Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Awal Mula Kacamata
Konon, kacamata adalah salah satu benda terpenting yang pernah ditemukan manusia sejak mereka menemukan api dan roda. Untuk sampai ke bentuknya sekarang, kacamata mengalami perkembangan yang panjang. Dari awal sebagai "batu baca" hingga bertransformasi menjadi gaya hidup dan aksesori mode. Sulit membuktikan siapa penemu kacamata yang asli. Banyak yang menunjuk Benjamin Franklin sebagai penciptanya. Namun, sebenarnya ide tentang kacamata sudah ada sekira 400 tahun sebelum 1700-an, ketika Franklin mulai aktif. Batu Zamrud Kaisar Nero Benda yang difungsikan sebagai kacamata yang pertama kali diketahui digunakan oleh Kaisar Nero dari Roma yang berkuasa pada 54 sampai 68 M. Dia menggunakan batu zamrud ketika sedang menyaksikan pertandingan gladiator. Namun, tak diketahui dengan pasti apakah itu artinya sang kaisar memang memiliki masalah dengan penglihatannya atau dia hanya sekadar menghindari silaunya sinar matahari. Potongan Bola Kaca Sarjana dan astronom Irak, Ibn al-Haytham (sekitar 965-1040 M) dikenal sebagai orang yang berkutat dalam penelitian mengenai cahaya dan mekanisme penglihatan. Dia mempelajari lensa, bereksperimen dengan cermin yang berbeda: datar, bulat, parabola, silindris, cekung dan cembung. Hasilnya, dia menemukan kalau objek visual yang dilihat melalui pembiasan cahaya, yaitu yang melintasi material tebal seperti air dan kaca, lebih besar dari ukuran sebenarnya. Pada sekira 1027, al-Haytham menyelesaikan bukunya, Kitab al-Manazir atau Buku Optik . Dia pun menyarankan kaca yang dihaluskan dapat membantu seseorang yang menderita gangguan penglihatan. Namun, idenya itu baru dipraktikkan bertahun-tahun kemudian. Kaca Pembesar Pada abad ke-13, sarjana Inggris Roger Bacon (1214-1294) menulis soal kaca pembesar. Dia menjelaskan bagaimana memperbesar objek visual menggunakan potongan bola kaca. Dia menulis: "karena alasan ini, alat ini berguna untuk orang tua dan orang-orang yang memiliki kelemahan dalam penglihatan mereka karena memungkinkan mereka untuk dapat melihat huruf sekecil apa pun.” Beberapa sejarawan sains berpendapat Bacon mendapatkan gagasannya dari buku Ibn Al-Haytham, Kitab al-Manazir . Pasalnya, gagasan menggunakan bola kaca agar bisa melihat benda kecil sudah dikenal sejak percobaan penelitian Ibn Al-Haytham. Namun, menurut bukti yang tersedia, ide menggunakan kaca pembesar ini untuk membaca pertama kali disebutkan dalam buku Bacon. Kendati tak ada bukti dia menerapkan pengetahuannya itu. Kacamata Beryl Kacamata pertama kali dikenal di Eropa pada akhir abad ke-13 M. Lukisan-lukisan mulai memperlihatkannya pada pertengahan abad ke-14 M. Dalam lukisan-lukisan itu digambarkan bentuk kacamata dengan dua lensa bulat dalam bingkai yang disambung dengan poros dan gagang logam berbentuk “V”. Tak ada gagang untuk disangkutkan ke telinga seperti kacamata masa kini. Mereka sudah memakainya untuk membaca. Pada masa itu, lensa bukan terbuat dari kaca, tapi dari mineral Beryl. Contoh kacamata ini seperti yang dipakai kardinal Hugh of St. Cher dalam lukisan karya Tommaso ad Modena pada 1352 di dinding gereja di Treviso. Ini adalah representasi gambar kacamata tertua yang diketahui hingga kini. Lorgnette Lorgnette, yang merupakan sepasang kacamata mungil dengan pegangan. Lorgnette berasal dari kata lorgner dalam bahasa Perancis, yang berarti "melirik" atau "mengawasi secara sembunyi-sembunyi". Lorgnette diyakini telah diciptakan pada 1770 oleh orang Inggris, George Adams I (1709-1772), kemudian diilustrasikan putranya dalam Essay on Vision (1789 dan 1792) di mana lorgnette digambarkan sebagai 'semacam pengganti kacamata ...’. Kemudian, alat bantu optik ini adalah jawaban bagi perempuan pada abad ke-19 yang membutuhkan kacamata tetapi tidak ingin benar-benar memakainya. Sampai abad ke-17, alat bantu optik lebih banyak dipakai kaum pria. Namun, lorgnette membuat perempuan lebih berminat dalam dunia kacamata. Benda ini pun diyakini menambah kesan elegan bagi kalangan atas. Perempuan memakai lorgnette pun menjadi pemandangan umum selama abad ke-19 di teater serta opera. Lorgnette muncul dalam bentuk yang lain, yaitu kipas lorgnette. Adalah Marie Antoinette, ratu Prancis abad ke-18 merupakan penggagas gaya ini. Kacamata Bifokal Kacamata bifokal adalah kacamata dengan dua bagian di lensanya. Bagian atas untuk melihat jarak jauh, bawah untuk membaca. Benjamin Franklin, seorang ilmuan Amerika pada 1784 adalah penciptanya. Kacamata jenis ini biasanya diresepkan untuk orang yang menderita presbiopia, kondisi yang ketika itu diderita Franklin. Kacamata Berlensa Satu (Monocle) Kacamata berlensa satu digunakan dengan cara dipasang pada rongga mata pemakai dan biasanya digantung di leher dengan tali, pita, atau rantai. Banyak dari kacamata ini awalnya dibingkai dengan logam, kulit penyu, atau tanduk. Monocles diperkenalkan pada abad ke-18, tetapi makin mendapat sorotan pada abad ke-19 di Eropa. Ia menjadi bagian umum dari pakaian pria kaya. Kacamata ini sering dipasangkan dengan topi dan mantel. Salah satu pemakainya yang paling awal yang diketahui adalah penyuka barang antik dari Prusia, Philipp Von Stosch yang mengenakan kacamata berlensa di Roma pada tahun 1720-an. Ia mengenakannya untuk memeriksa ukiran dan permata berukir. Awalnya disebut cincin mata, kacamata ini segera menyebar ke Austria berkat seorang ahli kacamata, JF Voigtlander, yang mulai membuatnya di Wina pada sekira 1814. Mode ini dengan cepat populer di Inggris dan Rusia. Monocles kemudian menjadi tidak disukai di sebagian besar Eropa barat dan Amerika Serikat selama Perang Dunia I (1914-18). Itu ketika kacamata ini dikaitkan dengan perwira militer Jerman yang sering digambarkan memakainya. Pince-nez Kacamata pince-nez menutupi kedua mata. Namanya berasal dari bahasa Prancis, pincer berarti "mencubit" dan nez berarti "hidung.". Kacamata ini memang menjepit pangkal hidung ketika di pasang di depan mata. Mengenakan kacamata ini sangat tidak nyaman bagi sebagian orang yang tidak memiliki bentuk hidung yang pas. Karenanya, kacamata ini sering digantungkan dengan rantai di leher sehingga pengguna tidak perlu memakainya sepanjang hari. Meski kacamata ini sudah mulai dipakai di Eropa sejak abad ke-15, ke-16, hingga ke-17, tetapi menjadi makin popular pada 1880 sampai 1900. Anton Pavlovich Chekhov, penulis besar Rusia, adalah salah satu yang terkenal mengenakan kacamata jenis ini. Kacamata Warna-wani Pada 1930-an kacamata hitam menjadi populer untuk pertama kalinya. Diawali pada 1913 oleh Sir William Crookes dari Inggris yang menciptakan lensa berkemampuan menyerap sinar ultraviolet dan inframerah. Pada 1940-an, kemajuan dalam pembuatan plastik membuat berbagai macam kacamata tersedia dalam setiap warna pelangi. Perempuan banyak mengenakan kacamata berbingkai runcing di bagian ujung atasnya, yang sangat populer hingga akhir 1950-an. Sementara pria cenderung menggunakan bingkai kawat emas. Kacamata Berlensa besar Pada paruh kedua abad ke-20, kacamata dianggap sebagai bagian dari pakaian seseorang. Mirip dengan pakaian, kacamata perlu terus diperbarui atau seseorang dapat dianggap kuno. Semakin banyak selebritas yang memengaruhi mode kacamata. Misalnya pada 1970-an, Jacqueline Kennedy Onassis, ibu negara AS pada 1961-1963, juga ikut mempopulerkan lensa besar. Lensa Plastik Sejak 1980-an inovasi menghasilkan lensa plastik berkualitas tinggi. Bahan plastik dianggap lebih ringan dan lebih aman untuk dipakai dibanding kaca.
- Asa yang Kandas di Negeri Sakura
BERAGAM foto hitam-putih menghiasi tiga sisi dinding ruang tamu kediaman Hendrik Brocks di Sriwidari, Kota Sukabumi. Sejumlah piagam dan medali yang tertata rapi di satu lemari kaca, menemani. Itu semua merupakan buah prestasi Hendrik di berbagai ajang balap sepeda road race tingkat Asia Tenggara maupun Asia. Hanya satu yang tak ada dalam deretan penghargaan Hendrik tadi, yakni medali olimpiade. “Kalau bukan karena masalah politik, mungkin kita sudah bisa dapat medali di tahun 1964 di (Olimpiade) Tokyo,” ujar Hendrik menyesalinya saat mengenang masa-masa jayanya, kala ditemui Historia , 11 Februari 2019. Medali olimpiade, terlebih medali emas, senantiasa jadi mimpi terbesar setiap atlet. Tak terkecuali Hendrik Brocks, pembalap sepeda legendaris Indonesia era 1960-an. Sayang, kesempatannya untuk meraih medali olimpiade sirna akibat politik. “Waduh itu nyeselnya waktu itu. Saya perkirakan minimal dapat perunggu. Balap sepeda waktu itu kita masih merajai di Asia. Tapi akhirnya kita enggak jadi tanding waktu itu karena ada masalah itu. Ya itu negara urusannya,” kata Hendrik menjelaskan. Tersandung Politik Hendrik merupakan salah satu anggota andalan Indonesia di balap sepeda sejak Olimpiade Roma 1960. Di olimpiade itu, tulis buku Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah: Periode 1945-1965 , Indonesia mengirim tim di tujuh cabang, yakni menembak, renang, angkat besi, anggar, atletik, tinju, dan balap sepeda. Di tim balap sepeda, Hendrik bahu-membahu bersama Theo Polhaupessy, Hamsjin Rusli, Sanusi, dan Munaip Saleh. Sayang, tak satupun dari mereka membawa pulang medali. “Di kategori perorangan saya gagal finis, ketinggalan jauh dari para pembalap Eropa dan (benua) Amerika. Tapi untuk tim beregu kita sudah terbaik di Asia waktu itu,” kata Hendrik. Hendrik Brocks, legenda balap sepeda Indonesia yang kini tuna netra akibat penyakit glaukoma (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Di olimpiade itu, hanya Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) wakil Asia yang lolos kualifikasi. Catatan waktu Indonesia di putaran final jauh lebih baik dari Korsel. Tim beregu road race Indonesia menempati urutan ke-26 dari 32 tim dengan catatan waktu 2 jam 34 menit 29,98 detik, sementara Korsel menempati urutan ke-30 dengan torehan waktu 2 jam 53 menit 09,51 detik. Sebagai “Macan Asia”, kedigdayaan Indonesia di balap sepeda dibuktikan di Asian Games 1962 di Jakarta. Indonesia jadi juara umum dengan tiga emas dan satu perunggu. Ketiga emasnya disumbangkan Hendrik di nomor open road race individual, team road race, dan team time trial. Di Ganefo (Games of the New Emerging Forces) 1963 di Jakarta, Hendrik menyumbang satu emas dan satu perak. Namun, di Asian Games 1962 dan Ganefo 1963 itulah Indonesia bergelut dengan Komite Olimpiade Internasional (IOC). Gara-gara Indonesia melarang Israel dan Taiwan ikut serta dalam Asian Games 1962 sebagai sikap politik pro-Palestina dan pengakuan satu China, IOC menjatuhkan sanksi medio Februari 1963. “Saya menyatakan memberi sanksi terhadap Komite Olimpiade Indonesia. Prinsip-prinsip olimpiade jelas tak dihormati di negara itu,” ujar Presiden IOC Avery Brundage, dikutip Alfred Senn dalam Power, Politics and the Olympic Games . Tapi keanggotaan Indonesia di IOC kemudian dipulihkan menjelang Olimpiade 1964. Pasalnya, Jepang sebagai tuan rumah dan Meksiko sebagai tuan rumah olimpiade 1968 khawatir boikot Indonesia, yang mendapat simpati negara-negara Arab, akan mengurangi level kesuksesan olimpiade di Jepang dan Meksiko. “Presiden Meksiko (Adolfo López Mateos, red. ) mengambil prakarsa terobosan menghubungi pihak Jepang untuk kemudian berusaha menemukan jalan keluar lewat lobi-lobi internasional. Hasilnya pada Juni 1964 skorsing terhadap Indonesia dicabut. Jepang kemudian diizinkan mengundang Kontingen Indonesia di Olimpiade Tokyo 1964,” tulis Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno . Pun begitu, Indonesia tetap batal hadir di Olimpiade Tokyo 1964. Perkaranya, seperti termuat di buku The Games of the XVIII Olympiad Tokyo 1964: The Official Report of the Organizing Committee Volume 1 , tidak semua atlet Indonesia diizinkan bertanding, khususnya para atlet renang dan atletik. FINA (Federasi Akuatik Internasional) dan IAAF (Federasi Atletik Amatir Internasional) belum mencabut sanksi para atlet Indonesia yang berlaga di Ganefo 1963. Kontingen Indonesia pun memutuskan seluruh atletnya mundur ketimbang ikut tapi beberapa atletnya dilarang berlaga. Para atlet Indonesia meninggalkan Tokyo jelang pembukaan Olimpiade 1964 (Foto: Repro "The Games of the XVIII Olympiad Tokyo 1964") “Sebenarnya saya, tim balap sepeda dan beberapa cabang lain, sudah lebih dulu diberangkatkan ke Jepang. Seingat saya ada tim tinju sama angkat besi juga. Kami di tim sepeda sudah nyobain rutenya tuh di Jepang. Tapi paginya sebelum pembukaan (Olimpiade, 10 Oktober 1964, red. ), kita disuruh mengepak koper semua untuk pulang ke Indonesia. Kita semua mundur dari olimpiade,” ujar Hendrik. Keputusan mundur itu tak hanya menimbulkan penyesalan di dalam diri Hendrik dan para atlet Indonesia. Pelatihnya asal Jerman Timur, Heinz Schmidt, bahkan paling terpukul. Berbulan-bulan upayanya mempersiapan para atlet untuk bisa mensejajarkan diri dengan para kontestan Eropa, kandas. “Pelatih saya, si Schmidt itu, sampai jadi gila dia karena kecewa. Ya karena olimpiade kan bukan event kecil dan catatan tercepat waktu uji coba yang kita buat selama persiapan di Jepang sesuai dengan peraih emas olimpiade. Sampai pernah ditangkap polisi karena mabuk-mabukan. Kasihan dia,” kata Hendrik. Setelah itu, prestasi balap sepeda Indonesia perlahan mengendur kendati di Ganefo Asia 1966 prestasinya lumayan. Di Olimpiade Meksiko 1968, Hendrik dkk. gagal lolos. “Kita enggak lolos kualifikasinya. Olahraga semuanya kena imbas karena negara kita juga lagi ngambang, kacau (pasca-Tragedi 1965 dan transisi kepemimpinan 1967). Negara kita lagi babak belur, banyak atletnya jadi korban juga pada waktu itu,” kata Hendrik menutup pembicaraan.
- Akhir Hidup Si Pemeran Hitler
JIKA di Indonesia ada Amoroso Katamsi (almarhum) sebagai sosok paling cocok memerankan Soeharto dalam film, di Eropa ada Bruno Ganz. Aktor asal Swiss itu perannya dianggap paling mendekati figur diktator Nazi-Jerman Adolf Hitler dalam film Der Untergang ( Downfall ) yang rilis 2004. Sang aktor mengembuskan nafas terakhirnya di usia 77 tahun pada Sabtu, 16 Februari 2019 waktu setempat (Minggu, 17 Februari WIB). Ganz meninggal di kediamannya di Wädenswil, Swiss, setelah berjuang melawan kanker usus yang diidapnya sejak Februari 2018. Lahir di Zürich pada 22 Maret 1941, Ganz menyambi jualan buku sambil bersekolah. Kegandrungannya pada dunia seni peran membawanya hijrah ke Jerman dan bergabung ke Teater Schaubuehne di Berlin. Debutnya di dunia film dimulai dari figuran, sebagai pelayan hotel di film komedi Swiss, Der Herr mit der Schwarzen Melone (1960). Namanya baru mulai dikenal di dunia perfilman saat menjadi aktor utama di film The American Friend (1977) dan Wings of Desire (1987). Setelah itu, Ganz malang melintang membintangi berbagai film box office, mulai The Manchurian Candidate (2004), The Reader (2008), Unknown (2011), Night Train to Lisbon (2013), The House that Jack Built (2018) hingga Radegund yang saat ini masih dalam tahap produksi. Bruno Ganz dalam Wings of Desire . (bfi.org.uk). Namun sepak terjang Ganz yang paling dikenang adalah saat memerankan Kanselir Adolf Hitler dalam Der Untergang ( Downfall ) garapan sineas Jerman Oliver Hirschbiegel yang diproduksi Constantin Film pada 2004. Film ini menggambarkan masa-masa akhir hidup sang diktator di Führerbunker, kediaman bawah tanah di kompleks kantor Hitler di Reich Chancellery, Berlin. Hitler dalam kacamata Bruno Ganz Tak dapat dipungkiri, Der Untergang alias Downfall merupakan klimaks pamor Ganz. Eksesnya tidak hanya muncul lewat kritik dan pujian, tapi juga memunculkan beragam meme di media-media sosial hingga parodi di sejumlah tayangan video di Youtube . Utamanya, saat Hitler yang diperankan Ganz marah-marah dalam rapat bersama para jenderalnya. Padahal, peran tentang Hitler tak hanya dimainkan Ganz. Sejak 1940, saat Hitler masih hidup, karakter diktator Nazi itu pernah diperankan Charlie Chaplin dalam The Great Dictator . Hitler diparodikan sebagai Adenoid Hynkel. Sementara, karakter Hitler nonparodi pertamakali dimainkan Bobby Watson di film komedi The Devil with Hitler . Puluhan aktor turut memerankan Hitler setelah itu. Anthony Hopkins ( The Bunker , 1981), Udo Schenk ( Stauffenberg , 2004), David Bamber ( Valkyrie , 2008), dan Martin Wuttke ( Inglourious Basterds , 2009) di antaranya. “Tanpa keraguan lagi, dia (Ganz) dirasa yang paling riil dan mendekati. Dibandingkan yang lain, seperti Anthony Hopkins misalnya, akting dan gerak tubuhnya paling mendekati. Ganz akan selalu dikenang karena mungkin Downfall film terbaik tentang Hitler,” ujar Alif Rafik Khan, peneliti sejarah dan penulis buku 1000+ Fakta Nazi Jerman , kepada Historia. Sejumlah kritikus film mancanegara juga angkat jempol terhadap akting Ganz. Dalam review -nya di The Guardian , 16 September 2005, Rob Mackie menulis: “Sosok Hitler yang paling meyakinkan dalam layar lebar. Seorang diktator tua, bungkuk dan sakit dengan tangan yang sudah gemetaran karena Parkinson, menanti hari-hari terakhirnya di bunker.” Kritikus De Zeit Jens Jenssen menyatakan hal senada. “Sang aktor (Ganz) berbicara seperti Hitler. Penampilannya sangat mirip Hitler dan dia bergerak seperti Hitler di masa-masa tuanya. Tak ada yang sangat identik dengan Hitler dalam film,” tulis Jenssen sebagaimana dikutip Sidney Homan dan Hernán Vera dalam buku Hitler in the Movies . Tapi Jenssen juga menggarisbawahi bahwa tak ada yang bisa benar-benar mengenal Hitler luar dan dalam. “Hitler tetap seorang monster yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata,” tambahnya. Penilaian Jenssen itu senada dengan pandangan Ganz tentang Hitler. “Memainkan karakternya, saya tetap tak bisa mengklaim bahwa saya memahami Hitler,” ujar Ganz kala diwawancara TheGuardian , 25 Maret 2005. Butuh empat bulan bagi Ganz untuk meriset karakter Hitler, terutama masa-masa setelah Hitler bungkuk dan terkena parkinson. Untuk mempelajari suara asli Hitler, Ganz dibantu dengan rekaman suara rahasia Hitler yang diberikan para produser. “Rekaman suara percakapan rahasia Hitler sewaktu dia ngobrol dengan Carl Gustaf Mannerheim di Finlandia tahun 1942. Setahu saya, itu satu-satunya suara Hitler yang terekam kamera,” kata Alif. Menurut Gerhard Weinberg dalam The Foreign Policy of Hitler’s Germany Starting World War II , percakapan Hitler dengan Baron Mannerheim, panglima Pertahanan Finlandia, itu diambil oleh Thor Damen, teknisi stasiun penyiaran Yle , saat Hitler mengunjungi Mannerheim di Lanud Immola, 4 Juni 1942, dalam rangka ulang tahun Mannerheim ke-75. Adolf Hitler (kiri) bertemu para pemimpin Finlandia, termasuk Carl Gustaf Mannerheim (kanan) pada Juni 1942. (Lehtikuva/Wikipedia). Percakapan yang direkam diam-diam dan berdurasi 11 menit itu mengungkapkan pembicaraan Hitler tentang kegagalan Operasi Barbarossa, kekalahan sekutunya, Italia, di Afrika, Balkan dan Albania, dan terkait cadangan minyak di Rumania. “Saya mencoba menangkap kesan dari rekaman suaranya itu. Tapi tetap saya belum bisa memahami karakternya. Para saksi mengatakan dia sangat sayang pada anjingnya (Blondie), berperilaku menawan terhadap para wanita, sangat ramah pada anak-anak, tapi kemudian dia bisa berkata: ‘Mari kita bunuh 5.000 orang’,” ujar Ganz. Dalam sebuah percakapan dengan para jenderalnya dalam film, Hitler mengatakan tak peduli terhadap 100 ribu perwira muda Jerman yang tewas di front Timur. “Dia bilang: ‘Mereka terlahir untuk mati.’ Dia benar-benar tak punya rasa iba. Para saksi yang pernah satu bunker bersamanya juga tak benar-benar bisa mendeskripksikan karakter aslinya. Dia tak punya rasa iba, kasih sayang, pengertian terhadap para korban perang. Pada akhirnya, saya tak bisa masuk ke hati Hitler oleh karena dia memang tak punya hati,” kata Ganz.
- Tentara Filipina Tewas di Yogyakarta
MENTERI dalam negeri Filipina Eduardo Ao mengusik pemerintah Indonesia lewat komentarnya terhadap teror bom bunuh diri di gereja Katolik di Pulau Jolo, Filipina yang mamakan korban 22 orang tewas dan 100 lainnya luka-luka. Dia menyatakan pelaku teror adalah orang Indonesia. “Yang bertanggung jawab (dalam serangan ini) adalah pembom bunuh diri Indonesia. Namun kelompok Abu Sayyaf yang membimbing mereka, dengan mempelajari sasaran, melakukan pemantauan rahasia dan membawa pasangan ini ke gereja. Tujuan dari pasangan Indonesia ini adalah untuk memberi contoh dan mempengaruhi teroris Filipina untuk melakukan pemboman bunuh diri,” kata Eduardo, dikutip detik . com , 1 Februari 2019. Komentar Eduardo langsung direspon pemerintah Indonesia. Menko Polhukam Wiranto mengatakan pernyataan Eduardo terburu-buru. “Saat ini kan ada cukup ramai tuduhan dari pihak Filipina, terutama Menteri Dalam Negeri bahwa ada keterlibatan WNI dalam aksi teror di Filipina. Di sini saya menyampaikan bahwa itu berita sepihak," ujar Wiranto sebagaimana dikutip BBC Indonesia , 5 Februari 2019. Pernyataan Eduardo menambah riak hubungan kedua negara yang memburuk belakangan ini. Sebelumnya, penyanderaan anak buah kapal Indonesia oleh gerilyawan Abu Sayyaf di Filipina Selatan, penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal Filipina di perairan Indonesia, atau pengiriman jamaah haji Indonesia yang menggunakan paspor Filipina menjadi kerikil dalam hubungan kedua negara. Padahal, hubungan kedua negara yang memiliki banyak kesamaan ini (baca: Indonesia dan Filipina) telah lama berjalan harmonis. Indonesia dan Filipina kerap saling membantu. Keharmonisan itu telah berjalan sejak kedua negara sama-sama masih seumur jagung. Saat Perang Kemerdekaan, Indonesia kerap mendapat bantuan dari Filipina. Bantuan itu antara lain berupa diterima dan didukungnya Misi Kina –merupakan upaya menjual kina dan vanili untuk membiayai perang– Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Manila. Seusai tim AURI menyelesaikan Misi Kina dan hendak kembali ke tanah air, pemerintah Filipina kembali memberi bantuan dengan menugaskan Kapten Ignacio “Igning” Espina dari G-2 Philippine Army ke Indonesia. “Atas permintaan Opsir Muda Udara III Muharto, ia ditugaskan untuk melatih gerilya tentara Indonesia. Ahli gerilya Igning juga membawa sepucuk tommygun yang disepuh chrome nickel, hadiah dari bagian intel Filipina kepada Presiden Sukarno,” tulis Irna H.N. Soewito dan kawan-kawan dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Igning menumpang pesawat RI-002 yang mengangkut beberapa opsir AURI dan dipiloti Bob Freeberg, veteran pilot AL AS yang menjadi pilot sipil di Maskapai Commercial Air Lines Incorporated (CALI). “Sikap pemerintah Filipina jelas bersimpati kepada tujuan kami, sementara opini publik mengutuk apapun yang berbau kolonialisme,” kata Opsir Muda Udara III Petit Muharto sebagaimana dikutip Paul F. Gardner dalam Shared Hopes, Separate Fears: Fifty Years of US-Indonesian Relations . Penerbangan pulang tim AURI dengan Igning di dalamnya itu amat berbahaya. Selain karena adanya blokade Belanda, Filipina tak ingin hubungannya dengan Indonesia diketahui negara lain. Namun dengan kegigihan para awaknya, RI-002 berhasil mendarat dengan selamat di Maguwo, Yogyakarta pada Agustus 1947. Igning mendapat tempat tinggal sebuah rumah berhalaman luas di Jalan Jetis selama di Yogyakarta. Biasanya dia ditemani Kapten ALRI Deddy Muhardi Kartodirjo, kakak kandung Petit Muharto, atau Kapten AURI George Reuneker. Muhardi pula yang mengasisteni Igning melatih teknik gerilya kepada para prajurit Tentara Pelajar (TP) dan Tentara Geni Pelajar (TGP). Selama di Yogya, Igning berkomunikasi dengan Manila lewat Muharto, yang tak lama setelah menyelesaikan Misi Kina kembali terbang ke Manila untuk misi penyusupan ke Kalimantan dari utara. Namun, pada Desember 1945 kontak itu terhenti entah karena apa. Igning gelisah dibuatnya. Ketiadaan kontak dari Muharto terus membuatnya bertanya-tanya. Maka ketika tersiar kabar delegasi Indonesia di bawah Sjafruddin Prawiranegara akan berangkat ke sidang kedua ECAFE (kini ESCAP) di Baguio, Filipina, Igning langsung memanfaatkannya. “Sesaat menjelang berangkat, Igning datang ingin menitipkan laporan untuk atasannya di Manila,” kenang Opsir Muda Udara III Boediardjo, salah satu awak pesawat RI-002 yang membawa delegasi, dalam memoarnya Siapa Sudi Saya Dongengi . Nahas menimpa Igning. “Laporan itu ternyata tertinggal di penginapannya. Sementara Igning berusaha mengambil secepatnya, pesawat RI-002 sudah terburu berangkat.” Kegagalan menitipkan laporan itu membuat Igning kemudian sering murung. “Ia mengira masuk perangkap komunis,” tulis Irna. Igning menderita depresi. Penjagaan kepadanya pun makin ditingkatkan. Pada suatu malam, Reuneker meminta Muhardi menggantikannya menjaga Igning. “Tolong hibur Igning. Lagi-lagi ia kesepian dan depresi gawat. Saya berhalangan,” kata Reuneker kepada Muhardi yang langsung berangkat ke kediaman Igning. Namun, selang berapa saat kemudian Muhardi justru ditemukan tewas dengan luka tembak di kepalanya. Jasadnya berada dekat dengan jasad Igning yang juga tewas. Kepolisian dan tim Kedokteran Kehakiman di bawah Prof. Dr. Sutomo Cokronegoro lansung menyelidiki perkara itu. Rekonstruksi yang dilakukan kemudian mengungkapkan, sebagaimana dikutip Irna, “Muhardi yang tidak bersenjata menemui Igning. Melihat Igning mengacungkan senjata 45 automatic ke arah pelipisnya, Muhardi cepat memukul tangan Igning yang mau bunuh diri. Reaksi Igning adalah menambakkan pistolnya ke arah kepala Muhardi, yang tewas seketika. Mungkin karena terkejut dan menyadari akibatnya, Igning lalu mengakhiri hidupnya sendiri.”
- Kasus Jenderal Tuan Tanah
Dalam debat calon presiden minggu lalu, terungkap aset milik salah satu kandidat. Setelah disentil Joko Widodo, Prabowo Subianto mengakui punya lahan seluas 340.000 hektar. Letaknya terpencar. Sebanyak 220.000 hektar ada di Kalimantan Timur dan sisanya 120.000 hektare di Aceh Tengah. Tanah seluas itu digunakan Prabowo untuk kepentingan perkebunan seperti kelapa sawit. Bila dikomparasi, luas tanah Prabowo ini sama dengan lima kali luas Kota Jakarta. Meski luasnya mencengangkan, Prabowo jemawa. Menurut Prabowo masih lebih baik lahan seluas itu dikelola oleh dirinya yang berjiwa nasionalis dan patriot ketimbang dikuasai pihak asing. Politikus yang juga tangan kanan Prabowo, Fadli Zon , mengatakan lahan tersebut diperoleh Prabowo lewat proses lelang dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) pasca krisis moneter 1998. Status kepemilikannya adalah Hak Guna Usaha (HGU). Jadi sewaktu-waktu, tanah itu harus dikembalikan kepada negara sesuai kontrak dan Undang-undang yang berlaku. Lahan Berkuda dan Bertinju Di masa lalu, seorang mantan jenderal pernah terjerat kasus penguasaan lahan negara. Perwira tinggi era Orde Baru itu bernama Herman Sarens Sudiro. Sekira tahun 1966-1967, Herman memperoleh tanah di Jalan Warung Buncit, Mampang, Jakarta Selatan (berada tak jauh dari Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, nyaris berhadapan dengan halte “Imigrasi” bus Transjakarta, red ). Karena hobi memelihara kuda, Herman hendak menjadikan lahan seluas 29.000 meter persegi atau sekitar 3 hektar itu sebagai istal yang menampung kuda dalam jumlah banyak. Dalam otobiografinya Ancemon Gula Pasir: Budak Angon jadi Opsir , Herman mengakui memperoleh tanah tersebut atas arahan Letjen Soeharto yang baru saja dilantik menjadi pejabat presiden. Herman cukup dekat dengan Soeharto karena pernah menjadi ajudan Soeharto ketika menjabat Komandan Komando Satuan Tugas (Kosatgas) Supersemar. Soeharto-lah yang menyarankan agar Herman membeli sebidang tanah di Warung Buncit. Di sana, Herman mendirikan Djakarta International Sadie Club (DISC). Gelanggang pacuan kuda ini menjadi arena bergengsi bagi sebuah perkumpulan olahraga berkuda yang saat itu belum begitu marak di Indonesia. Di kalangan orang tertentu, DISC mendapat sambutan positif. Tempat itu menarik minat pecinta olahraga berkuda dari kelas atas. Herman lantas mengganti nama DISC menjadi Satria Kinayungan yang diambil dari nama kuda putih milik Pangeran Diponegoro. Tak hanya menjadi arena berkuda, Satria Kinayungan berkembang ke berbagai lini sport mulai dari sasana tinju, klub berburu, dan bisnis lainnya. Para tamu Herman Sarens di lokasi itu datang mulai dari Keluarga Cendana, para perwira tinggi, sampai selebritis. “Semua orang tahu bahwa Satria Kinayungan adalah Herman Sarens,” kata Herman kepada penulis otobiografi Restu Gunawan. Setelah pensiun dengan pangkat letnan jenderal, Herman lebih dikenal sebagai pegiat olahraga. Nama Herman kondang sebagai promotor tinju yang suka membawa petinju binaannya bertanding ke mancanegara. Pada 1992, Hankam Sport Center Satria Kinayungan sudah mengasuh tak kurang dari 100 petinju. “Ada yang bekas pembunuh, bekas tukang pukul. Orang-orang seperti ini kalau tidak dirangkul mau lari kemana?” kata Herman seperti dikutip majalah Pertiwi , 15-28 Maret 1992. Sengketa di Senjakala Hingga tahun 1997, lahan milik Herman itu aktif digunakan untuk berbagai kegiatan olahraga. Menurut Kompas , 21 Januari 2010, meskipun banyak digunakan orang dari keluarga penguasa dan kaum berpunya, masyarakat boleh beraktivitas di lahan itu. Warga sekitar boleh menggunakan sasana tinju, bulutangkis, atau sekadar melihat orang berlatih menunggang kuda, dan lari pagi. Menjelang akhir kekuasaan Soeharto, Satria Kinayungan mulai meredup. Pamor Herman Sarens berangsur-angsur ikut pudar. Pada awal gerakan reformasi, tiba-tiba aktivitas di pusat olahraga milik Herman itu berhenti. Herman yang telah memasuki masa tua, diusik kehidupannya. Menurut laporan Tempo , 31 Januari 2010, sejak 2005, Herman masuk daftar pencarian orang Markas Besar TNI. Sebanyak tiga kali Oditur Militer Tinggi II Jakarta memanggilnya untuk proses pengadilan. Tiga kali pula Herman mangkir. Di senjakalanya, Herman malah terlilit sengketa. Pihak TNI menyatakan, Herman menyalahgunakan wewenang saat menjadi pimpinan TNI AD tahun 1970. Herman dianggap telah menguasai lahan Satria Kinayungan semenjak dirinya menjabat Komandan Korps Markas Hankam dan Mabes AD. Herman digugat lantaran status kepemilikan lahan itu ternyata belum jelas. Pada 19 Januari 2010, Polisi Militer Komando Daerah Militer Jakarta Raya menangkap Herman karena menolak panggilan sidang Oditur Militer Jakarta. Penjemputan Herman sempat berjalan alot sehingga kediamannya di Serpong, Tanggerang Selatan dikepung aparat. Penangkapan Herman jadi pemberitaan yang menyita perhatian publik kala itu. Proses hukum tetap berjalan meski kondisi kesehatan Herman semakin melemah karena faktor usia. Herman akhirnya menyerahkan lahan itu kepada negara pada 17 Juni 2010 setelah ada keputusan dari Mahmakamah Militer Tinggi Jakarta. Persoalan kepemilikan lahan itu selesai dengan damai. Tak lama kemudian, Herman meninggal pada 11 Juli 2010 dalam usia 80 tahun. "Persoalan (sengketa tanah) itu selesai dengan damai,” ujar Hadijah Soediro, istri Herman, dikutip Kompas , 12 Juli 2010. “Jangankan hanya tanah, beliau pernah menegaskan bersedia menyerahkan jiwa raganya jika untuk negara," demikian pungkas Hadijah.
- Perjuangan M.H. Thamrin Lewat Sepakbola
Ada sebuah babak unik dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Politik dan sepakbola pernah begitu identik. Di dua lapangan inilah tokoh-tokoh pergerakan nasional berupaya menumbuhkan gagasan kebangsaaan dan memperbaiki nasib golongan anak bangsa. Salah satu tokoh tersebut adalah Mohammad Hoesni Thamrin, lahir pada 16 Februari 1894. “Thamrin adalah seorang unpredictable . Begitu luas, begitu lapang penjelajahan aktivitas politik Thamrin,” kata sejarawan JJ Rizal dalam diskusi Dari Stadion VIJ menuju Stadion M.H. Thamrin di Balaikota, Jakarta, 15 Februari 2019. Thamrin bergerak dalam lapangan politik melalui Gemeenteraad (Dewan Kota), Volksraad (Dewan Rakyat), Kaoem Betawi, dan Partai Indonesia Raya (Parindra). Dia berupaya mengangkat nasib warga kampung di Batavia melalui sidang-sidang Gemeenteraad (Dewan Kota) sejak 1919. Wujudnya berupa desakan terhadap pemerintah kolonial untuk melaksanakan program perbaikan kampung ( Kampongs Verbetering ). Ketika naik menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) selama 1927-1940, Thamrin menjembarkan perjuangannya. Dia berkhidmat untuk perbaikan nasib seluruh anak bangsa di antero Hindia Belanda. Antara lain upaya menghapus Poenali Sanctie (ordonansi merugikan bagi para kuli di Sumatra Timur). Kemudian Thamrin masuk ke lapangan sepakbola pada 1928. Tidak hanya sebagai penonton, melainkan juga sebagai pemain. Dia seorang candu bola. “Sebenarnya ini tidak istimewa. Para founding fathers, para pendiri bangsa, itu gila bola,” kata Rizal. Misalnya Mohammad Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Yang membuat Thamrin berbeda adalah pandangannya tentang sepakbola dan keterlibatannya secara langsung di lapangan sepakbola. Dia memandang sepakbola sebagai alat perjuangan dan penumbuh rasa kebangsaan untuk golongan anak bangsa. Dia berikhtiar mewujudkan gagasannya lewat lapangan sepakbola. Ilustrasi dalam suatu edisi surat kabar Pemandangan tentang minat orang ke Lapangan Laan Trivelli. (Festival 125 Tahun M.H. Thamrin). Politik ras di sepakbola Golongan anak bangsa ( inlander ) menempati kasta ketiga dalam susunan masyarakat kolonial. Di bawah golongan Eropa dan Timur Asing. Pembagian kasta memunculkan diskriminasi hak dan kewajiban pada tiap golongan dalam beragam aspek kehidupan: pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dan olahraga. Diskriminasi dalam bidang olahraga tampak dalam larangan bagi anak bangsa untuk bergabung ke perkumpulan klub-klub sepakbola ( bond atau perserikatan) golongan Eropa. “Saat itu mereka dilarang bergabung ke dalam bond seperti WJVB (West Java Voetball Bond), yang kemudian berganti nama menjadi VBO (Voetballbond Batavia en Omstreken). Mereka memiliki klub, tapi tidak punya bond ,” kata Abdillah Afif, salah satu penulis dan periset buku Gue Persija . Klub-klub sepakbola berisi anak bangsa di Batavia antara lain Tjahja Kwitang, Gang Solitude, Roekoen Setia, dan Setia Oetama. Mereka bersaing dalam kompetisi khusus untuk anak bangsa (Inlandsche Voetball Competitie) garapan Oliveo dan BVC sejak 1905. Diskriminasi lain terhadap anak bangsa dalam sepakbola tampak pula pada larangan penggunaan stadion milik klub golongan Eropa. Suatu hari pada 1927, kebakaran melanda sebuah kampung di Pasar Baru —sekarang masuk wilayah Jakarta Pusat. Klub-klub anak bangsa berniat membantu korban kebakaran. Caranya dengan menggelar pertandingan amal. Mereka mencari stadion untuk pertandingan tersebut. Sebab mereka hanya punya lapangan kecil seadanya. Tak cukup layak untuk pertandingan amal. Klub-klub anak bangsa menghubungi Hercules, salah satu klub golongan Eropa. Tujuannya untuk meminjam stadion milik Hercules sebagai tempat pertandingan amal. “Tapi Hercules menolak mentah-mentah permintaan mereka,” kata Afif. Aneka bentuk diskriminasi tersebut menyadarkan pengurus klub-klub anak bangsa bahwa sudah saatnya mereka bersatu membuat bond sendiri. Tidak bergantung pada belas kasih golongan lain. Maka lahirlah VBB (Voetball Bond Boemipoetera) pada November 1928. Sebulan setelah Sumpah Pemuda. Tapi orang-orang dalam VBB tak seirama. Sikap mereka terhadap Bond golongan Eropa terbelah. Apakah harus melawan atau berkawan. Akhirnya pada 30 Juni 1929, kelompok penentang diskriminasi di sepakbola mendirikan Voetballbond Indonesia Jacatra (VIJ). Mereka tidak memilih kata Indische. Sebab organisasi pergerakan nasional mulai menanggalkan kata itu. “Pergantian nama ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara dunia pergerakan nasional dengan sepakbola,” kata Rizal. Kelak pengurus VIJ turut berperan melahirkan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 1930. Kemudian VIJ berganti nama jadi Persija pada 1942. Keterlibatan Thamrin Thamrin memperhatikan perkembangan sepakbola di Batavia: dari pendirian VBB hingga VIJ. Rizal menduga ada peran Thamrin dalam menjembatani semangat Kongres Pemuda Oktober 1928 dengan pendirian VBB November 1928. Saat itu Thamrin telah aktif di Volksraad . Menurut Bob Hering dalam Mohammad Hoesni Thamrin: Tokoh Betawi-Nasionalis Revolusioer Kemerdekaan , dia kerap mendorong pembentukan kesatuan sinkretis yang padu demi menghapus diskriminasi pemerintah kolonial terhadap anak bangsa di beragam bidang. “Thamrin selalu bicara dalam alur perpaduan nasionalisme Indonesia baik golongan kooperasi maupun non-kooperasi,” tulis Bob. Pilihan strategi politik ini menjadikan Thamrin ibarat jembatan antara dua kelompok. Sebab masa itu terdapat dua kelompok besar dalam pergerakan nasional. Kelompok kooperasi (bekerja sama) dengan pemerintah kolonial dan kelompok non-kooperasi. Mereka bersitegang meskipun cita-cita perjuangannya sama: Indonesia merdeka. Thamrin meyakini bahwa perwujudan cita-cita tersebut bergantung pada kekuatan golongan anak bangsa. Bukan pada belas kasih etika dan moral pemerintah kolonial. Dia memang berada di Volksraad dan memilih jalan bekerja sama dengan pemerintah kolonial. “Dengan bekerja sama saya dapat berbicara, bukan?” kata Thamrin dalam Matahari Jakarta karya Soekanto S.A. Tapi kerja sama itu tak berarti meletakkan kesetiaannya pada kekuasaan kolonial. Dia justru menyerang kebijakan pemerintah kolonial dari dalam gedung milik pemerintah, di depan muka para pembesar kolonial. M.H. Thamrin dan rekan-rekannya beristirahat setelah mengadakan pertandingan eksebisi di Lapangan Laan Trivelli pada 1932. (Festival 125 Tahun M.H. Thamrin). Thamrin tak hanya berperan sebagai jembatan dalam politik , melainkan juga dalam lapangan sepakbola. Dia mendukung penuh pergantian nama VBB menjadi VIJ. Bagi Thamrin, VIJ adalah wujud elan revolusioner, elan kebangsaan. Hubungan Thamrin dan VIJ terus terbangun. Dia masuk struktur VIJ sebagai pelindung ( beschermer ). Dia lalu menghubungkan VIJ dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya seperti Otto Iskandardinata. Otto adalah kawan Thamrin di Volksraad . Otto juga pecandu bola seperti Thamrin. Dia orang Sunda kelahiran Bandung. Dia ketua Paguyuban Pasundan, salah satu organisasi pergerakan nasional. Dia sering meminjamkan gedung Paguyuban Pasundan untuk rapat pengurus VIJ. Kelak Otto berjuluk Si Jalak Harupat. Nama julukannya dijadikan nama stadion di Jawa Barat yang biasa dipakai Persib Bandung bertanding. Sekarang pendukung Persija dan Persib justru bermusuhan. Menyumbang lapangan layak Otto dan Thamrin pernah melakukan pertandingan eksebisi dua kali pada 1932 dan 1933. Mereka mengajak tokoh-tokoh pergerakan nasional mengolah bola di lapangan. Hal ini terekam dalam foto-foto pers sezaman seperti Pemandangan dan Pandji Poestaka . “Ada foto Thamrin, Otto, dan tokoh pergerakan nasional sedang rehat di pinggir lapangan, dekat gedeg (pagar dari bambu) lapangan Laan Trivelli, Jakarta Pusat,” kata Afif yang meriset hubungan Thamrin, pergerakan nasional, dan VIJ sejak 2013. Foto itu tersua dalam ‘Festival 125 Tahun M.H. Thamrin’ di Pulo Piun, sekarang dikenal sebagai Stadion VIJ. Keberadaan lapangan untuk kegiatan VIJ tak lepas dari andil Thamrin. Menurut Afif, VIJ selalu kesulitan menggelar pertandingan. Banyak lapangan di kampung-kampung Batavia tidak layak untuk memutar kompetisi antar klub VIJ. Kemudian pengurus VIJ melaporkan situasi ini kepada Thamrin. Dia menyumbangkan uang senilai 2000 gulden untuk mengupayakan lapangan layak di Laan Trivelli, sekarang terletak di Jalan Tanah Abang II, Jakarta Pusat. Bangunannya sudah berganti permukiman penduduk. “Waktu itu nilai 1 gulden bisa untuk beli 7 kilogram gula. Kalau dirupiahkan, mungkin nilai sekarang sekitar 170 juta rupiah,” terang Afif. Di lapangan inilah Thamrin mengajak Sukarno membuka kompetisi PSSI pada 16 Mei 1932. Tak lama setelah Sukarno keluar dari penjara Sukamiskin, Bandung. Selepas itu, Thamrin mengusahakan VIJ memperoleh lapangan lebih layak dengan tribun penonton dan ruang makan. Harapan itu terwujud pada 1936. Inilah lapangan Pulo Piun. Sampai sekarang masih berdiri. Thamrin wafat pada 11 Januari 1941. Begitu pula dengan perannya sebagai jembatan pergerakan nasional dan sepakbola. Banyak orang membiarkannya ikut terkubur. Festival 125 Tahun M.H. Thamrin menjadi sebentuk upaya menggali kembali gagasan Thamrin tentang hubungan sepakbola dengan politik dan perannya di lapangan sepakbola.
- Akhir Hayat Sang Penyelamat
SEPAKBOLA Inggris berduka. Satu legenda sohornya, Gordon Banks, mengembuskan napas terakhir dengan damai dalam tidurnya di kediamannya, Stoke-on-Trent, Selasa 12 Februari 2019 malam waktu setempat (Rabu, 13 Februari 2019 WIB) dalam usia 81 tahun. Banks menderita kanker ginjal sejak 2015. Kabar kematian kiper Inggris saat menjuarai Piala Dunia 1966 itu menuai banyak ucapan belasungkawa. Tidak hanya dari para legenda hidup, klub, FA (Induk Sepakbola Inggris) dan para pemain yang masih aktif, induk organisasi sepakbola Jerman DFB turut mengucapkan belasungkawa. “Seorang lawan yang tangguh dan pribadi yang sangat baik. Beristirahatlah dengan tenang, Gordon Banks,” cuit DFB di akun Twitter resminya, @DFB_Team_EN pada Selasa, 12 Februari 2019. Edson Arantes do Nascimento alias Pelé, legenda hidup sepakbola asal Brasil, turut terpukul mendengar kematian kiper terbaik Inggris sepanjang sejarah itu. Pelé mulai menjalin persahabatan dengan Banks pasca-sang kiper melakukan penyelamatan fenomenal dengan menggagalkan sundulan Pelé di Piala Dunia 1970. “Bagi banyak orang, memori tentang Banks ditentukan oleh penyelamatan dari peluang saya di 1970. Saya mengerti alasannya. Penyelamatan itu salah satu yang terbaik dari yang pernah saya lihat sepanjang karier saya…Saya mencetak begitu banyak gol, tapi kebanyakan orang, saat mereka bertemu saya, selalu menanyakan tentang penyelamatan itu…Jadi saya senang dia menyelamatkan sundulan saya karena itu jadi awal persahabatan kami yang sangat saya banggakan. Beristirahatlah dengan tenang, sobat. Ya, Anda adalah seorang kiper yang punya sihir. Anda adalah manusia yang sangat baik,” tulis Pelé dalam akun Facebook resminya, Selasa 12 Februari 2019. Penyelamatan fenomenal itu terjadi pada partai kedua Grup C, 7 Juni 1970 di Estadio Jalisco, Guadalajara, Meksiko. Dalam satu momen di interval pertama, Jairzinho ngacir dari sisi kiri pertahanan Inggris dan mengirim umpan lambung ke tengah kotak penalti. Pelé langsung meloncat untuk menyambut crossing itu dan menanduk bola hingga memantul lebih dulu sebelum mengarah ke sudut kanan gawang Banks. “Saya sudah berteriak ‘Gol!’ sebagai reaksi,” ujar Pelé dikutip Les Scott dalam Banksy: My Autobiograpy . Tapi betapa terkejutnya Pelé lantaran dengan cepat Banks terbang ke kanan dan menepis saat bola baru sepersekian detik memantul dekat garis gawang. Bola pun gagal bersarang dan hanya menghasilkan tendangan sudut. “Saya pikir harusnya itu gol,” cetus Pelé seketika usai sundulannya kandas. “Saya pun sempat berpikir begitu,” jawab Banks. “Anda mulai menua, Banksy. Biasanya bisa ditangkap, kan,” kata bek Inggris Bobby Moore menimpali dalam obrolan singkat. Sayang di laga itu Inggris akhirnya kalah setelah Jairzinho mencetak gol semata wayang di menit 59. Pele dan Gordon Banks yang bersahabat sejak 1970. (Facebook Pele) Dari Buruh Serabutan ke Pentas Dunia Banks lahir di Abbeydale, Sheffield, 30 Desember 1937 dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Di usia 15 tahun, Banks harus putus sekolah demi membantu perekonomian keluarga dengan menjadi buruh di perusahaan batubara lokal. Setelah itu, tulis Les Scott dalam autobiografi Banks terbitan 2002 itu, Banks jadi buruh bangunan di Catcliffe menyambi jadi kiper klub amatir Millspaugh. Titik balik hidupnya bermula saat Banks ditawari trial oleh pemandu bakat Chesterfield pada Maret 1953. Banks tak menyia-nyiakannya dan tampil impresif hingga mendapat kontrak paruh waktu dengan gaji tiga poundsterling sepekan pada Juli di tahun yang sama. Dari situlah namanya mulai dikenal hingga dibeli Leicester City pada 1959, Stoke City pada 1967, sampai pensiun bersama Fort Lauderdale Strikers pada 1978. Performa apiknya saat bersama Leicester menjadi bekal Banks masuk Timnas Inggris U-23 pada 1961 dan timnas senior dua tahun berselang. Karier emasnya dicetak pada Piala Dunia 1966, di mana Banks dkk memenangi trofi Piala Dunia untuk kali pertama yang hingga kini masih jadi satu-satunya kenangan paling manis buat Negeri Ratu Elizabeth II. Di Piala Dunia berikutnya, nama Banks kian melangit setelah melakukan penyelamatan terhadap sundulan Pelé. FIFA sampai menyebut aksi itu sebagai aksi penyelamatan terbaik sepanjang sejarah. International Federation of Football History and Statistics menempatkannya sebagai kiper terbaik kedua Abad ke-20 setelah Lev Yashin. Bila Banks tak keracunan makanan, bisa jadi Inggris mampu mempertahankan gelar di Piala Dunia Meksiko 1970. Namun nahas, jelang perempatfinal kontra Jerman Barat, kondisi Banks mengharuskan pelatih Alf Ramsey mencadangkannya. “Peter Bonetti menggantikan Gordon yang masih sakit di perempatfinal yang sarat drama dan membuat sakit hati,” tulis Jim Morris dalam Gordon Banks: A Biography. Inggris seolah “dikerjai” dan soal ini masih jadi misteri sampai sekarang. Banks menderita keram perut, diare, dan keringat dingin mengucur terus-menerus tak lama setelah minum bir bersama rekan-rekan setimnya. Anehnya, hanya Banks yang keracunan. “Saya tak ingat jika tutup botol yang disajikan sudah terbuka atau tidak. Yang pasti, setengah jam kemudian saya merasakan nyeri pada perut saya,” ungkap Banks dalam biografinya. Gordon Banks (jersey kuning) bersama timnas Inggris saat memenangi Piala Dunia 1966. (fifa.com) Selain itu, Inggris juga “dikerjai” sebelum menjalani laga perempatfinal di Léon, sekitar 200 kilometer dari Guadalajara yang jadi basis tim Inggris. Sedianya, tim Inggris ingin pakai pesawat ke venue , tapi panitia mengatakan landasan bandara di Léon tak cukup memadai buat pesawat tim. Padahal, pesawat tim Jerman bisa mendarat di Léon. Banks dkk. terpaksa mengarungi perjalanan darat Guadalajara-Léon dengan bus tanpa AC selama lima jam. Tanpa banks di bawah mistar, Inggris akhirnya kalah 2-3 dari Jerman Barat di Estadio Nou Camp, Léon, 14 Juni 1970. Ironisnya, nasib Banks setelah pensiun pada 1972 tak begitu cemerlang. Dari 1977-1980, Banks secara serabutan melatih klub-klub kecil Liga Inggris seperti Port Vale hingga Telford United. Pada 1980 di Telford United, Banks vakum lantaran menjalani operasi. Tapi saat kembali ke klub, Banks malah dipecat. Manajemen klub hanya bersedia menampung Banks sebagai penjual kupon undian. Banks memutuskan pergi dari klub itu tak lama kemudian. “Saya sakit hati…tidak mau lagi berada di dalam manajemen klub,” ujarnya saat diwawancara BBC , 24 Agustus 2010. Banks lantas memilih berbisnis dengan membuka hotel kecil di Leicester. Sayang, bisnisnya mandek dan bangkrut. Perekonomiannya baru bisa perlahan bangkit setelah dibantu Leicester City, bekas klub Banks yang prihatin kepadanya. Pada 2001, pria yang pernah ditawari posisi presiden kehormatan seumur hidup oleh Stoke City itu mengambil satu keputusan tersulit dalam hidupnya. Banks melelang medali emas Piala Dunia 1966 di Rumah Lelang Christie’s dan laku seharga 124.750 pounds. Keputusan itu diambil setelah Banks berpikir masak-masak tak ingin medalinya jadi biang rebutan warisan ketiga anaknya kelak jika dia meninggal.*
- Yang Kaya yang Madu Tiga
SUATU hari, Maria Ullfah kedatangan seorang perempuan di Biro Konsultasi. Dengan berlinang airmata perempuan itu bercerita tentang suaminya yang tiba-tiba kawin lagi. Ia meminta Maria Ullfah untuk mengurus perceraian ke Raad Agama. Perempuan itu jelas bukan satu-satunya istri yang mendapati suaminya kawin lagi. Biro Konsultasi, yang dibentuk Kongres Perempuan Indonesia pada 1935, memang dibentuk untuk menangani banyaknya masalah perempuan dalam perkawinan. Kala itu, permaduan menjadi masalah yang kerap menimpa perempuan. Menurut missionaris A. Kruijt dalam penelitiannya tahun 1903 yang dikutip Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia, poligami kebanyakan dilakukan orang-orang dari kalangan bangsawan dan menengah ke atas. Di kalangan rakyat bawah, poligami jarang terjadi. “Terdapat strata yang besar… Di kalangan kaum buruh dan mereka yang kondisinya lebih baik, poligami jarang ditemui,” tulis Kruijt. Pernyataan Kruijt didukung sebuah laporan mengenai ekonomi desa yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda pada 1912. Laporan tersebut menyebut angka poligami di desa dan kalangan masyarakat bawah cenderung tidak ada alih-alih banyak dari kaum bangsawan dan kelas berada. Tingginya angka poligami di kalangan bangsawan disebabkan kurangnya bekal para perempuan bangsawan untuk bertahan hidup sendiri. Mereka tak pernah dilatih untuk menghidupi diri sendiri karena terbiasa dilayani dan sejak kecil dididik untuk menjadi nyonya rumah. Melepaskan perkawinan lantaran dipoligami berarti menyengsarakan diri dan anak-anak. Mereka akhirnya terpaksa menerima permaduan karena dianggap lebih aman dibanding menggugat cerai. “Pada umumnya wanita dari lapisan masyarakat rendah jauh lebih tegas dalam menuntut perceraian sebab mereka sudah biasa mencari nafkah sendiri,” kata Maria Ullfah dalam rekaman Arsip Sejarah Lisan Arsip Nasional Republik Indonesia. Poligami dalam Angka Poligami menjadi isu hangat yang diperbincangkan sejak akhir abad ke-19. Data sensus pemerintah kolonial tahun 1930 menunjukkan: persentase poligami di Jawa dan Madura mencapai 1,9%, di pulau-pulau luar 4%, dan di kalangan orang Minangkabau sebesar 8,7%. Dalam laporan Indisch Verslag terbitan 1939, angka poligami di Jawa mencapai 163.362. Dari angka tersebut, 1.024 poligami mengambil empat istri, sebanyak 7.696 mengambil tiga istri, dan yang terbanyak 154.642 mengambil dua istri. Angka poligami di Jawa pada 1939 tersebut menjadi yang tertinggi di antara wilayah lain. Di Sumatra, total angka poligami mencapai 69.790, di Sulawesi mencapai 22.378, serta di Bali dan Lombok sebesar 14.061. Sementara, Maluku menempati angka terkecil, yakni 5.150 praktik poligami. Namun, angka-angka tersebut hanya merujuk pada praktik poligami yang terdaftar. Faktanya, tidak semua orang melakukan pencatatan perkawinan di era kolonial dan banyak poligami dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak diketahui istri pertama. Achmad Djajadiningrat, bupati Batavia (1924-1929) sekaligus paman Maria Ullfah, yang meneliti jumlah poligami di Bojonegoro pada 1936, menemunkan bahwa di kalangan pegawai sipil, santri, dan pedagang, poligami banyak dilakukan hanya untuk kebutuhan seksual saja. Poligami, sebut Djajadiningrat, juga menjadi faktor terbesar terjadinya perceraian. Ramainya isu poligami mendorong pemerintah kolonial untuk mengeluarkan rancangan undang-undang tentang perkawinan tercatat (Ordonansi Perkawinan) untuk orang bumiputra dan timur asing bukan Tionghoa. Ordonansi itu menyebutkan bahwa semua perkawinan secara agama apapun bisa dicatatkan di kantor bupati. Dengan mandaftarkan perkawinan secara sukarela, orang tunduk pada Ordonansi Perkawinan yang berazas monogami. Ordonansi Perkawinan sendiri menurut gerakan perempuan nonagamis tidak terlalu buruk. Aturan tersebut setidaknya bisa melindungi perempuan dari permaduan sepihak. Pencatatannya pun tidak bersifat wajib. Bagi mereka yang mau mencatatkan, akan dilayani. Tapi bagi yang tidak ingin perkawinannya dicatat, diperbolehkan untuk mengabaikan. Maria Ullfah dalam bukunya Perjuangan untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan menyatakan sepakat dengan Ordonansi Perkawinan. Alasannya, tidak ada paksaan bagi seseoang untuk mendaftarkan perkawinannya. Namun, ketika pemerintah Hindia Belanda menanyakan pendapat KPI tetentang Ordonansi ini, Maria mengusulkan untuk tidak memberi jawaban. Sebab kalau kongres menyatakan tak setuju, akan menjadi suatu kejanggalan mengingat selama ini kongres memperjuangkan pernikahan yang adil, aman bagi perempuan, dan monogami. Namun kalau kongres menyatakan setuju, golongan Islam akan marah dan keluar dari kongres. Golongan Islam menolak keras Ordonansi Perkawinan lantaran produk Barat. Menurut mereka, Ordonansi Perkawinan bukti terlalu ikut campurnya Belanda dalam masalah ibadah orang Islam. Penentangan keras dari golongan Islam dan diamnya kaum perempuan Indonesia akhirnya membuat pemeritah kolonial mencabut rancangan ini. “Kalau Belanda betul-betul berniat baik seharusnya mereka mengumumkan langsung pemberlakuan Ordonansi Perkawinan tanpa perlu konsultasi ke KPI. Apa mungkin Belanda sengaja memancing simpati untuk membuat perpecahan dalam gerakan perempuan Indonesia?” kata Maria Ullfah. Dalam pidato panjangnya di Kongres ketiga yang dilaksankan di Bandung, 1938, Maria memberikan jalan tengah bagi kaum perempuan pro-ordonansi perkawinan dan mereka yang kontra. Menurutnya, undang-undang perkawinan harus dibuat beriringan dengan agama, bukan meninggalkannya. Maria meyakini agama Islam yang dipeluknya hadir tidak untuk menyakiti perempuan. Oleh karenanya lelaki muslim tak punya hak untuk menyakiti perempuan. “Poligami merupakan institusi yang merendahkan keberadaan kami,” kata Maria. Untuk itulah, negara bertanggung jawab untuk melindungi posisi perempuan dalam hubungan perkawinan yang tidak setara melalui hukum yang diterima baik golongan muslim maupun nasionalis. Dalam praktiknya, upaya tersebut sulit diwujudkan. Usaha-usaha menghapuskan poligami selalu mendapat sanggahan dari kaum lelaki. Argumen bahwa poligami hadir untuk menyelamatkan perempuan karena jumlahnya jauh lebih banyak dibanding lelaki benar-benar membuat para perempuan gondok. “Kami tidak ingin menikah karena belas kasihan... Lebih baik bekerja keras daripada menikah karena belas kasihan,” kata Maria.
- Garis Finis Sang Sprinter Legendaris
Dunia atletik Indonesia berduka. Satu legenda sprinter, Purnomo Muhammad Yudhi, mencapai garis finis dalam hayatnya. Purnomo mengembukan napas terakhirnya di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jumat, 15 Februari 2019, dalam usia 56 tahun. Purnomo meninggal setelah lama melawan kanker kelenjar getah bening yang menjangkitinya sejak 2015. Jasadnya langsung dikebumikan sekira pukul empat sore di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Di lintasan atletik, Purnomo merupakan satu dari beberapa legenda yang dimiliki Indonesia. Lahir di Purwokerto, 12 Juli 1962, Purnomo menekuni atletik sejak muda lantaran ingin seperti idolanya, Mohammad Sarengat. Di usia belia, Purnomo sudah malang-melintang di berbagai kejuaraan junior meski kerap bertanding tanpa sepatu dan hanya mengenakan kaus kaki. Kondisi itu terpaksa dia lakukan lantaran ekonomi keluarganya. Hingga usia SMA, Purnomo belum mampu memiliki sepatu lari yang memadai. Tapi kerja keras dan pengorbanannya tak mengkhianati hasil. Pada 1983, Purnomo sudah menjadi bagian dalam kontingen Indonesia di Kejuaraan Atletik Dunia (IAAF) di Helsinki, Finlandia. Setahun kemudian, namanya masuk ke dalam tim atletik Indonesia di Olimpiade 1984 di Los Angeles, Amerika Serikat (AS). Di pesta olahraga terbesar sejagat ini bintang Purnomo melesat tinggi kendati tim Indonesia tak membawa pulang medali. Rudy H. Parengkuan menuliskan dalam laporannya, “Olimpiade Los Angeles 1984: Sukses dan Lancar Sekalipun Dilanda Aksi Boikot” yang dimuat di Rekaman Peristiwa ‘84 terbitan Sinar Harapan 1985, Purnomo baik di kategori individu maupun bersama tim estafet mencetak rekor-rekor nasional (rekornas) anyar. “Semula memang targetnya bukan medali, tetapi mencetak rekornas baru dan target ini berhasil tercapai. Purnomo mencetak rekornas untuk 200 meter dengan catatan waktu 20,93 detik. Rekor lama atas namanya sendiri 21,2 detik. Dalam estafet 4x100 meter, kuartet Purnomo, Kardiono, Christian Nenepath, dan Ernawan Witarsa mempertajam rekornas menjadi 40,37 detik,” ungkap Rudy. Sebelumnya, rekornas estafet itu adalah 40,54 detik. Tidak lupa, Purnomo mengukir sejarah baru, tidak hanya untuk Indonesia tapi juga Asia. Purnomo menjadi sprinter Asia pertama yang mampu menembus semifinal 100 meter putra di Olimpiade. Di nomor 200 meter putra, Purnomo hanya mampu sampai perempatfinal. Meski di semifinal Purnomo hanya menempati urutan buncit, urutan kedelapan dengan waktu 10,51 detik, ini jadi kali kedua Purnomo jadi orang tercepat Asia. Di IAAF Helsinki 1983, Purnomo jadi satu-satunya wakil Asia di final 100 meter putra. Untuk urusan prestasi, mengutip Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno , Purnomo menyumbangkan dua perak dari nomor 100 dan 200 meter putra di Kejuaraan Asia 1985 di Jakarta. Sedangkan di SEA Games 1985 di Bangkok, Purnomo membawa pulang dua emas dan sekeping perunggu. Dua emas diperolehnya dari 200 meter putra dan estafet 4x100 meter putra, sementara satu perunggu dari 100 meter putra. Setelah pensiun, Purnomo tak bisa jauh dari dunia atletik. Selain aktif ikut dalam kepengurusan PB PASI, Purnomo juga sempat duduk pula di kepengurusan KONI Pusat. Selain itu, Purnomo juga menjadi ketua pertama IOA (Indonesian Olympian Association) pada 2010 dan bahkan pernah mengutarakan niatnya ingin jadi Menpora untuk membantu kesejahteraan para mantan atlet yang kehidupannya memprihatinkan. “Dia pernah bilang ke saya, ‘Mbak, saya ingin tetap sehat. Saya ingin membantu para atlet,” kata Tuti Mardiko, Wasekjen PB PASI, dikutip Beritagar , Jumat, 15 Februari 2019.
- Di Balik Pendirian Pao An Tui
Reporter militer Hans Post meliput pendaratan tentara Belanda di pantai timur Sumatra pada Oktober 1946. Pada bulan pertama kegiatan liputannya di Medan, dia tertarik mengamati keberadaan serdadu dari kalangan Tionghoa. Hans kaget menyaksikan mereka yang berseragam aneh dengan corak kuning berbahan drill itu. Mereka memakai topi pet dan menenteng senapan laras panjang. Pemimpinnya diketahui bernama Lim Seng yang segera memberi penjelasan perihal pasukannya kepada Hans. Lim Seng menuturkan, pemuda-pemuda Tionghoa harus selalu berjaga dan patroli untuk menghentikan aksi para ekstremis. Pejuang Indonesia bersenjata ini kerap meresahkan; menyerang rumah-rumah milik orang Tionghoa. Mereka merampok dan kadangkala berakhir dengan jatuhnya korban jiwa. Tentara Inggris menolak memasok senjata kepada pemuda-pemuda Tionghoa. Hingga Maret 1946, pemuda-pemuda Tionghoa hanya bersenjatakan tombak dan tongkat. “Inggris menyadari bahwa teror itu menjadi terlalu serius bila tetap bersikap pasif. Setelah sejumlah kecil senjata api disediakan, tak ada lagi penjahat - pencuri - berani memasuki distrik Tionghoa di bawah perlindungan pasukan penjaga Tionghoa,” demikian catat Hans Post dalam reportasenya Bandjir over Noord-Sumatra Volume I: Bandjir over Noord Sumatra yang terbit tahun 1948. Pasukan penjaga keamanan Tionghoa ini kelak lebih dikenal dengan sebutan Pao An Tui (PAT). Ketika revolusi kemerdekaan bergolak di Sumatra Utara, PAT memainkan lakon sebagai musuh orang-orang Republik. Lakon itu bukan tanpa sebab. Di masa krisis itu, mereka terjepit untuk mempertahankan diri guna melanjutkan hidup. Aji Mumpung Proklamasi kemerdekaan membawa posisi komunitas Tionghoa berada di bawah ancaman. Setelah pendudukan Jepang berakhir, orang-orang Tionghoa jadi sasaran intimidasi. Kaum pribumi radikal kerap menyatroni kediaman atau toko penduduk Tionghoa yang umumnya masyarakat pedagang. Sudah harta benda mereka dijarah, warga Tionghoa malang ini rentan sekali menjadi korban penculikan, pemerkosaan, hingga pembunuhan. “Orang Tionghoa menjadi sasaran tindakan balas dendam yang sistematis, karena mereka tergolong kuat secara finansial dan melekat sebagai kolaborator oportunis Belanda,” tulis sejarawan Belanda Anne van deer Veer dalam pengantar tesisnya di Leiden University “The Pao An Tui in Medan: A Chinese Security Force in Dutch Occupied Indonesia, 1945‐1948”. Sentimen anti-Tionghoa, menurut van der Veer tak lepas dari peran mereka di masa lampau. Di bawah pemerintahan kolonial, kebijakan Belanda memberi orang Tionghoa status yang berbeda: Timur Asing ( Vreemde Oosterlingen ). Meski tetap sebagai warga negara kelas dua setelah bangsa Eropa, orang Tionghoa (bersama Arab dan India) diperlakukan lebih istimewa ketimbang pribumi. Pasukan Pao An Tui mengendarai jeep patroli, Medan, sekitar 1947. (Arsip Nasional RI). Pada bulan November 1945, aksi pencurian dan perampokan mulai merambah rumah-rumah orang Tionghoa di Medan. Gangguan ini semakin meningkat setelah TKR-Pesindo mengumumkan keberadaan mata-mata Belanda yang turut menyeret orang Tionghoa. Laporan intelijen Belanda (NEFIS) mencatat, sebanyak 73 rumah orang Tionghoa dibakar, dan puluhan lelaki Tionghoa dieksekusi karena mencoba melawan. Menurut sejarawan LIPI, Nasrul Hamdani, penindasan atas kepentingan orang Tionghoa merupakan kelanjutan dari aksi “pembersihan” yang dillancarkan kaum Republikan. Sayangnya, tindakan ini tak dibarengi dengan koordinasi yang baik di antara badan-badan perjuangan. Orang Tionghoa jadi dimusuhi hanya karena mereka berasal dari etnis berbeda. Meski demikian, ada juga yang melihat revolusi sebagai momentum “aji mumpung” untuk mengumpulkan kekayaan. Dalam suasana demikian simbol-simbol etnisitas menjadi penting untuk mencari sekutu atau menciptakan seteru. Orang Tionghoa Bersatu Atas penyerangan yang terjadi terhadap kaumnya, Hua Ch'iao Chung Hui (HCCH, Organisasi Cina Rantau) bereaksi. Dalam sebuah telegram yang dikirimkan kepada Chiang Kai Sek - pemimpin negeri Tongkok -, HCCH menyatakan keprihatinannya terhadap nasib miris orang Tionghoa di Medan. HCCH mendesak pemerintah Tiongkok mengirim utusan yang diberi wewenang penuh melindungi orang Tionghoa perantauan di Sumatra. Permintaan HCCH dikabulkan walaupun bukan dalam wujud bantuan militer langsung dari negeri Tiongkok. Sebuah milisi beranggotakan pemuda-pemuda Tionghoa dibentuk pertama kali di Medan pada permulaan tahun 1946. “Baoan Dui”, demikian orang-orang Tionghoa lebih suka menyebutkanya sementara masyarakat lokal di Medan mengucapkannya “Poh An Tui”. Mereka yang tergabung semula adalah pemuda-pemuda jago bela diri. Makin lama, kian banyak orang Tionghoa yang masuk PAT. “Di masa ini tumbuh solidaritas orang Cina hingga mampu mendirikan Pao An Tui (PAT) atau barisan keamanan yang dikenal kejam, sangar, dan tergolong milisi paling kuat di Indonesia,” tulis Nasrul Hamdani dalam artikelnya “Pao An Tui Medan 1946--1948” termuat di Indonesia Across Order: Arus Bawah Sejarah Bangsa suntingan Taufik Abdullah dan Sukri Abdurachman. HCCH menugaskan Lim Seng untuk memimpin dan mengorganisasi PAT. Van der Veer dalam tesisnya menyebut Lim Seng adalah seorang karyawan perusahaan perdagangan Belanda di Medan milik Jacobsen van den Berg di Medan. Lim Seng dibantu oleh dua orang kepercayaan, yaitu Tan Boen Djin dan Tan Boen Hock yang bertugas sebagai penghubung ke jejaring penting. Tan bersaudara ini berasal dari keluarga saudagar Tionghoa terkemuka di Medan. Pembentukan PAT berjalan mulus. Tentara pendudukan Inggris mengizinkan keberadaan PAT dalam menjaga keamanan distrik Tionghoa. Inggris bahkan ikut memasok senjata api kepada PAT. Fasilitas yang dimiliki PAT terbilang mantap dan modern. Markas PAT yang terletak di Hongkongstraat Medan ini, memiliki beberapa kendaraan patroli jenis jeep untuk mempertinggi mobilitas dan komunikasi. Setelah Inggris mengalihkan kekuasannya kepada Belanda, PAT bersekubu dengan tentara Belanda. Bagi mereka, pejuang-pejuang Republik dicap ekstremis, pengacau, dan pelaku teror. Belanda dan PAT kerap melancarkan operasi bersama memburu Tentara Republik ataupun barisan laskar. Operasi ini tak jarang memakan korban dari pihak rakyat sipil. Pada 1952, Kementerian Penerangan yang menerbitkan buku Republik Indonesia: Provinsi Sumatera Utara mengatakan bahwa aksi menyimpang orang Tionghoa dalam revolusi dapat dimaklumi. Selama pendudukan Jepang, orang-orang Tionghoa tak berdaya dan jadi bulan-bulanan. Ketika Indonesia merdeka, tak semua orang Tionghoa bisa mengerti esensi perjuangan kaum Republik. Padahal, pemerintah sebelumnya telah menyerukan golongan Tionghoa untuk bekerjasama dan menjauhi pekerjaan membantu musuh-musuh Republik. “Bagi penduduk Tionghoa di Medan yang selama ini ditindas perniagaan dan perekonomiannya oleh Jepang dapat dimengerti apabila mereka itu melihat kemungkinan-kemungkinan yang menguntungkan dalam mengadakan perniagaan dengan Inggris ataupun Belanda,” tulis Kementerian Penerangan. “Akan tetapi dapat dimengerti pula bahwa semangat dan jiwa revolusi kemerdekaan yang meluap pada dada pemuda bangsa Indonesia mencurigai setiap perhubungan dengan Inggris apalagi Belanda. Maka di sana-sini terjadilah pertempuran bersenjata antara Pao An Tui dengan pemuda Indonesia.
- Roda Kehidupan Legenda Balap Sepeda
TANGAN kanannya sibuk menggerak-gerakkan tongkat. Tangan kirinya senantiasa mencari pegangan. Dengan langkah tergopoh-gopoh, Hendrik Brocks sampai ke kursi ruang tamu. Dia tak lagi bisa melihat. Penyakit glukoma merampas penglihatan sang legenda balap sepeda itu sejak 2007. Sosok bersahaja berusia 77 tahun itu tinggal di sebuah rumah sederhana di Gang Rawasalak, Sriwidari, Kota Sukabumi hanya bersama istri, Yati Suryati, seorang pensiunan guru. Kehidupannya jauh dari kata sejahtera. Untuk biaya sehari-hari saja, harus ditopang bantuan kecil-kecilan keluarga besar dan para tetangganya. Hendrik sama sekali tak punya uang pensiun. “Ya makanya kadang sakit kalau mendengar banyak atlet sekarang dikasih bonus miliaran,” ujarnya saat ditemui Historia di kediamannya, Senin (11/2/2019). Padahal, seperti halnya sepakbola dan bulutangkis, di gelanggang balap sepeda era 1960-an Indonesia pernah jadi “Macan Asia” kala Hendrik masih jadi sosok yang disegani oleh kawan maupun lawannya. Di ajang sekelas PON (Pekan Olahraga Nasional), Kejuaraan Asia, Asian Games, Ganefo (Games of the New Emerging Forces) hingga Olimpiade, pria berdarah Jerman-Sunda itu nyaris tak pernah pulang tanpa prestasi. Dari lintasan kampung hingga dunia Hendrik lahir di Sukabumi pada 27 Maret 1942. Perkenalannya dengan sepeda terjadi sejak usia sekolah dasar kendati hanya sekadar untuk selingan bermain. Dengan sepeda onthel milik ayahnya, Joppi Brocks, Hendrik acap bersepeda di kebun-kebun dan kampung sekitar rumahnya. Hendrik tak pernah menyangka sebuah event road race tingkat daerah di Sukabumi pada 1958 akan jadi titik balik bagi kehidupannya. “Anak-anak (teman-teman) bilang agar saya ikut. Tapi saya ragu karena enggak punya sepeda (balap),” sambungnya. Namun dorongan teman-temannya membuat Hendrik yang masih di usia sekolah menengah dan “buta” teknik balap sepeda itu pun mengikuti race dengan rute Sukabumi-Cisaat-Gekbrong-Sukabumi. “Akhirnya pakai sepeda kumbang punya teman. Pas lihat lawan-lawannya, waduh pakai sepeda balap semua. Saya bengong lihat sepeda mereka. Rantainya beda, gear -nya banyak, stang -nya yang tanduk begitu. Aneh lah pokoknya buat saya waktu itu.” Alhasil, sebelum start , Hendrik kerap mendengar sindiran meremehkan dari lawan-lawannya. “Awalnya diketawain sama pembalap-pembalap dari Bandung, Bogor, enggak tahu kenapa. Pas lagi balapan, malah dibilang: ‘Anak Sukabumi ngalang-ngalangin saja nih!’. Tapi saya diam saja,” kenangnya. Hendrik tak gentar. “Malah tambah semangat,” katanya. Tak dinyana, Hendrik yang masih “anak bawang” justru jadi yang pertama melewati garis finis. “Pas sampai Gekbrong, saya sudah tinggal sendirian paling depan. Alhamdulillah menang,” ujarnya mengenang masa lalu. Hendrik Brocks bersama kedua orangtuanya. (Dok. Hendrik Brocks) Saking bangganya, ayah Hendrik menghadiahinya sepeda balap bekas. Sejak itu, Hendrik lebih sering ikut beragam kejuaraan di berbagai kota. Namanya mulai dikenal sejak menang sebuah event road race di Jakarta tahun 1959 dengan rute Jakarta-Serang-Jakarta. Di tahun itu pula Hendrik ikut terpilih masuk Pelatnas Balap Sepeda lewat Invitasi Nasional jelang persiapan Olimpiade Roma 1960. “Usia saya masih 19 tahun waktu itu. Kita TC (Training Camp) di Semarang dan saya paling yunior usianya dari empat yang lolos seleksi nasional. Ada saya, Rusli Hamsjin, Theo Polhaupessy, dan Sanusi. Kita dilatih orang Italia yang lama tinggal di Medan, Maurice Lungo,” ujarnya. Sayang, keempatnya gagal meraih medali. Hasil terbaik dicetak lewat nomor Time Trial 100 kilometer putra. Indonesia, dilansir sport-reference.com , duduk di urutan ke-26 dari 32 tim yang ambil bagian dengan catatan waktu 2 jam 34 menit 29,98 detik. Hasil itu lumayan baik bagi peserta dari Asia. Korea Selatan yang bersama Indonesia mewakili Asia di olimpiade itu hanya hanya menempati urutan ke-30 dengan waktu 2 jam 53 menit 09,51 detik. “Makanya waktu pulang dari Roma langsung ditunjuk oleh Bung Karno (Presiden Sukarno) bahwa balap sepeda akan jadi salah satu prioritas untuk Asian Games 1962, agar bisa memberikan emas. Tapi sebelum itu kita semua kembali ke daerah masing-masing untuk persiapan PON V dulu di Bandung (1961). Saya ikut mewakili Jabar (Jawa barat). Dari 11 nomor, saya dapat 10 emas,” sambung Hendrik. Pasang surut Seusai PON, Hendrik kembali ke Pelatnas di Jakarta jelang Asian Games 1962. Kali ini, tim balap sepeda dibesut pelatih asal Jerman Timur Rolf Nietzsche. “Waduh dia sih, untuk kedisiplinan tinggi sekali, keras orangnya. Apalagi dia ngomongnya bahasa Jerman terus. Kita enggak bisa ngomong Jerman tapi tetap bisa menangkap apa yang dia mau,” katanya. Pada Asian Games 1962 yang dibanggakan Bung Karno itu, tim Indonesia memetik tiga emas. Sebagaimana dimuat dalam biografi MF Siregar: Matahari Olahraga Indonesia, tim yang berisi Hendrik, Aming Priatna, Wahju Wahdini, dan Hasjim Roesli itu memenangkan nomor Team Time Trial 100 km dengan catatan waktu 2 jam 37 menit 23,1 detik. Ketiganya, ditambah Frans Tupang dan Henry Hargini, mencomot emas kedua di nomor Open Road Race 180 km. Emas ketiga dicetak Hendrik pribadi di nomor yang sama kategori individu. Tiga medali emas Asian Games 1962 milik Hendrik Brocks (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Di Asian Games dapat tiga emas, kita semua diundang ke Istana Negara. Tapi ya, juragan (Presiden) dulu mah hanya bilang terima kasih, disuruh semangat lagi latihannya. Habis itu balik kanan, sudah. Kita mah hanya lihat punggungnya saja,” kenang Hendrik sembari memperlihatkan tiga medali yang disimpannya dengan baik di tiga kotak kayu. Roda karier dan kehidupan Hendrik terus berputar. Medali demi medali dibawanya pulang, mulai dari Ganefo 1963 (satu emas dan satu perak), hingga Ganefo Asia 1966 (satu emas, satu perak, dua perunggu). Dua emas di Kejurnas 1967 menjadi penutup karier emasnya. Dua tahun berselang, Hendrik melatih tim balap sepeda Jaawa Barat di PON VII Surabaya dan mengantarkan anak didiknya, Irwan Iskak, menggamit satu emas. Namun di PON VIII Jakarta, Hendrik kembali turun gelanggang . “Mulanya saya sama Wahju hanya disuruh melatih tim DKI. Tapi Wahju bilang, saya disuruh ikut turun lagi. Saya bilang, ‘Ah gila lu, gua kan sudah tua.’ Tapi akhirnya dia meyakinkan saya sampai akhirnya ikut turun. Dapat perunggu, lumayan, sama dikasih piagam dari Ali Sadikin (Gubernur DKI),” lanjutnya. Setelah itu, Hendrik mulai merambah level nasional kepelatihan. Setelah ikut penataran pelatih pada 1975, Hendrik mendapat sertifikat pelatih nasional. Namun tak lama kemudian, Hendrik memilih mundur. “Saya tuh gimana ya. Kalau sudah sakit hati, saya tinggalin deh itu sepeda sampai 1983,” ujarnya tanpa mau menjelaskan penyebab persoalannya. Lama vakum dan sempat berbelok jadi pelatih atletik tim Jabar pada 1980, Hendrik kembali pada 1983 dengan menjadi juri Tour de Java. Di tahun yang sama, dia melatih timnas untuk Kejuaraan Asia di Manila dengan hasil satu perak dan dua perunggu. Setahun kemudian Hendrik membawa anak-anak asuhnya memenangi satu emas di ASEAN Cup dan perak di Kejuaraan Asia 1985. Sempat dimintai bantuan melatih tim PON Lampung hingga 1995, Hendrik lalu kembali ke tim PON Jabar. “Tapi saya melatihnya tim MTB (Mountain Bike). Saya disuruh melatih tim road race , enggak mau. Saya ingin suasana baru. Di PON 1995, kita dapat satu perunggu,” ungkapnya. Selain aktif melatih, Hendrik kemudian dipercaya menjadi manajer tim Kabupaten Sukabumi tingkat Porda hingga 2008. “Saya sudah mulai tidak bisa melihat tahun 2007, tapi masih tetap, jadi si buta ini jadi tim manajer. Tapi setahun kemudian sudah saya lepas,” imbuhnya. Tapi karena minimnya perhatian pemerintah selama dia masih aktif, Hendrik menjalani masa senjanya dengan terseok-seok. Untuk biaya sehari-hari saja, harus dibantu keluarga besar dan tetangga sekitarnya. Kondisi rumahnya sepeninggal orangtuanya terus memburuk tanpa mampu diperbaikinya. Hendrik Brocks menderita glaukoma sejak 2007. (Randy Wirayudha/ Historia ). “Enggak pernah ada bonus! Enggak kayak sekarang, bonus…bonus…bonus. Enggak saya pernah merasakan bonus. Di TC saja dulu enggak dapat uang saku. Kalaupun dapat, pas lagi kejuaraan ke luar negeri. Itu pun untuk beli oleh-oleh saja tidak cukup. Pensiun juga tidak ada. Kalau sekarang, jangankan PON, Porda aja pegawai negeri udah pasti di tangan kalau berprestasi,” ujar Hendrik dengan nada meninggi. Untuk mengobati glaukomanya saat awal-awal terserang, Hendrik harus dibantu KONI Kabupaten Sukabumi dan teman-temannya lantaran BPJS Kesehatan pun tak punya. Medio 2007, Menpora Adhyaksa Dault sempat menjanjikan dana pensiun kepadanya. Hendrik juga mendapat bantuan rumah dari menpora. Setelah satu dekade, rumah itu terpaksa dia jual guna membiayai renovasi rumah warisan ayahnya yang ia tinggali kini. Rumah itu sempat hampir roboh sebelum bisa direhab. Tetapi sampai lebih dari satu dekade berlalu, dana pensiun yang dijanjikan Adhyaksa tak jua ditepati. Uang itu setidaknya bisa untuk menyambung hidupnya dan istri. “Belum lama lalu, sempat saya berkirim surat juga ke Erick Thohir (Ketua Komite Olimpiade Indonesia/KOI), namun sampai sekarang belum ada jawaban soal dana pensiun itu,” kata Hendrik menutup pembicaraan.
- Pao An Tui yang Dibenci Kaum Republik
Kawasan pecinan di Pasar Sentral, kota Medan cukup tenang pada siang hari. Aktivitas para pekerja dan pedagang berjalan sebagaimana biasa. Namun memasuki waktu malam, keadaan berubah mencekam. Letusan tembakan acap kali menggema. Demikianlah suasana keamanan di distrik Tionghoa itu pada awal 1946. Menurut keterangan warga setempat yang dikutip Abdullah Hussain, Kepala Polisi Langsa yang sedang tugas di Medan, orang-orang Tionghoa di kawasan itu telah dipersenjatai oleh NICA. Mereka membentuk sebuah barisan sendiri yang diberi nama Pao An Tui (PAT). “Dari atas loteng rumahnyalah mereka melepaskan tembakan kepada pejuang-pejuang Indonesia yang menyusup masuk ke dalam kota pada waktu malam,” kenang Abdullah dalam Peristiwa Kemerdekaan di Aceh . Perbuatan pasukan PAT itu kontan bikin jengkel. Pemuda-pemuda Medan berang. Sekali waktu mereka mencari pemimpin PAT itu. Keesokan harinya, seorang pentolan PAT ditembak mati. Ketegangan antara pejuang Republik dengan PAT masih terus berlanjut. Mulai dari pusat kota merembet hingga ke pelosok di luar kota Medan. Bentrokan dan kontak senjata sering terjadi. Penguasa Pasar Tujuan semula pembentukan PAT adalah untuk menjaga keamanan basis masyarakat Tionghoa. Di Medan, toko-toko milik pedagang Tionghoa kerap kali dirampok oleh penjahat lokal sebagai ekses dari revolusi. Tetapi akhirnya, dalam setiap patroli yang dilakukan tentara Inggris atau Belanda, satuan PAT selalu dilibatkan. “Pasukan-pasukan ini dipakai dalam patroli-patroli Belanda untuk menggempur laskar dan TRI. Persenjataan dan perlengkapan lainnya dari pasukan ini jauh lebih baik dari laskar dan tentara,”tulis buku Perjuangan Semesta Rakyat Sumatera Utara yang diterbitkan Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera. PAT memperoleh akses atas kawasan tertentu dengan menjalin koordinasi ke pihak tentara Belanda. Tiap daerah pendudukan yang dikuasai Belanda, PAT bertugas mengamankan kawasan pecinan didalamnya. Maka tak heran bila PAT punya kontrol atas pasar-pasar di daerah pendudukan dalam garis demarkasi. Pasukan PAT yang berpatroli memburu ekstremis di sekitar Medan, 1947. Sumber: ANRI. Menurut penelitian sejarawan LIPI Nasrul Hamdani dalam Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960 , PAT selalu menjaga ketat pasar-pasar dan tempat warga kota berinteraksi. Setiap pos di keramaian ini dijaga berlapis untuk mengantisipasi penyusup atau mata-mata Republik. Pasukan PAT penjaga pos didampingi penembak jitu Belanda yang membidik dari loteng-loteng pertokoan. Semua orang yang dicurigai diperiksa, perempuan maupun lelaki. PAT punya cara yang terbilang unik dalam menggeledah tubuh. Mereka yang punya bahu keras akan segera diringkus dan dicap sebagai ekstremis Republik. Operasi anti-spionase PAT menyimpulkan, bidang bahu yang mengeras terjadi karena pergesekan tali senapan yang disandang saat bergerilya. Penangkapan warga atas dasar kondisi otot bahu biasa dilakukan, meski awalnya melalui prosedur resmi. “Beberapa proses interogasi berujung pada kematian, dan untuk menghilangkan jenazah korban interogasi, satu daerah semak belukar di jalan Tempel dijadikan kuburan sekaligus tempat eksekusi penyusup dan pengacau,” tulis Nasrul. Aksi PAT Dari seratusan pemuda Tionghoa yang jago bela diri, personel PAT membengkak jadi seribuan orang. Jumlah sebanyak itu juga dimanfaatkan Belanda sebagai tenaga tambahan. PAT kadang dilibatkan dalam operasi militer Belanda ke pedalaman di luar garis demarkasi. Dalam operasi ke Deli Tua pada 10 mei 1946, misalnya. Tentara Belanda menyerbu dengan kekuatan tank, panser, puluhan truk pengangkut personel dan pasukan artileri. Serdadu PAT memainkan aksi penyusupan nya ke jantung pertahanan kubu Republik. Cara yang dilakoni PAT terbilang nekat dan berani. Mereka menyamarkan diri sebagai laskar rakyat yang mengendarai kendaraaan tempur Belanda. Seolah-olah telah berhasil merebut fasilitas tempur itu melalui suatu pertempuran. Kendaraan yang ditunggangi PAT dipasangi bendera putih berikut papan bertuliskan nama-nama pentolan laslar rakyat seperti Bedjo dan lain-lain. Penduduk setempat yang menyaksikan konvoi “pejuang gadungan” itu terpana dan memberikan sambutan. “Ketika warga mulai percaya, yang terjadi adalah penggeledahan warga,” tulis Nasrul. Ada kalanya mereka tergoda juga menjarah barang milik warga. PAT jadinya dibenci sekaligus ditakuti kaum Republik. Ketika melancarkan agresi militer yang pertama 21 Juli 1947, pasukan Brigade Z Belanda berhasil menjebol pertahanan Komando Medan Area (KMA) dalam sekejap. Dalam serbuan itu, PAT lagi-lagi turut serta. Sebagaimana taktik perang kota, mereka menyerang dari belakang lewat celah-celah pertokoan. “Kalau Belanda menyerbu bagai air bah, Poh An Tui menyerang bagai ular yang mematuk mangsanya dari atas pohon,” kenang Nukum Sanany, anggota Batalion VI Resimen II Divisi X Sumatera dalam Pasukan Merian Nukum Sanany yang disusun B. Wiwoho. Di kalangan PAT timbul penilaian yang keliru terhadap pejuang Indonesia. Mereka menilai semua barisan bersenjata Republik adalah pasukan penjahat yang suka menggarong harta benda masyarakat Tionghoa. Tindakan permusuhan sering diperlihatkan PAT tanpa pandang bulu. “Tetapi hal yang serupa ini memang sukar dielakkan, karena sumber dan partner mereka adalah musuh-musuh dari pemuda Indonesia itu,” tulis Biro Sejarah Prima dalam Medan Area Mengisi Proklamasi . “Sebaliknya, sebagai akibat kekeliruan penilaian pihak Tionghoa ini, lahir pulalah antipati yang besar terhadap mereka dalam kalangan bangsa Indonesia, sehingga PAT diidentikan dengan alat kolonialisme yang jahat.” Bagaimana akhir keberlangsungan PAT sebagai barisan pengawal kesohor di Sumatera Utara? (Bersambung).





















