top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Khazanah Arsip Lima Tokoh Indonesia

    DALAM Kongres Pemuda I, para perempuan turut hadir. Emma Peradiredja salah satunya. Dia mewakili Jong Islaminten Bond. Dalam kongres tersebut Emma aktif dalam pembicaraan mengenai nasib perempuan dalam pendidikan. Pada Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda, Emma kembali hadir dan aktif. Ketika masa revolusi fisik, Emma menjadi pemimpin pemuda dalam perlawanan di Bandung dan menjadikan rumahnya sebagai markas. Ketika Bandung menjadi lautan api, ia bersama Djawatan Kereta Api mengungsi ke Cisurupan pada Juni 1947 untuk kemudian pindah ke Yogyakarta hingga ditangkap pada 1949. Seluruh aktivitas Emma sejak 1921-1978 tersebut tercacat dengan rapi lewat tulisan tangannya. Catatan pribadi Emma inilah yang diserahkan Amarawati Poeradiredja, anak Emma, kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pengambilalihan arsip tersebut kemudian diresmikan dalam acara Penyerahan Arsip LAPAN, Ormas, dan Perseorangan di ANRI, Kamis (19 Desember 2019). “Semua arsip Bu Emma saya simpan baik-baik. Saya mencatat arsip yang dipinjam lalu kembali. Undangan untuk berbicara tentang Bu Emma juga semua saya simpan dengan baik,” kata Amara. Ada lima tokoh yang arsipnya diserahterimakan ke ANRI. Selain Emma, ada Ir. Djuanda Kartawidjaja, Ir. Suharto, dr. Rusmono, dan Rajab Leasa. Dari kalangan ormas yang menyerahkan arsip statis ialah Teater Keliling pimpinan Rudolf Puspa. Selain itu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga menyerahkan foto dan citraan satelit Lumpur Lapindo yang pernah digunakan sebagai rujukan ganti rugi lahan korban tedampak. Rudolf Puspa memberikan sambutan di acara penyerahan arsip Teater Keliling. (Nur Janti/Historia). Menurut Kepala Subdirektorat Akuisisi Arsip III Ormas, Perseorangan, dan Sejarah Lisan Yosephine Hutagalung, proses pengambilalihan arsip pribadi memakan waktu sekira satu tahun. Seluruh foto yang dkumpulkan kemudian diriset kembali untuk diberi konteks waktu dan peristiwa. Upaya menambah khazanah arsip perorangan juga dibarengi dengan pembuatan arsip sejarah lisan yang bisa memperkaya sumber periset biografi tokoh. Dalam pembuatan arsip sejarah lisan Ir. Djuanda Kertawidjaja, misalnya, ANRI telah mewawancara anak bungsunya, Noorwati Djuanda. Dokumen penting yang diserahkan oleh keluarga Ir. Djuanda Kartawidjaja merupakan catatan sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Solo pada 25 Februari hingga 7 Maret 1946. Sebelumnya, pihak ANRI juga meminta arsip perorangan dari Ciputra mengingat ia punya banyak karya dalam pembangunan kota Jakarta. Sayangnya, kondisi kesehatan Ciputra tidak memungkinkan. “Tadinya kami mau membuat proyek sejarah lisan ke Pak Ciputra, namun sayangnya beliau sedang dirawat di rumahsakit dan tidak bisa diwawancara,” kata Yosephine. Sementara, penyerahan arsip Ir. Suharto sudah dimulai sejak November 2018. Semula keluarga hanya menyerahkan arsip foto namun ketika Ir. Suharto meninggal pada Agustus 2019, seluruh arsip diserahkan pada ANRI. Koleksi paling menonjol ialah rancangan pesawat XT-400 sebagai pesawat perintis. Ada pula kumpulan foto dan dokumen Ir. Suharto dari 1966-2017. Mengenai arsip dr. Rusmono, isinya berupa kumpulan disposisi Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto kepada Rusmono selama menjabat sebagai dokter kepresidenan pada 1986-1995. Terdapat pula arsip foto pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) di Fakfak yang diserahkan Rajab Leasa. Penyerahan arsip Emma Poeradiredja, dilakukan selama setahun. “Pengerjaan Arsip Bu Emma sudah dilakukan sejak pertengahan 2018. Sejauh ini koleksi arsip era pergerakan nasional masih sedikit, khususnya perempuan. Maka arsip dari Bu Amara jadi penting untuk melengkapi koleksi ANRI,” kata Suryagung, arsiparis yang mengerjakan akuisisi arsip Emma Poeradiredja. Amarawati menceritakan perjuangan Emma Poeradiredja. (Fernando Randy/Historia). Dalam proses penyerahan arsip ini, Amara memberikan delapan buku, arsip foto, surat, naskah pidato, dan dokumen kegiatan Emma. Namun Amara meminta agar ANRI memberikan salinannya. “Kalau yang asli boleh diambil, tapi setidaknya saya punya salinannya. Jadi ketika ada yang bertanya tentang Bu Emma saya punya pegangan,” kata Amarawati. Arsip yang diserahkan dari keluarga Emma terhitung paling banyak lantaran Amara cukup rajin menata dan mendaftar peninggalan Emma. “Semua yang saya simpan dan koleksi itu penting. Untuk kenangan saya tentang Bu Emma, juga untuk diwariskan ke anak cucu saya. Kita nggak bisa melupakan sejarah yang begitu dekat,” kata Amara.

  • Tjokroaminoto Jadi Hanoman

    Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau HOS Tjokroaminoto merupakan tokoh yang dikenal sebagai guru bangsa. Dia menempa tokoh-tokoh seperti Sukarno, Muso, Alimin hingga Kartosoewiryo kala mondok di rumahnya, di Surabaya. Selain sebagai guru politik yang jago berpidato, Tjokroaminoto ternyata juga seorang seniman. Bakat seni Tjokroaminoto terasah ketika dia bersekolah di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren  (OSVIA) Magelang. Selain mendapat pendidikan sebagai calon pegawai pemerintahan, Tjokroaminoto juga dilatih berbagai kesenian Jawa. Pelajaran khusus bagi para pelajar Jawa di OSVIA meliputi sastra, karawitan hingga tari-tarian Jawa. "Adalah suatu aib bagi seorang priyayi lulusan OSVIA, bila tidak mahir menari Jawa, yang disebut beksa. Dan Oemar Said Tjokroaminoto memang mahir sekali dalam hal tari-tarian ini," sebut Subagiyo Ilham Notodijoyo dalam Harsono Tjokroaminoto: Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah. Pada 1902, Tjokroaminoto lulus dari OSVIA. Dia kemudian menjadi pegawai pamongpraja sebagai juru tulis patih di Ngawi, Jawa Timur. "Akan tetapi seperti halnya dengan Tirto Adhi Soerjo , ia tidak menyukai pekerjaan tersebut, sehingga ia keluar dari dinas pamongpraja pada tahun 1905, kemudian menggabungkan diri pada suatu pertunjukan wayang orang," tulis Hartono Kasmadi dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Tengah. Pada 1907, Tjokroaminoto pindah ke Surabaya dan bekerja di firma Kooy & Co. Kegemaran berkesenian Jawa, terutama pada pertunjukan wayang orang, terus ia bawa. Ia seringkali membawa anak dan para pelajar yang mondok di rumahnya untuk berlatih wayang orang. "Kalau saya tidak salah ingat, ketika saya masih berusia sekitar 5-6 tahun, di Surabaya, ayah bersama-sama para pelajar yang mondok di rumah, secara teratur entah seminggu sekali atau seminggu dua kali, mengadakan latihan tari-tarian wayang bertempat di Taman Seni Panti Harsoyo, sekarang barangkali taman ini telah berubah menjadi hotel," ungkap Harsono Tjokroaminoto dalam Menelusuri Jejak Ayahku . Ketika bermain dalam pertunjukan wayang orang, Tjokroaminoto sering memerankan tokoh Hanoman. Sosok kera putih sakti itu adalah tokoh wayang idolanya. "Jika ikut dalam suatu pertunjukan wayang orang, maka kesukaan almarhum dulu ialah menjadi Hanoman. Dalam memilih peranan itu kiranya beliau ingin memuntahkan isi jiwanya dalam menghadapi perjuangan bangsanya,” tulis Amelz dalam H.O.S Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangannya . Dalam kisah Ramayana, Hanoman bersama pasukan wanara diceritakan berhasil mengalahkan banyak tentara Dasamuka dalam satu peperangan. Dasamuka sendiri merupakan tokoh yang oleh TJokroaminoto dianalogikan sebagai penjajah. "Jadi rupanya yang menjadi latar belakang ayah menggemari peran sebagai Hanoman tidak lain adalah karena Hanoman itu, bagi beliau, merupakan simbol di dalam perjuangannya membela bangsa Indonesia dari penindasan penjajah Belanda," kata Harsono. Selain itu, Tjokroaminoto mengibaratkan Dasamuka sebagai kapitalis yang harus dihancurkan. Maka pertarungan Hanoman dan Dasamuka relevan dengan semangat perjuangannya. "Bagi ayah, pertarungan ini merupakan perlambang dari perjuangan beliau dalam usaha rakyat Indonesia menghancurkan penjajah yang angkara murka, yang bersifat kapitalistik dan imperialistis itu," terang Harsono. Selain pandai bermain dalam pertunjukan wayang orang sebagai Hanoman, Tjokroaminoto juga jago menyanyikan tembang-tembang Jawa serta membuat sajak dan pantun Jawa. Keluarganya pun juga dekat dengan kesenian meskipun mereka berbeda selera. Istrinya, Soeharsikin, lebih memilih piano daripada gamelan. Sedangkan anak-anak Tjokroaminoto seperti Oetari, Anwar Tjokroaminoto, dan Harsono Tjokroaminoto juga pandai bermain alat musik dan menyanyi.

  • Jalan Berliku Judoka Krisna Bayu

    TIGA poster olimpiade itu rapi memenuhi salah satu sudut sebuah kantor. Masing-masing poster Olimpiade Atlanta 1996, Olimpiade Sydney 2000, dan Olimpiade Athena 2004. Poster-poster itu “berbicara” banyak tentang sepakterjang legenda hidup judo Indonesia Krisna Bayu. Kendati sejak 2017 Krisna mengomandoi Pengurus Pusat Persatuan SAMBO Indonesia (PP Persambi), ia tetap tak ingin melupakan dari mana ia berasal (baca: judo). Dari judolah namanya berkibar sebagai satu-satunya judoka Indonesia yang mampu berlaga di tiga pesta olahraga terbesar dunia. “Saya kan memang selalu orang judo. Tapi kalau mau masuk (kepengurusan) judo atau tidak, itu masalah kesempatan datang atau enggak kepada saya secara organisasi. Selama ini enggak ada yang kasih kesempatan saya untuk membangun, ya enggak apa-apa,” ujar Krisna saat berbincang dengan Historia  di kantornya. Tanpa mengecilkan prestasi para seniornya seperti Ceto Kosadek, mendiang Untung Putro Setiono atau Pujiawati, kiprah Krisna sejak 1980-an belum ada yang menyamai, apalagi melampaui. Selain satu-satunya judoka Indonesia yang mampu berlaga di tiga olimpiade, prestasi Krisna antara lain peraih medali emas SEA Games 1997, 2001, 2003, 2009; perunggu SEA Games 2011; perunggu Kejuaraan Asia 2004; serta emas Asian Indoor and Martial Arts Games (AIMAG) Bangkok 2009. Mayoritas capaiannya itu diraih di kelas 90kg atau 100kg. Jelas, di balik prestasi itu ada perjuangan berat dan panjang Krisna sejak merintis kiprahnya. Judo tak asing di telinga Krisna. Segala hal tentangnya sudah begitu familiar pada Krisna sejak kecil. Maklum, pria kelahiran 24 Desember 1974 itu berasal dari keluarga yang mayoritas berkecimpung dalam olahraga. “Ayah saya, Amin Pambudi, pelatih judo. Sekarang usia 75 tahun masih aktif melatih di klub. Pernah jadi pelatih kontingen Jawa Tengah di PON (Pekan Olahraga Nasional). Hampir semua di judo. Yang di sepakbola itu cuma satu kakak saya, Gatot (Prasetyo), kiper Persib Bandung. Kakak saya yang lain, Andi Nugroho, ikut melatih di SAMBO. Adik perempuan saya, Lita, juga jadi pelatih judo dan satu lagi adik laki-laki saya melatih tim Kurash di SEA Games kemarin,” terangnya. Krisna Bayu (kanan) saat masih berlaga mewakili Indonesia di SEA Games 2011 (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Saat berumur sembilan tahun (1983), Krisna dikenalkan judo oleh ayahnya dengan lebih serius meski dikelilingi keterbatasan. Saat itu pula Krisna memilih judo untuk masa depannya yang tak pernah ia sesali. “Di kehidupan kecil saya itu banyak problem perekonomian keluarga. Jadi sejak kecil saya diajarkan ayah, bahwa kalau sudah pilih sesuatu, jangan mundur dan terima konsekuensinya. Dari tahun 1983 itu bertahap dari kejuaraan antarklub, antar-pelajar, antar-kabupaten/kota, antarprovinsi, lalu ke ajang-ajang junior daerah, junior nasional, sampai masuk pelatnas judo tahun 1989,” kenangnya. Nama Krisna mulai dikenal luas saat PON 1993 di Jakarta. “Gue itu dikenalnya 1993, saat gue ngebanting monster-monster (judoka kelas berat, red. ). Di PON 1993 itu gue ngebanting Ceto Kosadek yang beratnya 150-an (150kg), sementara gue saat itu beratnya 79kg di kelas bebas. Banyak senior yang kena bantai waktu itu,” sambungnya. Melawan Penyakit Ayan Sepanjang hidupnya, Krisna tak melulu bertarung melawan judoka dalam maupun luar negeri. Ia juga mesti bertarung melawan penyakitnya sendiri, epilepsi. Penyakit yang populer disebut ayan itu sudah dideritanya sejak usia sembilan tahun. “Sangat tinggi pengaruhnya (epilepsi) dalam perjalanan saya. Frekuensi latihan saya begitu beratnya di pelatnas, itu sembilan jam sehari. Ya everytime (setiap waktu) pasti kolaps. Di- bully juga sering dengar kata-kata ‘Ya Bayu kan juara judo tapi penyakitnya ayan.’ Buat saya ya biarin aja lah,” kata Krisna lagi. Perjuangan berat Krisna itu masih diingat betul oleh Wasekjen Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PJSI) periode 1997-2014 Aji Kusmantri. Menurutnya, Krisna berjuang melawan penyakit ayannya tanpa mau ketergantungan pada obat-obatan, di sela-sela kerasnya latihan di pelatnas. “Krisna sejak awal junior dia memang punya bakat alam. Namun yang jelas anak itu dulu punya penyakit epilepsi. Setiap pertandingan ke luar negeri, kita harus urus surat anti-doping, karena zat obatnya ada yang mirip dengan doping. Tapi memang dia tidak mau tergantung dengan obat. Sampai akhirnya dia bisa lepas sendiri (sembuh, red. ),” kata Aji kepada Historia via telepon . Kini, Krisna mengaku sudah sembuh dari epilepsi sejak 10 tahun lalu. Cemoohan orang terhadapnya perlahan berganti sanjungan berkat sejumlah prestasinya membanggakan negeri. “Dulu jangankan dari pihak luar, dari pengurus dan pelatih saja ada yang melecehkan saya. Tapi apa harus kita balas? Kan tidak. Saya enggak pernah merasa down atau putus asa. Ayah saya pun menasihati, lebih baik membalas dengan bukti prestasi. Dari pengalaman saya, artinya Anda tidak boleh dikontrol oleh kekurangan itu. Justru Anda yang harus mengontrol kekurangan itu menjadi kelebihan kita,” ujar Krisna lagi. Rela Mati di Arena Dari pengalamannya sepanjang karier sejak 1983 hingga pensiun pada PON 2012 di Riau, tiada yang paling dibanggakannya selain bisa membela Indonesia di tiga olimpiade (Atlanta 1996, Sydney 2000, Athena 2004). Krisna lebih menghargai itu ketimbang koleksi emas di SEA Games. Kendati gagal membawa pulang medali, Krisna bersyukur layak disebut “Olympian” lantaran tak sembarangan judoka bisa tampil di ajang sebesar itu. Yang takkan pernah dilupakannya, yakni di Olimpiade Sydney 2000. Bersama judoka putri kelas 70kg Aprilia Marzuki, Krisna mewakili Indonesia karena peringkat dunianya berhasil menembus olimpiade. Di babak pertama, Krisna langsung menghadapi judoka Brasil Carlos Honorato di kelas 90kg putra. Walaupun kalah dari Honorato, Krisna masih bisa ikut babak repechage lantaran sempat dapat poin. “Main pertama ketemu Honorato, saya dibanting. Kepala saya nyungsep, posisi di bawah. Leher saya di sini dan di sini retak,” kata Krisna sambil menunjuk dua sisi samping lehernya. Krisna Bayu dengan tiga koleksi poster yang dibanggakannya: Olimpiade Atlanta 1996, Olimpiade Sydney 2000 & Olimpiade Athena 2004 (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Meski cedera parah yang bisa berakibat kematian, Krisna tak ingin berakhir seperti di Olimpiade 1996 Atlanta. Kala itu, Krisna sebagai satu-satunya judoka yang mewakili Indonesia, gugur saat baru sekali tampil di 32 besar kelas 86kg putra. Dia dikalahkan judoka Spanyol León Villar. “Jauh-jauh dari Indonesia ke Amerika, sekali main kalah. Aduh, rasanya malu minta ampun. Berikutnya (Sydney 2000) saya lebih baik mati dikarungin kantung mayat daripada kalah memalukan. Apapun risikonya. Saat dibanting Honorato, saya berusaha agar enggak langsung ippon (poin sempurna). Jadinya kepala saya duluan yang kena matras. Berat saya dan dia (bedanya, red .) hampir 100, massa bantingan 400 yang menerima leher saya. Coba bayangin,” tambah Krisna. Selepas dibanting Honorato, Krisna masih sanggup berdiri walau mulai berkunang-kunang. Akhirnya Krisna kalah poin, 0001 berbanding 1020 milik Honorato. “Setelah keluar arena, dia sempat jatuh di kamar mandi karena nahan sakitnya itu. Tapi masih mau bertanding. Itu yang saya salut. Dulu dia satu-satunya atlet Asia Tenggara yang sulit dikalahkan memang,” kata Aji lagi. Raihan poin membuat Krisna berhak ikut babak repechage. Namun cedera membuatnya harus terima kekalahan poin (0100) dari judoka Spanyol Fernando González (1001). “Setelah kalah, pas masuk kamar mandi, saya jatuh. Sudah enggak sadar. Tahu-tahu saya di rumahsakit. Pas bangun, kondisi leher sudah digips. Pas lihat manajer saya tanya, ‘Oom, masih ada kesempatan main lagi enggak?’ Kata dia, ‘sudah, santai aja. Sudah enggak ada. kamu tenang aja.’ Kalau di situ leher saya patah, wah saya malah bangga. Saya hanya malu kalau sekali main langsung gugur. Buat saya kehormatan bangsa di atas segalanya walau nyawa harus saya berikan,” kata Krisna. Menakhodai SAMBO Indonesia Setelah pensiun pada 2012, Krisna lebih banyak berkecimpung di dunia bisnis. Baru pada 2017 ia comeback ke dunia olahraga dengan menjadi ketua umum PP Persambi, bukan di kepengurusan judo alias PJSI yang sudah membesarkan namanya. “Ya enggak sempat di kepengurusan PJSI karena belum dikasih kesempatan saja. Hak ketumnya mau melibatkan saya atau tidak. Bukan berarti saya meninggalkan judo. Judo is my life. Judo itu artinya membangun watak manusia. Kalau enggak dibutuhkan ya enggak apa-apa, harus sabar dan tetap berdedikasi walau di luar organisasi. Ya makna filosofi judo itu yang saya aplikasikan, tapi orang judo malah memusuhi saya. Kan aneh,” tuturnya. Semenjak menakhodai SAMBO Indonesia, bersamaan dengan mulai dipertandingkannya SAMBO di Asian Games, Krisna menggulirkan sejumlah program. Antara lain, menerapkan sport science dan sport intelligence . “Karena kan kalau mau pasang target untuk menang, butuh basis data yang bisa menjelaskan secara rinci. Kita punya database person-to-person semua atlet kita. Kita juga kerahkan wasit-wasit kita sebagai sportintelligence agar bisa melihat dan membaca kekuatan negara-negara lain,” sambungnya. Hasil dari kebijakannya pun terlihat di SEA Games Filipina 2019. Target satu emas yang dipasang Krisna tak dinyana dilampaui tim SAMBO Indonesia dengan membawa pulang empat emas, satu perak, dan dua perunggu. Sejak 2017 Krisna Bayu didapuk sebagai Ketum PP Persambi (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Selain dua hal teknis di atas, menurut Krisna, faktor penting lain yang membuat tercapainya prestasi adalah dia terjun langsung melecut spirit para atletnya sepanjang lima bulan persiapan di Ciloto dan di sejumlah turnamen ajang ujicoba. “Cara bertarung anak-anak saya (atlet-atlet SAMBO Indonesia) dan semangatnya harus sama dengan saya. Saya bilang kalau hanya perunggu, kamu pasti dapat. Tapi pimpinan kamu ini seorang legenda. Saya enggak mau membina anak-anak pecundang,” ujarnya mengulangi seruannya pada para anak-didik. Krisna ingin para anak-didiknya mendapatkan latihan sekeras ketika ia dididik menjadi atlet. Ia tak segan memberi peringatan keras bila ada atlet yang performanya tak memuaskan. Bahkan, Krisna tak segan “main tangan”. “Begitu ada yang latihan ‘mencla-mencle’, saya pepetin leher dia ke tembok. ‘Kamu ngerti enggak ini duit siapa? Ini kamu makan duit negara! Cara latihan kamu kayak orang kampung. Kayak gini cara kamu bertanggungjawab? Anda mau ngikutin aturan saya atau enggak? Kalau enggak, silakan keluar!’,” ujarnya sambil memperagakan aksi gebrak meja. Meski Persambi hanya mendapat anggaran Rp1,6 miliar dan Krisna menomboki Rp200 juta, Krisna hanya ingin para atletnya bisa membayar biaya itu dengan prestasi. “Tapi setelah selesai latihan mereka harus kita rangkul. Harus kita rebut hatinya. Saya kasih motivasi bahwa kalau mau sejajar dengan saya, mereka harus berani dapat emas. Yang dapat perunggu kemarin aja menangis, minta maaf gagal dapat emas. Kalau saja kita dapat anggaran lebih dari Rp1,6 M itu, saya berani targetkan sikat tujuh emas,” tandasnya.

  • Historia Raih LINE Indonesia Awards

    MEDIA berbasis sejarah, Historia.id, mendulang penghargaan LINE Indonesia Awards pada malam penganugerahan, Selasa (17/12/2019). Bersama Kompas TV , Historia.id memperoleh award itu sebagai Most Innovative Partner (Mitra Paling Inovatif) di platform pesan instan cum penyedia ragam informasi daring terhangat asal Jepang itu. Historia . id dan KompasTV mengalahkan I DN Times, Opini.id, Tirto.id, dan Billboard Indonesia yang juga masuk nominasi kategori yang sama. Ini jadi kali pertama LINE menggelar ajang apresiasi yang tidak hanya untuk media, namun juga sejumlah publik figur. Para pemenangnya ditentukan melalui voting pengguna LINE. Para pemenang di kategori lain, yakni Reza Rahadian (Most Favorite Actor), Tara Basro (Most Favorite Actress), Tulus (Most Favorite Male Musician), Agnez Mo alias Agnes Monica (Most Favorite Female Musician), HiVi (Most Favorite Music Group), Pretty Boys (Most Favorite Movie), dan Enzy Storia (Most Favorite Influencer). Historia sendiri lahir pada 2010 dalam format daring sebagai media sejarah populer pertama di Indonesia. Dua tahun berselang, Historia mengeluarkan format cetak dalam bentuk majalah. Sesuai dengan misinya, konten-konten yang dihadirkan Historia berupa ragam informasi sejarah yang edukatif, aktual dan relevan dengan era kekinian baik lewat tulisan, infografis, maupun video. “ Historia telah berhasil menyediakan konten unik dan edukatif untuk para generasi muda. Juga mengakrabkan pembaca dengan kejadian penting di masa lampau dan membungkusnya dengan visual masa kini, sehingga menarik untuk disimak,” ujar Content BizDev Lead LINE Indonesia Febriamy Hutapea. Anugerah mitra paling inovatif dalam LINE Indonesia Awards 2019 yang diterima perwakilan Historia, Yusti Maredzki (Foto: Yusti Maredzki/HISTORIA) Hal itu senada dengan misi yang diusung Bonnie Triyana, pemred Historia , ketika mendirikan Historia . Historia berupaya mendobrak penulisan sejarah yang identik dengan hal kuno, tua, berat, dan ketinggalan zaman dengan cara menyajikan tulisan yang ringan dan menarik tanpa harus kehilangan esensi utamanya. “Harapannya, anak muda akan senang menikmati konten dari kami karena selain terhibur, juga bisa menemukan informasi masa lalu yang turut membentuk pengalaman hidup mereka di masa kini,” cetus Bonnie. Selain menyajikan konten-konten sejarah secara populer, Historia kerap menggelar  pameran yang bukan hanya informatif namun juga inovatif. Salah satu suguhan inovatif yang menurut LINE direken sangat informatif adalah pameran Asal Usul Orang Indonesia , yang dihelat Historia bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI belum lama ini. Proyek pertama di Indonesia yang menggunakan tes DNA itu dilakukan bekerjasama dengan Lembaga Molekuler Eijkman. Tujuannya, untuk menyingkap secara ilmiah penelusuran nenek moyang orang Indonesia demi memberi pencerahan asal-usul, relasi dengan pihak luar, dan persilangan budaya yang membentuk manusia Indonesia. Tes DNA dilakukan dengan mengambil 16 relawan mulai dari masyarakat biasa hingga figur publik. Di antaranya, Najwa Shihab, Ariel ‘Noah’ , Grace Natalie , Riri Riza , Mira Lesmana , dan Ayu Utami . “Historia mengemas pemberitaan DNA/genetika yang sempat viral beberapa waktu lalu. Metode yang digunakan memberikan pesan unik, membuka wawasan pembaca, dan terpenting membuat bahasan tersebut relevan dengan pembaca LINE TODAY. Secara tak langsung Historia memberi edukasi positif pada generasi muda, untuk sadar akan pentingnya sejarah dan mengenal Indonesia lebih dalam lagi,” sambung Febri. Proyek itu viral lantaran hasilnya dipaparkan melalui pameran yang dibuka pada 15 Oktober 2019 di Museum Nasional, Jakarta. Hasil tes DNA itu menunjukkan bahwa tidak ada yang disebut DNA asli pribumi Indonesia, lantaran manusia Indonesia eksis dari percampuran beragam manusia berbeda latar belakang yang datang dalam gelombang-gelombang migrasi yang awalnya berangkat dari Benua Afrika. Dengan kata lain, manusia Indonesia adalah pendatang. Oleh karena itu konsep pribumi-non pribumi tak relevan sama sekali. “Kami bungah juga, bersyukur ikhtiar kecil ini mendapatkan apresiasi. Semua kami anggap sebagai dorongan semangat untuk terus berkarya, membawa pesan dari masa lalu untuk masa depan Indonesia yang lebih baik karena historia magistra vitae , sejarah adalah guru kehidupan,” tandas Bonnie.

  • Sejarah Klub Malam di Indonesia

    PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta memberikan penghargaan kepada diskotek Colosseum pada malam Anugerah Adikarya Wisata 2019 di Jakarta, 6 Desember 2019. Pemberian penghargaan itu diwakilkan oleh deputi gubernur DKI Jakata. Adikarya Wisata adalah penghargaan dari pemerintah DKI Jakarta untuk penggiat pariwisata di Jakarta.

  • Mencari Bukti Awal Islamisasi di Nusantara

    Sejauh ini yang dianggap bukti tertua Islamisasi terdapat di Pulau Jawa, yaitu nisan Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, dari tahun 475 H (1082 M). Namun, peneliti dari Prancis, Ludvik Kalus dan Claude Guillot, menyebut nisan itu digunakan sebagai jangkar kapal. "Anda tak bisa pakai ini sebagai bukti masuknya Islam di Jawa. Nisan ini dipakai sebagai  anchor  (jangkar,  red . ). Ini hipotesis, intinya ini tak ada hubungannya dengan sejarah Islamisasi Indonesia," kata Daniel Perret, arkeolog dari École française d’Extrême-Orient (EFEO), seusai diskusi di Institut Français d’Indonésie (IFI), Jakarta, awal November 2019 . Demikian pula tak ada bukti arkeologis yang mendukung pendapat Islam telah masuk di Barus, Sumatra Utara, sejak abad ke-7. Dari hasil penggalian di Situs Lobu Tua, wilayah itu baru digunakan pada pertengahan abad ke-9 hingga akhir abad ke-11. "Kami yakin muslim sudah ada di sana. Pedagang muslim ada di sana. Tapi tak ada bukti sudah ada Islamisasi," kata Perret. Lobu Tua merupakan tempat perdagangan yang dibuka oleh para pedagang dari India Selatan atau Sri Lanka. Mereka kemudian diikuti para pedagang dari Timur Tengah. Karenanya lokasi itu menjadi tempat persinggahan dalam jaringan perdagangan yang menghubungkan Timur Tengah, India, Sri Lanka, dan Nusantara. Di sana juga tak ada bukti okupasi yang permanen. Situs itu dulunya hanya dipakai para pedagang untuk transit. Misalnya, pedagang dari India membawa tekstil, sampai di Barus ditukar dengan kamper dan emas, lalu dibawa ke Jawa untuk ditukar lagi dengan rempah-rempah, dan kemudian dibawa ke India. Berbeda dengan situs di Bukit Hasang, Barus. Di kawasan itu banyak ditemukan nisan kuno. Artinya, di tempat itu dulunya dipakai untuk tinggal dan menetap. "Lobu Tua mungkin  trading port  tapi tidak ditinggali permanen. Sementara Bukit Hasang lebih stabil," kata Perret.   Kedati begitu, Bukit Hasang baru mulai digunakan pada abad ke-12 hingga abad ke-16. "Ada evolusi situs, pada abad ke-12 baru ditemukan, luasnya masih 3 ha, kemudian pada awal abad ke-16 menjadi 60 ha," kata Perret. Di Bukit Hasang di antaranya ada 300 nisan dari abad ke-14 hingga awal abad ke-20. Di nisan itu tertera tulisan Arab dan Persia dengan Bahasa Melayu. Salah satunya, kata Perret, adalah seseorang yang mungkin bernama Tionghoa, Suy, dari tahun 1370. Tulisan itu kira-kira berbunyi: "Meninggalnya perempuan mulia (ibuku?), Suy, pada 20 Safar. Tuhan memberkahi akhirnya dengan kemenangan dan kemakmuran pada tahun 772/September." "Mungkin dia seseorang dari komunitas Tionghoa muslim di Bengal," kata Perret. Perret mengatakan memang ada catatan pada masa Sriwijaya bahwa abad ke-7 telah ada orang-orang Islam. Namun, tak disertai bukti prasasti maupun arkeologis. "Kami tak mendapatkan  political inscription  (prasasti politik,  red . ) seperti di Pasai. Karenanya, proses Islamisasi hampir impossible dibuktikan lewat ekskavasi," kata Perret. Azyumardi Azra, guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga mengatakan klaim Islamisasi telah terjadi sejak abad ke-7 di Barus tak berbukti. Dia memang tak ragu kalau orang Islam sudah datang sejak abad pertama Hijriah. Namun tak jelas, apakah mereka hanya datang atau mengislamkan penduduk lokal. "Kalau saya, ya, mulai akhir abad ke-12 M (proses Islamisasi berlangsung, red. )," kata Azra. Menurut Azra, bukti yang tak diragukan adalah munculnya Kesultanan Samudra Pasai. Keberadaannya muncul dalam catatan penjelajah asal Maroko, Ibnu Battutah yang melawat ke Nusantara pada 1345. Dia sempat singgah di Samudra Pasai selama 15 hari. Waktu itu, sultan yang berkuasa adalah Malik al-Zahir II (133?-1349). "Tidak diragukan pelawat muslim di Nusantara, Ibnu Battutah sampai ke Samudra Pasai. Ini bukti kuat wilayah terawal Islamisasi di Nusantara," ujar Azra. Meski begitu, pada masa Samudra Pasai pun mayoritas rakyatnya belum memeluk Islam. Proses Islamisasi saat itu masih berlangsung. "Sultan sering berperang menghadapi mereka (orang-orang yang belum menerima Islam,  red . )," tulis Ibnu Battutah dalam catatannya.

  • Sirnanya Kerajaan Pajajaran

    MEMASUKI abad ke-15, hampir tidak ada kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara yang mampu menahan gempuran pengaruh Islam di wilayahnya. Bukan hanya di Jawa, fenomena peralihan kuasa agama itu juga terjadi di pulau-pulau lain. Tidak ada yang mampu menghentikannya. Dan keadaan itu akhirnya sampai juga mengancam tanah Pasundan pada abad ke-16. Di Tatar Sunda sendiri usaha menghalau pengaruh Islam di tengah masyarakat sebenarnya telah dimulai sejak pertama kali agama itu masuk. Tercatat sejak era kekuasaan Galuh, para penguasa terus mengupayakan agar pengaruh Hindu-Buddha tetap menjadi yang utama di Jawa Barat. Bahkan ketika salah seorang pangeran Galuh yakni Haji Purwa, menjadi tokoh Muslim penting di tanah Sunda, kerajaan dengan cepat bertindak. Ia selamanya diasingkan dari negerinya sendiri oleh sang ayah. Namun pertumbuhan Islam yang begitu cepat, ditambah semakin melemahnya kekuatan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara membuat usaha raja-raja di tanah Sunda pada akhirnya tidak membuahkan hasil. Kekuasaan Hindu-Buddha semakin terdesak. Puncaknya, raja Sunda memindahkan pusat pemerintahannya dari Kawali (Ciamis) ke Pakuan (sekarang Bogor). Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran pun menjadi benteng terakhir dan salah satu harapan untuk tetap menghidupkan ajaran Hindu-Buddha di Nusantara. "Alasan pemindahan pusat kekuasaan dari Galuh Pakuan (Kawali) ke Pakuan Pajajaran (kompleks kraton Panca Prasadha) oleh Prabu Jayadewata adalah kondisi geopolitik pada saat tersebut, karena posisi Kawali dirasakan sangat dekat dengan Cirebon yang pada saat tersebut merupakan pusat penyebaran Islam di Tatar Sunda bagian timur," kata sejarawan Sunda Budiansyah kepada Historia . Selain untuk menjauhkan diri dari pengaruh Islam di Cirebon, kata Budiansyah, pemindahan pemerintahan itu juga dilakukan agar akses menuju pelabuhan utama (Sunda Kelapa) lebih mudah. Hal itu terkait dengan pertumbuhan ekonomi kerajaan yang terus meningkat seiring dengan besarnya koneksi perdagangan Sunda dengan dunia internasional. Menahan Pengaruh Islam Menurut Naskah Carita Parahyangan , dalam Tjarita Parahiyangan: Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ke-16 karya Atja, Prabu Jayadewata (1482-1521) membangun sebuah kraton di Pakuan Pajajaran, yang diberi nama sri bima unta rayana madura suradipati . Raja yang memerintah kurang lebih 39 tahun itu dapat menekan (sementara) pengaruh Islam di wilayahnya. "Sang Jayadewata menjalankan pemerintahannya berdasarkan kitab-kitab hukum yang berlaku, sehingga pemerintahannya berjalan dengan aman dan tentram. Pada masa itu tidak terjadi perang. Jika pun terjadi rasa tidak aman, maka hal itu cumalah terjadi pada mereka yang berani melanggar Sanghyang Siksa saja," tulis Nugroho Notosusanto, dkk. dalam Sejarah Nasional Indonesia II . Meski begitu, pengaruh Islam bukannya tidak ada sama sekali di Pakuan Pajajaran. Pada masa damai ini pun sudah ada penduduk yang memilih memeluk Islam ketimbang mengikuti ajaran Hindu dari sang raja. Diberitakan penjelajah Portugis Tome Pires, dalam Suma Oriental , komunitas Muslim di wilayah Pajajaran banyak ditemukan di Cimanuk, kota pelabuhan yang menjadi batas kerajaan Sunda di sebelah timur. Keberadaan komunitas Muslim itu sebenarnya cukup mengganggu pemerintahan Sunda yang bertekad mempertahankan kehinduannya. Namun Jayadewata memilih untuk tidak mengusiknya. Ia berusaha menghalau pengaruhnya dengan memperkuat ajaran agama Hindu di pusat. Sehingga kendati telah masuk Pajajaran, Islam tidak berkembang di pusat pemerintahan. Di samping itu, Jayadewata juga menjalin persekutuan dengan orang-orang Portugis yang kala itu telah menguasai Malaka. Salah satu usaha Jayadewata menggiatkan pengajaran agama Hindu di wilayah kekuasaannya adalah dengan menulis Sanghyang Siksa kandang Karesian . Naskah yang ditulis tahun 1518 itu merupakan pedoman hidup yang dianut oleh penduduk Sunda. Penafsirannya dilakukan berdasarkan ajaran-ajaran di dalam Hindu-Buddha dan aturan hidup yang diturunkan secara turun-temurun. Mengalami Kehancuran Pada 1522, di bawah pimpinan Surawisesa (1521-1535), Pajajaran menandatangani sebuah perjanjian dengan Portugis. Dalam perjanjian tersebut, Sunda meminta bantuan secara militer kepada Portugis jika sewaktu-waktu orang-orang Islam menyerang ke wilayahnya. Sebagai balasannya, Portugis diperbolehkan membangun benteng di sekitar bandar Banten dan menerima kiriman lada sebanyak 350 kwintal setiap tahunnya. Peneliti J.C. Hageman dalam "Geschiedenis de Soenda-landen" dimuat Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi, menyebutkan orang-orang yang terlibat dalam perjanjian itu. Dari pihak Sunda yang menandatangani perjanjian tersebut ialah Raja Sanghyang (Surawisesa) sendiri, dengan tiga orang pembantu utamanya masing-masing Mantri Dalem, Tumenggung Adipati, dan Syahbandar. Sedangkan dari pihak Portugis wakil-wakilnya ialah Fernando de Almeida, Francisco Anes, Manuel Mendes, Joao Countinho, Gil Barboza, Francisco Diaz, dan lain-lain. Namun meski keduanya telah menyutujui perjanjian itu, pembangunan loji dan benteng tidak benar-benar bisa dilakukan oleh Portugis. Pada 1527 Sunda Kelapa telah dikuasai oleh pasukan Islam Demak pimpinan Faletehan (Fatahillah). Bangsa Portugis tidak bisa menembus pertahanan Islam yang telah rapat di sana. Berbagai usaha perebutan paksa pelabuhan pun tidak pernah membuahkan hasil. Keadaan gawat juga mulai dirasakan Pajajaran. Sembari mengharapkan bantuan Portugis yang tidak pernah tiba, Surawisesa mencoba melawan sekuat tenaga desakan pasukan Islam. Tidak hanya dari Barat, Islam juga telah merangsak masuk dari arah Timur. Tercatat raja Sunda itu telah terlibat dalam 15 kali peperangan, dan tidak sekalipun mengalami kekalahan yang mengancam kerajaannya. "Ini dapat ditafsirkan bahwa sampai pada masa pemerintahannya, walaupun ancaman pihak Islam sudah sering terbukti, tetapi pihak Sunda masih dapat bertahan dan mengalahkan tentara Islam itu," tulis Notosusanto. Kemunduran kekuatan Sunda mulai terasa ketika Prabu Ratudewata (1535-1643) menduduki takhta. Keadaan berperang terus menghantui Sunda. Kekuatan Islam yang semakin besar tidak dapat diimbangi oleh pasukan Pajajaran yang mulai melemah. Pada masa ini, serbuan pasukan Islam telah berhasil menjatuhkan berbagai daerah milik kerajaan Sunda, termasuk Sumedang dan Ciranjang. Banyak pemimpin daerah vasal yang gugur. Ibu kota di Pakuan pun tidak luput dari kehancuran. Akibat dari jatuhnya Pakuan, raja terpaksa meninggalkan istananya. Ia dan beberapa pejabat melarikan diri ke wilayah yang masih aman. Pada masa pemerintahan raja yang terakhir, Raga Mulya (Prabu Surya Kencana), kerajaan Sunda sudah tidak dapat lagi mempertahankan kedudukannya. Pasukan Islam telah mendominasi jalannya pertempuran. Sunda sudah tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan. Ditambah perubahan kepercayaan di masyarat terhadap penguasa Sunda juga turut mempengaruhi kejatuhan penguasa barat Jawa tersebut. "Dan bersamaan dengan itu (jatuhnya berbagai wilayah kekuasaan), tamat pulalah riwayat kerajaan Sunda sebagai salah satu benteng terakhir budaya Hindu-Budha di Indonesia. Kira-kira pada 1579 Masehi."

  • Makanan Hatta dan Sjahrir di Pengasingan

    Setelah setahun di Boven Digul, Papua, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir dipindahkan ke tempat pengasingan baru: Banda Neira di Maluku. Mereka tiba di Banda Neira pada Februari 1936. Sebelumnya, di Banda Neira ada dua keluarga yang dibuang, yaitu Tjipto Mangoenkoesoemo dan Iwa Koesoema Soemantri. Dua keluarga lagi karena penugasan. Suroyo bekerja sebagai dokter pemerintah, sedangkan Mulyadi menjadi kepala Schakelschool (sekolah sambungan antara sekolah dasar dengan sekolah menengah pertama). Mulyadi dan Suroyo kemudian dipindahkan ke Jawa. Iwa dipindahkan ke Makassar pada 1939. Karena penyakit asma, Tjipto dipindahkan ke Makassar pada 1940, kemudian dibebaskan di Sukabumi. Hatta dan Sjahrir mendapatkan tunjangan masing-masing f.75 setiap bulan. Awalnya, mereka menyewa rumah milik Tuan De Vries. Mereka mempekerjakan Halimah untuk memasak dan Chaidir, biasa dipanggil Akhir, sebagai pelayan. "Setelah beberapa hari kami di Neira, tampak olehku Sjahrir dihinggapi oleh psikologi kesunyian. Di Digul dia biasa mengobrol dengan kawan-kawan yang banyak," kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku Jilid 2: Berjuang dan Dibuang . Kesunyian Sjahrir terobati dengan mengangkat anak-anak yang bersaudara, yaitu Des Alwi, Lili, Mimi, dan Ali. Namanya anak-anak pasti suka bermain. Pernah suatu kali menumpahkan air yang membasahi buku-buku Hatta. Tak enak sama Hatta, Sjahrir memutuskan pindah, menyewa kamar di rumah orang tua Mimi. Rumah itu peninggalan Baadillah, seorang letnan Arab yang kaya, kepada anaknya, ibu Mimi. Sejak tinggal terpisah, anak-anak angkat Sjahrir mungunjungi Hatta tiga kali seminggu untuk belajar dan setiap Sabtu untuk makan siang bersama. "Kami lebih suka makan di rumah Oom Kaca Mata karena makanannya lebih baik dan lebih bervariasi daripada di rumah Oom Rir yang bagi kami 'rumah kami sendiri'," kata Des Alwi dalam Bersama Hatta, Syahrir, dr. Tjipto & Iwa K. Soemantri di Banda Neira.  Anak-anak angkat Sjahrir memanggil Hatta dengan Oom Kaca Mata dan memanggil Sjahrir dengan Oom Rir. Des Alwi masih ingat menu makanan ketika Hatta dan Sjahrir masih tinggal serumah. Mereka biasanya sarapan dengan roti, mentega dan selai, telur mata sapi, atau nasi goreng dengan lauk sisa semalam, dan secangkir kopi. Sekitar jam sepuluh, Hatta akan memberi uang belanja kepada Halimah. "Koki baru kami, Halimah, diberinya untuk membeli ikan basah di pasar dan kusuruh Akhir membawa bon ke toko Kok Coi, memesan satu karung beras 50 kg, ikan sardin 2 kaleng, corned beef  2 kaleng, gula pasir 2 kg, merica, serta lain-lainnya seperti susu Cap Nona 1 kaleng," kata Hatta. Des Alwi mencatat menu makanan di rumah Hatta. Biasanya sayur-mayur, ikan, sambal, dan dua jenis gulai bersantan. Hanya pada hari Rabu menyantap ayam goreng dan rendang ayam. Hari Jumat ada gulai kambing karena kambing biasanya disembelih penduduk muslim Banda pada hari Jumat. Sedangkan daging sapi hanya dapat diperoleh satu kali sebulan, karena sapi baru disembelih jika para penjagal telah dapat mengumpulkan pembeli satu ekor sapi. Setelah tak lagi serumah, menurut Des Alwi, Sjahrir kurang begitu memperhatikan makanan, walaupun dia senang sekali makan ikan. "Dia amat menyukai loki , sejenis lobster atau udang pantai yang besar, yang hidup dan bersembunyi di lubang karang dan keluar jika air surut," kata Des Alwi. " Loki  yang digoreng dengan minyak panas dicampur kecap adalah makanan kesukaan Oom Rir selama masa pembuangannya di Banda." Kiri-kanan: Iwa Koesoema Soemantri, Mohammad Hatta, Tjipto Mangoenkoesoemo, Mulyadi, dua anak angkat Tjipto, dan Sutan Sjahrir. Duduk: Ny. Iwa Koesoema Soemantri dan tiga anaknya, Ny. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ny. Mulyadi dengan tiga anaknya. (Repro Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan ). Sjahrir sudah dianggap sebagai keluarga Baadilla. Nenek Des Alwi menyebutnya anak ke-15. Dia pun dilibatkan dalam berbagai persoalan keluarga. Dia ikut mengambil keputusan, tempat bertanya dan meminta nasihat. Setelah nenek Des Alwi meninggal, Sjahrir diminta tinggal di rumahnya yang disebut Rumah Besar karena paling mewah dan indah di Banda Neira. Rumah itu dibangun oleh kakek-buyut Des Alwi pada paruh pertama abad ke-19 ketika Banda Neira menjadi kepulauan terkaya di Hindia Belanda.  Hatta juga kemudian pindah ke rumah milik Nanlohi, seorang keluarga Ambon yang tinggal di Makassar. Uang sewanya lebih murah karena katanya ada setannya. "Ketika kami pindah ke Rumah Besar setelah wafatnya nenek, semua barang-barang antik kami pindahkan ke museum yang ada di paviliun sayap kanan Rumah Besar itu, lalu digantikan dengan perabot-perabot modern Oom Rir yang dibelinya dari seorang guru Belanda yang pindah ke Jawa," kata Des Alwi. Ibu Des Alwi menyiapkan makan siang di rumahnya lalu dikirim dengan rantang ke Rumah Besar. Untuk makan malam, anak-anak angkat Sjahrir menyiapkan sendiri. "Oom Rir hanya memasak bila dia menerima kiriman loki dari teman-temannya para nelayan atau bila saya berhasil memperoleh loki  di pantai ketika air sedang surut," kata Des Alwi. Hatta dan Sjahrir meninggalkan Banda Neira pada 1 Februari 1942. Sjahrir membawa tiga anak angkatnya, Lili, Mimi, dan Ali. Mereka dipindahkan ke tempat pengasingan baru di Sukabumi.

bottom of page