimewa, seperti kepemilikan jenis budak tertentu, mendapat status sima, memiliki dayang, dan pengikut seperti raja. Pada perkembangan selanjutnya, hak istimewa dapat berupa gelar kehormatan, hak memakai atribut tertentu, dan hak untuk memiliki model bangunan tertentu. “Kebiasaan menganug e rahi hak-hak istimewa ini dianut dan menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh raja-raja Janggala, Kadiri, dan berlanjut hingga zaman Majapahit,” jelas Ninie. Hal itu nampak paling tidak sejak masa Airlangga, raja di Kahuripan. Tercatat dalam Prasasti Terep (1032), sang raja memberi anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong, seorang bangsawan daerah yang berjasa membantu raja dalam peperangan melawan musuh. Dia terus berdoa kepada Bhatari memohon kemenangan bagi Airlangga. Raja pun memberinya hadiah gelar halu, gelar tertinggi dalam struktur pemerintahan di bawah putra mahkota. Dengan gelar itu, ia dianggap sebagai adik raja. Gelar Rakai Halu biasanya dijabat oleh putra kedua raja atau garis keturunan kedua yang berhak menerima takhta. “Ia mendapat segala hak sebagai adik raja. Namanya menjadi Rakai Halu Dyah Tumambong Mapanji Tumanggala,” jelas Ninie. Seorang lagi yang mendapat hak istimewa adalah Narottama, pengikut setia Airlangga sejak sebelum naik takhta. Ceritanya, saat usia 16 tahun, Airlangga dikirim dari Bali ke Jawa untuk menikah dengan putri Dharmmawangsa Tguh, penguasa Medang keempat setelah Mpu Sindok. Namun, sebagaimana berita dalam Prasasti Pucangan (1041), tak lama setelah pesta perkawinan, ibukota kerajaan diserbu raja bawahan bernama Wurawari. Istana pun hancur. Sang putri bersama Dharmawangsa Tguh gugur dalam peperangan itu. Airlangga berhasil melarikan diri dengan ditemani abdi setianya, Narottama. Dua tahun sejak kematian Dharmawangsa Tguh, yaitu pada 1019, berdasarkan prasasti yang sama Airlangga pun naik takhta. Sejak 1030, Narottama disebut dalam Prasasti Baru sebagai pejabat tinggi kerajaan yang melaksanakan perintah raja. Gelarnya Rakai Kanuruhan. Dua tahun kemudian , dalam Prasasti Terep, Narottama naik pangkat menjadi penerima perintah raja yang menggantikan kedudukan putra mahkota. Tiga tahun kemudian, dalam Prasasti Turunhyang A, Narottama kembali menerima kedudukan sebagai pejabat pelaksana perintah raja. Dari gelarnya, Rakai Kanuruhan, bisa diketahui kalau ia adalah penguasa wilayah Kanuruhan. “Tentu saja raja telah menghadiahkan watak Kanuruhan kepada Narottama,” kata Ninie. Balas budi juga dilakukan oleh Ken Angrok setelah ia berhasil duduk di takhta Tumapel (Singhasari). Pararaton berkisah, Ken Angrok membantu semua orang yang pernah menolongnyadulu ketika masih dirundung malang. Yang terpenting adalah Bango Samparan, ayah angkat yang mengurusnya. Lalu ada pendeta di Turyantapada, Mpu Palot yang membagi Ken Angrok keahlian pengrajin emas. Bahkan Ken Angrok membantu anak-anak Mpu Gandring, pandai besi di Lulumbang yang dia bunuh. “Seratus orang pandai besi di Lulumbang supaya dibebaskan dari saarik purih, satampaking waluku, dan wadung pacul, ” catat Pararaton. Suwardono, mantan pengajar sejarah di IKIP Budi Utomo Malang, dalam Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha menafsirkan istilah -istilah itu sebagai pembebasan pajak. Mereka diberi hak istimewa dengan mendapat daerah perdikan ( sima ). Ada pula Kebo Hijo yang mati setelah difitnah membunuh Tunggul Ametung oleh Ken Angrok. Anak-anaknya disamakan haknya dengan anak-anak Mpu Gandring.“Ketika Ken Angrok menjadi raja, banyak orang yang pernah menolongnya dibalas jasanya oleh Ken Angrok. Mereka diberi kedudukan di dalam pemerintahannya,” tulis Suwardono. Imbal jasa yang paling nampak mungkin yang dilakukan oleh Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Para pengikut Sang Kertarajasa yang setia dan andil dalam mendirikan kerajaan diberikan kesempatan untuk menikmati hasil perjuangannya. Mereka diangkat menjadi pejabat tinggi dalam kerajaan. Sebagian nama pengikut Kertarajasa itu dijumpai dalam beberapa prasasti. Prasasti Kudadu (1294 M) menyebut Arya Wiraraja sebagai  mantri mahawiradikara . Wiraraja menerima Wijaya dengan baik di Madura ketika ia melarikan diri dari istana Singhasari yang diserang pasukan Jayakatwang dari Glang Glang. Bupati Wiraraja pula, bersama masyarakat Madura, yang membantu Wijaya membuka hutan dan membangun permukiman di wilayah Trik. Desa itu kemudian berkembang menjadi Kerajaan Majapahit. Prasasti Sukamrta (1296 M) menyebut Mpu Tambi (Nambi) sebagai  rakryan mapatih  dan Mpu Sora sebagai  rakryan apatih  di Daha. Dalam hierarki Majapahit, Nambi memperoleh kedudukan yang tinggi sedangkan Sora mendapat tempat kedua. Teks Panji Wijayakrama menunjukkan betapa hubungan Mpu Sora atau Lembu Sora dan Wijaya tak terpisahkan. Terutama sejak pertempuran mereka melawan serbuan pasukan Jayakatwang ke Singhasari. Dalam berbagai kesempatan, Lembu Sora selalu memberikan nasihat bijak kepada Wijaya. Serangan balik malam hari terhadap tentara Glang Glang yang menduduki Singhasari juga atas saran Lembu Sora. Dalam serangan itu, Wijaya menewaskan banyak musuh dan menemukan kembali putri Kertanagara, Tribuwana. Lembu Sora juga yang menahan Wijaya ketika berkeras ingin membebaskan Gayatri, putri Kertanagara lainnya yang masih tertinggal dalam pura. Dia menasihati agar Wijaya dan Tribuwana menyelamatkan diri. Jumlah tentara musuh jauh lebih besar daripada sisa tentara Singhasari. Pun ketika mereka memutuskan mengungsi ke Madura Timur untuk minta bantuan Wiraraja. Menurut Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan, Lembu Sora selalu menunjukkan keperwiraan dan kebijaksanaan,baik dalam persiapan mendirikan Majapahit maupun dalam melawan Jayakatwang dan pasukan Mongol. “Berdasarkan hal-hal itu, sudah selayaknya Sora menjadi kekasih Raja Kertarajasa dan menduduki tempat terhormat dalam pemerintahan,” tulis Slamet Muljana. Sementara Nambi, baik Pararaton maupun Kidung Panji Wijayakrama mengisahkannya sebagai pengikut setia Wijaya yang ikut mengungsi ke Madura. Pararaton mencatat, ia dan Wijaya telah bersahabat sejak keduanya masih tinggal di Singhasari. Dalam berbagai medan perjuangan, Nambi diceritakan sebagai tokoh yang intelek dan memiliki kecerdikan administrasi. Sumber lain,  Kidung Ranggalawe,  menyebut Wenang atau Lawe, putra Wiraraja, sebagai  amanca nagara  di Tuban dan  adhipati  di Datara. Ia diangkat karena ikut membantu Wijaya membangun Majapahit. Ia gagah berani. Sebagai orang Madura, ia digambarkan jago siasat perang, lincah di pertempuran, dan piawai menggunakan senjata. Siasatnya terlihat pula sewaktu mengusir tentara Tartar (Mongol). Adapun tokoh yang pernah memimpin pasukan Singhasari ke Malayu dijadikan panglima perang. Ia mendapat nama Kebo Anabrang. Belakangan, para pengikut setia Wijaya itu,satu per satu memberontak kepada Majapahit. Alasannya macam-macam. Yang pertama memberontak adalah Ranggalawe. Ia tak terima hanya dianggap sebagai adipati Tuban. Dia merasa dirinya atau Lembu Sora lebih pantas menjadi patih amangkubhumi dibanding Nambi yang dipilih Wijaya. “Andaikata saya dan Sora tidak berani bertaruh jiwa saat menghadapi tentara Tartar, Majapahit pasti sudah hancur lebur,” kata Ranggalawe dalam Kidung Ranggalawe yang anonim. Kemudian Lembu Sora memberontak karena  di fitnah Mahapati, menteri di pemerintahan Wilwatikta (Majapahit) . Namanya disebut dalam Kidung Sorandaka dan Serat Pararaton. Setelah Lembu Sora, Mahapati memfitnah Nambi. Pemberontakannya terjadi ketika Majapahit di bawah Raja Jayanagara, putra Wijaya. Dia mencurigai para pengikut ayahnya tak setia. Ditambah lagi fitnah Mahapati, maka pecahlah pemberontakan. Dari apa yang terjadi pada masa Wijaya terlihat bahwa ganjaran kursi jabatan bagi pendukung setia tak cukup membuat mereka tetap ajeg di samping penguasa. Pemberontakan bisa saja terjadi.

  • Cerita dari Stadion Andi Mattalatta

    SAMPAH berserakan di berbagai sudut pelataran Stadion Andi Mattalatta jelang laga Liga 1 antara PSM Makassar melawan Arema FC, Rabu, 16 Oktober 2019. Terlepas dari kultur pecinta bola tanah air yang masih jauh dari peduli kebersihan dan kerapian, Stadion yang kerap disebut Mattoanging itu memang kondisinya tidak terawat. Gerbang masuk utamanya kusam dan banyak dipenuhi lumut. Beberapa huruf di plang nama “Stadion Andi Mattalatta” sudah gompal dan nyaris terlepas. Sebelum masuk ke dalam stadion, penonton akan disambut coretan vandalisme di beberapa bidang tembok stadion. Sejak beberapa waktu belakangan ini, sebuah papan baru berdiri di halaman stadion. Tulisan di papan itu berbunyi: Tanah Milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 40 Tanggal 1 Oktober 1987. Rupanya, stadion ini tengah dibelit sengketa antara Pemprov Sulsel dengan YOSS sebagai pengelola. Begitulah kisah terbaru stadion yang selama puluhan tahun menjadi kandang PSM Makassar itu. Sebagai klub yang diakui tertua di Indonesia, PSM memang tak hanya masih eksis namun juga acap jadi unggulan juara di antara sedikit tim tradisional lain. Ia sejak lama mewakili wajah sepakbola Indonesia bagian timur. Ironisnya, PSM tak punya stadion berstandar internasional. Di bagian dalam stadion, sebelas-dua belas dengan bagian luarnya. Kursi VIP yang diduduki Historia tebal oleh debu. Pun bagian-bagian lain yang tak mungkin disebutkan satu per satu. Kolase kondisi seat VIP di Stadion Andi Mattalatta di laga PSM vs Arema (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Namun, ada hal menarik di dekat pintu utama. Manajemen menyiapkan ruang salat untuk para penonton. Seruan ‘Aaamiiin’ selepas imam membacakan Surah al-Fatihah di waktu Salat Maghrib terdengar kencang dari para jamaah sebelum laga dimulai sekitar pukul 19.30 Wita. Selain kemenangan telak 6-2 PSM atas Arema, mungkin hanya rumput lapangan dan empat menara lampu di tiap sudutnya yang bisa menyenangkan mata di Mattoanging malam itu. “Lapangan dan lampu itu manajemen klublah yang memasangnya, bukan pihak pengelola, Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS),” kata Sulaeman, mediaofficer PSM, kepada Historia . “Kalau di tempat lain, fasilitas sudah lengkap baru penyewa (klub) masuk. PSM tidak. Dia (klub) yang renovasi stadion, dia yang biayai stadion, baru setelah itu dia sewa (dari YOSS). Kan aneh,” kata Mustafa Amri, sekjen Macz Man (basis suporter terbesar PSM). Lahan Bekas Peternakan Stadion Andi Mattalatta di kompleks olahraga Mattoanging berdiri di atas lahan seluas tujuh hektar. Pada masa kolonial, lahan itu merupakan lahan peternakan sapi Boerderij & Melkerijk (Peternakan dan Pemerahan Susu) Frisian. Lahan 20 hektare milik pemerintah Hindia Belanda itu disewa orang Jerman berkewarganegaraan Belanda, Zwanziger, pemilik peternakan tadi. Tampak dalam Stadion Andi Mattalatta, di mana mulanya merupakan peternakan sapi milik Belanda (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Semasa pendudukan Jepang hingga era revolusi, lahan peternakan itu berturut-turut jadi tangsi Belanda, Jepang, hingga pejuang. Demikian menurut catatan Andi Mattalatta tertanggal 10 Juli 2004 dalam jurnal Asal-Usul Tanah Complex Sarana Olahraga Mattoanging dan Terbentuknya YOSS yang diarsipkan YOSS. Pada 1952, lahan itu sempat dikuasai kelompok Andi Azis yang memberontak kepada republik. Butuh waktu lima tahun bagi Letkol Andi Mattalatta, saat itu menjabat sebagai pangdam/ketua Penguasa Perang Daerah (Peperda) Sulawesi Selatan dan Tenggara, untuk membebaskan lahan itu. Mattalatta lalu memanfaatkan lahan itu untuk kawasan olahraga, demi melancarkan sistem uitholling. Sistem uitholling adalah sistem untuk menarik kembali para pemuda yang sebelumnya tergiur seragam hijau dan ikut gerombolan pemberontak, untuk kemudian menyalurkan darah muda mereka ke beragam kegiatan olahraga. Ruang salat sederhana di Stadion Andi Mattalatta (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Saat hendak merelokasi mereka, Mattalatta ditemani Walikota Mas Yunus Daeng Mile. “ Hei, lanubono’a ? (Hei, kamu mau bunuh saya?),” kata Mattalatta pada seorang eks tentara yang menguasai lahan dan mengacungkan senjata tajam (sajam) di depan gerombolannya. “Kenapa bapak begitu? Sedangkan bapak suruh kami pergi untuk kemungkinan mati menghadapi Belanda, saya tidak ragu, apalagi kalau mau disuruh saja pergi dari sini,” jawab si serdadu pembawa sajam. Mendengar jawaban itu, Mattalatta memaparkan bahwa kedatangannya bukan untuk mengusir, melainkan untuk merelokasi. Andi Mattalatta memberi kompensasi untuk mereka mencari tempat tinggal baru. Langkah persuasifnya itu pun berhasil. Pembangunan stadion pun dimulai pada April 1957. Menurut Ketua umum YOSS Andi Karim Beso Manggabarani, stadion itu dibangun menggunakan uang pribadi Andi Mattalatta tanpa sepeser pun bantuan dari pemerintah daerah. “Sejak 1952 di sini sudah ada lapangan dan kompleks olahraga. Yang mengelola itu Yayasan Stadion Makassar. Tapi kemudian sempat jadi barak-baraknya pasukan Andi Azis sampai Permesta. Lalu datanglah pasukan dari Jawa untuk menguasai Makassar, termasuk Pak Andi Mattalatta yang ikut dari Jawa kembali ke Sulawesi,” ujar Karim kepada Historia . Ketua YOSS Andi Karim Beso Manggabarani (kiri) & Andi Mattalatta, pendiri Stadion Andi Mattalatta-Mattoanging (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Setelah stadion jadi, PSM pun berkandang di sana. “Sebelum stadion dibangun, PSM mainnya di lapangan dekat sini juga. Itu yang sekarang jadi kantor TVRI Makassar (kini TVRI Sulsel),” ujar Karim sambil menunjuk sisi timur stadion. Lapangan itu, sambung Karim, ditukar-guling pada 1970-an oleh Intje Saleh Daeng Tompo, walikota harian Makassar cum ketua PSM kala itu. “Dia merasa perlu ada TVRI (di Sulsel) dan TVRI mau lokasinya di situ. Ditukar-guling. Jadi yang ditukar-guling berdasarkan dokumennya Pemda, ya lapangan yang jadi TVRI itu,” sambungnya. Proyek Gila Andi Mattalatta Sehubungan dengan uitholling, Mattalatta punya alasan yang lebih fenomenal terkait pembangun stadion Mattoanging. Mattalatta ingin menjadikan kawasan itu jadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) IV 1957 sebagai puncak pelaksanaan uitholling. Untuk itulah dia terbang ke Jakarta guna menemui ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kepada Sultan, Mattalatta meminta restu agar tuan rumah PON 1957, yang sudah ditentukan KOI bertempat di Jakarta, dipindah ke Makassar. Interior lorong utama Stadion Andi Mattalatta (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) “Banyak di antara pengurus KOI menganggap permohonan saya menyelenggarakan PON di daerah yang masih berstatus dalam keadaan darurat perang, suatu rencana yang gila. Tetapi Bapak Sri Sultan HB IX sangat percaya kepada saya, sebagaimana beliau ketahui prestasi saya pada Perang Kemerdekaan,” kata Mattalatta mengenang. Berbekal restu Ketua KOI, Mattalatta lalu merogoh koceknya Rp250 juta untuk membangunkan stadion. Ia juga mengerahkan sekira 300 prajuritnya untuk membantu pekerjaan pembangunannya agar stadion rampung September tahun itu juga. Enam bulan sejak peletakan batu pertama, stadion itu pun selesai. Lantas, dinamai Stadion Mattoanging, diambil dari dua kata bahasa Makassar: Mattoa dan Anging. Artinya, menengok angin, lantaran lokasi lahan berada dekat pantai yang biasa dijadikan tempat pengamatan cuaca kapal-kapal yang hendak melaut atau berlabuh. Sementara, untuk venue-venue cabang olahraga lain, Mattalatta meminjam dana pembangunannya dari Presiden Soekarno via Kementerian P & K. Dana sejumlah 33 juta rupiah itu kemudian dilunasinya Desember 1957 usai penyelenggaraan PON. Stadion Andi Mattalatta saat jadi tuan rumah PSM menjamu Arema (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Hingga kini, bentuk stadion tiada yang berubah. Meski sudah mengalami beberapakali renovasi, diakui YOSS yang sejak 1982 memegang pengelolaannya serta mengganti nama stadion menjadi Stadion Andi Mattalatta, kondisinya tetap sama. “Makanya, untuk di tingkat AFC stadion kita tidak memungkinkan untuk main di kandang. Akhirnya harus main di luar (Makassar). Kami tentu punya cita-cita besar punya sebuah stadion berstandar internasional. Kami ingin atmosfer sepakbola Makassar diketahui dunia. Selama ini kami sebagai penyewa mendandani sendiri. Karena kalau tidak berbuat, standar Liga 1 saja mungkin tidak bisa kita laksanakan,” ujar CEO PSM Makassar Munafri Arifuddin.

  • Dari Pengungsian ke Pengungsian

    MENYUSUL bumi hangus yang dilakukan Tentara Republik Indonesia (TRI) terhadap kota Bandung, gelombang pengungsi pun berbondong-bondong keluar dari kota berhawa sejuk itu sejak 24 Maret 1946. Emma Poeradiredja, pegawai Djawatan Kereta Api yang menjadi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) setelah Perang Kemerdekaan pecah, di dalam gelombang pengungsian itu. Begitulah keadaan masyarakat kota Bandung semenjak Perang Kemerdekaan. Kedatangan Inggris/Sekutu sebagai pemenang perang mengakibatkan Bandung secara politis terbagi dua. Bandung utara dikuasai pasukan Inggris dan Belanda. Bandung selatan dikuasai pemuda dan penduduk pro-republik yang mengungsi dari utara ke selatan. Meski ada pembagian itu, kaum republiken tak menggubrisnya. Serangan gerilya ke Bandung utara dan penghadangan terus mereka lacarkan. Pertempuran paling banyak terjadi di front Viaduct, di mana pasukan pejuang dan TRI berjaga di selatan rel dan pasukan Gurkha berjaga di sisi sebaliknya. Tak jauh dari sana, di Jalan Veteran (Bungsu) berdiri markas PMI. Di sanalah Emma, dr. Djundjunan Setiakusumah, dan anggota-anggota PMI lain bertugas. Selain mengurusi pejuang yang terluka, Emma juga ikut mengatur suplai makanan dan menjadikan rumahnya sebagai markas pemuda pejuang. Ketika Bandung menjadi lautan api, Emma ikut mengungsi. Dalam Saya Pilih Mengungsi karya Ratnayu Sitaresmi dan kawan-kawan, disebutkan mereka diperintahkan untuk mengungsi sejauh 11 km ke selatan Bandung. Emma memilih mengungsi di Ciamis. Di Ciamis, Emma tinggal bersama orang tua dan dua anaknya yang sudah lebih dulu diungsikan, Saraswati dan Amarawati Poeradiredja. Tak lama di Ciamis, Emma bergerak ke Cisurupan, Garut, membawa dua anaknya. Stasiun Cisurupan oleh Kepala Djawatan Kereta Api Republik Indonesia Ir. Djuanda Kartawidjaja dijadikan kantor untuk sementara menyusul didudukinya Bandung. Pegawai-pagawai kereta api di Bandung yang non-kooperatif dengan Belanda, berbondong-bondong mengungsi ke Cisurupan. Mereka mengadakan rapat konsolidasi dan menginventarisasi aset-aset perkeretaapian yang belum terdata. Emma Poeradiredja (kedua dari kiri) bersama Soekarno di sebuah stasiun kereta api. (Koleksi pribadi Amarawati Poeradiredja). “Bu Emma tidak mau bekerja untuk perusahaan kereta Belanda (Staatsspoorwegen) maunya ke  (jawatan, red. ) kereta api yang dikuasai Indonesia. Di sana ada rekan Bu Emma, seperti Effendi Saleh, Toha Sumanagara, dan Pupela,” kata Amarawati kepada Historia . Amarawati ingat, saat berada di Cisurupan ia tinggal di bedeng-bedeng sekitar stasiun. Ketika Belanda melancarkan serangan, para pegawai kereta api pindah ke Yogyakarta. Amarawati yang kala itu masih berusia 6 tahun, tidak diajak karena terlalu berbahaya. Ia diungsikan ke Ciamis, sementara Emma dan Saraswati yang kala itu berusia sekira 10 tahun, ikut rombongan pegawai kereta api. Dari Cisurupan, Emma singgah di Gombong pada Juni 1947. Pada Agustus 1947, Emma dan Saraswati tiba di Yogyakarta. Di kota gudeg, mereka menginap di rumah Ir. Djuanda yang istrinya, Julia Wargadibrata, masih berkerabat dengan Emma. Mereka kemudian tinggal di tempat Sentot Iskandardinata. Dari situ Emma kemudian pindah ke rumah Mochtar Kusumaatmadja. Amarawati Poeradiredja Soesmono saat diwawancara oleh Historia di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Ketika tinggal di Yogyakarta, Emma tetap aktif berjuang bersama kaum republiken. Emma mengompori pegawai kereta api lain untuk menolak bekerja pada Belanda. Agitasinya itu berujung pada penangkapannya pada 10 Februari 1949. “Sudah sembunyi di kolong tempat tidur, tapi ditangkap. Lalu dibikin huisarrest (tahanan rumah, red. ) di Yogya,” kata Amarawati. Pada 18 Februari, Emma dipindahkan ke Jakarta. Saraswati yang ikut bersamanya berusaha pulang ke Ciamis dengan bantuan rekan-rekan sesama pegawai kereta api. “Kakak saya terlunta-lunta, tidur di stasiun, kurang makan. Waktu keretanya mulai masuk Jawa Barat, dilempari batu,” sambungnya. Saraswati akhirnya sampai rumah kakeknya dengan selamat, sementara Emma ditahan hingga Mei 1949. Emma kemudian kembali ke Bandung dan tinggal di Jalan Dago 133. Rumah tersebut milik adik Emma, Adil Poeradiredja, mantan perdana menteri Negara Pasundan yang mengundurkan diri pada 1948. Emma kembali bekerja pada Djawatan Kereta Api yang bermarkas di Jalan Gereja No. 1 Bandung. Sebagai Direktur Kematian Warga Kereta Api, Emma mengurusi kesejahteraan buruh kereta api dan jaminan sosial janda buruh kereta api yang suaminya gugur masa perjuangan kemerdekaan. “Saya kalau pulang sekolah seringnya ke situ, biar bisa bareng ke rumah jam 3 sore,” kata Amarawati.

  • Perkawanan Dua Perwira AD, Yani dan Mitro

    DENGAN kondisi punggung sakit, Kolonel Soemitro menghadap bosnya, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani. Mitro dipanggil langsung ke rumah Yani di Jalan Lembang untuk membicarakan penugasannya ke Kalimantan. Sang kolonel yang berperut tambun itu sedang menderita slipped disc - tulang belakang keseleo yang mengenai urat - sehingga jalannya miring-miring untuk mengurangi rasa sakit. Melihat perut bawahannya yang besar, Yani nyeletuk dalam bahasa Jawa kepada istrinya, Yayuk. “Bu, Bu lihat Mitro, wetenge, weteng Panglima (perutnya perut Panglima),” kata Yani.  Dia kemudian kemudian memberikan perintah kepada Mitro. “Mit, kamu pergi ke Balikpapan, gantikan Hario Kecik,” ujar Yani. “Ini perintah, atau masih tanya pendapat,” tanya Mitro. “Perintah,” jawab Yani tegas.   Dijawab demikian, Mitro tidak dapat berkutik. Padahal, dirinya baru saja "menolak"  rencana Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudra (Asisten III Menpangad bidang personel) dan Mayor Jenderal Soeprapto (Deputi II Menpangad bidang administrasi) yang akan memberinya posisi baru. Mitro memang selalu menolak dengan alasan ingin tetap bersama keluarga. Tapi kalau sudah berurusan dengan Yani – orang nomor satu di jajaran Angkatan Darat – lain cerita. “Namanya prajurit, ya, harus nurut perintah. Hidup prajurit itu ditentukan oleh perintah,” kenang Mitro dalam otobiografinya Soemitro: Dari Panglima Mulawarman sampai Pangkopkamtib yang disusun Ramadhan K.H.   Perintah Yani disanggupi oleh Mitro. Bagi Mitro, Yani adalah seorang atasan sekaligus kawan sejak lama. Menurut Mitro, Yani bersedia mendengarkan pendapat yang berbeda dan siapa saja bebas berargumentasi. Tapi kalau Yani sudah ambil keputusan, semua orang mesti tunduk.   Maka pada Februari 1965, berangkatlah Mitro ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Mitro menggantikan Panglima Kodam Mulawarman Brigadir Jenderal Soehario Padmodiwirio yang biasa dipanggil Hario Kecil. Sementara Mitro, akrab disapa Mitro Gendut. Sebagai panglima yang baru, pangkat Mitro naik setingkat jadi brigadir jenderal.   Di Balikpapan, Soemitro cukup ketat terhadap anak buahnya. Dia menahan tiga perwira menengah yang berafiliasi dengan PKI. Berita ini terdengar sampai ke Jakarta. Akibatnya, Mitro dipanggil menghadap Presiden Sukarno. Yani ikut serta mendampingi Mitro ke Istana Negara. Pagi sekali Yani dan Mitro diterima Bung Karno  yang tengah berada di beranda belakang Istana Negara. Perbincangan terjadi di sela-sela waktu Bung Karno bersarapan. Selagi asyik makan, tiba-tiba Bung Karno bertanya kepada Mitro. “Saya dengar Generaal Mitro sering ngrasani (membicarakan kejelekan, red ) saya? tanya Sukarno. Mitro kaget  dalam beberapa detik. Namun kemudian dia menjawab: “Oh tidak pernah, Pak. Saya bisa merasakan nggraga gitok (kekurangan) saya sendiri.” “Oh, bagus, bagus,” balas Bung Karno. Sejurus kemudian, dia kembali bertanya, “lalu ngrasani apa, Generaal Mitro?” “Saya tidak pernah ngrasani, Pak. Saya cuma belajar dari kesalahan-kesalahan Bapak,” ujar Mitro. Mendengar itu, Yani cemas karena menganggap jawaban Mitro agak lancang. Sontak saja Yani menginjak kaki Mitro. Mitro tertegun dan berbisik pada Yani dalam bahasa Jawa, apakah dia tetap lanjut melapor keadaan di Balikpapan kepada Bung Karno atau tidak sama sekali. “ Wis, menenga cengkemmu ! (Sudah, tutup saja mulutmu!),” kata Yani dengan nada jengkel. Yani dan Mitro beruntung karena Bung Karno menanggapi dengan santai. Mereka pun pulang dari Istana dengan hati lega karena terhindar dari “omelan” Presiden.   Keakraban Yani dan Mitro pun ditangkap oleh Amelia Yani, salah seorang putri Yani. Amelia yang menulis biografi ayahnya, Profil Seorang Prajurit TNI dalam bab khusus “Apa  dan Siapa, Teman-teman Bapak” memasukan Mitro sebagai salah satu di antaranya. Perkenalan mereka bermula di kereta api pada 1956. “Sewaktu bapak pindah ke Jakarta sedangkan Pak Mitro dalam perjalanan ke Surabaya,” tulis Amelia.   Beberapa bulan sebelum peristiwa 30 September 1965, Yani bersama para asisten dan deputinya berkunjung ke Kalimantan. Turut pula dalam kunjungan itu Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo, Mayor Jenderal Suwondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Pandjaitan, dan Brigadir Jenderal Soetoyo. Tidak ketinggalan, aktifitas main golf mengisi waktu luang sang panglima di sana. Sore hari, Yani main golf ditemani Taswin Natadiningrat. Panglima Mulawarman Brigadir Jenderal Soemitro datang ke lapangan untuk menyambut Yani dan melaporkan kiriman radiogram dari Jakarta. Yani menyapa Mitro. “Golf, Mit?” kata Yani. Karena Soemitro belum mahir main golf, dia menolak. “Golf itu untuk orang disabled (cacat)!,” ujar Mitro bercanda. Yani membalas, “Kurang ajar kowe (kau)!” Itulah pertcakapan terakhir Mitro dengan Yani. Sepeninggal Yani, Mitro menjadi perwira penting di masa peralihan menuju Orde Baru. Pada awal 1970-an, Mitro merupakan orang kedua di jajaran TNI AD dengan kedudukan  Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Karier militer Jenderal Mitro jatuh usai peristiwa kerusuhan Malari 1974. Dalam insiden itu, dia berseteru dengan mantan anak buah Yani yang lain: Ali Moertopo.

  • Asal-Usul Gen Asia Selatan Riri Riza

    Riri Riza, sineas beken Indonesia, menghabiskan masa kecilnya selama sembilan tahun di Ujung Pandang (kini Makassar). Setelah itu, dia ikut orangtuanya ke Jakarta. Dia mengalami masa-masa rendah diri di awal menjadi anak baru di sekolah dasar di Jakarta pada 1979. “Saya sendiri punya perasaan inferior tentang asal-usul saya,” kata Riri Riza. Riri merasa tidak nyaman bercerita kepada teman-temannya tentang daerah asalnya. “Saya merasa ada semacam superioritas dari orang Jawa dibandingkan dari kami yang berasal dari Indonesia Timur,” tuturnya. Riri berupaya mempelajari cara berbahasa teman-temannya, dialek Jakarta. “Usaha yang harus kita lakukan gitu untuk bisa nyaman bergaul dengan teman-teman,” kata Riri. Pergaulannya menjadi lebih akrab. Rasa rendah dirinya mulai terkikis. Tapi mempelajari bahasa orang lain bukan berarti menanggalkan identitasnya. Riri kemudian sering dipanggil “Makassar” oleh teman-temannya ketika duduk di sekolah menengah pertama dan atas. “Tapi saya tidak merasa itu sebagai bagian dari bully … Biasa kita lakukan untuk teman-teman yang seangkatan,” tambah Riri. Panggilan itu justru memperkuat identitasnya sebagai orang Makassar. Dia juga kian percaya diri dengan daerah asalnya. Riri memperoleh sebutan “Makassar” tersebab dirinya kelahiran Makassar. Tapi orangtuanya berasal dari dua daerah berbeda di Sulawesi Selatan. Ibunya kelahiran Gowa Sungguminasa, 10 kilometer sebelah tenggara kota Makassar. Masih termasuk daerah pesisir. Sedangkan ayahnya berasal dari Enrekang, pedalaman Sulawesi Selatan bagian tengah, dekat Gunung Latimojong. Dua daerah termaksud juga berbeda bahasa. Wilayah ibunya berbahasa Makassar, sedangkan ayahnya menggunakan rumpun bahasa Bugis. Meski Riri kelahiran Makassar dan orangtuanya sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan, ternyata dalam tubuhnya mendekam gen dari luar Sulawesi Selatan. Hasil tes DNA menunjukkan besaran komposisi masing-masing gen: Asia Selatan (46,24%), Asia Timur (33,95%), Diaspora Asia (17,27%), dan Timur Tengah (2,53%). “Apa yang tertulis di sini bahwa gambaran moyangnyaditemukan di banyak sekali suku di India,” kata Herawati Supolo Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, mengomentari hasil tes DNA Riri. Suku-suku di India antara lain Brahmin, Rajput, Naga, Karan, Khandayat, Nepali, Gope, dan Tamil. “Banyak sekali, berarti kita ambil saja memang India gitu, Asia Selatannya,” tambah Herawati. Dominasi Asia Selatan dalam komposisi DNA Riri membuka kembali kemungkinan adanya sejarah hubungan India dan Sulawesi Selatan pada masa kuno (masa Hindu-Buddha pada abad ke-5 sampai ke-16). Hindu-Budha di Sulawesi Selama ini, sejarah hubungan India dan Nusantara lebih sering berkaitan dengan Sumatra dan Jawa. Pengaruh kebudayaan dan peninggalan India cukup menonjol di dua pulau termaksud. Misalnya dalam bentuk kepercayaan, politik, bahasa, seni, dan artefak. Catatan musafir dan prasasti tentang jejaring dagang India-Sumatra-Jawa dan interaksi mereka juga tersedia melimpah. Para arkeolog berkesimpulan telah terjadi kontak intensif antara orang-orang India beragama Hindu dan Buddha dengan orang tempatan di dua pulau termaksud. Ini berbeda dari apa yang terjadi Sulawesi Selatan. Catatan tentang hubungan India dan Sulawesi Selatan hanya sedikit. Tapi ini bukan berarti menihilkan kontak antara India dan Sulawesi Selatan. Penemuan tiga arca Buddha di Bantaeng, 90 kilometer arah tenggara dari Makassar, menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara India dan Sulawesi Selatan sejak masa kuno. “Arca tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-6 M karena mempunyai kemiripan dengan arca Sriwijaya,” catat Budianto Hakim, arkeolog Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, dalam “Pengaruh Hindu-Budha di Sulawesi: Kajian Pendahuluan Terhadap Data Arkeologis dan Historis” termuat di Amerta , berkala Arkeologi tahun 1993. Penyebaran agama Buddha di Sriwijaya melibatkan peran pedagang-pedagang India. Pedagang itu kemungkinan meneruskan perdagangan hingga ke Sulawesi Selatan. Atau sebaliknya, bahwa orang-orang dari Sulawesi berlayar hingga ke Sriwijaya, mempelajari agama Buddha, lalu kembali lagi ke Sulawesi ketika angin muson barat bertiup. Tradisi berlayar orang-orang di Sulawesi Selatan, utamanya Bugis dan Makassar, sangat kuat. “Sejak zaman prasejarah masyarakat Bugis dan Makassar terkenal sebagai pelaut-pelaut ulung yang dapat mengarungi samudera-samudera besar,” lanjut Budianto Hakim. Dari perdagangan dan tradisi berlayar inilah hubungan dengan India terbentuk. Dari situ pertukaran kebudayaan pun mengada. Tadjuddin Maknun, Ketua Jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin, Makassar, dalam “Fenomena-fenomena Budaya India/Hindu di Sulawesi Selatan dan Barat” menyebut adanya pengaruh India-Hindu dalam sejumlah aspek kehidupan orang Sulawesi Selatan. “Baik berupa aksara (bahasa), konsep Ketuhanan, tata cara pelaksanaan upacara ritual, penggolongan stratifikasi sosial, dan benda-benda budaya yang dapat diinterpretasi sebagai pengaruh agama dan budaya Hindu,” ungkap Tadjuddin. Tadjuddin menambahkan, masuknya pengaruh kebudayaan India di Sulawesi Selatan tak lepas dari migrasi sekelompok orang dari satu wilayah ke wilayah lainnya. “Kedatangan orang atau sekelompok orang di suatu tempat, sudah barang tentu secara eksplisit terbawa pula kebudayaannya,” sambung Tadjuddin. Dan pertukaran kebudayaan bakal lebih intensif dengan pernikahan campur antara pendatang dan orang-orang tempatan. Tapi Tadjuddin mengakui, sumber dan literatur sejarah untuk memperjelas hubungan India dan Sulawesi Selatan masih sangat lowong. Sebagai konsekuensi dari ketiadaan sumber yang dapat memberi informasi, maka sampai sekarang belum diketahui siapa yang menyebarkan dan kapan proses penyebarannya mulai terjadi. Kebangkitan Makassar Herawati berpendapat migrasi orang-orang India ke Nusantara mulai terang pada masa berkembangnya kota pelabuhan antara abad ke-8 sampai ke-14. Di sinilah periode Indianisasi dan Islamisasi Nusantara paling kental. Kota pelabuhan Makassar muncul pada abad ke-15. Ia tumbuh cepat menjadi pelabuhan singgah para pedagang dari Gujarat, Tiongkok, Malaka, Jawa, dan Eropa. “Siklus muson di wilayah Sulawesi menjadikan Makassar sebagai pusat jalur perdagangan, baik jalur perdagangan barat (Eropa, Gujarat, India Selatan, Semenanjung Malaka, Sumatra, Jawa, dan Kalimantan-Makassar-Maluku serta Papua) maupun jalur pelayaran utara (Cina, Filipina, dan Jepang-Makassar-Nusa Tenggara-Australia,” ungkap Edward L. Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX . Selain itu, Edward juga menyebut beberapa faktor pendorong kemunculan Makassar sebagai kota pelabuhan atau dagang. “Pertama, letaknya strategis —posisinya berada di tengah-tengah dunia perdagangan. Kedua, munculnya intervensi bangsa Eropa sehingga pedagang di pusat niaga mengalihkan kegiatan mereka ke tempat lain, salah satunya ke Makassar. Ketiga, pedagang dan pelaut setempat melakukan pelayaran niaga ke daerah penghasil dan bandar niaga lain,” terang Edward. Anthony Reid, pakar sejarah Asia Tenggara, menjelaskan Makassar telah berkembang pesat menjadi kota kosmopolitan pada pertengahan abad ke-17. Beragam komunitas tumbuh dengan mantap di Makassar. “Setelah Melaka-Portugis jatuh ke tangan Belanda pada 1641, Makassar menjadi tempat berlabuh utama bagi orang-orang Portugis di Nusantara dengan lebih dari 3.000 orang Portugis menetap di kota ini. Inggris mendirikan loji di Makassar pada 1613, Denmark pada 1618, sementara para saudagar Spanyol dan Cina masing-masing mulai muncul pada 1615,” catat Anthony Reid dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara . Penguasa tempatan begitu toleran dalam menerima kedatangan beragam bangsa. Keramahan itu tergambar dalam dialog antara penguasa Makassar dengan utusan VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) pada 10 Desember 1616. “Tuhan telah menjadikan bumi dan laut; bumi dibagi di antara umat manusia dan laut diberikan secara umum. Tidak pernah terdengar seseorang dilarang berlayar di laut. Jika anda melakukan itu berarti anda merampas makanan (roti) dari mulut. Saya seorang raja miskin,” kata penguasa setempat, sebagaimana dikutip oleh Edward. Keberterimaan penguasa tempatan itu turut dinikmati oleh pedagang-pedagang dari India Selatan. Mereka menjual tekstil secara bebas di sini dan menukarnya dengan komoditas lain seperti teripang, agar-agar, kerang, sirip ikan hiu, lilin, kayu cendana, kulit, tanduk, damar, kambing, sapi, kuda, dan beras. Sembari menunggu angin bertiup ke barat, pedagang India tersebut menetap sementara di Makassar. Sebagian di antaranya menikah dengan orang tempatan. Sampai akhirnya keturunannya menikah lagi dengan orang-orang dari pedalaman Sulawesi sehingga meninggalkan jejak DNA yang beragam. Ini menjadi penjelas dari mana DNA Asia Selatan milik Riri Riza. Riri mengaku senang mengetahui hasil DNA-nya. “ Saya merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga global yang besar, ” kata Riri. Hasil tes juga membawanya ke pemahaman baru mengapa dia begitu nyaman dengan aroma, rasa, atau lingkungan yang banyak orang Indianya. “Saya Muhammad Rifai Riza dan saya merasa sangat nyaman,” tambahnya.

  • Kemungkinan yang Terjadi: Prabowo Menteri Pertahanan

    Di media sosial beredar video seorang santri yang ditanya Presiden Joko Widodo nama-nama menterinya. Santri itu menjawab Prabowo. Jokowi dan hadirin pun tertawa terbahak-bahak. Meski salah, santri itu tetapdapat sepeda. Apa yang dikatakan santri itu kemudian terjadi. Jokowi menunjuk Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024.

  • Perjalanan Prabowo Menuju Menteri Pertahanan

    PRESIDEN Joko Widodo telah mengumumkan jajaran menterinya untuk Kabinet Indonesia Maju. Sebanyak 34 menteri diperkenalkan Jokowi di Istana Negara.  Ada satu nama anyar yang menduduki kursi Menteri Pertahanan: Prabowo Subianto. Meski telah santer diberitakan, penunjukan Prabowo terbilang mengejutkan. Joko Widodo dan Prabowo sempat bertarung dalam dua kali gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres). Kini, keduanya akan bahu-membahu menjalankan roda pemerintahan.

  • Di Balik Pidato Presiden Sukarno

    GANIS HARSONO terperangah dalam rasa kaget yang bukan alang kepa la ng. Di tengah riuh rendah massa yang memenuhi Istora Senayan siang itu, ia tak habis pikir, bagaimana bisa isi pidato Presiden Sukarno di depan peserta peringatan Konfrensi Asia Afrika ke-10 itu berbeda dengan isi copy naskah pidato yang tengah  ia pegang. “Kok bisa terjadi seperti ini?” pikir Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI tersebut. Dalam perasaan tak menentu itu, Ganis lantas menengok ke arah kumpulan para wartawan. Benar saja perkiraannya, sambil memegang kertas copy naskah pidato tersebut, para kuli tinta itu terlihat bergumam dalam ketidakmengertian. Sebagian dari mereka, terlihat memandangnya, seolah meminta penjelasan tentang “kekacauan” ini. “Yang anda berikan pada saya lain, dan saya sudah bagi-bagikan kepada semua anggota pers” tiba-tiba sekretarisnya yang bernama Alex Alatas (kelak menjadi Menteri Luar Negeri di erapemerintahan Presiden Soeharto) berbisik kepadanya. “Ini copy asli naskah pidato Presiden,” jawab Ganis sambil membolak-balik kembali lembaran kertas yang di awal tulisannya tertera judul  Keep the Bandung Spirit High . Lantas naskah karya siapa yang tengah dipidatokan oleh Bung Karno di atas podium tersebut? ** MEMASUKI AWAL 1960-AN, kondisi kesehatan Presiden Sukarno mulai menurun. Situasi ini tentu saja berpengaruh kepada kemampuannya untuk melakukan aktifitas sehari-hari, termasuk ia tidak lagi sanggup menulis sendirian konsep pemikiran yang akan dipidatokan di depan khalayak mancanegara. Akhirnya diputuskan, setiap pidato Bung Karno akan ditulis oleh sebuah tim khusus. Julius Pour dalam G30S, Fakta atau Rekayasa , menyebut setidaknya ada dua tim penulis bayangan di sekitar Presiden Sukarno yang secara ketat “bersaing”. Tim pertama adalah tim-nya Soebandrio, yang tak lain adalah Menteri Luar Negeri sekaligus pimpinan Badan Pusat Intelejen (BPI ). Sedangkan tim kedua dipunyai Njoto, Menteri Negara dan juga Wakil Ketua II Central Commite Partai Komunis Indonesia (CC PKI). Banyak kalangan (termasuk Ketua CC PKI, D.N. Aidit) yang melihat Njoto tak lebih sebagai seorang sukarnois dibanding seorang komunis. Dalam kenyataanya, Nyoto dan Aidit memang berbeda kiblat. Nyoto lebih cenderung mengikuti Partai Komunis Uni Sovyet, sedangkan Aidit lebih condong kepada Partai Komunis Tiongkok. “Setelah memperhatikan pertentangan yang semakin memuncak di antara kedua tokoh komunis itu, Presiden Sukarno mulai mengambil pilihan dengan lebih memihak Nyoto,” ungkap Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno. Uniknya, Soebandrio dan Nyoto memiliki asisten yang masing-masing merupakan perempuan bule. Jika Soebandrio memiliki tandem bernama Molly Warner dari Australia, maka Njoto terlihat sangatkompak bermitra dengan Carmel Brickman dari Inggris. Berbeda dengan anggapan orang kebanyakan yang melihat kehadiran dua perempuan bule tersebut hanya sebagai penerjemah, sesungguhnya mereka berdua memiliki peran yang sangat strategis dalam menuangkan konsep-konsep yang bernas terkait kebijakan politik luar negeri yang dianut Bung Karno. Dunia internasional pastinya tak akan pernah melupakan pidato fenomenal Sukarno  di depan Majelis Umum PBB pada 1960. Konon Molly memiliki peran signifikan dalam penyusunan pidato yang berjudul To Build the World Anew  itu. Siapakah Molly sebenarnya? Molly tak lain adalah istri Muhammad Bondan,seorang aktivis pergerakan yang “diculik mengungsi” oleh pemerintah Hindia Belanda ke Australia saat tentara Jepang menyerbu Indonesia pada 1942.  Perempuan kelahiran Selandia Baru dan kemudian menetap di Sydney tersebut kerap menyebut keterkaitan hari kelahirannya dengan tenggelamnya kapal Titanic.  “Saya lahir persis tiga bulan sebelum tragedi tenggelamnya kapal pesiar Titanic di lautan dasar Atlantik,” ujarnya dalam  In Love With a Nation,  sebuah memoir yang ditulisnya langsung. Ya Molly memang lahir pada 9 Januari 1912. Begitu pemerintahan Indonesia menyingkir ke Yogyakarta pada 1947, Bondan memboyong sang istri bulenya itu ke tanah air. Ia lantas direkrut oleh Sukarno-Hatta sebagai  pejabat diKementerian Perburuhan. Sedangkan Molly, bekerja di RRI Pemancar Yogyakartayang khusus mengasuh program The Voice of Free Indonesia . Sebagai penyiar RRI, Molly dikenal sebagaipenyiar asing yang sangat rajin mengenalkan perjuangan negara yang membuatnyajatuh simpati itu kepada masyarakat internasional. Melihat bakat luar biasa didalam diri Molly, Sukarno kemudian memindahkannya ke Kementerian Luar Negeri. Di sana,ia didapuk untuk mengajar bahasa Inggris  kepada para diplomat Indonesia. Sekitar awal 1960, Sukarno memutuskan Molly untuk menjadi pendamping Soebandrio dalam membuat naskah-naskah pidato yang khusus ditujukan bagi kepentingan luar negeriIndonesia.Sebagai perancang naskah-naskah pidato sang presiden, Molly sangat mengenal pemikiran-pemikiran dan kebiasaan-kebiasaan Sukarno saat berpidato. “….Ia gemarmelakukan pengulangan kata sebagai upaya untuk lebih menjelaskan apa yang diamaksud…”katanya. Molly mengakui jika kemampuan pidato Sukarno samabagusnya dengan kemampuan ia menulis teks pidato. Molly sendiri sebagai penerjemah sering kehabisan kosa-kata untuk menerjemahkan teks pidato BK lengkap dengan ekspresi dan bumbu-bumbunya. “Terus terang, saya seringmengabaikan akurasi demi mencapai nuansa terjemahan yang pas. Tapi tentu sajasaya lakukan dengan tidak mengubah substansi,” ujar Molly. Nasib Carmel, tak jauh berbeda dengan Molly. Bertemu sebagai sesama aktivis kiri  dengan Soewondo Budiardjo di Praha, Chekoslovakia pada 1950. Ia kemudian dinikahi oleh pegiat Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) tersebut, organisasi yang sangat dekat dengan PKI. Lewat PKI inilah, Carmel kemudian terhubung dengan Njoto.Melihat kemampuan Carmel yang sangat baik dalam segi analisa politik dan pemikiran, tokoh PKI saingan Aidit itu (Aidit pernah menyindirnya sebagai kaum revisionis modern pro Moskwa),menunjuknya untuk menjadi tandem penulisan pidato-pidato Bung Karno. Posisi Carmel tetap eksis sebagai penulis bayangan, hingga Insiden 1965 meletus. Ia kemudian ditangkap tentara dan kemudian ikut dibuang ke Pulau Buru bersama suaminya, sebelum Pemerintah Inggris (ia masih memegang paspor Inggris rupanya) turun tangan dan meminta Presiden Soeharto mendevortasi perempuan pakar ekonomi lulusan Universitas London itu ke  negeri leluhurnya pada 1971. Begitu sampai di Inggris,  dua tahun kemudian Carmel Budiardjo mendirikan TAPOL, sebuah lembaga hak asasi manusia yang menyoroti kehidupanpara tahanan politik di Indonesia. “Saya tak bisa melupakan begitu saja nasib kawan-kawan yang masih berada di penjara Soeharto,”tulisnya dalam Surviving Indonesia's  Gulag , sebuah buku yang mengisahkan pengalaman dia menjadi tahanan politik selama di Indonesia . *** 18 APRIL 1965. Teriakan “hidup Bung Karno!” yang bergemuruh di seantero Istora Senayan tiba-tiba menyeret benak Garnis Harsono ke kejadian 9 hari sebelumnya. Suatu siang, ketika  akan menghadap Bung Karno guna membahas isi naskah pidato memperingati satu dasawarsa Konfrensi Asia Afrika, ia berpapasan dengan Njoto yang baru saja keluar dari ruang kerja BungKarno. Mereka lantas bertegur sapa dan saling bertukar senyum. Senyum masih tertinggal di wajah Garnis, ketika  di mulut ruang kerja Sukarno, diplomat kelahiran Jombang itu mendengar kata-kata keras: “Garnis! Saya sudah bosan dengan gaya pidato tulisan Soebandrio. Saya ingin sebuah pernyataan politik!. Oratory, I mind you, not a speech! Your minister has got into the habit of falling into philosopichal reveriesthese days (Pidato, bukan ceramah!, Menterimu itu akhir-akhir ini mulai keranjingan fantasi filsafat! Tentu saja segera Garnis mengiyakan keinginan sang presiden itu. Seminggu kemudian, ia berdiskusi dengan Soebandrio dan Molly Bondan untuk merevisi isi pidato tersebut. Setelahdiperbaiki, 17 April 1965, seorang anggota Resimen Tjakrabirawa lantas mengambil naskah pidato hasilrevisi itu. Ganis sendiri langsung memperbanyaknya guna disebar ke para wartawan. Tak dinyana olehnya, ternyata naskah pidato yang dibuat Pak Ban dan Molly tetap tak berkenan di hati Presiden Sukarno. Buktinya, dia lebih suka“meneriakan” hasil tulisan Njoto dan Carmel di Istora Senayan. Dan Garnis, hari itu hanya bisa terperangah dalam rasa kaget yang bukan alang kepalang. “Dari kejadian-kejadian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Presiden Sukarno bersedia mengorbankan wakil perdana menteri pertama-nya demi naskah pidato yang kaku dan liar buatan Nyoto-Carmel Budiardjo itu,” tulis Ganis dalam catatan harian-nya bertanggal 24 April 1965.

  • Susi Susanti yang Tak Sedramatis Kisah Asli

    GEGARA kakaknya di- bully lawannya, Susi Susanti kecil (diperankan Moira Tabina Zayn) menantang balik sang jawara bulutangkis Tasikmalaya. Susi menang. Dari kemenangan itu, Susi mendapat tawaran berlatih di PB Jaya Raya medio 1985. Dari sinilah perjalanan sang “Ratu Bulutangkis” Indonesia itu bermula. Secuplik kisah masa kecil Susi itu jadi pembuka biopik bertajuk Susi Susanti: Love All garapan sineas Sim F. Scene lalu beralih, ke dalam sebuah bus yang ditumpangi Susi menuju menuju Jakarta. Susi duduk terdiam dekat jendela lalu dikagetkan oleh hinaan seorang pedagang asongan yang tak terima Susy menolak membeli dagangannya. “Dasar sipit, pelit!” Di masa Orde Baru berkuasa itu, masyarakat etnis Tionghoa acapkali jadi mangsa perundungan diskriminasi rasial. Susi mencoba tegar. Ia juga harus menahan rindu lantaran lama meninggalkan keluarganya demi menebus utang ayahnya, Rishad Haditono (Iszur Muchtar), mantan pebulutangkis level PON, terkait prestasi emas olimpiade. Beruntung, Susi mendapat tambahan motivasi dari idolanya, Rudy Hartono (Irwan Chandra), yang melihat bakat hebat dalam diri Susi. “Tetapi bakat saja tidak cukup. Butuh kerja keras dan kedisiplinan,” cetus Rudy kala menasihati Susi yang tengah jenuh dengan rutinitas latihan PB Jaya Raya. Alur cerita lantas bergulir cepat. Setahun kemudian (1986), Susi (diperankan Laura Basuki) sudah menginjakkan kaki di Pelatnas PBSI Cipayung. Ia langsung ditangani pelatih bertangan besi Liang Tjiu Sia (Jenny Zhang Wiradinata). Sia dan Tong Sinfu (Chew Kin Wah), digambarkan bekas eksil di Cina, didatangkan Ketum PBSI Try Sutrisno (Farhan) untuk mendongkrak prestasi bulutangkis Indonesia yang tengah menukik. Target pertama adalah Sudirman Cup perdana di Jakarta, 1989. Sebelum ke Indonesia, Sia dan Sinfu sempat mempertanyakan status kewarganegaraan mereka. Namun Try Sutrisno dan Sekjen PBSI Mangombar Ferdinand Siregar (Lukman Sardi) ingin lebih dulu mendapatkan bukti prestasi dari keduanya. Sudirman Cup 1989 juga jadi satu dari sekian ujian berat Susy, yang dibebani harus mencetak poin lantaran dua laga sebelumnya dimenangkan wakil Korea Selatan. Meski tertekan, Susi mampu keluar sebagai pemenang. Moira Tabina Zayn sebagai Susi Susanti kecil (Foto: Instagram @sim_f) Sementara, berada di Pelatnas dalam waktu lama membuat Susi mendapatkan “pelabuhan” hati dari sesama penghuni pelatnas asal PB Djarum, Alan Budikusuma (Dion Wiyoko). Acapkali keduanya melanggar jam malam demi berkencan, terpapar kenakalan remaja laiknya pebulutangkis lain yang juga menjalin kasih, Sarwendah Kusumawardhani (Kelly Tandiono) dan Hermawan Susanto (Rafael Tan). Drama-drama itu jadi bumbu tersendiri dalam film berdurasi 96 menit ini. Agar bisa merasakan sendiri bagaimana rasanya kasmaran yang bergonta-ganti dengan kesedihan, ketegangan, maupun tangis kebahagiaan Susi setelah memetik emas Olimpiade Barcelona 1992, jauh lebih baik Anda saksikan sendiri film yang tayang di bioskop-bioskop mulai 24 Oktober 2019 ini. Yang Tercecer dan Melenceng dari Fakta C oloring dan music scoring film ini ditata dengan sangat apik. Beberapa adegan menegangkan terbukti terasa menegangkan lantaran diiringi efek suara menggebu. Tata warna dalam film ini juga diracik dengan ciamik oleh Sim F yang sebelumnya sudah malang melintang menyutradarai iklan dan video klip. Pokoknya feel dan suasana 1980-an hingga 1990-an sangat terasa. Sayangnya, karakter dua sosok utama yang diperankan Laura dan Dion dibawakan kurang maksimal. Emosi penonton yang mulai dibangun lewat scene persiapan dan pertandingan, termasuk saat Susy pontang-panting menghadapi lawannya di final tunggal putri bulutangkis Olimpiade Barcelona 1992, sekonyong-konyong buyar. Adegan Susi menangis di puncak podium arena Pavelló de la Mar Bella gagal jadi klimaks yang memuaskan. Mungkin publik akan lebih terpuaskan jika memutar lagi footage aslinya yang bertebaran di YouTube . Bisa jadi karena beberapa faktor teknis yang menggerogotinya, seperti lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ yang dipotong. Atau, venue -nya tak menyerupai venue asli di Barcelona. Dilihat dari ciri-ciri bangunannya, syuting adegan itu diambil di BritAma Arena, Kelapa Gading untuk adegan indoor dan Museum Bank Indonesia untuk adegan outdoor . Namun yang lebih fundamental, soal muatan isu rasial. Dari setengah durasi ke belakang, isu diskriminasi yang pernah jadi luka bagi etnis Tionghoa itu begitu dominan. Film ini kembali membongkar luka yang telah lama “diperban”. Dominasi pesan ini menjadikan film ini terlena menampilkan perjuangan Susi, baik sejak di klub maupun di pelatnas. Porsi-porsi latihan berat Susi di bawah asuhan Tjiu Sia dan Alan di bawah besutan Tong Sinfu dan Rudy Hartono tak digambarkan sebagaimana mestinya. “Dulu kita latihan sampai jam 10 malam biasanya. Kalau sudah latihan, kita sudah sampai enggak bisa bangun dari tempat tidur,” kata Alan mengenang, kepada Historia. Alan juga menguraikan, dia dan Susi sampai tak sempat memikirkan waktu berpacaran, terlebih saat persiapan olimpiade. “Kalaupun ada waktu libur, biasanya kalau pergi pun bareng-bareng dengan kawan-kawan pelatnas lainnya, enggak berduaan,” tambahnya. Dion Wiyoko dan Laura Basuki sebagai Alan Budikusuma dan Susy Susanti (Foto: Instagram @filmsusisusanti) Maka aneh jika di film Alan dan Susi acap digambarkan jalan-jalan berduaan, bahkan sampai berkencan di kawasan Melawai. Bayangkan betapa jauhnya mereka mencuri waktu berpacaran dari Cipayung di ujung Jakarta Timur ke Melawai di Jakarta Selatan. Peran Tjiu Sia dan Tong Sinfu dalam beberapa adegan juga “menggantung”, terlepas dari akting Jenny sebagai Tjiu Sia dan Chew Kin Wah sebagai Tong Sinfu patut diacungi jempol ketimbang Laura dan Dion. Problem status warga negara Sia dan Sinfu sekadar dijadikan pelengkap isu rasial yang menerpa Susi hingga kerusuhan Mei 1998. Padahal tanpa tokoh Susi dan Alan pun, kisah asli kedua tokoh tersebut tak kalah mengharukan. Lebih runyam lagi, beberapa adegan melenceng jauh dari aslinya. Kendati lumrah dalam hal-hal yang dialihwahanakan ada bumbu-bumbu tambahan, alangkah baiknya tak menyerong jauh dari fakta. Celakanya, itu terjadi bahkan sedari awal, di adegan yang menggambarkan klub pertama Susi adalah PB Jaya Raya. Padahal, sebelum itu Susi sudah “memoles” bakatnya di PB Tunas Tasikmalaya. Lalu, soal sosok Rudy Hartono yang diperankan Irwan Chandra. Pada masa Susi masuk PB Jaya Raya, 1985, hampir semua anak didik berebut ingin bisa latihan dengan Rudy. Well , kurun 1981-1985 sejatinya Rudy masih disibukkan tugas sebagai Kabid Pembinaan PBSI di Senayan. Yang juga aneh karena anakronisme, saat Susi pertamakali masuk pelatnas, ia langsung berlatih di Cipayung. Faktanya, gedung Pelatnas PBSI itu baru dibangun pada 1992. Semasa angkatan Susi, Pelatnas masih di GOR Asia Afrika, Senayan. Chew Kin Wah dan Jenny Zhang Wiradinata sebagai Tong Sinfu dan Liang Tjiu Sia (Foto: Instagram @chewkinwah) Pelatih Alan juga digambarkan hanya Tong Sinfu. Padahal dalam biografinya, MF Siregar menguraikan para pebulutangkis putra, termasuk Alan, juga dipegang Rudy (selepas menjabat Kabid) dan Indra Gunawan. “Indonesia kalah di Thomas Cup Mei 1992 jelang olimpiade. Pelatih Alan ketika itu, Rudy Hartono dan Indra Gunawan, marah besar. Menimpakan penyebab kekalahan kepada pundak pemain kelahiran Surabaya itu,” kata Siregar dalam biografinya yang ditulis oleh jurnalis olahraga Brigitta Isworo Laksmi dan Primastuti Handayani, Matahari Olahraga Indonesia . Adegan kehadiran Siregar di final Olimpiade Barcelona 1992, yang menyaksikan pertandingan dari tribun kehormatan bersama Try Sutrisno, dalam film juga menunjukkan lemahnya riset film ini. Faktanya, Siregar tak sempat menyaksikan Susi berlaga di momen besar itu lantaran sedang pemulihan kondisi pasca-operasi jantung. Lukman Sardi (kanan) sebagai teknokrat olahraga Mangombar Ferdinand Siregar (Foto: Instagram @lukmansrd) Dalam biografinya, Siregar dituliskan hanya memantau laga final Susi sembari menemani para penghuni pelatnas lain yang tak ikut ke Barcelona, di Gedung Bulutangkis PBSI DKI Jakarta. Ia hanya menerima informasi jalannya pertandingan dari asistennya, Richard Mainaky. Jika menyaksikan langsung, dikhawatirkan jantung Siregar belum kuat. “Saat Richard keluar dengan kedua jempol ke atas dan bersorak kegirangan, Siregar tak bisa menahan luapan emosi. Namun Siregar berusaha tetap kalem menerima sukses besar yang sesuai prediksinya itu,” sebut Brigitta dan Primastuti. Terlepas dari banyaknya kekurangan itu, biopik ini patut diapresiasi. Ia hadir di tengah dahaga penonton Indonesia akan film yang membangkitkan nasionalisme lewat nostalgia prestasi Susi Susanti. Ia juga berani berbeda di tengah persaingan ketat antar- genre yang didominasi action , horor, dan komedi; dan banjir film Hollywood.

bottom of page