top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kekejaman Bangsa Mongol di Rusia

    Pada paruh pertama tahun 1200-an, pemimpin Mongol, Batu Khan, cucu Jenghis Khan, menaklukkan bagian-bagian Rusia modern, Eropa Timur, dan Kaukasus. Dia menambahkan wilayah-wilayah itu ke kawasan yang kemudian dikenal sebagai Golden Horde atau Kekhanan Mongol-Turki. Batu Khan menyapu ke barat dengan pasukan 130.000 tentara. Bagi kota-kota yang berada di jalurnya, satu-satunya pilihan adalah menyerah atau disembelih. Smolensk, salah satu kota di Rusia, memilih menyerah dan membayar upeti kepada Khanate. Namun, 18 kota lain, termasuk Moskow dan ibu kota kerajaan itu, yang pada saat itu memerintah Yaroslavl, jatuh ke dalam api dan kibasan pedang. Banyak orang mati mengenaskan dalam serangan itu. Mereka lalu dimakamkan di kuburan massal. Para ahli kemudian menghubungkan peristiwa brutal itu dengan situs di Yaroslavl, Rusia. Beberapa tahun lalu, sebuah kuburan massal penuh dengan mayat ditemukan di sana.Salah satu liang kuburan masal yang berusia 780 tahun itu berisi 15 korban. Dari hasil tes DNA yang awal September 2019 dipublikasikan oleh Moscow Institute of Physics and Technology dan Russian Academy of Sciences Institute of Archaeology, terbukti bahwa pembantaian itu terjadi pada seluruh keluarga: seorang nenek (55 tahun atau lebih), putrinya berusia (30-40 tahun), dan cucunya, seorang pemuda (sekira 20 tahun). "Selain menciptakan kembali gambaran jatuhnya seluruh kota pada 1283, kita sekarang melihat tragedi satu keluarga," kata Asya Engovatova dari Institute of Archaeology, RAS, lewat laman resmi Moscow Institute of Physics and Technology . “Analisis DNA telah menunjukkan bahwa masih ada individu-individu yang terkait secara genetik yang mewakili tiga generasi.” Penemuan Kuburan Massal Yaroslavl hancur selama pasukan Batu Khan berperang melawan Grand Duchy of Vladimir pada awal abad ke-13. Skala kehancuran pun menjadi jelas dengan temuan ini. Berawal dari penggalian di situs gereja emas Assumption Cathedral di kota Yaroslavl yang dibangun pada abad ke-13 dan dihancurkan pada 1937. Katedral itu dipulihkan kembali pada 2004-2010. Lebih dari lima tahun, sembilan kuburan massal digali. Di dalamnya, lebih dari 300 orang dimakamkan. Mereka mati akibat kekerasan. Jumlah ini lebih banyak daripada di kota-kota lain yang juga porak poranda dalam ekspedisi Mongol itu. Laman The Sun melaporkan, tulang belulang yang ditemukan membawa tanda-tanda bekas tertusuk dan terpotong. Beberapa tulang juga menunjukkan tanda-tanda pembakaran menunjuk ke bekas-bekas api yang menghancurkan kota. Pada 2005, kuburan massal yang diidentifikasi sebagai No. 76 ditemukan. Letaknya di tengah benteng kota Yaroslavl. Di sana, jenazah dimakamkan di lubang dangkal di areal rumah yang dibakar selama penyerangan. Dari sisa bangunan dan artefak yang tertinggal, diketahui pemiliknya punya status sosial yang tinggi. Bukti kekayaan keluarga yang terbunuh itu salah satunya terlihat dari gigi mereka. Gigi-gigi mereka menunjukkan kerusakan yang lebih parah dibandingkan orang-orang di kota lainnya. Itu pertanda bahwa keluarga itu mengkonsumsi gula dan madu secara teratur. Hanya orang berstatus tinggi yang mampu begitu. Kuburan itu secara khusus menarik perhatian para peneliti karena digali dengan sengaja. Sementara kuburan massal lain di dekatnya terletak di ruang bawah tanah rumah dan bangunan kecil di dekat rumah yang terbakar. Pemakaman semacam itu, menurut para ahli, bertentangan dengan norma yang berlaku pada masanya. Itu tidak mematuhi ritual. Lima belas orang yang dimakamkan di lubang dangkal terbaring dalam berbagai pose. Beberapa mayat telah membusuk dengan kondisi yang buruk pada saat mereka dikebumikan. Pemandangan ini menunjukkan bahwa mereka telah dikubur dengan asal-asalan. Itu terutama untuk alasan sanitasi. Buktinya ada banyak belatung terawetkan di sekitar sisa-sisa mayat. Indikasinya, lalat bertelur di atas mayat dalam cuaca hangat. Mayat-mayat itu mungkin kemudian membusuk di tempat terbuka selama berbulan-bulan sebelum dikuburkan. "Orang-orang ini terbunuh, dan tubuh mereka tetap terbaring di salju untuk waktu yang cukup lama," kata Asya Engovatova."Pada bulan April atau Mei, lalat mulai berkembang biak dan pada akhir Mei atau awal Juni, mereka dimakamkan di sebuah lubang di rumah, yang merupakan tempat di mana mereka mungkin tinggal.” Pekerjaan penggalian di Yaroslavl dari 2005 hingga 2006 itu pun akhirnya memastikan kalau pembantaian terjadi pada Februari 1238. Penaklukkan Batu Khan itu, menurut Asya, adalah tragedi nasional terbesar. Ini melampaui peristiwa lainnya dalam hal kekejaman dan kehancuran. Menurut Asya bukan kebetulan peristiwa itu masuk di antara beberapa peristiwa yang kemudian menjadi cerita rakyat Rusia. "Apa yang sekarang kita ketahui tentang serangan itu menunjukkan bahwa deskripsi kronik tentang 'sebuah kota yang tenggelam dalam darah' bukan sekadar kiasan,” lanjutnya. Padahal beberapa catatan sejarah selama ini mengisahkan masuknya Rusia ke dalam Golden Horde bangsa Mongol dengan jalan damai dan sukarela. Bukti baru ini pun menunjukkan sebaliknya. Kekejaman besar telah dilakukan sebagai bagian dari ekspedisi Mongol. Yaroslavl dan kerajaan yang menaunginya pun harus menghabiskan 250 tahun ke depan sebagai negara bawahan Golden Horde. Namun, bukannya tanpa lebih banyak konflik dan kematian. Sepupu Batu Khan, Mongke Khan, menyapu wilayah itu lagi pada 1257. Diikuti oleh Black Death pada 1278, dan lebih banyak serangan Mongol pada 1293 juga 1322. Wilayah itu kemudian kembali tersapu gelombang Black Death pada 1364.

  • Pangkas Rambut Ko Tang Bertahan dari Tekanan Zaman

    DI sebuah gang sempit di kawasan Glodok, Jakarta Barat, ada sebuah tempat yang tak biasa di mana pemiliknya bisa memegang kepala siapapun, termasuk pejabat hingga presiden. Ya, tak mungkin ia tak memegang kepala sebab profesinya adalah pemangkas rambut. Namanya Pangkas Rambut Ko Tang –berasal dari bahasa Tiongkok, artinya kelas atas. Lokasinya di Gang Gloria, Glodok. Berdiri sejak 1936, Ko Tang menjadi salah satu pangkas rambut tertua di Jakarta.  Pi Cis saat membersihkan telinga salah satu pelanggan Ko Tang. (Fernando Randy/Historia). Para pemangkas rambut di sana bekerja turun-temurun. Semula ada sembilan orang, kini hanya menyisakan Pi Cis (58), Apauw (59), dan A  Ciu (68). Pi Cis dan Apauw sudah lebih dari 15 tahun bekerja di Ko Tang, sedangkan A Ciu baru bergabung sekitar satu tahun lalu.  Kendati sudah beroperasi lebih dari delapan dekade, dan  di tengah gempuran  barbershop  modern, Ko Tang tetap bertahan.  Ko Tang tak pernah sepi. Setiap pelanggan seringkali tertidur lelap saat rambutnya dipangkas di sini.  Para pelanggan yang kerap tertidur saat di cukur di Ko Tang. (Fernando Randy/Historia). Pi Cis, generasi ketiga pemangkas rambut Ko Tang, mengatakan ia tak punya resep khusus dalam mencukur. “Riset saya tentang model-model rambut baru paling sering jalan-jalan ke mall saja, lihat-lihat anak muda, atau sekadar duduk di sini. Terus lihat keluar, orang-orang yang lalu-lalang di depan, dan memperhatikan rambutnya.” Salah satu ciri khas Ko Tang yang tetap dipertahankan sampai sekarang adalah layanan membersihkan telinga bagi para pelanggannya. “Coba kamu lihat, jarang sekali pangkas rambut yang bisa membersihkan telinga. Mungkin hanya di sini,” kata A Pauw.  Bangku yang sudah usang seakan menunjukan umur pangkas rambut Ko Tang. (Fernando Randy/Historia). Pelanggan setia pangkas rambut Ko Tang, Zakharia saat dicukur oleh Pi Cis. ( Foto : Fernando Randy ) Bukan hanya Pi Cis dan Apauw yang puluhan tahun bekerja di sana. Para pencuci rambut hingga kasir juga sudah bekerja lebih dari 10 tahun.  Rasa kekeluargaan begitu kental di Ko Tang. Keceriaan dan kebersamaan membuat mereka betah. Hingga muncul rasa saling memiliki.  Para pegawai yang sudah puluhan tahun bekerja di Ko Tang. (Fernando Randy/Historia). Peralatan Ko Tang kian menua. Gunting, pisau cukur, sisir, dan bangku pelanggan mulai berkarat. Entah bagaimana nasib Ko Tang nantinya. “Jujur saja, saya belum tahu bagaimana nasib Ko Tang 5 atau 10 tahun lagi,” ujar Pi Cis. “Anak-anak saya juga tidak ada yang berminat menjadi tukang cukur. Regenerasi memang sulit terwujud. Apalagi kami juga sudah tua.” Namun Pi Cis bertekad tidak akan menyerah pada zaman.  Ko Tang tak akan sekadar jadi kenangan. Peralatan sederhana yang menjadi senjata utama Ko Tang. (Fernando Randy/Historia). “Kami terus mencari solusi agar Ko Tang ini tetap bertahan. Karena bagi kami, Ko Tang sudah memberikan segalanya. Untuk itulah sekuat tenaga kami akan menjaganya,” sambung Pi Cis lirih. Beberapa pelanggan datang. Mereka seumuran Pi Cis, A Pauw, dan A Ciu. Tugas memangkas rambut sudah menanti.  “Sekarang anak-anak muda sudah lebih memilih pangkas rambut yang lebih modern, lebih masa kini. Jarang yang pada mau ke sini. Padahal saya juga bisa motong rambut gaya anak zaman sekarang,” ujar Pi Cis.* Seorang pelanggan keluar dari Ko Tang usai di cukur dan dibersihkan telinga di Ko Tang. (Fernando Randy/Historia).

  • Kisah Yamin "Sang Pemecah Belah Abadi"

    GERBANG perjuangan bangsa Indonesia telah terbuka sejak dekade pertama abad ke-20. Melalui berbagai organisasi, tokoh-tokoh nasionalis di negeri ini telah berupaya menghapuskan praktek ketidakadilan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda. Pergerakan mereka yang sebelumnya terpisah pun berhasil disatukan dalam satu wadah yang sama, yakni Volksraad (Dewan Rakyat). Nama-nama besar seperti Muhammad Husni Thamrin, H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan Otto Iskandardinata, pernah menduduki kursi Volksraad. Mereka adalah perwakilan rakyat Indonesia di depan parlemen Belanda. Umumnya para anggota dewan dipilih mewakili partainya masing-masing, namun tidak sedikit yang menjadi wakil dari daerah. Salah seorang tokoh Volksraad yang cukup banyak diperbincangkan kala itu adalah Muhammad Yamin. Dalam buku Muhammad Yamin dan Cita-Cita Persatuan karya Restu Gunawan, Yamin dikenal sebagai sosok yang keras oleh sesama anggota dewan. “Selama di Volksraad, Yamin merupakan tokoh yang sangat radikal dalam menanggapi berbagai masalah,” ucap Restu. Yamin sendiri bergabung bukan mewakili partainya, melainkan dari perwakilan daerah. Ia merasa partainya, Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), selalu kalah dari partai lain. Oleh karena itu demi memuluskan jalannya menduduki kursi dewan , Yamin memutuskan mendekati pejabat daerah Minangkabau. Proses untuk mengikuti pemilihan anggota Volksraadini bukan perkara mudah bagi Yamin. Pemerintah Hindia Belanda telah sejak lama memantau aktivitasnya. Ia dan beberapa anggota partai Gerindo masuk ke dalam daftar orang-orang yang diawasi. “Muhamamd Yamin dilarang (pemerintah Hindia) Belanda untuk pulang ke Padang mendekati anggota gemeente yang akan memilih perwakilannya di Volksraad, karena Yamin dianggap merah oleh (Hindia) Belanda,” tulis Restu. Dalam Chairul Saleh: Tokoh Kontroversial, Irna H.N. Hadi Soewito menyebut pemerintah Hindia Belanda hanya melakukan usaha yang sia-sia untuk menghalangi Yamin. Karena mayoritas suara di daerah Minangkabau tetap memilih dirinya. Namun terpilihnya Yamin di kursi dewan ini berdampak kepada posisinya di dalam partai. Mayoritas anggota Gerindo tidak setuju dengan keputusan Yamin. Ia akhirnya dipecat. Pemikiran-pemikiran Yamin terkadang memang tidak dapat dipahami. Ia kerap kali melakukan perdebatan dengan sesama anggota dewan dari Fraksi Nasional pimpinan Thamrin. Seperti saat ia terlibat debat panas dengan Soetardjo Kartohadikoesoemo, salah seorang anggota Fraksi Nasional yang nantinya menjadi gubernur pertama Jawa Barat. Pada Juli 1936, Soetardjo mengajukan sebuah petisi guna mengatur hubungan baik antara negeri Belanda dengan Hindia Belanda melalui sebuah konferensi. Diberitakan Surat Kabar Pembangoenan 18 September 1936, Soetardjo menginginkan adanya keterbukaan dari pihak pemerintah Hindia Belanda. Ia merasa wakil-wakil pribumi harus dilibatkan dalam menjalankan pemerintahan. Sehingga Soetardjo meminta diberikan zelfstandigheid (kemandirian) di daerah-daerah. Petisi Soetardjo itu mendapat beragam reaksi. Umumnya mendukung gagasan yang dianggap berani dari seorang pegawai Hindia Belanda. Namun tidak bagi Yamin. Ia merasa isi Petisi Soetardjo itu terlalu kabur dan hanya mewakili pribadinya. Yamin tidak menangkap batas dari kemandirian yang diminta Soetardjo. Ia khawatir hal itu akan berdampak buruk bagi rakyat Indonesia. “Langkah dan taktik Soetardjo ini boleh dipuji tetapi sebenarnya tidak ada isi dan tujuannya.” Meski begitu, pada 28 September 1936, Volksraad menerima Petisi Soetardjo. Lebih dari setengah anggota dewan ini setuju dengan usulan tersebut. Akibatnya Fraksi Nasional terpecah. Ada kubu yang mendukung Petisi Soetardjo, dan kubu yang menolaknya seperti Yamin. Menanggapi permasalahan di fraksinya, secara pribadi Thamrin berharap Petisi Soetardjo dapat dikaji dengan penjelasan yang lebih rinci. Namun ia juga merasa langkah ini baik bagi terbukanya konferensi antara Belanda dan Indonesia agar perwakilan rakyat dapat mengutarakan langsung pemikirannya di depan parlemen Belanda. Dan pada 1938 pertemuan kedua negara itu pun dapat terwujud. ”Selama menjadi anggota Volksraad, Yamin dijuluki sebagai ‘pemecah belah abadi’, mengingat Yamin pulalah yang dipandang sebagai biang keladi terjadinya perpecahan dalam Fraksi Nasional,” tulis Restu. Pada 1939 di dalam suatu sidang, Yamin mengutarakan sebuah konsepsi hasil buah pikirnya. Sutrisno Kutoyo dalam Prof. Mohamad Yamin S.H, menyebut Yamin ingin Fraksi Nasional memiliki program tersendiri di samping kegiatan Volksraad. Ia juga mengusulkan agar fraksi terbesar di Dewan Rakyat itu lebih memperhatikan kepentingan luar Pulau Jawa, jangan hanya terpusat di Jawa saja. Namun konsepsi Yamin itu kurang mendapat tanggapan. Fraksi Nasional merasa ada ketidaksesuaian dengan tujuan yang selama ini mereka bangun. Akhirnya pada 10 Juli 1939, Yamin memutuskan keluar dari Fraksi Nasional. Yamin kemudian mendirikan Golongan Nasional Indonesia (GNI), yang merupakan wadah bagi wakil-wakil utusan daerah. Kepentingan yang dibawa bukan sebatas anggota partai saja, tetapi jauh lebih luas. Tokoh-tokoh yang ikut dalam fraksi Yamin ini di antaranya, Mangaraja Suangkupon (Sumatera Utara), Dr. Abdul Rasjid, dan Mr. Tadjudin Noor (Kalimantan). Meski terpecah, Yamin dan Thamrin memiliki pandangan yang sama tentang kemerdekaan dan persatuan Indonesia. Seperti terlihat saat keduanya sepakat untuk menentang kedudukan Belanda di Indonesia ketika kekuatan hukum negeri itu hancur akibar serangan Jerman pada 10 Mei 1940. Belanda yang mengungsikan pemerintahannya ke Inggris dianggap melanggar peraturan. “Jadi perbedaan dalam prinsip dan pemikiran boleh saja terjadi, tetapi ketika sampai pada tujuan yaitu Indonesia yang merdeka para tokoh selalu pada satu kata,” ucap Restu.

  • Cinta Mati Ainun-Habibie

    BAGI BJ Habibie, Hasri Ainun Besari bukanlah orang asing. Keduanya saling kenal sejak kecil. Rumah mereka di Bandung berdekatan. Kakak Ainun bahkan teman main kelereng Habibie. Menghabiskan masa kecil di Bandung, Habibie dan Ainun masuk ke SMA yang sama (SLTA). Habibie yang merupakan kakak kelas Ainun, selalu jadi siswa paling kecil dan muda di kelasnya. Guru dan teman-teman sering meledek dan menjodoh-jodohkan mereka berdua. Ainun primadona di sekolah waktu itu. Banyak murid lelaki mengagumi Ainun. Habibie ternyata juga tertarik padanya sejak duduk di bangku SMA. Pada teman sekelasnya, Wiratman Wangsadinata, Habibie berkata, “Wah cakep itu anak, si item gula Jawa,” kata Habibie seperti dikisahkan A Makmur Makka dalam The True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan . Hobi renang Ainun membuat kulitnya menggelap karena terbakar matahari. Pernah suatu ketika Habibie lewat depan Ainun bersama teman-teman lelakinya. “Eh, kamu sekarang kok hitam dan gemuk?” kata Habibie kepada Ainun. Sontak Ainun bingung dengan pertanyaan itu. “Kok begitu? Mau apa dia,” Ainun membatin. Kontak mereka terputus karena Habibie melanjutkan studi ke ITB lantas ke Jerman Barat sementara Ainun kuliah kedokteran di Jakarta. Habibie menghabiskan 7 tahun di Belanda tanpa pernah kembali ke Indonesia. Baru pada Januari 1962 ia mendapat cuti dua bulan yang dimanfaatkannya untuk pulang kampung. Ia mengunjungi makam ayahnya di Makassar. Diantar adiknya, Junus Effendy, Habibie berkunjung ke rumah keluarga Besari di Bandung. Dasar jodoh, kunjungan Habibie berbarengan dengan pulang kampungnya Ainun lantaran sakit. Ainun yang lulus dari Fakultas Kedokteran UI pada 1961 kala itu sudah bekerja di Jakarta. Ainun sudah jadi dokter dan dikagumi banyak lelaki. Saat pertama kali melihat Ainun kembali itu, Habibie langsung jatuh hati. Dia pun langsung bergerak cepat karena tidak punya banyak kesempatan. Cuti Habibie tidak berlangsung lama tetapi mereka mengusahakan untuk saling bertemu sampai akhirnya dia memutuskan untuk melamar Ainun di sebuah tanah lapang. “Ainun kamu mau menerbangkan pesawat ini bersama denganku, menjadi pendamping cita-citaku?” Jenazah B.J. Habibie saat tiba di Taman Makam Pahlawan Kalibata. (Fernando Randy/Historia). Lamaran Habibie diterima Ainun. Habibie pun rutin mengantar Ainun ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, tempat Ainun bekerja di bagian anak-anak. Habibie juga rutin menjemput Ainun dengan becak saat jam kerja usai. Pacaran mereka tak lama. Pada 12 Mei 1962, Habibie dan Ainun melangsungkan pernikahan. Setelah itu mereka pindah ke Jerman dan memulai hidup dari nol. Mereka tinggal di rumah susun di luar Aachen, Jerman. Penghasilan Habibie pas-pasan. Ia menerima setengah gaji Diploma Ingineur karena bekerja setengah hari sebagai asisten di Institute Konstruksi Ringan. Ia juga mendapat 600 Deutsche Mark dari DAAD, dinas beasiswa Jerman. Habibie yang tiap hari naik bus untuk sampai ke tempat kerjanya, seringkali harus berjalan kaki 15 kilometer kalau sedang kekurangan uang untuk membeli kartu langganan bulanan bus. Perjalanan jauh itu mengakibatkan sepatunya lekas jebol. Habibie baru akan menambalnya kalau sudah musim dingin karena untuk menghindari salju atau udara dingin menembus ke dalamnya. Jauhnya tempat tinggal mereka sedikit merepotkan Ainun yang kala itu sedang hamil. Untuk memeriksakan kandungannya, ia harus naik bus ke kota. Namun, bus itu hanya lewat dua jam sekali. Asuransi kesehatan untuk Ainun yang sedang hamil terbilang tinggi. Ia pun putar otak untuk menghemat pengeluaran dengan menjahit baju musim dingin, pakaian bayi, dan memperbaiki baju musim dinginnya sendiri. Untuk menambah pernghasilan, terlebih mempersiapkan persalinan istrinya, Habibie bekerja sebagai ahli konstruksi di pabrik kereta api Waggonfabrik Talbot. Tugasnya mendesain gerbong-gerbong kereta. Dalam keterbatasan finansial itu, anak pertama mereka lahir pada 1963. Empat tahun berselang, menyusul lahir anak kedua. Habibie-Ainun terus menjalani keseharian dengan bahagia bersama dua buah hati di Jerman hingga panggilan Soeharto untuk kembali ke Indonesia datang pada 1974. Di tanah air, Habibie berkarier sesuai minatnya. Alhasil, prestasi demi prestasi terus diraihnya. Dukungan penuh Ainunlah yang ikut membuat karier Habibie meroket hingga menempatkannya ke dalam jajaran tokoh terpenting negeri ini. Namun, kisah cinta Habibie-Ainun akhirnya berakhir pada 22 Mei 2010 karena kanker ovarium merenggut nyawa Ainun. Habibie yang sangat mencintai istrinya, November tahun itu juga meluncurkan buku Habibie & Ainun yang mengisahkan 48 tahun perjalanan cinta mereka. Romansa cinta keduanya bahkan difilmkan oleh MD Pictures pada 2012. Pengakuan Habibie dalam Mata Najwa Juni 2019, bahwa cintanya pada Ainun tak terpisahkan oleh maut. Tiap Jumat ia selalu ziarah ke makam Ainun dan mengiriminya doa tiap malam. Hari ini, 11 September 2019, Habibie menyusul sang kekasih ke alam kebadian. “Saya tak mau istri saya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan kalau saya tidak di sebelahnya…. Saya tidak lagi takut mati karena saya tahu, siapa di sana yang akan menyambut saya pertama kali. Bukan hanya ibu saya, tapi juga Ainun. ‘Hei, kamu sekarang di sini juga, ya?’” kata Habibie menirukan mendiang istrinya.

  • Habibie dan Sang Jenderal

    ISTANA NEGARA, 22 Mei 1998. Pukul 3 sore, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menerima kedatangan Panglima Kostrad Letjen TNI Prabowo Subianto. Pagi harinya, Habibie telah menerima laporan dari Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto tentang pasukan Kostrad dari luar Jakarta yang bergerak di ibu kota. Sejumlah tanya menggelayut dalam benak Habibie jelang ketemu Prabowo,. “Apakah perlu saya bertemu? Apa gunanya bertemu? Letjen Prabowo adalah menantu Presiden Soeharto. Pak Harto baru 24 jam meletakkan jabatannya... Mengapa Prabowo tanpa sepengetahuan Pangab telah membuat kebijakan menggerakan Kostrad?” kenang Habibie dalam otobiografi Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi . Prabowo dan keluarganya bukan orang baru bagi Habibie. Prabowo mengaggumi sosok Habibie sebagai cendekiawan yang ahli teknologi. Pun sebaliknya, sejak SMA Habibie telah menganggumi ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo yang pernah jadi Menteri Keuangan era Sukarno serta Menteri Perdagangan di masa Soeharto dalam Kabinet Pembangunan I (1968 –19 73).    Soemitro-lah yang merekomendasikan Habibie kepada Presiden Soeharto untuk mengelola proyek pembangunan teknologi. Pada 1978, Habibie menjabat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) dalam Kabinet Pembangunan III. Jabatan itu diemban Habibie berturut-turut hingga berakhirnya masa Kabinet Pembangunan VI pada 1998. Di saat yang sama, Prabowo telah merintis karier militernya sebagai perwira tinggi TNI sekaligus menantu Presiden Soeharto. Habibie mengenal karakter Prabowo. Prabowo lahir dan dibesarkan di lingkungan intelektual dan rasional. Disiplin intelektual memungkinkannya untuk menganalisis, mempertanyakan, memperdebatkan tiap jejak seorang diri dengan lingkungannya, termasuk dengan atasannya. Berbeda halnya dengan disiplin militer yang hanya mengenal satu jawaban, “siap laksanakan”. Menurut Habibie, pembawaan Prabowo masih bernapaskan disiplin intelektual. Prabowo Subianto dan B.J. Habibie bertemu di desa Kakerbeck, Altmarkkreis Salzwedel, Jerman, 2013. (Facebook Prabowo Subianto). Dalam otobiografinya, Habibie mengatakan bahwa Prabowo dalam gerakan dan tindakannya sering terjadi konflik antara disiplin militer dan disiplin sipil. Ini tidak lain dikarenakan statusnya sebagai menantu Soeharto di mana budaya feodal masih subur. Makanya apapun yang dilakukan Prabowo akan ditoleransi dan tidak pernah mendapat teguran dari atasannya. Kebiasaan pemberian "eksklusivitas" kepada Prabowo mungkin salah satu penyebab terjadinya pengerahan pasukan Kostrad tanpa konsultasi, koordinasi, dan sepengetahuan Panglima ABRI. “Walaupun saya sangat akrab dan dekat dengan Prabowo, kebiasaan tersebut tidak boleh saya tolerir dan biarkan. Ini suatu pelajaran bagi semua bahwa dalam melaksanakan tugas, pemberian 'eksklusivitas' kepada siapa saja, termasuk kepada keluarga dan teman, tidak dapat dibenarkan,” ujar Habibie. Soal pengerahan pasukan Kostrad sebenarnya masih simpang siur. Menurut Letjen TNI (Purn.) Sintong Panjaitan, yang saat itu menjadi penasihat Habibie bidang Pertahanan dan Keamanan, kehadiran pasukan Kostrad dari luar Jakarta perlu dicek lebih dahulu. Tetapi, disebabkan kendala waktu –padatnya agenda Habibie dan keadaan negara yang genting–, maka kehadiran pasukan itu tidak perlu dicek lagi. “B.J. Habibie percaya kepada Wiranto yang dianggapnya sebagai orang jujur,” kata Sintong dalam biografinya,  Perjalanan Seorang Prajurit: Para Komando .    Ayah Prabowo, Soemitro juga mempertanyakan pengerahan pasukan itu. Berdasarkan keterangan yang diperolehnya dari Panglima Kodam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin, dapat dipastikan kalau pasukan itu bukan berasal dari Kostrad melainkan Kopassus. Ini didasarkan atas perintah Panglima ABRI di Markas Komando Garnisun pada 14 Mei 1998. Kostrad ditugaskan untuk mengamankan instalasi vital, Marinir bertugas mengamankan konsulat asing dan kedutaan asing, sedangkan Kopassus bertugas mengamankan RI-1 dan RI-2. “Jelas sudah, dalam soal ini satu dari dua orang itu: Habibie atau Wiranto, pasti berdusta,” tegas Soemitro dalam biografinya,  Jejak Perlawanan Begawan Pejuang .    Ketika Prabowo memasuki ruang kerja Presiden Habibie, senjata yang melekat padanya ditanggalkan. Habibie menyaksikannya dengan lega. Hal ini berarti pemberian “eksklusivitas” kepada Prabowo tidak dilaksanakan lagi. Saat bersua, sudah jadi kebiasaan di antara keduanya bercengkerama dalam bahasa Inggris. Prabowo mengatakan pasukan yang dikerahkannya bertujuan untuk melindungi presiden. Habibie menyanggahnya, bahwa Pasukan Pengaman Presiden yang berwewenang untuk itu. Prabowo sempat tawar menawar agar tetap diberikan wewenang memegang kendali pasukannya. Habibie menolak. Hasil pertemuan itu memutuskan pencopotan jabatan Prabowo sebagai Panglima Kostrad. Sebelum berpisah, Habibie sempat memeluk Prabowo dan menitipkan salam kepada Soemitro dan ayah mertua Prabowo, Soeharto. “Saya percaya bahwa iktikad dan niat Prabowo untuk melindungi saya adalah tulus, jujur, dan tepat,” kenang Habibie.   Hari itu, sebelum matahari terbenam, Prabowo menyerahkan pasukannya kepada Panglima Kostrad yang baru Johny Lumintang. Prabowo legowo. Posisi baru sebagai komandan Sesko ABRI, sekolah staf dan komando gabungan lintas matra, menantinya.*

  • Ridwan Saidi dan Bahasa Armenia

    Prasasti yang dikeluarkan Kadatuan Sriwijaya dituliskan dalam bahasa Armenia, bukan Senskerta. Selama ini, banyak arkeolog salah mengira tulisan dalam prasasti-prasasti itu berbahasa Sanskerta, karenanya menimbulkan banyak salah arti. Hal itu diucapkan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, dalam video yang diunggah di kanal YouTube "Macan Idealis". “Banyak sekali bahasa Melayu menyerap dari bahasa Armenia. Jadi ketika dibaca, oh, ini bahasa Melayu padahal bahasa Armenia,” katanya. Kenyataannya, semua prasasti peninggalan Kadatuan Sriwijaya ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. “Jelas kok itu Melayu Kuno. Masa nggak percaya bahasa sendiri,” kata Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, ketika ditemui di kantornya di Pejaten, Jakarta. Titi menjelaskan, beberapa prasasti Sriwijaya berisi kutukan sebagai ancaman bagi warga yang akan berkhianat atau membantu para pengkhianat. Logikanya, karena kutukan itu diperuntukkan untuk mengancam masyarakat setempat, masyarakat pun harus mengerti isi kutukan itu. “Ya, mereka pakailah bahasa setempat nggak mungkin pakai bahasa Armenia. Jelas mereka pakai Melayu supaya mereka (masyarakat, red. ) takut,” ujar Titi. Soal prasasti berbahasa Armenia, sejauh ini belum ditemukan di Nusantara. Kalau bukan Melayu Kuno, prasasti yang ditemukan di Nusantara pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, biasanya berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno, Sunda Kuno, atau Bali Kuno. Titi menjelaskan, ketika mengidentifikasi sebuah prasasti biasanya seorang epigraf akan mencari perbandingan. “Misalnya, ketika menelusuri prasasti beraksara Pallawa di sini, sebelumnya para ahli harus cari tahu ternyata sama dengan yang di India abad ke-4, ke-5. Berarti ini huruf Pallawa. Nah, Ridwan Saidi begitu nggak waktu identifikasi itu bahasa Armenia?” kata Titi. Hal itu juga dilakukan para ahli ketika mengidentifikasi bahasa dalam prasasti. Salah satunya, menurut arkeolog Prancis, George Cœdès dalam Kedatuan Sriwijaya, adalah ahli epigrafi asal Belanda, Ph. S. van Ronkel yang kemudian mengenali adanya bahasa Melayu sejati dalam prasasti di Palembang. Van Ronkel lewat tulisannya, “A Preliminary Note Concerning Two Old Inscriptions in Palembang” dalam Acta Orientalia mengidentifikasi dua prasasti Palembang, yaitu Kedukan Bukit (683) dan Talang Tuwo (684). Menurutnya, ada kesamaan yanghampir sempurna antara bentuk kata kerja yang terbukti ada pada abad ke-7 dengan yang ada pada abad ke-16, dan yang sebagian besar masih ada dewasa ini. “Sungguh-sungguh suatu contoh yang istimewa tentang betapa bahasa itu tak gampang berubah,” kata Van Ronkel dikutip Cœdès. Menurut Van Ronkel tak ada perbedaan fonetik, morfologi, atau sintaksis antara bahasa Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Palembang. Catatan Van Ronkel membuktikan kalau ada kemantapan Bahasa Melayu sejak abad ke-7. Adapun menurut ahli epigrafi Belanda, H. Kern yang menerbitkan Prasasti Kota Kapur pada 1913, baik dari segi tata bahasa maupun kosakata, bahasa dalam Prasasti Kota Kapur sangat berbeda dengan Bahasa Melayu Kuno dan dengan Bahasa Minangkabau sehari-hari. Karenanya, pengetahuan tentang dua bahasa itu pun tak membantu usaha penafsiran prasasti. Namun, di sisi lain Kern juga mencatat dari 73 kata dalam Prasasti Kota Kapur, 50 kata bisa langsung diartikan melalui Bahasa Melayu atau diturunkan dari akar kata Melayu. “Hemat saya, wajarlah kalau prasasti-prasasti itu dikatakan berbahasa Melayu Kuno,” kata  Cœdès. Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, mengatakan pemakaian Bahasa Melayu Kuno oleh orang-orang Sriwijaya berangkat dari sifat agama Buddha yang egaliter. Dilihat dari tinggalannya dan keterangan dalam prasasti serta kesaksian biksu Tiongkok I-Tsing sangat beralasan untuk menunjuk Buddha sebagai ajaran mayoritas yang dianut Sriwijaya. Mereka tak mengenal sistem kasta. “Makanya dipakai bahasa lokal, karena itu egaliter,” kata Agus. Sementara itu, prasasti-prasasti awal Kerajaan Mataram Kuno dan Kanjuruhan di Jawa memilih memakai Sanskerta, bahasa elite kerajaan dan keagamaan. Sanskerta hanya dikenal oleh kalangan terbatas, seperti kaum Brahmana Hindu agar ajarannya tak bocor. Penguasa dan rakyat Sriwijaya nampaknya percaya diri membuat prasastinya dalam bahasa lokal. Fenomena ini menandai adanya revolusi status bahasa daerah yang dianggap setara dengan bahasa Sanskerta. Bisa dikatakan penggunaan bahasa Melayu Kuno di Kedatuan Sriwijaya terkait dengan munculnya nasionalisme dari penguasa dan rakyat Sriwijaya. “Semangat menggunakan apa yang menjadi milik sendiri terlihat dari penggunaan Bahasa Melayu Kuno,” kata Agus.

  • Riwayat Tan Sing Hwat

    Tiga film Indonesia akan mengikuti Busan International Film Festival (BIFF) ke-24 pada 3-12 Oktober 2019 mendatang. Tiga film tersebut yaitu The Science of Fictions (2019), Tak Ada yang Gila di Kota Ini (2019), dan Aladin (1953). The Science of Fiction karya Yosep Anggi Noen akan tayang perdana dalam program A Window on Asian Cinema. Sedangkan film Tak Ada yang Gila di Kota Ini garapan Wregas Bhanuteja akan berkompetisi dalam program Wide Angle: Asian Short Film Competition. Yang terakhir, film Aladin masuk dalam program Busan Classics. Dalam laman resmi BIFF, ditulis, “Film ini memberi tahu kita bahwa film-film Indonesia pada 1950-an memiliki tingkat teknologi yang fantastis. Meskipun tidak cocok untuk Aladdin Disney, film ini menunjukkan tingkat film Indonesia pada saat itu dalam menggunakan efek khusus.” Film buatan tahun 1953 ini disutradarai oleh Tan Sing Hwat. Sutradara yang jarang diperbincangkan ini bernama alias Tandu Honggonegoro. Menurut arsip Sinematek, Tan Sing Hwat lahir di Pasuruan, 5 Januari 1918 dari pasangan Tan Thwan Kie dan Dewata. Sejak muda, Tan mengikuti kursus mengetik, Bahasa Indonesia, Administrasi, Boekhoeding , serta Bahasa Inggris, Belanda, hingga Jerman. Tan pernah bersekolah di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) selama kurang dari dua tahun. Sejak 1935, Tan menulis cerita pendek dan cerita bersambung di beberapa majalah dan harian di antaranya Liberty , Sadar , Star Weekly , Aneka , dan harian Republik . Potret Tan Sing Hwat tahun 1980. (Sinematek). Leo Suryadinata, sinolog Tionghoa Indonesia dalam Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches 4th Edition menyebut Tan pernah bekerja sebagai penjaga toko di sebuah perusahaan dan terlibat konflik antara pekerja dan pemerintah Belanda hingga membuatnya ditangkap. Kemudian pada 1940, Tan dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena menulis artikel yang dianggap menghina Belanda. Pada 1942, pasca invasi Jepang, Tan bergabung dengan gerakan gerilya Indonesia. Sempat ditangkap Jepang, namun dibebaskan. Pada perang kemerdekaan, tepatnya pada 1948, dia ditahan Belanda karena terlibat dalam gerakan revolusioner. Tan dibebaskan pada 1950. Sebelum menggeluti dunia film, Tan merupakan wartawan harian Keng Po di Jakarta. Selain itu, dia juga membantu harian Malang Post dan Pewarta Surabaya . Karier filmnya bermula dari membantu sandiwara keliling Bintang Surabaya pimpinan Fred Young dan Nyoo Cheong Seng. Tan juga mulai belajar menulis skenario film dari Fred dan Nyoo. Pada 1950, Tan mulai pindah ke dunia film dan kemudian bekerja sebagai sutradara tetap di Golden Arraw. Dia juga pernah bekerja sama dengan Wim Umboh dan Lie Ik Sien (Iksan Lahardi). Film pertamanya, Siapa Dia? rilis tahun 1952. Sejak itu, dia mulai aktif menyutradarai berbagai film di antaranya, Bawang Merah Bawang Putih , Gadis Tiga Zaman hingga Sri Asih,  film superhero pertama Indonesia. Sinematek mencatat, dia menyutradarai 13 judul film. Pada Festival Film Indonesia (FFI) 1960, Tan mendapat penghargaan sebagai penulis skenario terbaik lewat filmnya Kunanti di Jogja. Selain sebagai sutradara, Tan juga aktif di grup teater Lekture dan Manunggal Film Surabaya. Dia tergabung dalam Yayasan Film & Teater Liberty Surabaya. Pernah menjadi Wakil Ketua Komisi Film dan Televisi Dewan Kesenian Surabaya serta melatih teater untuk disiarkan TVRI stasiun Surabaya. Pada 1962, Tan bekerja sebagai sutradara lepas dan menyutradarai film untuk Perusahaan Gema Masa. Krishna Sen dalam Chinese Indonesians in National Cinema menyebut Tan Sing Hwat bersama Fred Young, adalah dua penulis-sutradara Indonesia Tionghoa paling produktif. “Tan Sing Hwat menggunakan nama Jawa, Tandu Honggonegoro (yang dia gunakan sesekali sejak awal 1950-an) menyutradarai dua film pada tahun 1961 ( In the Valley of Gunung Kawi  [ Dilereng Gunung Kawi ], dan A Song and a Book  [ Lagu dan Buku ]),” sebut Krishna Sen. Bachtiar Siagian, sutradara yang juga anggota Lekra dalam Catatan Mengenai Hubunganku dengan Teater yang dipublikasikan Indoprogress.com , menyebut bahwa Tan Sing Hwat merupakan salah satu pengurus Sarikat Buruh Film dan Seni Drama (Sarbufis). Sedangkan Leo menyebut bahwa mungkin karena hubungannya dengan Lekra, dia tidak bisa menulis lagi setelah tahun 1965. “Menurut akunya sendiri, dia bekerja sebagai pengemudi bemo (kendaraan bermotor roda tiga) selama sembilan tahun. Namun, selama tahun 1970-an dia mulai menulis lagi dan menghasilkan sejumlah drama TV,” tulis Leo. Tan Sing Hwat berganti nama menjadi Agoes Soemanto sejak terbitnya Keputusan Presedium Kabinet No. 127/U/KEP/12/1966, yang mengatur ganti nama bagi warga negara Indonesia yang menggunakan nama Tionghoa. Tan Sing Hwat alias Tandu Honggonegoro alias Agoes Soemanto, sang sutradara itu meninggal dunia pada akhir 1980-an.

  • Agen CIA Merampok Bank Indonesia

    PADA 4 Desember 1964, seorang Belanda, Werner Verrips, yang mengendarai mobil sport barunya, Mercedes, tewas dalam kecelakaan di jalan bawah dekat Sassenheim, Belanda. Dia dimakamkan di Zeist Nieuwe Begraafplaats, Utrecht, Belanda. Kematian Verrips mencurigakan. Siapakah dia?

  • Akhir Hayat Sang Teknokrat

    IBU Pertiwi berduka. Salah satu putra terbaik, seorang teknokrat dan negarawan Bacharuddin Jusuf Habibie berpulang ke Rahmatullah. Sang “Bapak Pesawat” menutup hayatnya di usia 83 tahun pada Rabu (11/9/2019) sekira pukul 18.05 WIB di RPSAD Gatot Subroto, Jakarta. Sang Presiden RI ketiga itu bakal selalu dikenang kiprah dan baktinya sepanjang hidupnya. Habibie lahir di Parepare, 25 Juni 1936 dari pasutri blasteran Gorontalo-Jawa, Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA Tuti Marini Puspowardojo. Sejak kecil ia sudah tergolong kutubuku. Saking sukanya membaca, tulis A. Makmur Makka dalam True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan , Sri Sulaksmi, kakak pertama Habibie, mesti memaksanya untuk mau bermain dengan anak-anak sebayanya. Selain pandai mengaji, Habibie tergolong introvert. Ia baru 14 tahun alias masih ABG ketika ditinggal wafat ayahnya. Habibie lah yang diandalkan sang ibu untuk merantau ke Jawa mengejar pendidikan setinggi mungkin guna mewujudkan impian ayahnya. “BJ Habibie mendengar sendiri di malam ketika ayahnya meninggal, ibunya berteriak-teriak dan bersumpah di depan jasad suaminya, bahwa cita-cita suaminya terhadap pendidikan anak-anaknya akan diteruskannya,” sebut Makmur. Sampailah Habibie ke Bandung dengan masuk SMAK Dago, di mana ia menggemari pelajaran-pelajaran eksakta, utamanya Fisika. Setelah melanjutkan ke Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1954, Habibie mulai gandrung terhadap pesawat berangkat dari kegemarannya terhadap aeromodelling . “Ia punya model pesawat terbang yang dibuat sendiri dan selalu diperagakan. Tetapi model tersebut tak pernah sempat disempurnakan. Ia pernah masuk Aeromodelling Club, tapi tak punya waktu banyak untuk itu,” sambungnya. BJ Habibie (berjaket kulit) di masa SMA di Bandung (Foto: Repro "True Life of Habibie") Namun pendidikannya di ITB hanya sampai enam bulan lantaran Habibie kepincut kuliah di luar negeri sebagaimana kawannya, Kenkie Laheru. Dari kawannya itu dia mengajukan visa pelajar ke Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan di Jakarta. “Habibie berangkat ke Jakarta dan menemui petugas yang berwenang. Dia ditanya mau pilih jurusan apa? Habibie memilih Ilmu Fisika. Dijawab oleh petugas, bahwa tidak ada jurusan Fisika, hanya ada jurusan lain, termasuk Ilmu Aeronautika,” imbuh Makmur. Jurusan terakhir itulah yang diambil Habibie lantaran di Ilmu Aeronautika paling banyak bersinggungan dengan Fisika. Habibie pun masuk ke Technische Hochschule Aachen (kini RWTH Aachen University). Ia berangkat dengan jalur membeli devisa pemerintah. Semua biayanya dikucurkan dari peninggalan mendiang ayahnya lewat perkenan sang ibu. “Habibie memilih jurusan itu juga dengan dasar pertimbangan pesan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Moh. Yamin. ‘Kamu inilah harapan bangsa,’ ucap Yamin sambil mengelus-elus kepalanya,” tutur Makmur. Alasan lain Habibie menggeluti ilmu tentang pesawat terbang, lantaran ia juga ingin mendalami teknologi pesawat Jerman yang dikaguminya. Sejak belia, Habibie terkagum-kagum pada pesawat tempur Jerman era Perang Dunia II, Messerschmitt 109, bikinan teknokrat Willy Messerschmitt. Kebetulan, kampus yang dipilih Habibie merupakan tempat Messerschmitt kuliah. Berturut-turut pada 1960 dan 1962, Habibie senantiasa cemerlang melahap ilmu-ilmu yang digalinya dan berbuah gelar Diplom-Ingenieur hingga Ingenieur . Ia satu-satunya mahasiswa Indonesia yang kuliah dengan ongkos sendiri, bukan beasiswa negara sebagaimana sejumlah kompatriotnya kala itu. Sembari menyelesaikan studi doktoralnya, ia menyibukkan diri jadi tangan kanan Hans Ebner, teknokrat di Lehrstuhl und Institut für Leichtbau, dan bekerja paruh waktu dengan menjadi penasihat di manufaktur keretaapi Waggonfabrik Talbot. Gelar Doktoringenieur akhirnya diperoleh Habibie pada 1965. Pulang ke Tanah Air Selagi ia meneruskan karier di pabrik pesawat Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB) di Hamburg, pada 1973 sebuah panggilan pulang mendatangi Habibie. Kakak ipar Habibie, Brigjen Subono Mantofani, menyampaikan kabar yang datangnya dari Presiden Soeharto itu. Soeharto yang mendengar kecemerlangan Habibie di Jerman sampai menduduki posisi Wakil Presiden Direktur Teknik MBB, ingin memanfaatkan pikirannya untuk ikut membangun negeri. Dua malam setelah tiba di Indonesia pada 26 Januari 1974, Habibie menghadap Soeharto di Jalan Cendana. Soeharto memintanya membantu pembangunan industri. Habibie menyanggupinya. Habibie pun bertanggungjawab membangun industri pesawat di Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia/PT DI). Ia memulainya dengan membuat sebuah rancangan pesawat, meski harus mencari mitra asing. “Habibie akhirnya mendapat mitra yang diinginkannya, yaitu CASA Spanyol yang setuju bekerjasama dalam pembuatan NC 212 Aviocar Twin-turboprop,” kata Makmur. Puncak kiprah Habibie adalah produksi pesawat N-250, yang lahir saat Habibie memimpin IPTN merangkap sebagai menteri riset dan teknologi. Habibie menamainya “Gatotkoco”. Ia memperlihatkan “mahakaryanya” itu ke hadapan Presiden Soeharto pada 10 Agustus 1995. Pesawat itu lepas landas dengan sempurna dari Lanud Husein Sastranegara, Bandung, berputar di udara Jawa Barat, Laut Jawa, dan kembali ke Lanud Husein. Rombongan, termasuk Soeharto, menampakkan wajah haru dan kagum. “Saya menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada IPTN. Mudah-mudahan akan jadi kebanggaan Indonesia dan juga negara-negara berkembang lainnya yang senasib dengan Indonesia,” tutur Soeharto dikutip Media Indonesia , 11 Agustus 1995. Lingkaran Politik Hingga 1998, Habibie dipercaya Soeharto sebagai wakilnya di Kabinet Pembangunan VII. Namun di tahun itu prahara politik pecah dan melengserkan Soeharto. Otomatis Habibie menggantikan posisi Soeharto, memimpin Indonesia ke era baru: Reformasi. Habibie harus menakhodai negeri dalam kondisi sulit di masa transisi itu. Tuntutan kemerdekaan Timor Timur merupakan salah satu yang terpelik. Habibie akhirnya membuat sejarah dengan mengeluarkan opsi referendum yang berbuah kemerdekaan Timor Timur. Baca juga: Timor Timur Membangun Solidaritas Internasional Belum lagi kritik soal Timor Timur reda, konfik internal Partai Golkar pada 1999 menambah berat jalan yang harus dilalui Habibie. Mengutip Rully Chairul Azwar dalam Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era , muncul perpecahan Golkar kubu Habibie dan Akbar Tandjung. Hasilnya, laporan pertanggungjawaban Habibie di Sidang Umum MPR ditolak dan membuat Habibie harus mundur dari pencalonan presiden kendati sebelumnya sudah resmi dicalonkan. Akbar Tandjung menyanggah perpecahan itu. “Formalnya kita mendukung. Cuma di intern kita banyak aspirasi yang tidak mendukung. Terutama aspirasi anggota Fraksi ABRI di DPR. Mahadi cs. juga enggak mau. Waktu itu kan banyak kasus sekitar Pak Habibie, seperti kasus Bank Bali. Pokoknya dilihat Pak Habibie masih Orde Baru-lah. Konsekuensinya kita tak bisa kontrol orang kita. Bangsa Agu n cs. itu, termasuk Agus Gumiwang Ginandjar,” kata Akbar dikutip Rully. Baca juga:  Membidani Industri Strategis Dalam Negeri Tepat 20 Oktober 1999, Habibie melepaskan jabatannya dan digantikan KH Abdurrahman Wahid. Selepas itu, ia lebih banyak berkiprah lagi di Jerman. Kendati sempat ditawari status warga negara kehormatan oleh negeri maju itu, Habibie menolaknya lantaran kecintaannya pada Indonesia yang tak mengenal dwi-kewarganegaraan. Di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Habibie baru sering muncul ke publik setelah dipercaya menjadi salah satu penasihat presiden. Ia juga kembali aktif mengasuh Habibie Center, LSM independen dengan tujuan mempromosikan modernisasi dan mengawal demokrasi di Indonesia lewat nilai-nilai budaya dan norma-norma agama, yang berdiri sejak 10 November 1999.

  • Pasang Surut Hubungan Islam-Hindu di Bali

    AJARAN Islam telah menyentuh Bali sejak abad ke-16. Keberadaannya sempat dihalang-halangi oleh para penguasa Bali yang tidak ingin ajaran Hindu di negerinya tergantikan oleh agama pendatang itu. Namun seiring waktu, keduanya bisa saling bekerjasama dan menjalin hubungan baik. Melalui penelitiannya Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang , Dhurorudin menyebut jika kegiatan keagamaan Islam dan Hindu di Bali saling menyesuaikan satu sama lain. Seperti saat beberapa pura di Bali tidak memakai daging babi sebagai sesaji karena dekat dengan lingkungan komunitas Muslim yang mengharamkan hewan itu. Atau saat orang-orang Muslim memberi ketupat saat upacara Galungan. “Secara makro hubungan Muslim dengan penduduk Hindu tidak ada perbedaan yang spesifik. Semua sama dalam corak hubungan, yakni terbangun apa yang disebut sebagai nyame slam : saudara Islam,” kata Dhurorudin. Namun yang paling unik, orang-orang Islam dan Hindu pernah terlibat dalam proses mempertahankan wilayah Bali dari penyerangan tentara Belanda. Meski akhirnya mereka terlibat dalam konflik yang sempat memecah persaudaraan dua agama tersebut. Menghalau Pengaruh Belanda Upaya kolonialisasi di wilayah Kepulauan Nusantara memasuki babak baru. Pertengahan abad ke-19 hampir tiap daerah telah berada di bawah kuasa penjajahan. Namun tidak semua. Karena hingga 1840, Bali masih memiliki kerajaan yang memerintah secara mandiri dan sama sekali tidak ada dalam kontrol pihak mana pun termasuk pemerintah Hindia Belanda. Kekhawatiran para penguasa Bali muncul saat kekuasaan mereka di Blambangan berhasil dilumpuhkan oleh tentara Belanda.  Dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Bali disebutkan bahwa Blambangan menjadi benteng penting bagi Bali. Sebagai daerah paling timur di pulau Jawa, yang bersebelahan langsung dengan Bali, Blambangan dapat menghalau serangan yang datang dari arah Barat. Setelah memastikan pemerintahannya di Blambangan, para pejabat Hindia Belanda mulai mengalihkan perhatiannya kepada Bali. Pada 8 Juni 1848, Belanda mengerahkan pasukannya untuk menyerang Buleleng. Mengetahui hal itu, penguasa Jembrana segera mengirim bala bantuan. Sebagai negeri vasal (yang ditaklukan) kerajaan Buleleng, Jembrana berkewajiban ikut menghalau serangan tersebut. “Sikap raja Buleleng yang menolak menyerahkan daerahnya kepada Belanda dan juga menandatangani suatu perjanjian merupakan sikap ksatria yang tidak mau bertuankan Belanda, karena perjanjian-perjanjian yang diminta oleh Belanda itu hanya berarti kehilangan kemerdekaan raja-raja saja,” tulis Made Sutaba, dkk. dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialsime dan Kolonialisme di Daerah Bali . Jembrana yang kala itu dipimpin Anak Agung Putu Ngurah memberangkatkan pasukan terbaiknya di bawah komando Pan Kelap. Menurut Dhurorudin tidak hanya rakyat Bali yang memang mayoritas Hindu saja yang terusik dengan kehadiran Belanda di negerinya, tetapi umat Muslim juga. Dalam Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali, Salah Saidi dan Yahya Anshori mengatakan kalau sejak awal orang-orang Islam di Bali anti terhadap kolonialisme. Sehingga mereka pun ikut berjuang dengan mengirim pasukannya ke Buleleng. Pejuang Muslim yang dikirim ke medan pertempuran jumlahnya sangat besar. Mereka merupakan gabungan dari komunitas Islam yang sejak abad ke-16 telah menetap di Bali dan para pendatang yang datang pada akhir abad ke-17. Para pendatang itu umumnya pelarian dari Sulawesi yang tidak menerima kekuasaan Hindia Belanda di daerahnya. Mereka menolak mengakui kejatuhan Kesultanan Gowa oleh pemerintah kolonial Belanda. Akhirnya komunitas Muslim dari Gowa itu pergi berlayar mencari tempat baru untuk ditinggali. “Kedatangan para serdadu Islam asal Sulawesi Selatan dan Pontianak ini disambut positif oleh raja Bali, di manapun mereka mendarat. Alasan utamanya, mereka dapat dimanfaatkan untuk menjadi benteng pertahanan,” tulis Dhurorudin. Peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu juga menyebut orang-orang Islam ini bukan penduduk biasa, mayoritas adalah mantan prajurit kesultanan dan pelaut. Pengalaman militer mereka mampu diterapkan dengan baik. Sehingga dengan adanya bantuan dari komunitas Muslim ini diharapkan angin kemenangan berpihak kepada Bali. “Dengan bersatunya kekuatan beberapa kerajaan yang didukung kekuatan-kekuatan Islam, pasukan Belanda akhirnya dapat dipukul mundur dan sisa-sisa pasukannya kembali ke kapal,” tulis Dhurorudin. Namun kemenangan itu tidak berlangsung lama. Pada April 1849, Belanda kembali melakukan serangan ke wilayah Bali dengan membawa pasukan yang lebih besar. Wilayah Buleleng-Jembrana pun berhasil ditaklukan. Hindia Belanda akhirnya mendirikan pemerintahannya di sana. Bukan Konflik Agama Konflik besar antara masyarakat Hindu dan Islam pernah terjadi pasca pemerintah Hindia Belanda membangun kekuasaannya di Bali. Pertikaian ini melibatkan sebagian elit Hindu di Jembrana dengan komunitas Muslim. “Tetapi jika dicermati hal itu terjadi bukan murni akibat sentiment keagamaan, tetapi lebih disebabkan oleh kebijakan politik raja yang kurang aspiratif pada masyarakat. Terbukti, sebagian elit Kerajaan Jembrana justru bekerjasama dengan umat Islam dalam kemelut ini,” kata Dhurorudin. Konflik bermula saat pemerintah Hindia Belanda menjadikan Kerajaan Jembrana sebagai regenschap (kabupaten) di bawah residensi Banyuwangi. Sejak itu, banyak masyarakat Muslim Jawa yang datang ke Bali. Mereka segera menyebar, menempati beberapa daerah yang sebelumnya telah ada komunitas Muslim di dalamnya. Mayoritas umat Muslim dari Jawa membawa kemampuan mengobati. Sehingga dalam kesehariannya para ulama ini membuka praktek pengobatan di sekitar tempat mereka tinggal. “Mungkin karena banyaknya warga yang berhasil disembuhkan secara gratis, banyak kaum Hindu yang tertarik masuk Islam,” ucap Dhurorudin. Mengetahui hal itu, Raja Jembrana tidak tinggal diam. Ia segera memberlakukan larangan untuk warga Hindu masuk Islam. Raja pun meminta bantuan para pendeta untuk mempertahankan rakyatnya tersebut. Namun bukan perkara mudah bagi raja menjaga posisinya. Di dalam istana sendiri saat itu sedang terjadi konflik. Banyak pejabat yang kecewa terhadap pemerintahan Jembrana yang otoriter dan sewenang-wenang dalam membuat peraturan. Akhirnya terbentuklah dua kekuatan yang saling berhadapan. Kubu pertama dipimpin oleh Ida Anak Agung Putu Raka dan I Gusti Agung Made Rai yang loyal terhadap pemerintahan raja. Sementara kubu penentang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Made Pasekan, dibantu pasukan Muslim, serta masyarakat Hindu yang tidak senang dengan tabiat buruk raja. Pemerintahan buruk raja Jembrana sebenarnya telah dilaporkan kepada para pejabat Hindia Belanda di Banyuwangi, melalui Surat Gugatan Komisaris Hindia Belanda No. 85 tahun 1855. Namun karena tidak kunjung mendapat tanggapan, pasukan penentang raja akhirnya melancarkan serangan. Perang antara dua kubu itu meletus pada 2 Desember 1855. Pertempuran berlangsung sengit. Kubu Made Pasekan melancarkan serangan dari wilayah Loloan menggunakan meriam bekas pertempuran dengan Belanda. Sementara pihak kerajaan memakai persediaan senjata mereka yang besar, ditambah meriam-meriam bekas penyerahan kapal-kapal pasukan Muslim dari Sulawesi. Meski pasukan Made Pasekan kalah jumlah dengan pasukan kerajaan, tetapi mereka mampu menguasai jalannya pertempuran. Tentara muslim dianggap memberikan efek besar, sama seperti saat melawan pasukan Belanda dahulu. Merasa tertekan, Raja Anak Agung Putu Raka dan para pejabat yang mendukungnya memilih mundur dari Jembrana. Pemimpin pasukan Muslim, Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qodry, yang melihat kemenangan pasukannya kemudian memberi ultimatum kepada Raja Jembrana. Ia berkata: “Maaf tuanku yang mulia, anda telah diambang pintu keruntuhan. Sesungguhnya kami terlarang membunuh orang yang menyerah. Kami mengangkat senjata bukan hendak merebut kekuasaan, tetapi kami menyebarkan agama sambil berniaga dan menolak sekeras-kerasnya perbuatan dzalim yang menghambat agama kami.” Catatan milik pemerintah Hindia Belanda di Banyuwangi, dalam Raad van Bestuur Oost Indische Gouverment , menyebut kalau Raja Jembrana pergi ke Buleleng setelah meninggalkan kekuasaannya. Takhta Jembrana pun diserahkan kepada Made Pasekan (1855-1866). Masa pemerintahan Made Pasekan disebut-sebut sebagai era keemasan perkembangan Islam di Bali dan perniagaan di sekitar bandar Loloan. Wilayah komunitas Islam juga meluas ke beberapa daerah, seperti Rening, Pabuahan, dan Tegal Badeng. Hubungan Muslim-Hindu pun kembali berlangsung secara harmonis.

  • Mencari Sriwijaya di Palembang

    Letak pusat  Kadatuan  Sriwijaya masih menjadi perdebatan. Sejarawan India, Ramesh Chandra Majumdar, berpendapat kalau Sriwijaya harus dicari di Jawa. Sarjana Belanda, J.L. Moens menduga Sriwijaya berpusat di Kedah (Malaysia) dan pindah ke Muara Takus (Riau). Sementara sejarawan George Coedes, Slamet Muljana, dan O.W. Wolters, lebih memilih Palembang. Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, salah satu yang meyakini pusat Sriwijaya ada di Palembang. Alasannya, prasasti Sriwijaya banyak ditemukan di sana. Ada Prasasti Kedukan Bukit (683) yang menandai dibangunnya sebuah perkampungan. Prasasti Talang Tuo (684) yang menandai dibangunnya Taman Sri Ksetra. Dan Prasasti Telaga Batu yang menandai pejabat-pejabat disumpah. “Semuanya ditemukan di Palembang, merupakan suatu bukti bahwa Palembang merupakan Kota Sriwijaya,” kata Bambang dalam acara Borobudur Writers and Cultural Festival, di Hotel Manohara, Magelang. Prasasti Kedukan Bukit berisi tentang perjalanan Dapunta Hyang untuk menemukan tempat baru sampai membangun wanua atau permukiman. “Ada sisa bangunan keagamaan berupa fondasi bata ditemukan di dekat Rumah Sakit Caritas, Bukit Siguntang,” kata Bambang dalam diskusi buku  Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII  di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti Telaga Batumenguatkan argumen bahwa Palembang merupakan ibu kota Sriwijaya. Prasasti ini berisi sumpah seluruh penduduk kota agar tak berkhianat. “Mulai dari putra mahkota hingga tukang cuci disumpah,” kata Bambang. “Merekalah orang-orang paling dekat dengan raja.” Bambang menjelaskan, berdasarkan catatan I-Tsing yang kemudian dihitung secara astronomis, lokasi Shili Foshi diduga berada tak jauh dari Palembang. Menurut I-Tsing, di Shili Foshi, pada pertengahan bulan delapan dan pertengahan musim semi (bulan dua), lempeng jam (bayangan tiang) tidak berbayang. Seseorang yang berdiri di tengah hari tidak berbayang. Matahari tepat di atas kepala dua kali dalam setahun. “Bila diukur berdasarkan  soltice,  yang dapat dikatakan akurat, Shili Foshi tidak terletak di Kota Palembang sekarang atau di sekitar Upang-Sungsang di muara Sungai Musi,” kata Bambang. Namun, Bambang melanjutkan, jika diukur berdasarkan musim, kemungkinan letak Shili Foshi yang terdekat dengan Palembang berada di sekitar Kuala Tungkal Jabung. Hal ini sesuai dengan pendapat pakar epigrafi, Boechari, kalau I-Tsing menulis catatannya tentang  gnomon  (bayangan tiang) saat dia berada di suatu wilayah Shili Foshi, bukan di ibukota Shili Foshi . Lalu mengapa b anyak yang yakin kalau Sriwijaya tak berpusat di Palembang? Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam  Kaladesa: Awal Sejarah Nusantara menerangkan, di Palembang tak banyak peninggalan arkeologis berwujud monumen. Adanya temuan struktur bangunan, arca-arca batu, dan perunggu, prasasti batu, dan beberapa temuan lepas lainnya. “ Tak ada kompleks percandian Buddha yang luas sebagaimana dijumpai di Muarojambi atau di wilayah Jawa pada masanya. Struktur bangunan yang ditemukan di Palembang merupakan sisa candi Hindu yang dinamakan Candi Angsoka,” kata Agus. Menurut Agus, prasasti kutukan yang ditemukan di Palembang, yaitu Telaga Batu, dan Boom Baru, lebih mungkin dikeluarkan seorang pemimpin yang baru menguasai daerah itu. Sama seperti Telaga Batu, Boom Baru yang didaftarkan sebagai cagar budaya akhir tahun 2018, berisi ancaman bagi siapa pun yang berkhianat terhadap penguasa. Prasasti itu sama seperti prasasti kutukan lain yang ditemukan di Bangka yaitu Prasasti Kota Kapur (686), Prasasti Karang Berahi di Merangin Jambi, dan Prasasti Palas Pasemah (sekira abad ke-7) di Lampung. “Artinya, prasasti itu dikeluarkan sebagai tanda kemenangan atas daerah yang ditaklukkannya, yang tentunya bukan suatu ibu kota,” kata Agus.  Adanya prasasti-prasasti yang berisi perjalanan jaya juga menambah keraguan itu. Prasasti Kedukan Bukit menyatakan Dapunta Hyang dengan membawa bala tentara sukses membangun  wanua.  Prasasti Boom Baru dan prasasti-prasasti pendek dari daerah Telaga Batu juga menyatakan adanya perjalanan berjaya. Semua itu, kata Agus, menunjukkan adanya perjalanan ziarah mendatangi wilayah Palembang masa silam. “Tafsir atas prasasti itu, Palembang bukan ibu kota, sebab didatangi untuk keperluan ritual keagamaan. Sangat mungkin wilayah itu dianggap memiliki kekuatan yang kuat,” kata Agus. Agus juga memaknai berbeda berita I-Tsing soal letak Sriwijaya berdasarkan bayangan matahari. “Di Palembang, pada tengah hari bulan September jika seseorang berdiri masih mempunyai bayangan. Berarti jika Palembang merupakan lokasi Sriwijaya tidak sesuai dengan berita biksu I-Tsing,” kata Agus. Karenanya, menurut Agus, berdasarkan beberapa kelemahan itu, lokasi Sriwijaya perlu dicari di tempat lain. Dan itu bukan di tepi Sungai Musi dan Kota Palembang sekarang.

bottom of page