top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Pasang Surut Pasar Tanah Abang

    Kerusuhan melanda kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada 21—22 Mei 2019. Selama dua hari berikutnya, Pasar Tanah Abang terdampak. Para pedagang menutup kiosnya. Mereka jatuh rugi. Perputaran uang senilai Rp200 miliar per hari hilang. Tapi tiga hari setelah kerusuhan, Pasar Tanah Abang buka kembali. Pengunjung pun menyesaki pasar untuk membeli pakaian Lebaran. Sejarah Pasar Tanah Abang ialah sejarah bangkit berkali-kali dari hantaman bala. Kerusuhan dan kebakaran pernah menimpa pasar ini silih berganti. Tapi pasar ini mampu bertahan. Bahkan kemudian menjelma pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara. Pasar Tanah Abang bermula dari permintaan Justinus Vinck, pejabat kaya VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur), untuk mendirikan pasar di atas dua lahan miliknya pada 1733. Satu di wilayah Weltevreden (sekarang Pasar Senen), lainnya berada di Tanah Abang. Vinck melihat perkembangan Batavia ke wilayah selatan telah membentuk permukiman baru. Ada pula pembukaan kebun-kebun baru seperti kebun kacang, kebun jahe, kebun pala, kebun sirih, dan kebun melati untuk penduduk di Tanah Abang. Tetapi belum ada pasar di sekitar wilayah hunian baru ini. Vinck memperoleh izin pendirian dari Gubernur Jenderal Abraham Patras dua tahun berselang, pada 30 Agustus 1735. Surat izin Gubernur Jenderal menyebutkan hari buka pasar milik Vinck. “Pasar diselenggarakan hari Senin untuk Pasar Weltevreden, hari Sabtu untuk pasar yang akan dibangun di Bukit Tanah Abang,” tulis Abraham Patras dalam suratnya kepada Vinck, dikutip PD Pasar Jaya dalam Pasar Tanah Abang 250 Tahun. Terdampak Huru-Hara 1740 Dua pasar Vinck memiliki jenis dagangan berbeda, sesuai aturan Gubernur Jenderal. Pasar Senen untuk jenis sayur mayur dan keperluan sehari-hari. Tanah Abang kebagian jenis tekstil, klontong, dan sedikit sayuran. Vinck membangun sebuah jalan untuk menghubungkan dua pasar ini. Keberadaan jalan mempermudah pedagang dan pembeli menjangkau pasar tersebut. Kemudahan akses terhadap pasar menumbuhkan jumlah transaksi. Dua pasar ini selalu ramai selama lima tahun beroperasi. Sebuah lukisan karya Johannes Rocht pada 1750 menggambarkan keramaian Pasar Weltevreden. Tampak bangunan pasar terbuat dari bambu dan atapnya berbahan rumbia. Gerobak sapi, kerbau, dan kuda memenuhi jalanan pasar. Tersua juga pedagang sedang memikul barang di jalanan pasar. Rocht memang hanya melukis suasana Pasar Weltevreden. Tidak ada lukisan tentang Pasar Tanah Abang. Tetapi lukisan tentang Pasar Weltevreden dianggap mewakili keadaan serupa di Pasar Tanah Abang selama lima tahun pertama operasional pasar. Dalam lima tahun pertama pula salah satu pasar milik Vinck menghadapi bala. Pasar Tanah Tanah Abang beroleh serangan dari Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron von Imhoff pada 8 Oktober 1740. Serangan Von Imhoff merupakan jawaban atas perilaku agresif orang-orang Tionghoa di Tanah Abang terhadap pos jaga VOC sehari sebelumnya. Banyak orang Tionghoa menjadi pedagang di Pasar Tanah Abang. Mereka juga bertempat tinggal di sekitar kawasan pasar. Pasukan VOC menggunakan meriam untuk menghadapi orang-orang Tionghoa di Tanah Abang. “Dengan mudah W. von Imhoff membubarkan gerombolan Tionghoa yang bikin gaduh di Tanah Abang,” catat Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta . Adolf menambahkan orang-orang Tionghoa lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Tembakan meriam merusak sejumlah bangunan Pasar Tanah Abang. “Baru lima tahun berdiri Pasar Tenabang terkena bencana, porak-poranda, dan terbakar ludes,” tulis Abdul Chaer dalam Tenabang Tempo Doeloe. Huru-hara ini melumpuhkan Pasar Tanah Abang hingga 20 tahun. Kumuh dan Sarang Gelandangan Pasar Tanah Abang beroperasi kembali setelah hubungan VOC dengan orang-orang Tionghoa membaik. “Malah orang Cina diberi kepercayaan dan kekuasaan untuk memungut cukai pasar secara borongan,” ungkap Abdul Chaer. Orang Tionghoa juga memperoleh izin pengelolaan rumah madat atau candu di sekitar Pasar Tanah Abang. Pasar Tanah Abang terus semarak memasuki 1800-an. Hari buka pasar tidak lagi cuma pada Sabtu, melainkan juga pada hari Rabu. Keramaian aktivitas perdagangan di pasar tak seiring dengan perbaikan kualitas lingkungan. Bangunan-bangunan pasar kian lama kian rapuh dan kusam. Sampah-sampah menumpuk dan semrawut. “Sampai akhir abad ke-19 bahkan awal abad ke-20 Pasar Tanah Abang belum mempunyai bangunan permanen,” tulis PD Pasar Jaya. Perbaikan fisik di Pasar Tanah Abang berlangsung secara kecil-kecilan pada 1913. Lantai bawahnya mulai dikeraskan pondasi adukan. Perbaikan ini kurang berdampak banyak bagi lingkungan pasar. Khawatir pedagang dan pembeli berkurang, pemerintah kolonial akhirnya merombak Pasar Tanah Abang secara besar-besaran pada Agustus 1926. Bangunan lama nan rapuh berganti bangunan permanen. Lebih nyaman untuk aktivitas para pedagang dan pembeli. Lebih bagus pula untuk promosi nama Pasar Tanah Abang keluar Batavia dan Hindia Belanda. Tetapi kedatangan Jepang pada 1942 mengubah banyak hal di Pasar Tanah Abang. “Pasar Tanah Abang yang tadinya kesohor tekstilnya, saat itu berubah menjadi los-los dan kios kosong melompong tidak ada tekstil sama sekali bahkan banyak yang tutup dan ditempati gelandangan,” cerita H.M. Hasan, pensiunan kepala pasar dalam Pasar Tanah Abang 250 Tahun . Preman dan Kebakaran Pasar Tanah Abang kembali memperoleh cerlangnya setelah sempat masuk tahun-tahun kegelapan selama masa Jepang hingga Revolusi Fisik (1945—1949). Di bawah pengelolaan Pemerintah DKI Jakarta lewat Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya, Pasar Tanah Abang mengalami perombakan secara besar-besaran pada 1973. Pasar Tanah Abang menjadi bangunan bertingkat tiga. Bangunan baru mengerek harga sewa kios lebih mahal. Banyak pedagang tak bisa membayar. Mereka memilih dagang di luar pasar, di pinggir jalan. Keberadaan mereka menyalahi aturan. Pemerintah berupaya menertibkan mereka. Tetapi mereka memperoleh perlindungan dari centeng-centeng atau jago Tanah Abang. Demi keamanan berdagang, mereka rela membayar uang jago. “ Masalah keamanan pasar dirasakan sangat baik. Tentang jawara, tidak pernah mereka melakukan tindak yang menjurus semacam pemerasan. Dengan kami mereka malah saling bekerja sama secara dekat ,” kata seorang pedagang dalam Pasar Tanah Abang 250 Tahun . Pemerintah mulai kehilangan kendali atas keamanan pasar. Mereka bahkan menyerahkan urusan keamanan renovasi pasar kepada salah satu centeng tersohor Tanah Abang dekade 1970-an, Haji Bidun. Kehadiran pemerintah di Pasar Tanah Abang menjadi sebatas pengatur. Keamanan berada di tangan para jago. Jago-jago memperoleh banyak uang atas jasa keamanan, parkir, dan kebersihan dari para pedagang. Tetapi lama-lama mereka tidak lagi melindungi para pedagang, melainkan memerasnya. Bahkan mereka juga menjadikan pembeli sebagai sasaran. Istilah jago tidak lagi tepat untuk mereka. Istilah preman muncul untuk menyebut perilaku mereka. Perputaran uang di Pasar Tanah Abang pada 1990-an mencapai Rp8—10 miliar per hari. Para preman dari berbagai etnis dan wilayah berebut kendali atas Pasar Tanah Abang. Puncaknya terjadi pada November—Desember 1996. Bentrok antarpreman di Pasar Tanah Abang meminta korban jiwa. Pedagang dan pembeli menghindari kawasan ini beberapa lama. Usai rusuh antarpreman, pedagang dan pembeli kembali ke Pasar Tanah Abang. Ini terjadi terus menerus. Kerusuhan Mei 1998 sempat membuat nadi Pasar Tanah Abang berhenti. Tetapi kemudian berdetak kembali. Kebakaran besar pada 2003 menghentikan aktivitas perdagangan selama beberapa hari. Tetapi setelah kebakaran, sembari menunggu bangunan baru dibangun, pedagang menggelar dagangan di jalanan sekitar pasar. Pembeli tetap berdatangan di tempat seadanya itu. Tidak ada satu pun bala mampu meruntuhkan Pasar Tanah Abang untuk selama-lamanya.

  • Ibu Ani Pergi

    Ibu Negara Ani Yudhoyono meninggal dunia di National University Hospital, Singapura, Sabtu, 1 Juni 2019, pukul 11.50 waktu setempat, setelah menjalani perawatan penyakit kanker darah sejak Februari 2019. Kristiani Herrawatilahir pada 6 Juli 1952 di Yogyakarta, sebagai anak ketiga dari pasangan Sarwo Edhie Wibowo dan Sunarti Sri Hidayah. Ada kisah di balik nama Kristiani Herrawati. Saat dia lahir, Sarwo ditugaskan di Batalyon Kresna di Yogyakarta. Ini suatu kebetulan karena dia mengagumi tokoh pewayangan yang berkarakter baik itu. “Begitu aku lahir, Papi langsung mendapat ilham untuk menyematkan ‘Kresna’ dalam namaku,” kata Ani dalam biografinya, Kepak Sayap Putri Prajurit karya Alberthiene Endah. Tentu saja tidak mungkin diberi nama Kresna karena identik dengan laki-laki. Ditambahi “wati” pun terdengar lucu: Kresnowati. “Akhirnya Papi memberi nama Kristiani.” Sedangkan nama Herrawati dipilih dari penggalan kisah yang pernah diceritakan ayahnya. Herrawati memiliki makna kekuatan yang bisa menyapu bersih halang rintang saat terjadi huru-hara. Ani tumbuh seiring penugasan ayahnya. Setelah Yogyakarta, Sarwo ditugaskan di Gombong, kemudian Magelang. Di sini lahir Pramono Edhie Wibowo pada 5 Mei 1955. Kelak menjabat posisi strategis: Danjen Kopassus, Pangdam Siliwangi, Panglima Kostrad, dan Kepala Staf TNI. Dari Magelang, Sarwo pindah tugas ke Sekolah Para Komando Angkatan Darat di Batujajar, pada 1959. Dia kemudian menjabat komandan RPKAD (Kini Kopassus) yang memimpin penumpasan PKI pasca Gerakan 30 September 1965. Setelah itu, Sarwo menjabat Pangdam II Bukit Barisan dan Pangdam XVII Cenderawasih. Dianggap menyaingi pamor Presiden Soeharto, Sarwo kemudian ditugaskan menjabat Gubernur Akademi Militer di Magelang. Di sinilah dia mendapat menantu, siswa Akmil, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketika menghadap Sarwo, SBY bertemu Ani yang tengah mengunjungi ayahnya. Saat itu, Ani tinggal di Jakarta karena kuliah kedokteran di Universitas Kristen Indonesia. Sayangnya, dia gagal menyelesaikan pendidikannya. Hubungan SBY dan Ani berlanjut. Keluarga merestui hubungan mereka. SBY dan Ani tunangan pada 1974 karena Ani ikut ayahnya tugas sebagai duta besar di Seoul, Korea Selatan. Ketika Ani kembali ke Indonesia, giliran SBY yang tengah mengikuti pendidikan militer di Amerika Serikat. Setelah kembali dari Negeri Paman Sam, SBY menikahi Ani pada 30 Juli 1976. Mereka dikaruniai dua orang putra: Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono. Ani mengikuti jejak ibunya yang bersuami tentara. Ibunya berpesan: “begitu masuk ke dalam kehidupan tentara, Ani, kamu harus belajar dua hal: kuat mendampingi suami dalam berbagai kondisi tugasnya, serta harus pandai beradaptasi. Tiada lain.” “Pengalaman menjadi anak tentara membuat saya tak kaget setelah menjadi istri tentara. Saya bisa mendampingi SBY menempuh karier militernya dengan corak kehidupan yang berubah-ubah,” kata Ani dalam 10 Tahun Perjalanan Hati karya Alberthiene Endah. Karier militer SBY sampai puncak dengan pangkat jenderal. Dia menjalani pendidikan militer di dalam dan luar negeri. Begitu pula penugasannya. Jabatan terakhir di militer sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI. Sedangkan penugasan ke luar negeri sebagai Chief Military Observer United Nation Peace Forces di Bosnia-Herzegovina. SBY pensiun dari militer karena ditunjuk menjadi menteri. Dia menjabat Menteri Pertambangan dan Energi kemudian Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Dia kembali menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Setelah itu, dia mendirikan Partai Demokrat pada 9 September 2002. “Hal yang terasa beda, ketika SBY akhirnya terjun ke dunia politik. Inilah penyesuaian diri saya yang memerlukan mental lebih tangguh. Karena flavour politik beda dengan tempaan dalam kehidupan tentara. Kelihatannya memang tidak sekeras di barak, tapi politik itu 'makan dalem'. Batin dan pikiran digerus,” kata Ani. Walau begitu, Ani mendukung SBY memilih jalan politik untuk mengabdi kepada negara. “Dari istri menteri saya kemudian ikut menyibukkan diri mendampingi SBY membangun Partai Demokrat. Hingga akhirnya dia diantar ke posisi puncak. Menjadi seorang presiden,” kata Ani. Selama mendampingi SBY, Ani dengan semangat menjadi anak-anak tangga yang dilintasi SBY. "Dan sepanjang itu saya berada di sisinya.” Kini, dia berada di sisi-Nya.

  • Tottenham Hotspur Tak Pernah Lelah Bertempur

    MENDEKATI hari-H final Champions League, Minggu (2/6/2019) dini hari, Mauricio Pochettino kian dinaungi kegalauan. Pembesut Tottenham Hotspur itu tentu ingin menurunkan pasukan dengan komposisi terbaiknya untuk meladeni Liverpool. Namun apa daya, sudah dua bulan-an Spurs tampil tanpa kapten sekaligus mesin gol Harry Kane akibat cedera engkel. Kendati Kane sudah dua kali nongol di kamp latihan akhir pekan lalu, kekhawatiran tetap masih terpancar di wajah Pochettino. “Jumat dan Sabtu pekan lalu dia sudah mulai bergabung ke latihan tim. Situasinya sangat positif baginya. (Tapi) saya tak bisa bilang bahwa dia akan 100 persen bugar, atau jika dia akan bisa bermain dari menit awal atau tampil dari bangku cadangan atau mungkin tak masuk susunan pemain. Namun kami menyambut positif progres kepulihannya,” sebut Pochettino, dikutip Daily Star , Rabu (29/5/2019). Skenario terburuk jika Kane gagal tampil, Pochettino terpaksa memaksimalkan sisa skuad mudanya macam Dele Alli, Son Heung-min atau Lucas Moura. Sudah kepalang tanggung buat Spurs jika bersikap nothing to lose . Maklum, seumur-umur Spurs hanya punya koleksi tiga gelar Eropa kelas medioker: satu trofi Winners Cup (1962-63) dan dua UEFA Cup yang kini jadi Europa League (1971-72 dan 1983-84). Tottenham Hotspur saat memenangi UEFA Cup 1984 (Foto: Twitter @SpursOfficial) Raihan trofi “Si Kuping Besar” jelas bakal jadi penyempurna kejutan “The Lilywhites” (julukan Spurs) musim ini. Namun yang terpenting, itu bakal jadi momen pertama klub berkomposisi pemain muda itu mencicipinya.  Dilahirkan Sekumpulan Bocah Sekolah Kini, anak-anak muda dari London utara itu sedang menatap sejarah baru. Tinggal Liverpool yang menghalangi mereka nanti di Estadio Wanda Metropolitano, Madrid, tempat laga final bakal digelar. Terlepas dari bagaimana hasilnya nanti, anak-anak muda itu harus bangga ditakdirkan sebagai pencipta sejarah. Mereka bak sebelas pemuda yang mendirikan klub tempat mereka kini merumput. Sebagaimana disingkap dalam A Romance of Football: The History of the Tottenham Hotspur F.C. , penggagas lahirnya Spurs merupakan sebelas siswa Mr. Cameron’s School (kini Scotch Prebysterian Academy) yang sebelumnya merupakan anggota Hotspur Cricket Club. “Para pendirinya adalah J. Anderson, T. Anderson, E. Beaven, R. Buckle, H.D. Casey, L. R. Casey, F. Dexter, S. Leaman, J.H. Thompson Jr, P. Thompson dan E. Wall. Dengan mandiri mereka membeli sendiri bola dan tiang gawang kayunya. Lapangannya dipinjamkan Kapten Delane yang punya hubungan kerabat dari salah satu Thompson bersaudara di Park Lane,” sebut buklet yang dirilis bersama oleh The Tottenham dan Edmonton Weekly Herald pada Februari 1921.  Sejumlah pelajar yang menggagas berdirinya Tottenham Hotspur (Foto: Repro A Romance of Football) Seiring waktu, tambahan pemain Hotspur FC berdatangan dari sekolah lain dan pada Desember 1882 anggota mereka sudah mencapai 18 pemain. Tujuh anggota barunya dibebankan biaya masuk untuk menambah kas klub. Hingga 1921, jersey yang acap mereka pakai berwarna biru gelap. Adapun logo klub baru sekadar lambang huruf “H”. John Rispsher, guru mata pelajaran Alkitab di All Hallows Curch,  yang lantas dijadikan presiden pertama klub, menata klub menjadi terorganisir. Laga kandang pertama mereka, 6 Oktober 1883, melawan klub amatir lain, Brownlow Rovers. Hotspur menang telak 9-0. Namun, sumber lain, A People’s History of Tottenham Hotspur karya Martin Cloake dan Alan Fisher, menyebutkan debut Spurs terjadi pada 30 September 1882 kontra tim lokal Radicals. Spurs keok 0-2. Sementara, kompetisi resmi pertama yang diikuti Spurs baru terjadi pada 1892, yakni kompetisi amatir Southern Alliance. Setelah menjadi profesional dan diakui FA (otoritas tertinggi sepakbola Inggris) pada 20 Desember 1895, Spurs diikutsertakan ke divisi satu Southern League musim 1896. Dua tahun berselang klub ini naik kelas dengan dinaungi perusahaan yang lebih profesional. Namanya pun diganti menjadi Tottenham Hotspur and Athletic Company dengan dibesut pelatih pertamanya Frank Brettell. Nama Spurs mulai dikenal luas setelah menjuarai FA Cup 1901 mengalahkan Sheffield United 3-1 di final. Jersey Spurs berubah menjadi putih pada 1898 yang jadi warna kebanggaan sampai kini. Hingga 1921, logo klub masih berupa huruf “H” berwarna merah. Logo itu berubah sekaligus mengusung moto Audere est Facere (Berani dalam Bertindak) setelah Spurs untuk kedua kalinya memenangkan FA Cup, 1921. “Ayam jantan muncul sebagai logo di jersey setelah 1921. Inspirasinya diambil dari kekaguman Sir Henry Percy, bangsawan yang dijuluki Hotspur, pada taji ayam jantan, meski logo ayam jantan ini sudah dipakai klub sejak 1901,” tulis Leonard Jägerskiöld Nilsson dalam World Football Club Crests: The Design, Meaning and Symbolism of World Football’s Most Famous Club Badges . Pada 1956, logo Spurs diubah lagi dengan tambahan lambang perisai Sir Henry Percy plus sisipan ayam jantan. Namun pada 1983 hiasan perisainya dihilangkan lagi. Pada 2006 logo Spurs dikembalikan seperti awal, ayam jantan yang berdiri gagah di atas sebutir bola tapi tanpa dibubuhi motto klub. Tottenham Hotspur di musim pertamanya berlaga di White Hart Lane pada 1899 Selain logo, kandang Spurs pun mengalami evolusi. Setelah tak lagi menempati Park Lane yang disewa sejak awal berdiri, pada 1888 Spurs pindah ke Northumberland Park. Setahun berselang, Spurs hijrah lagi ke White Hart Lane, dan menetap sampai sekarang. Laga pertama Spurs di kandang baru mereka dihelat 4 September 1899 kontra Notts County. Di markas-markas itulah nama Spurs terus diukir hingga akhirnya jadi klub kuda hitam sepakbola Inggris. Spurs bahkan menjadi pemasok utama striker timnas Inggris era 1980-an hingga 1990-an. Glenn Hoddle, Clive Allen, Gary Lineker, dan Chris Waddle merupakan striker Spurs yang jadi andalan lini depan Inggris.  Hampir semua turnamen pernah dimenangi Spurs. Hingga kini, lemari gelar Spurs sudah terisi masing-masing dua titel Second Division dan First Division, delapan FA Cup, empat League Cup, tujuh Charity Shield, satu Winners Cup, dan dua UEFA Cup. Jika menang kontra Liverpool besok, lemari itu akan kedatangan penghuni baru: trofi “kuping besar” Champions League.

  • Mudik Tahun 1960-an

    BAGI banyak orang Indonesia, mudik Lebaran sudah jadi tradisi. Setelah 365 hari bekerja banting tulang di rantau, mudik menjadi momen tepat untuk mengambil jarak dari keriuhan kota, bertemu keluarga, dan mengunjungi tempat-tempat penuh kenangan masa kanak-kanak. Salah satu sarana transportasi favorit untuk mudik Lebaran adalah kereta api. Tiket bisa dipesan secara daring dan jauh-jauh hari. Perjalanan nyaman dan menyenangkan. Tapi itu cerita masa kini. Di masa lalu sungguh lain ceritanya.

  • Berebut Takhta Mataram Kuno

    TAK semua raja yang bertakhta di Mataram Kuno adalah pewaris sah. Prasasti mencatat adanya pergantian kekuasaan yang tak wajar. Setidaknya ada dua prasasti yang memuat nama-nama penguasa Mataram. Prasasti Mantyasih (907 M) dan Prasasti Wanua Tengah III (908 M), keduanya dikeluarkan pada masa Balitung.  Berdasarkan daftar raja yang tertulis dalam Prasasti Mantyasih (907 M) terdapat sembilan penguasa di Kerajaan Mataram Kuno sebelum Balitung. Diawali Rakai Mataram sang Ratu Sanjaya, Śrī Maharaja Rakai Panangkaran, Śrī Maharaja Panunggalan, Śrī Maharaja Rakai Warak, Śrī Maharaja Rakai Garung, Śrī Maharaja Rakai Pikatan, Sri Maharaja Rakai Kayuwangi, Śrī Maharaja Rakai Watuhumalang. Terakhir adalah raja yang menulis prasastinya, Śrī Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung. Sementara itu, berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III, di Mataram ada 13 raja yang berkuasa sebelum era Balitung. Berbeda dengan Prasasti Mantyasih, Prasasti Wanua Tengah III menyebut raja-raja berikut hari dan tahun mereka naik takhta.  Disebutkan, Rakai Panangkaran naik takhta pada 746 M. Tiga puluh delapan tahun kemudian (784 M), dia digantikan Rakai Panaraban. Pada 803 M berganti Rakai Warak Dyah Manara yang menjabat 24 tahun. Pada 827 M, dia diganti Dyah Gula yang hanya bertahan tiga tahun. Pada 829 M, Rakai Garung menggantikannya. Delapan belas tahun kemudian, pada 847 M Rakai Pikatan Dyah Saladu naik ke singgasana.  Rake Kayuwangi Dyah Lokapala bertakhta delapan tahun kemudian pada 855 M. Dia bertahan selama 30 tahun untuk kemudian diganti Dyah Tagwas pada 885 M.  Berdasarkan informasi prasasti itu, Dyah Tagwas tak lama bertahan. Hanya tujuh bulan berkuasa, dia tersusir ( kādəh ) dari istana.  Penggantinya adalah Rake Panumwangan Dyah Dawendra. Namun, dia hanya bertahan dua tahun kemudian diusir dari istana. Rake Gurunwangi Dyah Bhadra menggantikannya pada 887 M. Raja baru ini rupanya kepayahan juga bertahan di singgasana. Tak sampai sebulan, dia melarikan diri ( mińgat ) dari istana. Terjadi kekosongan kekuasaan selama kurang lebih tujuh tahun. Baru pada 894 M, Rakai Wungkalhumalang Dyah Jəbań bertakhta selama empat tahun. Rakai Watukura Dyah Balitung dimahkotai pada 898 M. Kusen dalam “Raja-Raja Mataram Kuno dari Sanjaya Sampai Balitung, Sebuah Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III” termuat di Berkala Arkeologi 1994,  mencermati jumlah raja yang tercantum dalam Prasasti Mantyasih dan Wanua Tengah III berbeda. Perbedaan itu disebabkan latar belakang dikeluarkannya prasasti itu. Prasasti Mantyasih diterbitkan untuk melegitimasi Balitung sebagai pewaris takhta yang sah. Raja-raja yang dicantumkan dalam prasastinya pun merupakan raja yang berdaulat penuh atas seluruh kerajaan.  “Dyah Gula, Dyah Tagwas, Dyah Dewendra, dan Dyah Bhadra tidak pernah berdaulat penuh terlihat dari singkatnya masa pemerintahan mereka,” tulis Kusen. Baskoro Daru Tjahjono, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, menjelaskan awalnya Balitung bukanlah pewaris takhta yang sah. Dalam “Balitung Putra Daerah yang Sukses Menjadi Raja Mataram Kuno” termuat di  Berkala Arkeologi Vol. 28, No. 1, 2008, Baskoro menyebut Balitung bukanlah keturunan langsung Dinasti Sailendra. Dia berhasil menjadi raja karena mengawini putri raja sebelumnya. Sementara itu, Prasasti Wanua Tengah III berkaitan dengan perubahan status sawah di Wanua Tengah. Maka, semua penguasa yang punya sangkut paut dengan perubahan status sawah dimasukkan dalam daftar. Begitu pula epigraf Boechari memandang, raja Mataram yang dimahkotai tak selalu seorang pewaris sah. Lewat “Tafsiran Prasasti Wanua Tengah III” termuat di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti,  dia menyebut telah terjadi beberapa kali perebutan kekuasaan di Mataram. Terutama melibatkan raja-raja yang hanya memerintah sebentar yaitu Dyah Gula, Dyah tagwas, Rake Panumwangan, dan Rake Gurunwangi. Dari penyebutan nama-nama mereka di prasasti pun perebutan kekuasaan itu nampak. Nama Dyah Gula dan Dyah Tagwas tidak mengandung nama daerah lungguh. Pasalnya kedua raja itu tak disebutkan gelar  rakai- nya.  “Mereka itu bukan pemegang suatu jabatan, baik di pusat maupun di tingkat watak,” jelas Boechari. Gelar lengkap raja-raja wangsa Sailendra, yaitu keluarga raja penguasa Mataram Kuno yang diawali dari Sanjaya, dalam prasasti biasanya terdiri atas tiga unsur. Pertama adalah gelar  rakai yang diiikuti nama daerah lungguhnya. Selanjutnya adalah nama yang mereka terima waktu lahir, diikuti gelar penobatan.  Contohnya seperti Rakai Kayuwangi dyah Lokapala Śrī Sajjanotsawatungga. Nama ini menunjukkan sebelum menjadi raja, dia berkuasa di Kayuwangi. Nama lahirnya adalah dyah Lokapala. Gelar penobatannya Śrī Sajjanotsawatungga. Adapun nama Dyah Gula dan Dyah Tagwas hanya menunjukkan nama lahirnya. Sedangkan yang terjadi dengan Rake Panumwangan dan Rake Gurunwangi jelas. Dalam prasasti keduanya dikisahkan terusir dan melarikan diri dari istana.  Paling tidak, perebutan kekuasaan di takhta Mataram Kuno ini terjadi makin sering sejak pengangkatan Rakai Kayuwangi yang menurut Boechari menyalahi aturan. Dia merupakan putra bungsu Rakai Pikatan dengan permaisuri Pramodawardhani.  “Karenanya terjadi banyak perebutan kekuasaan setelah dia meninggal,” lanjut Boechari. Adapun menurut Sugeng Riyanto, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, setelah kepemimpinan Balitung situasi politik makin tak menentu. Perebutan kekuasaan masih menjadi alasannya. Dalam “Situs Liyangan dalam Bingkai Sejarah Mataram Kuno” termuat di Berkala Arkeologi Vol. 37, Edisi No. 2, 2017 ,  Sugeng menjelaskan putra mahkota Daksa atau Śri Dakṣottama Bāhubajra Pratipakṣakṣaya bukanlah anak Balitung. Dia mungkin iparnya. Bersama Rakai Gurunwangi yang masih kerabat Rakai Pikatan, Daksa bersekongkol untuk merebut kembali takhta kerajaan dari Balitung. Daksa berhasil. Dia dimahkotai sejak 910/911 M selama 8 tahun. Lalu diangkatnya seorang putra mahkota, Rakai Layang Dyah Tlodhong, yang ternyata bukan pejabat eselon pertama. Dia menggantikan Daksa sekira 918/919 M sebelum digantikan oleh Rakai Sumba Dyah Wawa pada 928 M. Dyah Wawa bukan anak Tlodhong. Dia juga sebenarnya tak berhak atas takhta Mataram. “Pemerintahannya sangat singkat bahkan berhenti mendadak,” tulis Sugeng. Berita berikutnya, Raja Mpu Sindok memindahkan kerajaannya ke bagian timur Jawa. Dia membangun pusat kerajaan di Tamwlang sekaligus membangun wangsa yang baru, yaitu Iśāna. “Meskipun sebenarnya masih anggota wangsa Sailendra,” jelas Sugeng.*

  • Mengerjai Tentara Pelajar

    Pada akhir Januari 1946, satu seksi pasukan tentara pelajar di bawah pimpinan Murdoyo dan Poly Sulistio, dari Yogyakarta tiba di Jetis, asrama TRIP setelah mundur dari Surabaya. Mereka bermaksud bergabung dengan kesatuan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Setelah melalui latihan kemiliteran, pada suatu malam yang gelap, mereka dibangunkan agar bersiap-siap berangkat ke front untuk menyergap kedudukan Belanda. Semua anggota pasukan berangkat dengan hati berdebar-debar. Mereka bergerak dalam formasi satu-satu ke belakang dengan jarak 1-2 meter dengan teman di depannya. Perintah disampaikan secara beranting. Mereka berjam-jam bergerak terus, diselingi dengan menikung ke kiri dan kanan, melalui pematang-pematang sawah dan tegalan serta menerobos berbagai perkampungan penduduk. Sekitar jam 03.00 pasukan diperintahkan berhenti dan membentuk posisi pertahanan menyamping serta mencari perlindungan di balik pohon atau gundukan tanah. Senjata yang sudah diisi dan dikunci sejak berangkat meninggalkan Jetis, kini mulai disiapkan dan diarahkan ke sasaran. Setiap anggota pasukan jantungnya berdebar-debar, mulutnya komat-kamit membaca doa, dan mengingat pesan orangtua apabila ada teman sedang sekarat agar dibisikkan kalimat syahadat. Tiba-tiba datang perintah agar mengunci kembali senjata, karena sarang musuh harus diserang dari dekat. Semua anggota pasukan harus merayap mendekati sarang musuh. Setelah beberapa saat merayap di atas rumput dan batu-batu yang basah karena embun pagi, kembali pasukan diperintahkan berhenti dan bersiap untuk menyerang bila kedudukannya sampai diketahui oleh musuh. Komandan kemudian mengirimkan seseorang utuk menyelidiki kedudukan musuh secara tepat. Secara kebetulan saat itu front Kedamean sedang sepi, tak terdengar satu pun suara tambakan. Setelah lama menunggu dalam kedinginan embun pagi, tiba-tiba pasukan diperintahkan bergerak sambil merundukkan tubuhnya karena sarang musuh yang akan disergap sudah dekat. Dari berbagai penjuru mulai terdengar suara kokok ayam bersaut-sautan. Hari pun mulai terang-terang tanah. Ketika itulah setiap anggota pasukan mengetahui di mana mereka berada. “Tanpa setahunya mereka tidak berkisar terlalu jauh dari Jetis, mereka hanya berputar-putar di daerah itu sepanjang malam. Terdengar anak-anak Yogya itu mengumpat gaya Jawa Timur: Jancuk, jancuk, jancuk,” kata Asmadi, mantan anggota TRIP, dalam Pelajar Pejuang. Menurut Asmadi, selama semalam mereka dicekam ketegangan, malah ada yang berpikir “apakah masih bisa ketemu nasi besok pagi”, tak tahunya mereka hanya diuji ketabahannya jika menghadapi pertempuran yang sesungguhnya.

  • Turki Tidak Mengakui Negara Islam Bentukan Uighur

    DALAM bab 2 bukunya yang diterbitkan The Chinese University of Hong Kong pada 2013, Gerakan Kemerdekaan Turkestan Timur: 1930an–1940an ( Dong Tujuesitan Duli Yundong: 1930 Niandai zhi 1940 Niandai ), Wang Ke menyimpulkan bubarnya Republik Islam Turkestan Timur (RITT) yang berpusat di Khotan dan Kashgar “lebih tepat bila dikatakan disebabkan oleh perseteruan elite internalnya ketimbang dibilang dipicu oleh gempuran dari pihak musuh.”

  • Europa League Tempo Doeloe

    Pentas pertama UEFA Europa League sejatinya sudah dimulai pada 1955. Namun, pentas kejuaraan itu baru berjalan di bawah naungan UEFA pada 1971-1972. Titik nol kompetisi di bawah Champions League yang baru di- rebranding menjadi Europa League baru dimulai pada 2009. Format baru ini merupakan fusi dengan Intertoto Cup dan Winners Cup. Mengutip majalah Shoot! edisi 4 April 1970, Europa League “tempo doeloe” masih sebatas kompetisi antarkota bernama lengkap International Industries Fairs Inter-Cities Cup atau sohor disebut Inter-Cities Fairs Cup. Kompetisi ini dicetuskan trio Stanley Rous (Inggris), Ottorino Barassi (Italia), dan Ernst Thommen (Swiss). Ketiganya merupakan anggota komite eksekutif FIFA. “Kompetisinya awalnya didesain untuk tim-tim yang mewakili kota-kota di Eropa yang rutin menggelar pekan raya perdagangan dan industri. Kompetisi pertamanya dimulai Juni 1955 namun baru selesai pada Mei 1958,” tulis Matthew Taylor dalam The Association Game: A History of British Football . Turnamennya digelar dalam kurun waktu panjang. Selain berbarengan dengan pekan raya perdagangan, kompetisinya tidak ingin tabrakan dengan jadwal liga di masing-masing negara peserta. Para pemainnya pun cabutan dari klub-klub yang berbasis di masing-masing kota. Di musim pertama, 1955-1958, 12 tim mengikuti turnamen tersebut. Selain  Barcelona XI, ada København XI, Wien XI (kemudian mundur), Birmingham City, London XI, Internazionale, Zagreb XI, Lausanne-Sport, Basel XI, Leipzig XI, Köln XI, dan Frankfurt XI. Barcelona XI jadi jawara perdananya. Di laga kandang-tandang partai puncak, Barcelona XI membungkam London XI dengan agregat 8-2. Hadiahnya berupa trofi “langsing” berbahan perak yang dikenal sebagai Trofi Noël Béard. Namanya diambil dari seorang industrialis Swiss, di mana trofi ini pun dibuat di salah satu pabrik miliknya. Setelah dibanjiri apresiasi dari sana-sini, penyelenggara pun membolehkan tim berbasis klub untuk ikut serta di musim berikutnya, 1958-1960. Itupun dengan syarat bahwa klub itu mesti berasal dari kota penyelenggara pekan raya industri dan perdagangan Eropa. Sayang, umur Inter-Cities Fairs Cup hanya sampai 1971. Barcelona langganan juara Inter-Cities Fairs Cup. (fcbarcelona.com) Era Baru Barcelona selain jadi pemenang pertama juga jadi pemenang terakhirnya setelah di final menang tipis 2-1 atas Leeds United. “Dengan begitu trofinya secara permanen dimiliki Barcelona. Pada 1971 kompetisinya diambil alih UEFA dan di- rebranded menjadi UEFA Cup,” sebut Heinz Duthel dalam FC Barcelona-Barça . Selain perubahan nama dan format, turnamen turut menghadirkan trofi baru nan cantik karya seniman Swiss Alex Walter Diggelmann. Berbahan perak dan beralaskan marmer kuning, trofi itu berdimensi tinggi 67 cm, lebar 33 cm, dan berbobot 15 kg. Pembuatnya, pabrikan trofi GDE Bertoni. Trofi ini diperebutkan secara bergilir oleh 64 peserta yang diambil dari sejumlah liga di Eropa, khususnya yang tak lolos European Cup (kini Champions League). Sistem kompetisinya berupa knock-out kandang-tandang di lima fase sebelum partai puncak. Finalnya pun digelar dua kali. Tottenham Hotspur menjadi klub pertama yang menjuarainya setelah menjungkalkan sesama klub Inggris, Wolverhampton Wanderers, dengan agregat 3-2. Perbaruan format terjadi pada musim 1997-1998 di mana finalnya digelar sekali. Seiring ditambahnya jumlah peserta jadi 145 tim di musim 2004-2005, format turnamen kembali dirombak. Kali ini menyamai Champions League, yakni bermula dari penyisihan grup dan baru beralih ke sistem gugur di babak 32 besar. Michel Platini menyerahkan trofi Europa League di musim pertama rebranding kompetisi pada Mei 2009. (ReproCompetition Book Europa League 2009-2012) Meski sudah rebranding , kompetisi UEFA Cup tetap dicap sebagai turnamen Eropa kasta rendahan. Terlebih ia juga menerima “buangan” peserta peringkat tiga fase grup Champions League yang tak lolos ke babak knock - out . Stigma itulah yang membuat Presiden UEFA Michel Platini kembali merombaknya pada 2009. Selain mengganti namanya menjadi UEFA Europa League, UEFA juga menambah delapan tim peserta. Tujuannya untuk lebih meluaskan hegemoni sepakbola Eropa ke segala penjuru benua, termasuk negara-negara yang selama ini hanya jadi penonton seperti Estonia, Azerbaijan, Makedonia Utara, Malta, atau San Marino. “UEFA percaya bahwa sepakbola Eropa butuh kompetisi klub kedua. Kami percaya upaya ini bukan untuk mendikte pihak manapun. Jadi dengan memberikan dorongan dan memastikan warisan kebanggaan terus hidup, kami merekomendasikan format, organisasi dan nama baru. UEFA Cup tidaklah mati namun terlahir kembali dengan UEFA Europa League, kompetisi yang merangkul perbedaan di Eropa,” ungkap Platini dalam buklet Competition Book 2009-2012: Challengers on a European Adventure yang dirilis UEFA pada 2009. Tetap saja, banyak pihak mengkritik kebijakan UEFA yang dianggap sebagai rebranding tak relevan itu. Turnamennya tetap dianggap kompetisi kasta kedua atau dicap dengan julukan yang lebih konyol: “Liga Malam Jumat”, mengingat tayangannya di Indonesia hadir tiap Jumat dini hari selepas jadwal Champions League di tengah pekan (Rabu dan Kamis dini hari).*

  • Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit

    PADA suatu pagi, sang prabu tengah berada di balairung sari menerima para menteri, arya, dan pemuka negara yang datang menghadap.  “Sri Paduka yang mulia! Ada suatu kewajiban kenegaraan yang tidak boleh diabaikan sehingga harus dibicarakan sekarang,” ujar Gajah Mada tiba-tiba.  Berdasarkan perhitungan, lanjut Gajah Mada, hari peringatan dua belas tahun meninggalnya Rajapatni jatuh pada bulan Badra tahun itu. Ibu suri Tribhuwana Tunggadewi berkeinginan supaya putranya, Raja Hayam Wuruk melaksanakan perayaannya di istana.  “Seluruh keturunan Rajapatni dan segenap pembesar Majapahit diharapkan ikut serta menyumbangkan sesajian persembahan untuk keperluan upacara agung tadi,” kata Gajah Mada. Gagasan patih disambut baik sang prabu. Perayaan terselenggara besar-besaran. Semua pemimpin agama dan pemerintahan Kerajaan Majapahit datang untuk memberikan penghormatan dan mengenang Rajapatni.  Jalannya pesta peringatan dan beragam sesajian persembahan bagi nenek Hayam Wuruk itu pun bisa terbayang kini. Sebabnya, ia tercatat panjang lebar dalam Kakawin Nagarakretagama . Rajapatni, begitu Putri Gayatri dijuluki, menurut kakawin yang ditulis Prapanca itu, adalah satu dari empat putri Raja Kertanagara, raja terakhir Singhasari. “Putri Kertanagara cantik-cantik bagai bidadari. Sang Prameswari Tribuwana yang sulung, luput dari cela. Lalu Prameswari Mahadewi, rupawan tidak bertara. Prajnyaparamita Jayendradewi, cantik manis menawan hati. Gayatri, yang bungsu, paling terkasih, digelari Rajapatni,” catat Prapanca.  Agaknya, gambaran yang diberikan Prapanca dalam karyanya memperlihatkan Gayatri tak cuma sekadar nenek raja. Dia punya tempat yang spesial bagi Majapahit.  Prapanca tak cuma sekali menyebut nama sang Rajapatni. Dia memuji kecakapan nenek baginda itu. Terutama soal bagaimana dia bertindak sebagai penasihat utama dalam pemerintahan. Kemudian ketika dia mangkat pada 1350 M, segenap rakyat kerajaan berkabung. “Rakyat merasa sedih kehilangannya. Kesedihan rakyat itu musnah setelah penobatan baginda sebagai raja,” tulis sang pujangga.  Nagarakretagama juga menyinggung perkawinan Gayatri, dan ketiga kakaknya dengan Wijaya atau Raja Kertarajasa Jayawardhana, pendiri Majapahit. Pemberitaan itu mendapat dukungan Prasasti Penanggungan dari 1296 dan pada prasasti lain yang dikeluarkan Wijaya bertarikh 1305.  Pada prasasti yang terakhir disebutkan bahwa Tribhuwana sangat ulung dalam permainan kata. Sri Paduka Mahadewi menjadi landasan percintaan paduka. Jayendradewi yang juga biasa disebut Prajnyaparamita, sangat setia dan bersifat luhur. Gayatri, si bungsu, sangat cantik dan paling dikasihi baginda. “Hubungan Kertarajasa dan putri Gayatri disamakan dengan hubungan Dewa Siwa dan Dewi Uma,” sebut prasasti itu.  Menurut Nagarakretagama pula, Gayatri menurunkan dua putri pewaris takhta. Yang sulung menjadi rani di Jiwana, yang bungsu menjadi rani Daha. Yang sulung Tribhuwana Tunggadewi kemudian bertakhta menggantikan kakak tirinya, Jayanagara.  Kali itu, lagi-lagi, Prapanca mengenang Gayatri dengan pujian. “Atas perintah ibunda Rajapatni, sumber bahagia dan pangkal kuasa, beliau (Tribhuwana Tunggadewi, red .) menjadi pengemban dan pengawas raja muda, Sri Baginda Wilwatikta (Hayam Wuruk, red. ),” katanya.   Terdapat pula bukti visual dalam bentuk arca Prajnaparamita. Perwujudannya sebagai dewi kebijaksanaan tertinggi dalam ajaran Buddha itu dipahat indah luar biasa.  Karenanya menurut Earl Drake, sejarawan yang pernah menjadi duta besar Kanada di Indonesia, sungguh beralasan untuk menempatkan Gayatri begitu terhormat. “Begitu banyak penghormatan baginya oleh orang-orang yang hidup pada masanya,” catatnya dalam Gayatri Rajapatni . Sepanjang hidupnya, Gayatri ditempa oleh kejadian-kejadian buruk yang menimpa keluarganya. Kerajaan asalnya, Singhasari, diserbu tentara Mongol. Dia pun tertangkap ketika pasukan Jayakatwang menyerang dan membunuh orang tuanya. Lalu dia terlibat hubungan asmara dengan iparnya, Wijaya, yang telah beristri kakak sulungnya.   “Intrik-intrik dan pembunuhan dalam istana menunjukkan keberanian dan kesetiaan kepada prinsip-prinsip yang dijunjungnya, kecerdasan luar biasa, dan kepribadian penuh kasih sayang,” tulis Drake. Gayatri dinilainya telah bertindak dalam lingkaran keraton yang didominasi laki-laki. Dialah yang mendorong para lelaki yang berkuasa itu agar melaksanakan visi religius dan politik ayahnya, mendiang suaminya, dan dirinya sendiri. Itu terutama angan untuk menyatukan Nusantara.  Salah satunya, ketika dia terpikir untuk mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih.  Tak berhenti di situ, menurut Drake, Gayatri adalah sosok di istana yang mengenal dan membimbing nyaris seluruh tokoh besar laki-laki pada masanya, termasuk Mahapatih Gajah Mada. Dengan Gayatri dan putrinya Tribhuwana Tunggadewi, Gajah Mada bekerja sama membuat keputusan-keputusan kenegaraan. Dia terhitung tak pernah salah langkah, hingga akhirnya terjadi pembantaian utusan dari Sunda. “Ini terjadi setelah Gayatri wafat dan tak mampu membimbingnya lagi,” tulis Drake.  Drake menyadari pemikirannya tentang Gayatri itu bisa dinilai kontroversial. Namun, dia yakin itu tetap sesuai dengan keterbatasan informasi yang dimiliki hingga hari ini.  “Lebih masuk akal dibanding pandangan tradisional,” tulis Drake.  Drake pun menyesali sosok Gayatri tak banyak dikenali hari ini. Sebabnya, Gayatri tak pernah secara resmi dinobatkan menjadi seorang ratu yang memerintah. Dia pun memilih masuk biara dan menjadi biksuni ketika berada di puncak kekuasaan.  Belum lagi, syair epik kerajaan yang menjadi bukti atas jasa dan ketenarannya hilang selama lima ratus tahun. Baru belakangan ini naskah itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.  Ditambah lagi dia adalah seorang penganut Buddha di sebuah negeri yang wataknya semakin Islami. “Baru-baru ini saja dia dikenali sebagai subjek arca Prajnaparamita yang mahsyur itu dan bahkan sekarang oleh segelintir sarjana saja,” tulis Drake. Akhirnya, pesta Srada yang diselenggarakan serba meriah dan khidmat. Segenap rakyat Majapahit, menurut Prapanca, berharap semoga Gayatri melimpahkan berkat kepada raja sehingga jaya terhadap musuh. Sang Rajapatni didharmakan di Kamal Pandak dan di Bayalangu pada 1362. Di Kamal Pandak, kata Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama , candi Gayatri dijadikan tugu pemersatu. Candinya diharapkan menjadi penawar kutukan pendeta Bharada yang melakukan pembelahan kerajaan atas permintaan Raja Airlangga. “Uraian Prapanca tentang pembelahan kerajaan Airlangga kiranya tepat disebut asal mula nama Desa Kamal Pandak. Desa itu penting untuk diberitakan karena di situ dicandikan ibu suri Rajapatni,” catat Slamet Muljana.   Candi Makam Sri Rajapatni selanjutnya tersohor sebagai tempat keramat. Kata Prapanca, setiap bulan Badrapada ia disekar oleh para menteri dan pendeta. Di tiap daerah, rakyat serentak membuat peringatan dan pemujaan. “Itulah surganya, berkat berputra, bercucu narendra utama,” tulis Prapanca.*

  • Cerita Tercecer dari Masjid al-Makmur Tanah Abang

    Kerusuhan di kawasan Tanah Abang pada 21-22 Mei menyisakan sejumlah cerita sumir. Misalnya tentang Masjid al-Makmur Tanah Abang. Dua tokoh nasional sempat berbicara di masjid ini. Mereka adalah Sjafrie Sjamsoeddin dan Amien Rais. Pilihan politik mereka jatuh pada pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kedatangan dua tokoh tersebut ke masjid al-Makmur mengarahkan orang pada dugaan bahwa masjid ini mempunyai hubungan dengan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Tapi Habib Hasan bin Zainal Abidin al-Habsyi, sekretaris masjid, lekas meluruskan dugaan itu. “Masjid ini sebenarnya masjid yang netral. Jadi masjid ini menjadi tempat singgah siapa pun orang muslim. Termasuk kepada laskar Hizbullah yang berjuang pada tahun 1945 itu. Masjid al-Makmur memang berdiri di atas dasar ahlussunnah wal jama’ah . Itu sudah jadi ketetapan dari awal pendirian masjid ini,” kata Habib Hasan kepada Historia . Habib Hasan menambahkan keterangan bahwa sejarah masjid al-Makmur kental dengan nilai-nilai persatuan. Masjid ini merangkul siapa saja dari kelompok mana pun. “Masjid ini sebenarnya welcome . Tidak ada warna khusus. Asal ahlussunnah wal jama’ah . Di sini para pengurusnya ada yang dari al-Irsyad, dari Rabithah Alawiyah, dari masyarakat Melayu, dan sebagainya. Jadi campur-campur ,” ungkap Habib Hasan. Citra Masjid al-Makmur bersesuaian dengan identitas kawasan Tanah Abang itu sendiri, tempat di mana masjid berdiri. “Tanah Abang ini memang daerah multietnis. Ada Melayu, Arab, Cina, dan Belanda, bisa hidup berdampingan di sini,” kata Habib Hasan. Dari musala kecil Pendirian Masjid al-Makmur tak lepas dari keberadaan pasukan Mataram di sekitar Batavia. Kehadiran mereka bermula dari rencana serangan Kesultanan Mataram terhadap VOC di Batavia pada 1628 dan 1629. “Pasukan Mataram mendirikan pos pantau di Tanah Abang untuk melihat aktivitas pasukan VOC. Dulu wilayah ini tinggi. Maka ada wilayah bernama Tanah Abang Bukit. Dari sini laut (Kota Tua, red. ) dapat terlihat,” kata Anang, penduduk sekitar sekaligus staf masjid. Selain mendirikan pos pantau, pasukan Mataram membangun musala berukuran 8x12 meter. Inilah musala cikal bakal Masjid al-Makmur. Anang memperoleh cerita turun temurun bahwa musala mempunyai rubanah (ruang bawah tanah). “Tapi seluas mana, kami tidak tahu,” kata Anang. Rubanah berfungsi untuk mendiskusikan serangan terhadap VOC. Habib Hasan mempunyai keterangan berbeda terkait awal mula Masjid al-Makmur. Menurutnya, orang-orang dari Mataram atau Demak memang berperan dalam pendirian awal musala. Tetapi tahun pendiriannya bukan 1628-1629, melainkan 1704. Dia juga tidak menemukan rubanah seperti cerita Anang. Habib Hasan bin Zainal Abidin al-Habsyi, sekretaris Masjid al-Makmur, Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Hendaru Tri Hanggoro/Historia). Abdul Chaer dalam “Mesjid-Mesjid Lama di Jakarta Sampai Abad ke-18” termuat di Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi menyebut pendiri musala tersebut bernama KH. Abdul Somad Asyura dan KH. Abdul Murad Asyura. Mereka keturunan Pangeran Kadilangu, pendakwah Islam asal Demak. Keturunan Pangeran Kadilangu menjadikan Tanah Abang sebagai basis dakwah Islam di Batavia. Mereka mendirikan musala sebagai sarana penunjang dakwah Islam. Musala tersebut berkembang memasuki 1800-an. Ketika itu orang-orang dari Hadramaut mulai bermukim di kawasan Tanah Abang. Dua saudagar dari komunitas Arab, Abubakar bin Muhammad bin Abdurrahman al-Habsyi dan Alwi bin Abdurrahman al-Habsyi mengembangkan musala menjadi masjid pada 1886. Kemudian dua saudagar itu juga membeli tanah-tanah di sekitar masjid untuk perluasan masjid. Luas tanah tambahan sekira 3000 meter persegi. Masjid ini menjadi bangunan permanen dan indah pada 1915 berkat bantuan keluarga-keluarga keturunan Arab lainnya seperti keluarga bin Sunkar dan bin Thalib. Mereka mendesain ulang masjid, menyerahkan pengerjaannya pada arsitek berkebangsaan Belanda, dan membiayai pengerjaannya. “Bentuk masjid ini, seperti sekarang ini, bermula dari desain tahun 1915 itu,” kata Habib Hasan. Sampai sekarang bentuk asli masjid masih terjaga. Utamanya di bagian depan. Peran Kebangsaan Masjid al-Makmur mengambil perannya dalam pergerakan nasional. Peran ini berawal dari keterlibatan pengurus masjid dalam Jami’at Khair, lembaga pendidikan modern berbasis Islam dan berdiri di Tanah Abang pada 1901. Para pengajar dan anggota Jami'at Khair juga menjadi pengurus di Masjid Al-Makmur. Letak kedua bangunan juga sangat berdekatan sehingga ikut mempengaruhi peran masjid. Jami’at Khair memadukan keilmuan Islam dengan sains modern. Pendiri Jami’at Khair memperoleh inspirasi pemikirannya dari Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, tiga tokoh pembawa gagasan pembaruan di dunia Islam pada awal abad ke-20. Jami’at Khair sebermula hanya membuka kesempatan pendidikan untuk keturunan Arab. Tetapi kemudian kesempatan pendidikan itu terbuka juga untuk kelompok anak negeri. Jami’at Khair menjadi magnet kaum intelektual muslim di Hindia Belanda. Beberapa tokoh pergerakan Islam di Indonesia menjadi anggotanya. Misalnya KH. Ahmad Dahlan, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, dan Haji Agus Salim. Melalui masjid ini, pengajar di Jami’at Khair menyebarkan gagasan Islam dan kebangsaannya secara lebih luas kepada penduduk. Penggunaan khotbah dalam bahasa Melayu turut mendorong persebaran gagasan tersebut. Garis kebangsaan Masjid al-Makmur kian tegas pada masa Revolusi Fisik (1945-1949). Masjid Jami’ Al-Makmur menjadi tempat singgah para pejuang kemerdekaan. Kebanyakan mereka anggota laskar Hizbullah. Tetapi di luar itu, masjid juga menerima pejuang kemerdekaan dari kelompok lain seperti para pendekar silat dari berbagai aliran. Berbagai kelompok di Masjid al-Makmur bersatu menghadapi serangan tentara NICA dan Belanda di Tanah Abang. Pertempuran itu tercatat dengan baik dalam beberapa literatur. Antara lain dalam Kampung Tua di Jakarta terbitan Dinas Museum dan Sejarah Provinsi Jakartadan Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 10 karya Abdul Harris Nasution. Tetapi dua literatur tersebut tidak mencatat peran Masjid al-Makmur. Peran Masjid al-Makmur selama Revolusi Fisik termaktub dalam KH. Hasan Basri 70 Tahun: Fungsi Ulama dan Peranan Masjid karya Ramlan Mardjoned. “Masjid al-Makmur di Tanah Abang yang dibangun tahun 1932 M, dijadikan markas menghimpun pemuda-pemuda Betawi dalam menghadapi tentara Belanda dan NICA. Di Masjid al-Makmur itu menjadi pusat mengatur strategi dan taktik penyerangan menghadapi pasukan Sekutu dan Belanda di Jakarta,” tulis Ramlan. Memasuki masa kemerdekaan, peranan Masjid al-Makmur lebih dekat pada urusan pendidikan dan perdagangan. Sejumlah ulama dari Timur Tengah berdatangan ke masjid ini pada 1950-an. Sementara itu, para pedagang dan pembeli dari Tangerang, Depok, dan Bekasi di pasar Tanah Abang memanfaatkan masjid sebagai tempat ngadem . “Hal ini mungkin saja karena masjid ini mempunyai serambi depan yang luas dan nyaman sehingga memungkinkan orang bisa duduk-duduk, bahkan tidur-tiduran,” tulis Abdul Chaerdalam Tenabang Tempo Doeloe . Pemandangan orang ngadem di Masjid al-Makmur masih terlihat hingga sekarang. Meskipun jalanan dan kawasan sekitar masjid kian padat.

  • Jejak Islam di Sarang Mafia

    PADA November 2015, Giovanni Gambino (putra mahkota mafia Italia) mengancam ISIS (Negara Islam Syiria dan Irak) untuk tidak mengacau di beberapa tempat yang ada di bawah kekuasaan keluarga Gambino. Tokoh kejahatan yang saat itu tengah diburu oleh polisi tersebut menyatakan dia menjamin bahwa para teroris ISIS tak akan berani mengacau Italia terlebih Sisilia. Giovani sesumbar bahwa selama ini para teroris ISIS hanya berani beroperasi di negara Eropa seperti Prancis dan Belgia tidak lain disebabkan dua negara itu bukan termasuk kawasan yang ada dalam lindungan mafia. "Berbeda dengan kawasan Sisilia (pusat mafia di Italia ) yang bebas dari jaringan teroris," ujarnya seperti dilansir Russian Times , 24 November 2015. Saat ini, tak banyak orang tahu (sekalipun orang Islam), bahwa Sisilia pernah menjadi koloni dari para penguasa Arab Islam ratusan tahun yang lalu. Padahal, bangunan-bangunan megah yang sekarang menjadi ikon pulau tersebut merupakan sisa-sisa peninggalan peradaban Islam. Katakanlah sebagai contoh Palazzo dei Normann (dulu merupakan istana lama para emir Arab), Gereja San Giovanni degli Eremiti (dulu merupakan masjid), Katederal Lucera (juga dahulunya masjid), dan gedung-gedung tua lainnya. Sebelum jatuh ke tangan orang-orang Arab Islam, Palermo (ibu kota Sisilia) pernah dikuasai oleh orang-orang Phoenix dan Byzantium (nama lain untuk Kekaisaran Romawi Timur). Saat dikuasai orang-orang Byzantium itulah, pada 652 Palermo pernah diserang oleh pasukan Muawiyah bin Abu Sofyan (602-680) yang merupakan khalifah pertama Dinasti Umayyah. “Kerajaan Siracuse (yang menginduk kepada Byzantium) sempat tenggelam dalam serangan pertama ini. Rampasan perang muslim, termasuk para perempuan, kekayaan gereja, dan benda-benda berharga lainnya mengundang para pengembara muslim untuk kembali ke daerah itu di kemudian hari,” tulis Philip K. Hitti dalam  History of The Arabs . Pada 827 terjadi pemberontakan orang-orang Sicilia terhadap Gubernur Byzantium. Karena merasa tidak berdaya menghadapi kekuatan militer Kekaisaran Romawi Timur, para pemberontak pimpinan Euphemius itu memohon bantuan militer kepada Ziyadatullah I (817-838), yang merupakan pimpinan orang-orang Aglabiyah (nama lain Tunisia yang saat itu menjadi bagian dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah ) . Gayung bersambut. Tak lama setelah Euphemius mengirimkan surat permohonan bantuan militer itu, penguasa Aglabiyah memerintah seorang panglima seniornya bernama Qadhi-Wazir (konon usianya saat itu sudah 70 tahun) untuk  memimpin 70 armada kapal (mengangkut 10.000 prajurit dan 700 kuda perang) ke Pulau Sicilia. Singkat cerita, takluklah Palermo kepada pasukan Arab Islam tersebut pada  831. Di bawah gubernur baru yang merupakan boneka orang-orang Aglabiyah, Sicilia menjadi wilayah yang sejahtera. Alih-alih diperlakukan diskriminatif, para penduduk asli diberikan kebebasan memeluk agama. Syaratnya: mereka harus membayar jizyah (pajak kepala). Di era itu, orang-orang Aglabiyah memang tidak menjadikan Palermo sebagai kota utama. Mereka lebih memilih Syracuse sebagai ibu kota Sicilia. Namun demikian Palermo tetap dibangun dan diperindah, hingga konon keindahannya disebut-sebut hanya bisa ditandingi oleh Cordoba di Spanyol dan Kairo di Mesir. Selain kotanya yang indah, para penduduk Palermo juga dikenal sangat mengutamakan mode. Menurut Uskup Agung Sophronius, dalam sebuah catatannya yang dibuat pada 883 M, Palermo adalah kota internasional yang berisi manusia-manusia dari berbagai bangsa. Selain orang-orang Arab dan lokal Sisilia, Palermo juga dihuni oleh orang-orang Yunani, Yahudi, dan Lombardia Pada 972-973, Ibnu Hauqal berkenan mengunjungi kota tersebut. Menurut saudagar Baghdad tersebut, Palermo merupakan kota yang sangat cantik dengan istana dan masjid-majid megahnya yang berdiri di tiap sudut kota. ”Ketika mendengarkan mereka, saya yakin mereka orang yang saleh. Tidak ada yang meragukan kapasitas mereka,” tulis Hauqal seperti dikutip Hitti . Bidang pendidikan pun tak kalah maju dengan Baghdad dan Cordoba. Di Palermo ada Universitas Balerm, salah satu universitas tertua di dunia. Pamornya hanya kalah bersaing oleh Universitas Cordoba di Spanyol, yang juga dikuasai oleh para ilmuwan muslim. Dalam percakapan sehari-hari, orang-orang Palermo menggunakan tiga bahasa: Yunani, Arab, dan Latin. Tak aneh jika saat itu, upaya-upaya penerjemahan buku-buku khazanah Yunani ke bahasa Arab dan Latin berlangsung gencar. Tahun 1071 Palermo diserang oleh orang-orang Normandia dan takluk. Kendati berhasil menghancurkan kekuasaan orang-orang Arab Islam, namun orang-orang Normandia mengadopsi kepintaran orang-orang Arab. Alih-alih menghancurkan dan mengusir orang-orang Arab, salah satu raja mereka yang bernama Roger I malah meniru mentah-mentah pembangunan militernya dari orang-orang Arab. Roger I pun membebaskan orang-orang non-Kristen untuk memeluk keyakinannya dan melindungi para cendekiawan Arab, filosof, para dokter dari Timur, astrolog dan para sastrawan. Bahkan upaya penerjemahan referensi-referensi Arab berlangsung gencar. Salah satunya penerjemahan buku berharga yang berjudul Almagest oleh seorang lokal bernama Eugene (dia bergelar amr ) pada 1160. Sisilia khususnya  Palermo tetap menjadi primadona pengetahuan selama ratusan tahun . Hingga pada sekira 1800-an, kota cantik itu jatuh ke tangan para mafioso. Sejak itulah, pusat ilmu pengetahuan di Eropa tersebut berubah menjadi sentra bisnis hitam (seperti narkoba dan penjualan orang) yang terkenal di dunia.

  • Ketika Aparat Bertindak di Luar Batas

    POLITISI gaek Amien Rais buka suara menyikapi kerusuhan yang terjadi baru-baru ini pasca kapitulasi pemilihan umum di Jakarta (22/05/19). Bermula dari unjuk rasa di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), aksi ini berakhir dengan bentrokan yang menelan delapan korban meninggal. Sebelumnya, Kepolisian Republik Indpnesia melalui Kepala Divisi Humas Polri Irjen Muhammad Iqbal mengatakan tidak akan mengenakan peluru tajam dalam tindakan pengamanan. “Saudaraku saya menangis, saya betul-betul sedih, tapi juga marah bahwa polisi-polisi berbau PKI telah menembak umat Islam secara ugal-ugalan," kata Amien dalam unggahan akun   instagramnya . “Saya atas nama umat Islam meminta pertanggungjawabanmu. Jangan buat marah umat Islam.” Pernyataan Amin segera diikuti dengan seruan takbir oleh orang-orang di sekelilingnya. Aksi kerusuhan itu juga disambut oleh Titiek Soeharto dengan pernyataan yang menyudutkan aparat keamanan dan pemerintah. Menurut Mbak Titiek – sapaan akrab Titiek Soeharto -  tindakan polisi untuk meredam kerusuhan berujung dengan penganiayaan dan penghilangan nyawa. “Hentikan penganiayaan dan penghilangan nyawa rakyat pada aksi unjuk rasa pascapemilu,” kata Mbak Titiek dalam deklarasi Litura (Lima Tuntutan Rakyat) Emak-emak Indonesia.    Cerita tentang aparat keamanan yang menembaki umat Islam juga pernah terjadi pada masa Orde Baru ketika Presiden Soeharto – ayah Titiek Soeharto – berkuasa. Mengingatkan kembali, Orde Baru adalah rezim yang dilawan habis-habisan oleh Amien Rais sewaktu menegakan reformasi pada 1998. Pada 12 September 1984, Jusuf Wanandi mencatat dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia , tentara menembaki sekelompok Muslim yang sedang melakukan protes di kawasan pelabuhan Tanjung Priok. Akibatnya, ratusan nyawa melayang di ujung bedil tentara. “Sampai sekarang pun masih belum diketahui (tepatnya) berapa korban yang tewas,” tulis Wanandi. Tragedi berdarah ini kelak disebut dengan nama Peristiwa Tanjung Priok. Insiden Tanjung Priok disulut oleh laporan yang menyatakan bahwa ada anggota polisi yang memasuki masjid di Tanjung Priok tanpa menanggalkan sepatunya. Si polisi memerintahkan agar poster yang bernada antipemerintah diturunkan. Ketika penjaga masjid menolak, anggota polisi menggeledah masjid dan mencabut poster-poster propaganda sambil tetap mengenakan sepatunya. Tindakan polisi yang dianggap semena-mena menyinggung warga masjid. Akibatnya, mereka menyerbu kantor polisi setempat. Mulai dari warga biasa, pengusaha bongkar muat, hingga preman turun menyerbu. Polisi yang kewalahan meminta bantuan tentara. Karena polisi mundur, Panglima Kodam Jaya Mayjen Try Sutrisno memenuhi permintaan bantuan polisi. Sejumlah tentara dikerahkan ke Tanjung Priok. Menurut Jusuf Wanandi, mereka diperlengkapi dengan senapan AK47 dan M16 untuk pengamanan. Ketika segerombolan orang datang menyatroni kantor polisi, ada sekira 20 tentara yang berjaga di sana. Alih-alih menenangkan massa yang marah, aparat melakukan tindakan di luar batas: menembaki para demonstran secara membabibuta.    Sumber pemerintah mengumumkan kemungkinan 90 orang yang tewas. Namun beberapa sumber lain menyebutkan ada banyak jenazah yang langung dikubur atau dibuang ke laut, sehingga tidak diketahui berapa angka persis mengenai jumlah korban. Panglima ABRI saat itu, Jenderal Benny Moerdani disebut-sebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. “Atas perintah Presiden Soeharto, Benny mengambil alih penanganan kerusuhan itu,” tulis Wanandi. Bagaimana tanggapan Presiden Soeharto atas jatuhnya korban sipil di Tanjung Priok? Dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya , Soeharto mengatakan, “Sesungguhnya, peristiwa itu benar-benar hasil hasutan orang yang menempatkan diri sebagai pemimpin.” Menurut Soeharto melaksanakan keyakinan dan syariat agama yang dianutnya, tentu boleh-boleh saja. Tetapi jangan menghasut rakyat untuk memberontak. Apalagi coba-coba memprovokasi mengganti Pancasila, sekali-kali jangan.   “Terhadap yang melanggar hukum, ya, tentunya harus diambil tindakan,” kata Soeharto membenarkan tindakan aparatnya.

bottom of page