top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Perang Jawa Libur Selama Ramadan

    PADA 21 Februari 1830 atau empat hari menjelang bulan puasa tiba, Pangeran Diponegoro tiba di Menoreh, pegunungan perbatasan Bagelen dan Kedu. Kedatangannya berdasarkan kesepakatan yang dibuatnya bersama Jan Baptist Cleerens, pada 16 Februari 1830, di daerah Remokamal tepi kali Cincinggoling. Cleerens adalah utusan De Kock untuk menemui Diponegoro. Kabar kedatangan Diponegoro tercium masyarakat. Meski mendapat predikat musuh Belanda nomor wahid, masyarakat masih mengelu-elukannya. Dia datang diiringi 700 prajurit. Di sana dia tinggal di sebuah rumah besar, berdinding bambu, dan beratapkan daun kelapa. Rumah singgahnya itu terletak di sebuah kawasan tanjung, di tepi Kali Progo, yang oleh masyarakat disebut daerah Metesih. "Pesanggrahan itu letaknya tepat di sebelah barat laut Wisma Keresidenan Kedu," kata Peter Carey dalam surel kepada Historia . Di pesanggrahan itu, pengikut Diponegoro membengkak menjadi 800 orang. Sebagian besar bersenjatakan tombak. Pasukannya sekarang tampil dalam balutan sorban dan jubah hitam, pemberian Cleerens. Setiap pagi selama bulan puasa, Diponegoro beserta 800 orang prajuritnya tetap giat berlatih olah kanuragan dan menjalankan ibadah. “Dia mempunyai suatu batu yang lebar dan lurus dekat Kali Progo untuk ngibadah (beribadah, red. ),” kata Peter Carey. Awal Maret 1830, Diponegoro berpesan kepada De Kock melalui Cleerens, bahwa selama bulan puasa dia takkan melakukan pembicaraan apapun soal perang. Jika ada pertemuan, itu pun hanya ramah-tamah biasa. De Kock menerimanya. De Kock bahkan bermanis muka kepada Diponegoro dengan memberinya seekor kuda yang bagus warna abu-abu dan uang f10.000 yang dicicil dua kali untuk biaya para pengikutnya selama bulan puasa. Dia juga mengizinkan anggota keluarga Diponegoro yang ditawan di Yogyakarta dan Semarang, untuk bergabung dengan sang pangeran di Magelang. Bukan hanya De Kock yang menyambangi Diponegoro. Anggota staf senior De Kock, seperti ajudan sekaligus menantunya, Mayor F.V.H.A. de Stuers, dan Residen Kedu, Valck, sering berkunjung ke pesanggrahan Dipanegoro di Metesih sambil minta diberitahu apa saja keperluannya. Masyarakat Kedu pun banyak yang berkunjung di pesanggrahan pangeran. Mereka banyak yang membawakannya gula Jawa, meski sebenarnya Diponegoro tak suka makanan yang manis. Dia tetap menerimanya sebagai tanda penghormatan mereka kepadanya sebagai pemimpin Jawa ( lajering Jawa ). De Kock bertemu dengan Diponegoro dalam tiga kesempatan yang berbeda: dua kali saat jalan subuh di taman keresidenan dan sekali ketika dia datang sendiri ke pesanggrahan pangeran. Perlakuan De Kock yang manis ternyata bermuatan politis. Dia membiarkan Diponegoro menikmati jaminan keamanan semu, sembari berharap sang pangeran menyerah tanpa syarat. “Motif dan cara tidak terhormat seperti ini tentu tidak dikatakan secara terbuka, namun dalam pandangan De Kock, apa boleh buat, tujuan menghalalkan segala cara,” tulis Peter Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) . Namun, sikap manis De Kock selama bulan puasa tak dapat meruntuhkan pendirian Diponegoro. Tumenggung Mangunkusumo, mata-mata yang ditanam residen Valck dalam kesatuan Diponegoro, melaporkan bahwa Diponegoro tetap kukuh dalam niatnya untuk mendapat pengakuan sebagai sultan Jawa bagian selatan. Tapi perwira senior Belanda lain menyatakan bahwa Diponegoro sebagai ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya  (ratu dan pengatur agama di seluruh Tanah Jawa). Mendengar kabar tersebut De Kock mengambil langkah tegas. Pada 25 Maret 1830, dua hari sebelum bulan puasa berakhir, dia memberi perintah rahasia kepada dua komandannya, Louis du Perron dan A.V Michels, untuk mempersiapkan kelengkapan militer guna mengamankan penangkapan sang pangeran. Gencatan senjata yang berlangsung selama Ramadan berakhir tragis: Diponegoro ditangkap pada hari kedua lebaran, 28 Maret 1830.*

  • Naskah Ajaran Islam Awal di Jawa

    Makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419). (M.J. (Marius) van Benthem Jutting/Tropenmuseum). SEBUAH naskah berisi ajaran Islam awal yang diajarkan kepada penduduk Nusantara tersimpan selama lebih kurang tiga abad di perpustakaan umum Marquis Cristino, Ferrara, Italia. Naskah kuna tersebut ditulis dalam aksara Jawa Kuna di atas lontar yang berjumlah 23 lembar, masing-masing berukuran 40 x 3.5 cm. Sebelum menjadi milik perpustakaan Marquis Cristino, naskah itu merupakan koleksi seseorang yang tak tertulis datanya. “Ketika buku ini ditulis, orang Islam di Jawa masih minoritas. Ini dapat dirujuk pada keterangan musafir Portugis, Tome Pires, yang mengunjungi Sedayu, tempat ditemukannya buku itu pada tahun 1515,” kata Abdul Hadi WM, guru besar Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, dalam seminar “Islam Indonesia dan Kebudayaan” yang dihelat di Universitas Paramadina, Jakarta, (19/6). Karena itu, ajaran fikih, tasawuf, dan ilmu kalam dalam buku itu tidak mendalam, serta etika yang diajarkan bersifat praktis. Naskah itu dibawa para pelaut Belanda dari pelabuhan Sedayu dekat Tuban menuju Eropa pada 1585. Beberapa sumber menyebut berbeda. Dalam Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa , Hasanu Simon menduga naskah itu dibawa para pelayar Italia atau rombongan misi Katolik Roma. Beberapa tahun sebelum masa Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), antara 1598-1599, misionaris Katolik Roma pernah berkunjung secara teratur ke Pasuruan. Pada 1962, fotokopi naskah itu dikirim ke Leiden, Belanda. Harapannya ada ahli bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno yang mampu mengidentifikasi dokumen berharga itu. Akhirnya pada 1978, naskah itu diterbitkan Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde, Martinus Nijhoff, Den Haag, dengan judul An Early Javanese Code of Muslim Ethics, oleh GJH Drewes. Buku tersebut diterjemahkan Wahyudi ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Alfikr Surabaya pada 2002 dengan judul Perdebatan Wali Songo: Seputar Makrifatullah . “Kropak Ferrara ditujukan kepada orang-orang yang baru masuk Islam dan mereka yang masih di luar Islam,” tulis Hasanu Simon. Menurut Abdul Hadi, Drewes menisbahkan isi buku itu sebagai ajaran Maulana Malik Ibrahim (w. 1414). Sebab, pengarang buku menyebut dirinya khalifah , sebutan lazim di Jawa untuk ulama, pemimpin spiritual dan sekaligus imam masjid agung. Maulana Malik Ibrahim adalah imam masjid agung, sekaligus ulama dan pemimpin kerohanian. Judul risalah yang dimuat dalam naskah ini sama dengan judul risalah Imam al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah (Menjelang Hidayah). Tetapi versi Maulana Malik Ibrahim adalah ringkasan dan tak semua yang diajarkan Imam al-Ghazali dikemukakan. Hal menarik lain, lanjut Abdul Hadi, dalam risalah pendek ini dijumpai 122 kata serapan dari bahasa Arab dan Persia. Terdapat pula beberapa perkataan yang diserap dari bahasa Melayu. Ini membuktikan bahwa pada awal abad ke-15 islamisasi bahasa dan kebudayaan Jawa sudah berlangsung serta menyentuh persoalan pandangan hidup, gambaran dunia, sistem nilai, etika, etos kerja, dan sebagainya. Di saat bersamaan banyak istilah keagamaan dan spiritualitas Islam dialibahasakan ke bahasa Jawa. Maulana Malik Ibrahim membuka risalahnya dengan kalimat: “Pada akhir zaman, ketika hari kiamat akan tiba, ulama sejati dan orang taat pada ajaran agama akan lenyap dan diganti orang yang suka berbuat bidaah yang menyebabnya rancunya ajaran Islam bercampur dengan ajaran keliru dan sesat.” “Inikah yang sedang terjadi di Indonesia?” kata Abdul Hadi.*

  • Salat Jumat KAA yang Bersejarah

    GUBERNUR Jawa Barat Ahmad Heryawan menjadi khatib dalam salat Jumat (24/4) siang tadi. Dia membacakan naskah khotbah dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris dan Arab di hadapan para pemimpin negara delegasi KAA yang melaksanakan salat Jumat bersejarah itu. Pada saat KAA, hari Jumat jatuh pada 22 April 1955. Salat Jumat dilakukan di masjid yang sama, Masjid Agung Bandung yang kini namanya menjadi Masjid Raya Bandung. Enampuluh tahun lalu Masjid Agung Bandung lebih meriah dari biasanya. Maklum, para delegasi peserta KAA yang beragama Islam turut beribadah disana, ditambah masyarakat Bandung sendiri yang menyemut disekitar masjid. Sebelum pukul 12.00, tampak Ali Sastroamidjojo beserta rombongan turun dari mobil Mercury, disusul delegasi dari Lebanon. Kemudian berturut-turut delegasi Syiria, dan Sudan tiba di masjid yang terletak Alun-alun Bandung itu. Kemudian tampak pula Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser yang kedatangannya disambut sorak-sorai jamaah salat Jumat. Lalu muncul pula mufti El Hussaini dari Palestina dan delegasi Turki beserta Irak. Bertindak sebagai khatib salat Jumat saat itu adalah Menteri Urusan Wakaf Mesir Ahmad Hassan El Bakoury. Dalam khotbah berbahasa Arab itu dia menekankan arti keadilan, keselamatan dan kemerdekaan. “Surat wal‘asri menjadi pokok acara pidatonya. Zaman akan merugikan manusia jika manusia tidak mempergunakan masa itu,” tulis majalah Merdeka , 30 April 1955. Pada khotbah kedua, khatib dadakan itu lebih banyak mendoakan negara-negara peserta untuk menjaga perdamaian. Yang menarik adalah kehadiran dua delegasi dari Republik Rakyat Tiongkok, yang beragama Islam pada salat Jumat tersebut. Kehadiran mereka seperti menegaskan pidato Zhou Enlai, ketua delegasi Tiongkok pada sidang hari kedua tentang kebebasan beragama di negerinya. Pada Selasa, 19 April 1955, Zhou berpidato dalam bahasa Tiongkok dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tentang jaminan kebebasan menjalankan praktik ibadah agama di negaranya. “Kami kaum komunis adalah atheis, tetapi kami menghormati semua mereka yang beragama. Di Tiongkok, selain hidup tujuh juta kaum komunis, juga hidup puluhan juta kaum Muslimin, Budha, Kristen dan Katholik. Dalam delegasi RRT terdapat pula seorang ulama Islam. Masa hasut-menghasut pertentangan agama haruslah lenyap, sebab yang beruntung bukanlah kita!,” kata Zhou Enlai seperti dikutip Roeslan Abdulgani dalam The Bandung Connection .*

  • Mempertanyakan Bukti Islam Tertua di Jawa

    BATU nisan Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, Jawa Timur dianggap sebagai bukti tertua kehadiran Islam di Pulau Jawa. Meskipun demikian, hal itu belum berarti adanya islamisasi yang meluas di daerah Jawa Timur. Masyarakat setempat menciptakan legenda bahwa nisan itu adalah kuburan seorang putri raja bernama Putri Dewi Suwari, yang berperan dalam islamisasi Pulau Jawa. Tidak jauh dari Leran, terdapat nisan Maulana Malik Ibrahim, mubalig pertama yang datang dari India untuk menyebarkan Islam, yang meninggal pada 822 Hijriyah (1419 M). Karena itu, legenda lokal menghubungan Dewi Suwari dengan Maulana Malik Ibrahim sebagai murid atau istri sehingga Dewi Suwari menjadi pribumi pertama yang memeluk Islam. Sajarah Banten yang ditulis tahun 1662 atau 1663, sebagai sumber tertulis tertua yang menyebut situs Leran, menyebutkan masa islamisasi Tanah Jawa di mana tokoh Leran, Putri Dewi Suwari ditunangkan dengan raja terakhir Majapahit. Menurut arkeolog Prancis, Ludvik Kalus dan Claude Guillot, “Nisan Leran (Jawa) Berangka Tahun 475 H/1082 M dan Nisan-nisan Terkait,” termuat dalam Inskripsi Islam Tertua di Indonesia , nisan Leran sudah lama dikenal oleh masyarakat setempat, tetapi tidak terdapat –dalam teks tertulis, legenda, ataupun peninggalan purbakala– unsur apa pun yang mengaitkannya dengan konteks sejarahnya yang benar di abad ke-11. Segala data cenderung menempatkannya dalam satu periode yang kira-kira sama dengan abad ke-15, yaitu masa islamisasi awal Pulau Jawa. Nisan Leran baru diteliti secara ilmiah pada 1920-an oleh peneliti Belanda J.P Moquette dan peneliti Prancis, Paul Ravaisse. Dari hasil inskripsi oleh Moquette dan kemudian Ravaisse menyajikan beberapa perbaikan, terbaca bahwa nisan itu bukan milik Putri Dewi Suwari, tetapi “ini makam orang perempuan yang tidak berdosa, tidak menyimpang, bint Maymun bin Hibat Allah. Dia meninggal hari Jumat delapan Rajab, tahun empat ratus tujuh puluh lima.” Ravaisse membaca tahun meninggalnya 475 H (1082 M) yang lebih banyak diterima, sedangkan Moquette membacanya tahun 495 Hijriyah (1102 M). Jelas, tahun kematian Fatimah jauh sekali dengan Maulana Malik Ibrahim. Siapakah Fatimah binti Maimun? Ada peneliti, seperti N.A. Baloch dari Pakistan, yang beranggapan bahwa Fatimah adalah putri dari Dinasti Hibatullah di Leran yang dibangun pada abad ke-10. Anggapannya didasari oleh keindahan tulisan kaligrafi kufi pada nisannya. “Saya tidak sependapat dengan Baloch karena tidak ditemukan kata sultanat sebelum namanya,” tulis arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam Arkeologi Islam Nusantara . “Oleh karena itu, menurut saya, itu hanyalah nisan kubur masyarakat biasa dan dianggap sebagai salah satu data arkeologis yang berkenaan dengan fakta komunitas Muslim pertama yang ditemukan di kawasan pantai utara Jawa Timur.” Sependapat dengan Uka, Kalus dan Guillot menyatakan bahwa “bint Maymun bin Hibat Allah rupanya berasal dari golongan sosial sederhana (dia tidak memiliki gelar apa pun!).” Selain nisan Fatimah sebagai nisan utama yang disimpan di Museum Trowulan, ternyata ada empat nisan lain. “Karena bentuk dan jenis batunya, nisan-nisan itu ternyata berkaitan erat dengan nisan utama. Tetapi inskripsinya jauh lebih rusak dan karena itu dikesampingkan selama ini,” tulis Kalus dan Guillot, yang meneliti nisan-nisan itu pada tahun 1999 dan 2000. Dengan demikian, kelima nisan itu harus dibahas satu kesatuan dan disebut “nisan-nisan Leran.” Berangkat dari sinilah, Kalus dan Guillot, mengemukakan pendapat yang mencengangkan. Menurut mereka, andaikata nisan-nisan itu dibuat di tempat, maka harus dianggap adanya sebuah bengkel di Leran. Namun, tidak mungkin tokoh sederhana itu (Fatimah, red ) menyebabkan adanya sebuah bengkel di daerah yang begitu terpencil. Tidak hanya itu, satu nisan memiliki takik (torehan yang agak dalam). Kalus dan Guillot membandingkan nisan bertakik itu dengan sebuah nisan berinskripsi dari periode yang sama (abad ke-11) dari daerah sekeliling Laut Kaspia, yang diubah menjadi jangkar oleh tukang batu. “Kelima nisan Leran itu rupanya diambil dari pekuburan aslinya untuk dipakai sebagai tolak bara (pemberat, red ) pada sebuah kapal, sementara salah satunya digunakan sebagai jangkar. Menurut kami, itulah caranya batu-batu itu sampai ke Jawa,” tulis Kalus dan Guillot. Batu-batu itu sampai di Jawa kemungkinan besar antara abad ke-12 dan ke-14 karena pelabuhan Leran berhenti berfungsi pada abad ke-14. Dan di Nusantara, produksi lokal nisan baru muncul pada abad ke-14 di Trowulan, tempat yang tidak jauh dari Leran. Kalau demikian, apakah daerah asal batu-batu itu dapat dikenali? Kalus dan Guillot mengakui cukup sulit: “tulisannya bersifat unik meskipun beberapa unsurnya mengarah ke lingkungan Iran; teks inskripsinya mengingatkan pada Mesir namun bukan negeri itu saja; bingkai bersulur gelung menghasilkan kesimpulan yang sama; akhirnya jenis batunya sama sekali tidak mengarah kepada suatu sumber saja.” Kalus dan Guillot pun menyimpulkan “kehadiran Islam di Pulau Jawa tidak dibuktikan oleh nisan-nisan Leran; nisan tersebut terbawa ke sana secara kebetulan saja setelah diangkat dari tempat asalnya dan dipergunakan sebagai jangkar dan tolak bara (pemberat kapal) dalam sebuah kapal asing.” Memang, Kalus dan Guillot menegaskan “meninjau (baru atau ulang) prasasti kuno yang ada dapat mengguncang berbagai gagasan yang telah diterima sebagai kenyataan. Maka sejarah sebagaimana telah ditulis perlu dipertanyakan.”*

  • Pemerintah Kolonial Pernah Menunda Pemberangkatan Jemaah Haji

    TIMUR Tengah dalam keadaan rawan karena konflik yang berkepanjangan. Teror ISIS atau Islamic State of Iraq and Syria (Negara Islam Irak dan Suriah) menyasar Saudi Arabia, di mana Mekah berada, tempat kaum Muslim menunaikan ibadah haji. Kendati demikian, pemerintah Indonesia tetap mengirim jemaah haji ke Mekah. Hal ini berbeda dengan kejadian di tahun 1915. Pemerintah Hindia Belanda tidak mengirimkan jemaah haji karena pecah Perang Dunia pertama (1914-1918). Melalui Javasche Courant, 17 Mei 1915, pemerintah kolonial mengumumkan bahwa selama perang tidak dilaksanakan perjalanan ke Mekah dengan pertimbangan: biaya hidup di Hijaz terlalu mahal, perubahan kurs uang Turki terhadap gulden Hindia Belanda, dan maskapai pelayaran Belanda menetapkan tidak akan mengoperasikan kapal hajinya. “Keputusan tersebut sempat diprotes oleh pemerintah Turki yang turut serta dalam Perang Dunia I itu. Keikutsertaan Turki dalam perang tersebut telah menimbulkan keadaan yang luar biasa di Hijaz,” tulis Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia. Saat itu,Mekah yang merupakan daerah Hijaz adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani. Turki bergabung dengan Blok Sentral bersama Jerman, Austria-Hungaria, dan Bulgaria, melawan Blok Sekutu, yaitu Prancis, Inggris, Rusia, Amerika Serikat, dan lain-lain. Keterlibatan Turki menyeret peperangan ke Timur Tengah. Selain tidak mengirim jemaah haji, pemerintah kolonial juga memulangkan jemaah haji yang biasa disebut koloni Jawah ( Ashhab al-Jawiyyin ) dari Jeddah. Karena maskapai pelayaran Belanda tidak beroperasi selama perang, pengangkutan jemaah haji itu dilakukan oleh konsorsium perusahaan Arab yang terdiri dari Said Umar Assagaf, Omar Nasif, dan Muhammad Ali, serta Alfred Holt di Liverpool, yang menetapkan Singapura sebagai pelabuhan haji. Jemaah haji yang berhasil dipulangkan sekira 5.000 orang. “Oleh karena kekurangan kapal, jemaah haji harus menunggu lama di Jeddah yang memerlukan banyak biaya. Sebagian di antara mereka bahkan terpaksa menandatangani kontrak kerja sebagai kuli kelapa sawit di Cocob,” tulis Shaleh. Jemaah haji yang terpaksa menetap di Hijaz itu karena tidak ada kapal haji atau karena selama ini tidak mempunyai tiket untuk pulang. Meskipun perang masih berlangsung, ada sekira 70 orang pada 1916 dan sepuluh orang pada 1917, yang tetap berusaha berangkat haji. Pada 1916, sebagian jemaah telah berada di Bombay, India. Karena tidak ada kapal haji yang akan ke Jeddah, pemerintah India meminta mereka kembali daripada tinggal di sana. “Rupanya beberapa orang calon haji nekat untuk melaksanakan haji pada masa peperangan tersebut melalui Bombay,” tulis Shaleh. Selanjutnya, entah mereka kembali ke Indonesia atau terus melanjutkan perjalanan menuju Jeddah. Yang jelas, ini membuktikan bagaimana jemaah Indonesia memiliki semangat yang menggebu untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Semangat itu terawat hingga kini.

  • Hijrah Pangeran Diponegoro

    PADA 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro wafat di tahanan pembuangan di Makassar. Keikhlasan dan kejujuran menjadi warna penting dalam episode akhir pemimpin utama Perang Jawa ini. Sikap keikhlasan tergambar dalam pengakuan Justus Heinrich Knoerle (1796-1833), opsir pengawal asal Jerman yang mendampingi Diponegoro selama pelayaran ke Manado. Knoerle dipilih karena bisa berbahasa Jawa. Selama perjalanan, menumpang korvet Pollux (4 Mei-12 Juni 1830), Diponegoro sering bercakap-cakap dengan Knoerle di atas tikar. “Selama itu saya memanggilnya Kanjeng Tuwan Pangeran, dan ia memanggil saya dengan kowe . Saya tanya dia, dan ia mengatakan artinya keluar dari hati yang tulus (manah waras) dan saya harus menganggapnya sebagai rasa ungkapan persahabatan,” tulis Knoerle dalam jurnalnya, seperti dikutip Peter Carey dalam Kuasa Ramalan . Kepada Knoerle, Diponegoro berbicara mengenai misteri hidup, ketika dihadapkan pada pergantian roda nasib. Dia bercerita, sebelum Perang Jawa, dia memiliki 60 tukang hanya untuk memotong rumput demi kuda-kudanya di Tegalrejo. Namun, ketika menjadi buronan, untuk menghindari pasukan gerak cepat Belanda, dia hanya ditemani dua pengiring setianya, Banteng Wareng dan Joyosuroto. “Di sinilah orang yang dapat kehilangan seluruh dunia, tetapi tetap teguh mempertahankan kemanusiaannya,” tulis Peter Carey dalam catatan kuratorialnya untuk pameran “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa dari Raden Saleh hingga Kini” yang akan diselenggarakan di Galeri Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat, pada 6 Februari-8 Maret 2015. Carey menilai perjalanan hidup Diponegoro sebagai pergerakan menciptakan dunia baru, yang dalam konteks Islam disebut hijrah . Diponegoro memulai hijrahnya pada sore hari dari Tegalrejo ke Selarong pada 20-21 Juli 1825. Hijrah kedua saat dia ditangkap Jenderal de Kock di Magelang, 28 Maret 1830, yang menandai awal masa seperempat abad menjadi tahanan dan buangan. “Posisinya sebagai Ratu Adil ditukar dengan dua kamar yang menyedihkan dan membuat gerah di Fort Nieuw Amsterdam di Manado (1830-1833) dan kemudian di Fort Rotterdam Makassar (1833-1855),” tulis Carey. Perjalanan hijrah Diponegoro berikutnya, lanjut Carey, yaitu “dari ranah badaniah perang ke ranah intelektual kepenulisan dan meditasi serta seni.” Kreativitasnya tumbuh dengan menghasilkan 1.150 halaman otobiografi ( Babad Diponegoro ) dan mengembangkan ketrampilan kaligrafi dalam gambar-gambar diagram mistis (da rah) serta menyalin Al-Qur'an. “Mereka yang mengamati dengan jeli transisi ini berbicara tentang ‘ketenangan, keikhlasan, atau kepatuhan Sang Pangeran yang tak tergoyahkan’, emosi-emosi yang Pangeran sendiri gambarkan secara lebih puitis seperti ‘emas yang dihanyutkan air’ ( lir mas kintaring toyo ).” Membaca Babad Diponegoro , menurut Carey, terasa seolah-olah Sang Pangeran sedang duduk dan berbicara langsung kepada kita. Gaya ekspresinya bersemangat, lugas, dan jujur. Lihatlah pengakuannya saat menerima “penglihatan” dalam penampakan mistik Ratu Adil-nya bahwa dia tidak mampu berkelahi karena “tidak tahan melihat kematian”, atau kerelaannya memasukkan catatan mengenai kelemahannya yang “permanen” bila melihat perempuan. Dalam menggenapi takdirnya, menurut Carey, Diponegoro menjalaninya seperti dalam tradisi samurai Jepang yang disebut “kemuliaan kegagalan” ( the nobility of failure ), yaitu kemampuan untuk tetap setia kepada sesuatu yang ideal. Dalam kasus Diponegoro, yaitu “menjunjung tinggi agama Islam di seluruh pulau Jawa” ( mangun luhuripun agami Islam wonten ing Tanah Jawa sedaya ), meskipun dia tahu tidak akan berhasil. Sebagaimana telah diramalkan kakek buyutnya, Mangkubumi (bertakhta 1749-1792), ketika Diponegoro masih bayi (lahir 11 November 1785): “Ia akan menyebabkan kerusakan lebih dahsyat kepada Belanda daripada yang telah dia lakukan selama perang Giyanti (1749-1755) tetapi hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang tahu apa yang akan terjadi kelaknya.”*

  • Mengorupsi Kitab Suci

    Ilustrasi: Micha Rainer Pali KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menyelidiki dugaan korupsi pengadaan Alquran di Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama. Diakui Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam yang dulu dipimpinnya juga melakukan pengadaan Alquran, tapi dia tidak mengurusinya. Pengadaan Alquran tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan dua juta mushaf setiap tahun untuk dibagikan ke Kantor Urusan Agama di seluruh Indonesia. “Nilai pengadaan saat itu ditaksir Rp5,6 miliar yang dikucurkan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama,” kata Nasaruddin Umar, seperti dikutip republika.co.id  (21/6). Pengadaan Alquran dalam jumlah besar kali pertama pada masa pendudukan Jepang. Pada 11 Juni 1945, pemuka-pemuka Shumubu  (Kantor Urusan Agama) dan Masyumi, menghadiri percetakan 100 ribu Alquran di Cirebon. Pada 1960-an Departemen Agama mendapatkan alokasi dana pampasan perang dari Jepang untuk pengadaan Alquran, yang menimbulkan kontroversi. Karena Menteri Agama KH Muhammad Wahib Wahab menunjuk Jepang sebagai tempat pelaksanaan proyek itu. Alquran yang dicetak sebanyak 5 juta eksemplar –6 juta eksemplar menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama– dengan biaya US$1.800. Baca juga:  Alquran Cetakan Jepang Menurut Moch Nur Ichwan, “Negara, Kitab Suci, dan Politik,” dimuat dalam Sadur karya Henri Chambert-Loir, Alquran dan Terjemahnya adalah satu-satunya Alquran resmi yang diterbitkan pemerintah –meskipun kemudian swasta diberi hak menerbitkannya. Alquran dan Terjemahnya dikerjakan oleh Lembaga Penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Alquran dibentuk Departemen Agama pada 1962, kemudian berubah jadi yayasan pada 1967. Alquran dan Terjemahnya, tulis Ichwan, terdiri dari tiga edisi. Edisi pertama (edisi asli), terbit dalam tiga volume pada 1965, 1967, dan 1969; disebut Edisi Yamunu karena diterbitkan oleh Yamunu (Yayasan Mu’awanah Nahdlatul Ulama). Edisi kedua (edisi revisi pertama), terbit pada 1974; disebut Edisi Mukti Ali –merujuk nama Menteri Agama saat itu. Edisi ketiga (edisi revisi kedua) terbit pada 1990; disebut Edisi Saudi, karena diterbitkan atas kerjasama Departemen Agama dan Pemerintah Arab Saudi dan dicetak oleh percetakan resmi pemerintah Arab Saudi di Madinah. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, kebutuhan Alquran terus meningkat dari tahun ke tahun. “Pemerintah memfasilitasi kebutuhan umat tersebut melalui proyek pengadaan kitab suci Alquran hampir setiap tahun,” kata mantan Menteri Agama Muhammad M. Basyuni, saat meresmikan gedung Lembaga Percetakan Alquran di Ciawi, Bogor, 15 November 2008. Percetakan ini kapasitas 1,5 juta eksemplar per tahun. Menurut Lex Rieffel dan Karaniya Dharmasaputra dalam Di Balik Korupsi Yayasan Pemerintah , dalam laporan keuangan Yayasan Pembangunan Islam (YPI) tentang Proyek Pembangunan Percetakan Alquran per 31 Desember 2007 tertera sumbangan dari Departemen Agama sebesar Rp28 milyar sebagai pendapatan YPI. “Patut dicatat, pendapatan YPI lainnya hanya berasal dari jasa giro senilai Rp825 juta lebih,” tulis Lex dan Karaniya. YPI adalah yayasan di lingkungan Departemen Agama yang didirikan pada 27 Mei 1966. Tujuannya membantu pembangunan masjid, surau, madrasah, atau tempat ibadah lainnya, termasuk bergerak di bidang percetakan dan penerbitan buku, kitab, majalah keagamaan dan menyalurkan bantuan kepada misi-misi Islam. Kita masih harus menunggu perkembangan penyidikan dugaan korupsi pengadaan Alquran. Tapi, yang jelas korupsi di Kementerian Agama bukan hal baru. Menteri Agama Said Agil Husen Al-Munawar, divonis lima tahun penjara karena kasus korupsi Dana Abadi Umat, juga bukan yang pertama. Pada masa “negara dalam keadaan bahaya” (SOB) tahun 1957, mantan Menteri Agama dan anggota DPR KH Masykur ditahan di Hotel Talagasari Bandung, atas perintah KSAD sekaligus Penguasa Perang Pusat (Peperpu) Jenderal AH Nasution. Di Hotel Talagasari, terdapat lima mantan menteri, anggota konstituante, anggota parlemen, kepala jawatan, komisaris polisi, jaksa, pengusaha, dan lain-lain. Ditaksir, jumlah orang yang diperiksa berjumlah 60 orang. (Baca: Hotel “Prodeo” Talagasari di Majalah Historia  nomor 2 ). Dalam memoarnya, Dari Gontor ke Pulau Buru , H. Achmadi Moestahal menyebut penangkapan para pemimpin partai politik terutama para anggota DPR sebagai bentuk “pembalasan” terhadap ulah mereka ketika terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. “Tuduhan yang dilontarkan kepada KH Masykur,” kata Achmadi, “adalah penyalahgunaan dana nonbudgeter Kas Masjid, yaitu pengepoolan hasil retribusi biaya nikah, talak dan rujuk oleh para pegawai pencatat nikah (Depag) dan ketidakberesan pengelolaan keuangan dari penyaluran tekstil kain kafan yang merupakan bagian dari rampasan perang dari Jepang ke Indonesia.” “Setelah pemeriksaan permulaan dianggap selesai, beberapa tahanan dilepaskan yaitu KH Masykur, AK Gani, KH Ahmad Dahlan, Zainul Arifin, dan seorang komisaris polisi,” kata Jusuf Wibisono, yang juga ditahan di Hotel Talagasari, dalam biografinya, Karang di Tengah Gelombang karya Soebaginjo IN.   Mantan Menteri Agama lain yang didakwa korupsi adalah KH Muhammad Wahib Wahab. Pada 30 Oktober 1962, jaksa menuntut Wahib sepuluh tahun penjara dan membayar denda Rp15 juta. Menurut jaksa, tulis Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI , terdakwa terbukti melakukan transaksi gelap Rp2,9 juta dan ditukar dengan dolar Malaya 11.600 dengan kurs gelap 1.250. Di Singapura terdakwa juga mempunyai: 3 buah mobil sedan Prince, 1 sedan Pontiac, 1 sedan Mercedez Benz, dan sebuah skuter; 1 buah sedan Mazda dihadiahkan kepada kenalannya Miss Melly Kho. Ada rumah sewa sebagai tempat penginapan jika terdakwa bepergian ke Singapura. Selain itu, terdakwa juga akan membangun dua buah bangunan di Opera Estate Singapura untuk cabang perusahaan batik Ponorogo dengan biaya 39.000 dolar Malaya. Wahib menyanggah tuduhan itu. Dia menyatakan, ketika mengurus semua hal terkait pembukaan cabang perusahaan, kedudukannya bukan sebagai Menteri, melainkan dalam cuti 40 hari di Singapura. Menurut Abdul Azis, penulis profil Wahib Wahab dalam Menteri-Menteri Agama RI, H. Machdan menceritakan bahwa kekayaan Wahib di Singapura bukan miliknya, tapi punya seorang Tionghoa bernama Maliko, anak advokat di Mojokerto, yang telah lama tinggal di Singapura dan memiliki perusahaan biro perjalanan. “Maliko kenal baik dengan KH Wahib sejak kecil dan Maliko inilah yang memberi uang Wahib untuk modal berdagang,” kata Machdan. Hakim menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Wahib. “Terdakwa menerima keputusan hakim dan akan memajukan grasi kepada Presiden,” tulis Rosihan. Presiden Sukarno memberikan grasi. Wahib hanya menjalani tahanan kurang dari sebulan di Salemba. H. Shobih Ubaid, kerabat dekat Wahib yang menangani pembayaran denda sampai lunas, menduga kebencian Wahib terhadap manuver Partai Komunis Indonesia (PKI) mengakibatkan Sukarno merasa risih dan tidak suka. “Sehingga, orang-orang PKI berusaha mencari celah untuk menjatuhkan KH Wahib karena khawatir posisinya sebagai Menteri Agama akan mudah menggalang opini publik yang dapat mengancam kelangsungan hidup PKI,” kata Shobih.  “Oleh karena itu, kasus di atas diyakini Shobih sebagai hasil rekayasa PKI disertai dukungan politis secara tidak langsung dari Presiden,” tulis Abdul Azis. Selanjutnya, laporan utama pemberantasan korupsi di era rezim Sukarno dimuat Majalah Historia  nomor 2 .

  • Riwayat Al-Qur'an Bombay

    Mushaf al-Qur'an Bombay terbitan PT Karya Toha Putra, 2000. (Dok. Ali Akbar/Blog Khazanah Mushaf al-Qur'an Nusantara). UMAT Muslim sedunia mengutuk aksi nekat Terry Jones yang akan membakar Al-Qur'an pada peringatan ke-9 tragedi 11 September 2010. Jika pendeta gereja kecil di Gainesville, Florida, Amerika Serikat, itu jadi membakar Al-Qur'an, kehidupan beragama pasti terancam. Namun, bagaimana jika pembakaran Al-Qur'an terjadi di Indonesia? Dua tahun sebelum pembentukan Lajnah Pentashih Al-Qur'an pada 1957, terjadi peristiwa yang diingat banyak orang: “Pembakaran beberapa ribu mushaf cetakan Bombay di Lapangan Banteng, persis pada hari Idulfitri, karena mengandung beberapa kesalahan,” tulis Tempo , 14 April 1984. Bisa jadi, peristiwa itu menjadi salah satu latar belakang pembentukan lembaga yang bertugas untuk mentashih (memeriksa atau mengoreksi) setiap mushaf Al-Qur'an yang akan dicetak dan diedarkan kepada masyarakat Indonesia. Tujuannya, “untuk menjaga berbagai kesalahan dan kekurangan dalam penulisan Al-Qur'an,” tulis lajnah.kemenag.go.id . Baca juga:  Al-Qur'an dan Hadis dalam Perdukunan di Barus Al-Qur'an Bombay merupakan mushaf paling populer. Sejak pertengahan abad ke-19, Al-Qur'an Bombay beredar luas di kawasan Asia Tenggara. Peredarannya dapat dilihat dari peninggalan mushaf India di beberapa tempat: Palembang, Demak, Madura, Bima, Malaysia, hingga Filipina Selatan. Bahkan, menurut I. Proudfoot, kepala Asian History Centre Australian National University, Australia, percetakan litograf (cetakan batu) Al-Qur'an pertama di Nusantara oleh Haji Muhammad Azhari ibn Kemas Haji Abdullah Palembang pada 1854 terinspirasi oleh percetakan Al-Qur'an di India.   Pada 1850-an, Palembang menjadi komunitas Arab terbesar di Asia Tenggara. Bersama Sumatra Barat, daerah ini menjadi partisipan tertinggi dalam ibadah haji. Azhari adalah generasi ketiga rombongan ibadah haji –ayah dan kakeknya telah menjalankannya. Setelah bertahun-tahun di Tanah Suci, dia melanjutkan studi di al-Azhar, Kairo, Mesir. Setelah itu, selama perjalanan pulang dengan kapal dari Timur Tengah ke Singapura, terutama sebelum Terusan Suez dibuka, “biasanya kapal singgah di sekitar pelabuhan India, dan sangat mungkin Azhari bekerja di Bombay” tulis Proudfoot dalam “Early Muslim Printing in Southeast Asia,” Libi, Vol. 45, 1995. Selama di Kairo dan India, Azhari mengenal dan mempelajari percetakan Al-Qur'an. Percetakan di India menggunakan teknik pencetakan baru, yaitu litograf yang populer di Eropa selama 1806-1817 terutama untuk karya seni, dan dibawa ke India oleh East India Company pada 1824. Pada 1850, pusat percetakan didirikan di Lucknow-Cawnpore, Agra, Delhi, Lahore, dan Hyderabad (Deccan). “Pada dekade terakhir abad ke-19, litograf Al-Qur'an […] tafsir dan sejenisnya dalam bahasa Melayu dan Jawa dicetak di Bombay (bersama banyak karya sastra populer), Lucknow-Cawnpore, Mekah, Kairo dan Istanbul,” tulis Proudfoot. Baca juga:  Percetakan Al-Qur'an Era Kolonial Di Singapura, persinggahan terakhir sebelum menuju Palembang, Azhari membeli litograf untuk mencetak Al-Qur'an. Di sana, dia menemukan lima percetakan komersial yang dimiliki orang Eropa. Salah satunya Mission Press, yang dijalankan seorang misionaris Protestan, B. P. Keasberry. Pada 1849, dia menggunakan teknik ini untuk mempublikasikan autobiografi seorang pujangga dan perintis sastra Melayu modern Abdullah bin Abd al-Qadir Munsyi. Keasberry yang lahir di Hyderabad telah berhubungan dengan perkembangan percetakan di India. Tak diragukan lagi litograf India beredar di Singapura. “Mungkin atau tidak, Azhari membawa peralatan litografnya ke Mission Press,” tulis Proudfoot. Tapi, menurut Martin Van Bruinessen, Azhari belajar sendiri mengoperasikan litografnya. “Al-Qur'annya –di mana dia menulis 14 halaman berbahasa Melayu mengenai pengenalan cara pengucapan dan membaca– siap menemukan pembeli,” tulisnya dalam “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde , Vol. 146, No. 2/3 1990. Azhari menjual Al-Qur'an dengan harga 25 gulden atau sekitar £2. “Penjualan 20 eksemplar dapat mengembalikan biaya peralatan percetakan dan memungkinkan untuk biaya kertas yang baik dan binding ,” tulis Proudfoot. Sementara itu, menurut dosen Departemen Susastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Titik Pudjiastuti, dalam Memandang Palembang dari Khazanah Naskahnya , dalam naskah Al-Qur'an koleksi pribadi Abdul Azim Amin terdapat catatan yang menyebutkan bahwa Azhari mengenal tradisi percetakan litograf dari gurunya di Singapura dan Malaka. “… dia selesai mencetak Al-Qur'an pada hari Senin tanggal 21 Ramadan 1264 Hijriyah bertepatan dengan 21 Agustus 1848. Yang dicetak sebanyak 105 Al-Qur'an selama 50 hari. Jadi, dalam satu hari sebanyak dua Al-Qur'an tiga juz. Tempat mengerjakan percetakannya di Kampung 3 Ulu, Palembang, dengan kepala kampung Demang Jayalaksana Muhammad Najib ibn Demang Wiralaksana Abdullah Alhalik…” Baca juga:  Al-Qur'an Cetakan Jepang Menurut Kepala Seksi Koleksi dan Pameran Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Ali Akbar, tak mengherankan jika tradisi cetak mushaf di kawasan Asia Tenggara dimulai dengan mereproduksi mushaf yang sebelumnya telah dicetak di India. Jenis mushaf lain yang beredar di Asia Tenggara adalah cetakan Turki dan Mesir. Selama bertahun-tahun ketika memulai usaha pada 1930-an, Penerbit Sulaiman Mar’i yang berpusat di Singapura dan Penang, Malaysia, hanya mereproduksi mushaf cetakan Bombay. Itu terlihat dari ciri hurufnya yang tebal. “Mushaf yang paling banyak dicetak adalah mushaf dengan gaya tulisan dan harakat tebal, yang kemudian sering disebut sebagai Al-Qur'an Bombay,” tulis Ali dalam “Mushaf Lama Indonesia,” lajnah.kemenag.go.id , 6 Juni 2011.   Beberapa jenis mushaf berhuruf tebal itu selama puluhan tahun digunakan oleh masyarakat Asia Tenggara, terutama hingga 1970-an. Sebagian kecil penerbit masih mencetak mushaf jenis ini hingga sekarang, selain mencetak mushaf dengan jenis huruf lain karena semakin banyak pilihan jenis huruf yang bisa digunakan. Para penerbit biasanya menggunakan teks mushaf India sebagai teks pokok, sementara untuk teks tambahan di bagian depan dan belakang mushaf bervariasi, tergantung pada pilihan penerbit. Teks tambahan berupa keutamaan membaca Al-Qur'an, makharij al-huruf (tempat keluarnya huruf), tajwid, doa khatam Al-Qur'an, daftar surah dan juz, dan lain-lain, biasanya ditulis oleh para khattat  (kaligrafer) Indonesia.  Sejak 1984, Departemen Agama menetapkan mushaf standar, baik untuk pedoman Lajnah maupun kiblat para penerbit percetakan Al-Qur'an. Pada Februari 1983, dari hasil Musyawarah Kerja Alim Ulama Ahli Al-Qur'an IX, Menteri Agama Alamsjah menerima tiga kopi induk Al-Qur'an standar, yang penulisan bakunya dikerjakan oleh kaligrafer Ustad Ahmad Syadli selama empat tahun. Naskah Al-Qur'an standar itu baru diedarkan setelah Musyawarah Kerja Alim Ulama Ahli Al-Qur'an X pada akhir Maret 1984. “Yang diselesaikan para ulama itu sebenarnya tiga macam mushaf, yaitu mushaf Usmani (bersandar pada huruf naskah Usman dulu) yaitu naskah Al-Qur'an biasa; mushaf Bahriyah, khusus untuk para hafizh, penghafal Al-Qur'an; dan mushaf Braille, untuk para tunanetra,” tulis Tempo , 14 April 1984. Mushaf Braille menggunakan huruf Braille Arab, al-Kitabah al-Arabiyyah an-Nafirah , sebagaimana diputuskan oleh konferensi internasional Unesco pada 1951. Baca juga:  Penerjemahan al-Qur’an di Cina Menurut Ali, penetapan mushaf Al-Qur'an Rasm Usmani berdasarkan mushaf cetakan Bombay, “karena model tanda baca dan hurufnya telah dikenal luas oleh umat Islam di Indonesia sejak puluhan tahun –bahkan mungkin hampir satu abad,” tulisnya, “Pentashihan dan Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” lajnah.kemenag.go.id , 6 Juni 2011.  Sedangkan, mushaf Al-Qur'an Bahriyah modelnya diambil dari mushaf cetakan Turki yang kaligrafinya sangat indah. Jenis mushaf ini juga digunakan secara luas oleh umat Islam di Indonesia, khususnya di kalangan para penghafal Al-Qur'an, dengan ciri setiap halaman diakhiri dengan akhir ayat –dikenal sebagai “ayat pojok”. Al-Qur'an Bombay kian terpojok oleh Al-Qur'an ayat pojok. Menurut Asosiasi Penerbit Mushaf Al-Qur'an Indonesia (APMI), Al-Qur'an Bombay yang beredar sebelum tahun 2000 dicetak di atas kertas koran kualitas rendah yang mudah robek dan tak tahan lama. Tulisannya berbentuk bulat dan pendek-pendek, serta sulit dibaca karena huruf  hijaiyahnya banyak yang ditumpuk atau tidak linier. Paling mencolok dari Al-Qur'an Bombay, ayat penutup suatu surat tak terletak di posisi paling bawah halaman, kadang pada seperempat atau di tengah-tengah halaman. Akibatnya permulaan ayat sebuah surat tak bisa berada di posisi paling atas halaman tersebut. Sehingga terkesan tidak rapi, membacanya juga sulit, apalagi yang matanya silinder. Masyarakat pun lebih menggemari Al-Qur'an ayat pojok. Setiap ayat terakhir sebuah surah selalu di pojok bawah sisi kiri halaman. Sehingga surat selanjutnya bisa di halaman baru mulai dari atas. Selain itu, cetakan huruf-huruf tertata rapi, linier.*

  • Kiai Kasan Besari, Guru Bagi Para Ulama dan Bangsawan

    BERKAT peran seorang santri bernama Kasan Besari, Pesantren Tegalsari, Ponorogo kemudian dikenal sebagai salah satu pemasok pemikir dan pemimpin negeri ini. Menurut Abdurrahman Wahid, sebagaimana dikutip Abdul Munir Mulkhan dalam Reinventing Indonesia, ada dua muara kepemimpinan nasional: kalau bukan dari raja-raja Jawa, ya dari Kiai Kasan Besari. Pesantren Tegalsari sendiri dibangun kakeknya, Mohamad Besari. Menurut penelusuran Claude Guillot dalam “Le rôle historique des perdikan ou villages francs: le cas de Tegalsari , ” Archipel, Vol. 30, 1985, Mohamad Besari adalah santri sekaligus menantu Kiai Danapura di Setana, Ponorogo. Setelah Kiai Danapura wafat, perjuangan dakwah Islam diteruskan Mohammad Besari dengan membuka daerah yang kemudian dinamai Tegalsari. Mohamad Besari memberikan pengajian untuk santri dan keturunannya di rumahnya. Tapi, pengaruhnya masih terbatas di desa-desa sekitar. Baru pada masa Kiai Kasan Besari, Pesanten Tegalsari semakin luas pengaruhnya. Dia tenar sebagai ulama yang cerdas. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah di Jawa. “Di sinilah anak-anak dari pesisir utara Jawa pergi untuk melanjutkan pelajarannya,” tulis Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning dan Pesantren dan Tarikat . Survei Belanda tentang pendidikan yang diadakan pada 1819 menyimpulkan bahwa Tegalsari merupakan salah satu tempat penting penyebaran Islam. Selain mumpuni dalam pengetahuan agama, Kiai Kasan Besari juga memiliki kemampuan politik. Ia pernah menghelat acara maulid Nabi Muhammad di Masjid Agung, Surakarta, pusat Kerajaan Mataram. Kiai Kasan Besari dan lima ratus santrinya melantunkan pujian kepada Nabi Muhammad dalam Barzanji . Kiai Kasan Besari kemudian diambil mantu oleh Pakubuwana III, dinikahkan denga putrinya yang bernama Murtosiyah. Sejak saat itu Kiai Kasan Besari jadi bagian keluarga kerajaan dan, karena itu, mendapat julukan Kanjeng Kiai Kasan Besari. Pamornya meningkat pesat. Pesantrennya dijadikan tempat penggemblengan para pangeran dan keluarga raja. “Tidaklah aneh jika Pesantren Tegalsari menjadi tempat penting bagi pengajaran Islam untuk elite politik dan keluarga di Kerajaan Mataram,” tulis Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan . Bahkan, pujangga Surakarta Yasadipura mengirimkan Bagus Burhan untuk mengaji kepada Kiai Kasan Besari. Selesai mengaji di Tegalsari, Bagus kembali ke Mataram dan menulis banyak karya sastra, seperti Serat Kalathida . Di kemudian hari dia dikenal sebagai Ranggawarsita, pujangga penghabisan Jawa.*

  • Jalan Kartini Temukan Islam

    SURAT bertarikh 6 Nopember 1899 dalam Habis Gelap Terbitlah Terang itu menandaskan betapa Kartini tak sreg benar dengan agamanya. Katanya, “Sebenarnya agamaku agama Islam, hanya karena nenek moyangku beragama Islam. Manakah boleh aku cinta akan agamaku, kalau aku tiada kenal, tiada boleh mengenalnya? Quran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana juapun. Di sini tiada orang yang tahu bahasa Arab. Orang diajar di sini membaca Quran, tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu, orang diajar di sini membaca, tetap tidak diajarkan makna yang dibacanya itu.” Ia, dengan jujur, juga menyatakan malas membaca Al-Quran. Dilahirkan dalam keluarga priyai, sebenarnya Kartini tak mendapatkan pengetahuan agama yang memadai. Namun, dasar orang haus pengetahuan, ia senantiasa ngangsu kaweruh , belajar. Sekitar tiga tahun kemudian setelah suratnya kepada Stella Zeehandelaar, pegiat feminis Belanda, di atas pandangannya terhadap Islam berubah. Selama ini, akunya, ternyata ia bebal dan angkuh. Namun, ia bersyukur bahwa dalam perjalanan hidupnya ia bisa menemukan Tuhan. “Betapa aman sentosanya di dalam diri kami sekarang ini, betapa terima kasihnya dan bahagianya, karena sekarang ini telah mendapat Dia; karena kini ini kami tahu, kami rasa, bahwa senantiasa ada Tuhan dekat kami, dan menjagai kami,” tulisnya pada 15 Agustus 1902. Perubahan itu terjadi berkat pertemuannya dengan Kyai Saleh Darat. Tak ada yang bisa memastikan waktu mereka bertemu. Namun, menurut penelusuran Saiful Umam, dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, dalam “God’s Mercy is Not Limited to Arabic Speakers” dimuat Studia Islamika vol. 20, 2, 2013, pertemuan itu terjadi di rumah Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat. Yang disebut terakhir ini adalah paman Kartini. Kartini kerap beranjangsana ke rumah pamannya itu. Mereka bertemu saat Kyai Saleh Darat memberikan pengajian di Pendopo Sang Bupati. Dalam menyatakan bahwa bisa jadi Kartini mengikuti pengajian Kyai Saleh Darat sesering ia mengunjungi pamannya itu. Pertemuan-pertemuan inilah yang menjadi titik balik pandangan Kartini tentang Islam. Kyai Saleh Darat bernama lengkap Muhammad Salih ibn Umar Al-Samarani. Disebut Saleh Darat karena mengelola pesantren di daerah Darat, Semarang; sekarang masuk Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Jawa Tengah. Saat remaja, Saleh rajin mengaji kepada ulama-ulama di Jawa, kemudian belajar ke Mekkah. Setelah menimba ilmu bertahun-tahun di tanah suci, ia kembali ke Jawa dan mensyiarkan Islam ke banyak daerah. Banyak ulama besar yang pernah nyantrik kepadanya, antara lain K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama). Kyai Saleh Darat pendakwah intelektual yang menulis hampir semua kitabnya dalam Arab berbahasa Jawa atau biasa disebut pegon . Kitab-kitabnya terdiri dari fiqih, akidah, tafsir, sampai tasawuf. Ialah mufasir (ahli tafsir Alquran) pertama yang menulis dalam bahasa Jawa. Kitab anggitannya, Faidhul Rahman , adalah kitab tafsir Al-Quran pertama yang ditulis dengan bahasa pegon. Ingin menjangkau pembaca lebih luas, ia tak menulis dalam bahasa Jawa kromo yang biasanya digunakan untuk buku-buku puisi bahasa Jawa dan digunakan untuk komunikasi antarpetinggi. Ia menulisnya dalam bahasa Jawa ngoko atau bahasa Jawa untuk kelas rakyat biasa. Contohnya, dalam pendahuluan Kitab Al-Hikam , ia menyatakan bahwa ia meringkas dan menerjemahkan ke bahasa Jawa Matn Al-Hikam karya Syaikh Ahmad ibn Athaillah itu agar lebih mudah dicernah orang awam dan mereka yang sedang mencari ilmu. Dalam Ulama dan Kekuasaan , Jajat Burhanudin, dosen UIN Jakarta, menyatakan bahwa Kyai Saleh Darat diakui sebagai ulama terkemuka yang dihormati para ulama pesantren Jawa. Dalam salah satu pertemuan dengan Kartini, Kyai Saleh Darat memberikan semua kitab-kitabnya yang berbahasa Jawa. Kata Kartini, “Seorang tua di sini karena girangnya, menyerahkan kepada kami semua kitab-kitabnya naskah bahasa Jawa, banyak pula yang ditulis dengan huruf Arab. Kami pelajarilah kembali membaca dan menulisnya.”  Berkat pertemuan dengan Kyai Saleh Darat inilah Kartini semakin kukuh dengan agamanya. Kita bisa simak, misalnya, pada surat bertanggal 21 Juli 1902 kepada Nyonya Abendanon Kartini menulis: “Yakinlah nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami patut disukai.”

  • Ketika Siaran Azan Diprotes

    NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) stasiun radio Hindia Belanda. DESEMBER 1936, sepucuk surat tiba di kantor radio NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) , stasiun radio Hindia Belanda. Seorang pendengar protes atas siaran azan yang tak tepat pada waktunya. Tak lama berselang, surat-surat pendengar lain mulai berdatangan, memprotes hal yang sama. NIROM didirikan di Amsterdam pada 1928, direncanakan jadi stasiun radio yang menangani siaran ke seluruh Jawa, dan dalam tiga tahun ke seluruh Hindia Belanda. Namun, karena beberapa kendala teknis, baru pada 1 April 1934 NIROM resmi mengudara. NIROM sebenarnya stasiun radio swasta yang diberikan lisensi oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengimbangi stasiun-stasiun radio yang didirikan bumiputera. NIROM memiliki lima studio cabang lengkap dengan stasiun transmisinya: Batavia, Bandung, Medan, Semarang, dan Surabaya. Awalnya, dengan alasan eksklusitivitas, NIROM hanya menyiarkan siaran-siaran berbahasa Belanda. Namun pada 1935, diperluas dengan program-program “ketimuran” yang ditujukan untuk pendengar berbahasa Melayu. “Walaupun dikontrol pemerintah Hindia Belanda dan didesain untuk melayani orang-orang Eropa di Hindia Belanda, NIROM juga bermaksud merangkul pendengar non-Eropa, dari bumiputera hingga Tionghoa Peranakan dengan program-program ketimurannya,” tulis Peter Keppy, “Keroncong, Concours and Cooners; Home-grown Entertainment in Early Twentieth-century Batavia” dalam Linking Destinies: Trade, Towns, and Kin in Asian History  yang disunting Peter Boomgaard, Dick Kooiman, dan Henk Schulte Nordholt . Untuk menarik simpati bumiputera, mulai April 1936 NIROM menyiarkan kumandang azan setiap waktu salat magrib tiba. Awalnya, azan hanya terdengar di wilayah Jawa Timur, yang masuk dalam jangkauan stasiun radio NIROM Surabaya. Pada akhir 1936, setelah dilakukan beberapa perbaikan teknis, NIROM Surabaya meluaskan jangkauan siarannya hingga Jawa Tengah. Sementara itu, NIROM Bandung juga mulai menyiarkan kumandang azan magrib. Di sinilah awal mula berbagai keluhan dan protes muncul. Karena mendengar kumandang azan yang berbeda waktunya dengan masjid setempat, para pendengar di Jawa Tengah mengirim surat keluhan ke NIROM. Menurut Philip Bradford Yampolsky dalam “Music and Media in the Dutch East Indies: Gramophone Records and Radio in the Late Colonial Era, 1903-1942” , disertasi untuk meraih gelar doktor di Universitas Washington, para pendengar mulai menulis surat keluhan atas kumandang azan magrib yang disiarkan pada waktu yang salah. Hal ini terjadi akibat masuknya waktu salat magrib di Jawa Tengah terjadi setelah waktu salat magrib di Jawa Timur, dan lebih cepat daripada di Bandung. Karena mustahil bagi NIROM untuk menyiarkan azan tepat waktu di semua wilayah, akhirnya pada Mei 1937 mereka memutuskan hanya mengumandangkan azan seminggu sekali. Azan disiarkan Kamis sore, sebagai pengingat kaum bumiputera untuk melakukan salat Jumat keesokan harinya. Di tengah berbagai protes dan keluhan yang dilayangkan pendengar, NIROM berkilah. Mereka memberikan alasan atas perubahan itu. “Siaran azan hanya digunakan sebagai bentuk simbolik, untuk mengingatkan masyarakat atas kewajiban agamanya,” tulis Philip. Dua tahun berselang, pada 1938, surat-surat keluhan tetap berdatangan ke kantor NIROM. Mereka menuntut NIROM menghentikan siaran azannya. “Beberapa surat itu menyatakan, apabila kamu (NIROM) tidak bisa menyiarkan azan tepat waktu, kalau begitu jangan siarkan saja sama sekali,” tulis Philip.

  • Haji "Mahiwal" Hasan Mustapa

    Haji Hasan Mustapa. HAJI Hasan Mustapa kerap disebut sebagai haji mahiwal  atau kontroversial. Dia dianggap sebagai penganut ajaran wahdatul wujud  lantaran karya-karyanya yang terkenal berkaitan dengan hubungan menyatunya manusia ( kawula ) dengan Tuhan ( Gusti ) .  Sebagai ulama, dia menggunakan dangding  atau guguritan  untuk mengekspresikan pemikiran dan renungan tentang ajaran Islam, tasawuf, kebudayaan Sunda, dan kejadian yang dialami sehari-hari. Hasan Mustapa lahir pada 3 Juni 1852 di Cikajang, Garut, Jawa Barat. Ketika berusia sembilan tahun dia bersama ayahnya, Mas Sastramanggala, pergi ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji. Hingga dewasa dia menghabiskan hari-harinya di pesantren di Tatar Sunda, Jawa, ataupun Madura. Hasan Mustapa kembali lagi ke Tanah Suci dan sekira delapan tahun belajar dan mengajar di sana. Ketika terjadi perselisihan paham antarulama di Garut, Hasan Mustapa dipanggil pulang untuk menyelesaikan persoalan. Pada 1882 Hasan Mustapa mulai memberikan pengajaran agama di mesjid agung Garut. Tujuh tahun setelahnya, dia berkeliling Jawa dan Madura membantu pekerjaan Snouck Hurgronje yang dia kenal semasa di Arab Saudi. Atas usul Hurgronje, Hasan Mustapa diangkat menjadi hoofd penghoeloe  (kepala penghulu) Aceh, dan dua tahun kemudian pindah menjadi hoofd penghoeloe  di Bandung sampai pensiun dari jabatannya pada 1910-an. Baca juga:  Para Pembantu Snouck Hurgronje Hasan Mustapa yang meninggal pada 13 Januari 1930, tidak hanya dikenal sebagai ulama, tapi juga sebagai sastrawan yang termasyhur dengan dangding- nya. Dangding  atau guguritan  adalah jenis puisi klasik yang dikenal dalam kesustraan Sunda sebagai tulisan berpola dan melodis. Penggunaan istilah dangding pun dipilih karena pengucapannya yang terdengar melodis. Karya sastra ini biasanya juga disebut sebagai nyanyian puitis. Tak sekadar tulisan, naskah dangding pun   ditembangkan. Susastra Sunda mengenal pupuh , yakni irama lelaguan yang memiliki ciri khas masing-masing jenisnya dan memiliki aturan. Lirik lelaguan inilah yang dikenal sebagai dangding. Ia terikat aturan baku. Guru wilangan  adalah aturan jumlah suku kata setiap larik dan jumlah larik dalam setiap bait. Sedangkan guru lagu  adalah aturan bunyi rima akhir yang harus sesuai dengan jenis pupuh -nya. Nyanyian puitis atau dangding  ini terbagi ke dalam 17 jenis pupuh , yaitu asmarandana, balakbak, dangdanggula, durma, gambuh, gurisa, jurudemung, kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung, sinom dan wirangrong. Setiap pupuh memiliki aturan dan karakteristik suasana masing-masing. Melalui dangding inilah Hasan Mustapa menyampaikan pemikirannya. Dia menulis dangding  dengan menggunakan huruf pegon, yakni huruf Arab dengan bahasa Sunda atau Jawa. Pujangga sekelas Hasan Mustapa, yang mungkin sudah tidak memiliki kesulitan lagi dalam  hal pembuatan puisi dengan keterikatan aturan, dalam tempo dua hingga tiga tahun mampu menghasilkan dangding  lebih dari 10 ribu bait. Mistisime Islam kental terasa dalam dangding  atau guguritan  karyanya yang banyak memperlihatkan renungannya tentang tasawuf atau ketuhanan. Karena pandangannya tentang hubungan masnusia dengan Tuhan yang dia ibaratkan seperti rebung dengan bambu, dia dinilai sebagai Haji “mahiwal” atau kontroversial penganut wahdatul wujud . Baca juga:  Tuan Holla dari Belanda Sahabat Orang Sunda "Setiap kali membaca dangding-dangding  Haji Hasan Mustapa, saya merasa seperti mendekati arus sungai besar. Betapapun dalam diri saya ada dorongan untuk menyentuh arus yang deras itu, tapi pada saat yang sama saya merasa takut hanyut karena saya merasa belum mampu atau sanggup mengarunginya," kata Hawe Setiawan dalam kuliah umum “Islam dan Mistisisme Nusantara: Dangding Mistis Haji Hasan Mustapa,” di Salihara, Jakarta, 4 Agustus 2012. Dangding karya Haji Hasan Mustapa, diantaranya Puyuh Ngungkung dina Kurung, Hariring nu Hudang Gering, Dumuk Suluk Tilas Tepus, Sinom Pamaké Nonoman, Amis Tiis Pentil Majapait, Kinanti Kulu-kulu, Sinom Barangtaning Rasa, Sinom Wawarian, Asmarandana nu Kami, dan  Dangdanggula Sirna Rasa . Karya-karyanya terkenal sampai sekarang. Pada 1994 mereka pernah melakukan perunjukan bertajuk Nembangkeun Karya Akbar Haji Hasan Mustapa  atau "Melantunkan Karya Akbar Hasan Mustapa", yakni acara yang menyajikan pertunjukan tembang-tembang Sunda dengan lirik dangding  dari Hasan Mustapa. Atas karya-karyanya, pada 1977 Haji Hasan Mustapa menerima Anugerah Seni dari Presiden Republik Indonesia sebagai Sastrawan Daerah Sunda.

bottom of page