top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Ketika Firaun Keliling Dunia

    TAK ada firaun yang lebih terkenal ketimbang Tuthankhamun. Relik-relik dari makamnya sering keliling dunia. Membangunkan imajinasi banyak orang akan sosok firaun muda ini. Tuthankhamun memerintah Mesir selama tahun 1332-1323 SM. Ia naik takhta saat berusia 9-10 tahun, menikahi saudari tirinya (Ankhesenamun) dan punya dua anak perempuan, kemudian meninggal dunia saat berusia 18-19 tahun. Menikahi saudari perempuan adalah kebiasaan di Mesir Kuno. Ibunda Tuthankamun adalah istri dan juga saudari perempuan sang ayahandanya, firaun Amenhotep IV.  Sejak makamnya ditemukan arkeolog Inggris Howard Carter tahun 1922, Tuthankhamun melejit sebagai simbol peradaban Mesir Kuno. Relik-relik dari makamnya melanglang Eropa dan Amerika sejak awal 1960-an. Kali ini, Kementerian Purbakala Mesir kembali menggelar pameran dunia. Dimulai dari dari Los Angeles (24 Maret 2018–6 Januari 2019), Paris (23 Maret–15 September 2019, diperpanjang hingga 22 September), dan kemudian London (2 November 2019–3 Mei 2020). Pameran ini akan jadi yang terakhir digelar di luar Mesir. Pasalnya, saat ini pemerintah Mesir sedang membangun Grand Egyptian Museum (Museum Mesir Raya) di kawasan Giza. Museum Nasional di Kairo dianggap tak mampu lagi menampung barang koleksi. Rencananya, museum baru kelar tahun 2021. Selesai pameran ini, semua barang koleksi akan disimpan di museum baru untuk selamanya.  Gerbang Kematian Pameran ini menyajikan 150 relik dari makam Tuthankhamun. Jumlah ini tentu kecil. Sebab, ada sekitar 5.000 lebih relik yang ditemukan dan disusun katalognya oleh Howard Carter. Meski demikian, pameran tetap mengesankan karena 150 relik itu lumayan mewakili keberagaman relik dari makam Tuthankhamun. Pameran terdiri dari sembilan bagian: enam bagian pertama menggambarkan 12 gerbang kematian yang mesti dilalui sang firaun, dan tiga bagian terakhir mengisahkan proses penemuan makam Tuthankhamun oleh Carter. Jadi, 150 relik yang disajikan dalam pameran ini disusun berdasarkan prosesi sang firaun saat melalui 12 gerbang kematian. Gerbang kematian ini menjadi konteks fungsi simbolisasi dari keberadaan relik di dalam keseluruhan prosesi. Dengan ini, pengunjung seakan diajak-serta melalui 12 gerbang kematian sang firaun. Dari situ, pengunjung mengenali arti penting setiap gerbang dan mengerti mengapa relik itu ada di dalam makam sang firaun. Bagian pertama menggambarkan Tuthankhamun sebagai firaun muda dan kematiannya. Di sini disajikan antara lain dua set permainan senet (mirip catur ala Mesir Kuno) yang kerap dimainkan Tuthankhamun dan sang istri, kursi Tuthankhamun saat berusia 9 tahun, dan ranjang kematian yang memiliki kaki berukir cakar singa sebagai lambang penjaga sang firaun. Kursi Tuthankhamun saat naik takhta. Ukuran kursi yang kecil disesuaikan dengan tubuh sang firaun. (Jafar Suryomenggolo). Bagian kedua dan ketiga menggambarkan gerbang-gerbang kematian yang dilalui Tuthankhamun sebagai seorang penguasa tangguh. Di sini disajikan antara lain alat-alat perang yang digunakan Tuthankhamun guna memerangi roh jahat dan binatang buas di dunia kematian, kendaraan yang dipakai Tuthankhamun, dan patung-patung yang menggambarkan kekuatan Tuthankhamun. Patung Tuthankhamun memegang tombak dan berdiri di atas seekor panther. Panther melambangkan dunia kematian dan langit malam. (Jafar Suryomenggolo). Bagian keempat dan kelima menggambarkan gerbang-gerbang kematian yang dilalui Tuthankhamun sebagai seorang penguasa kaya-raya. Di sini disajikan antara lain sejumlah perhiasan yang dikenakannya sebagai simbolisasi seorang firaun dan patung-patung yang menggambarkan kelengkapan pakaian kebesarannya. Dua patung kayu: Tuthankhamun bermahkota dan berpakaian lengkap memegang alat pukul serta Tuthakhamun mengenakan wig gading dan kalung emas. (Jafar Suryomenggolo). Bagian keenam menggambarkan gerbang kematian yang membawa Tuthankhamun menuju kelahiran-kembali. Di sini disajikan antara lain sandal emas (emas sebagai lambang fisik dewa), kalung emas bermotif elang/rajawali sebagai lambang Dewa Horus, dan piala bermotif teratai sebagai lambang Dewa Heh (dewa kekekalan). Kalung emas bermotif elang/rajawali. (Jafar Suryomenggolo). Piala kekekalan bermotif teratai. (Jafar Suryomenggolo). Egiptologi Modern Tiga bagian terakhir menyodorkan kisah pencarian makam Tuthankhamun. Carter memulai penggalian awal 1914. Sempat terhenti karena Perang Dunia I (1914-1918), proses penggalian berlanjut usai perang. Lima tahun berlalu tiada hasil, Lord Carnarvon sebagai penyokong dana bermaksud menghentikan penggalian. Pada tahap inilah terdapat peran seorang bocah pembawa air, yakni Hussein Abdel-Rassoul. Secara tak sengaja, ia tersandung batu. Ternyata batu atas tangga menuju pintu makam. Inilah yang mendorong Carter melakukan penggalian lebih lanjut dan memaksa Carnarvon tetap menyokongnya. Dari kisah penemuan makam Tuthankhamun ini terlihat jelas peran dua cabang ilmu: filologi dan arkelogi, yang membentuk egiptologi modern di Barat. Meneliti Mesir Kuno bukanlah perihal kisah romantis ala Cleopatra, kisah magis ala novel Ibu Susu , atau kisah petualangan ala Indiana Jones. Sejak hieroglif Mesir Kuno dipecahkan pertama kali oleh Jean-François Champollion, sejawaran-cum-linguis asal Prancis yang dijuluki “Bapak Egiptologi”, pada awal abad ke-19, filologi punya peran besar dalam perkembangan penelitian Mesir Kuno. Foto Hussein saat bocah mengenakan satu kalung temuan dari makam Tuthankhamun, dan saat dia berusia 70 tahun sebagai penjaga makam Tuthankhamun. Usai dia meninggal dunia, posisinya sebagai penjaga makam dilanjutkan putranya. Di kemudian hari, perkembangan teknologi selama abad ke-19 memperluas peran arkeologi. Penggalian tak lagi dilakukan para petualang pemburu harta-karun seperti penjelajah-arkeolog Giovanni Belzoni yang menjual relik-relik eksotis Mesir Kuno, melainkan oleh para sarjana yang punya dedikasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan seperti Auguste Mariette, egiptologi berkebangsaan Prancis, yang menemukan patung Dewa Amun pelindung Tuthankhamun pada 1857. Menarik dicatat, penemuan patung Dewa Amun justru mendorong pencarian makam Tuthankhamun. Sebelumnya, kisah tentang Tuthankhamun dianggap ilusi belaka. Tapi lewat patung ini, ilmuwan semakin yakin keberadaan makam Tuthankhamun yang belum dijarah para pemburu harta-karun. Pula, Auguste Mariette menunjuk Gaston Maspero sebagai pengganti dirinya pada 1880 sebagai direktur jenderal arkeologi Mesir. Maspero punya peran menggagalkan penyelundupan barang-barang antik Mesir Kuno. Maspero pula yang memperkenalkan Carter kepada Lord Carnarvon sebagai penyandang dana. Di sini kita bisa lihat pentingnya keberlanjutan kerja sama dan jaringan dalam egiptologi modern di Barat. Tut-mania di Barat Pameran ini menawarkan oase bagi para penggemar Tuthankhamun di Eropa dan Amerika. Pengunjung yang membludak bukan hanya menjadi tolak ukur keberhasilan pameran, tapi juga bagaimana imajinasi masyarakat Barat akan Tuthankhamun terbentuk sejak penemuan makamnya. Inilah yang disebut “Tut-mania”. Fenomena ini disokong beragam koleksi Mesir Kuno di banyak museum di Eropa. Museum di Berlin ( Ägyptisches Museum und Papyrussammlung ), Paris ( Musée du Louvre ), dan London ( British Museum ) memiliki koleksi-koleksi penting Mesir Kuno. Koleksi di museum Paris, misalnya, tak pernah sepi pengunjung yang tertarik melihat koleksi sarkofagus para firaun dari berbagai zaman. Pameran ini memang tak mampir ke negara-negara Selatan seperti Indonesia. Ada banyak sebab yang bisa diduga mengapa tak pernah terlaksana. Kiranya perkembangan ilmu punya peran membangkitkan ketertarikan masyarakat umum akan Mesir Kuno. Apakah ada sarjana Indonesia yang mendalami egiptologi?

  • Bandung Ibukota Kerajaan Belanda?

    PINDAH ibukota lumrah dilakoni banyak negara. Amerika Serikat, Australia, Brazil dan negeri jiran Malaysia di antaranya. Indonesia bakal menyusul dalam kurun beberapa tahun ke depan, untuk kesekian kalinya. Rencana pindah ibukota sempat muncul baik pada masa Orde Lama dengan Palangka Raya-nya, Orde Baru dengan Jonggol-nya, hingga yang belakangan pemerintahan Jokowi dengan Kalimantan Timur. Namun, Indonesia bukan hanya sempat merencanakan pindah ibukota tapi sudah sempat beberapakali pindah ibukota. Bahkan, sejak masih bernama Hindia Belanda. Di masa kolonial, ibukota pernah diwacanakan “hijrah” ke Surabaya pada abad ke-19 dan dua kali rencana hengkang ke Bandung di awal abad ke-20. Adalah Hendrik Freek Tillema yang menggagasnya dengan meracik studi terkait kondisi kesehatan kota-kota di pesisir Pulau Jawa. Gagasannya itu mendapat dukungan J. Klopper, rektor Technische Hoogeschool (kini Institut Teknologi Bandung/ITB). Gagasan yang diusulkan ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda JP Graaf van Limburg Stirum pada 1916 itu nyaris terwujud. Selain para pebisnis yang mulai tertarik pindah, beberapa kantor dinas pemerintahan sudah turut dipindah dari Batavia, kecuali Onderwijs en Eredienst (Departemen Pendidikan dan Peribadatan). Pemindahan itu akhirnya gagal akibat depresi ekonomi dekade 1930-an. Namun, 22 tahun berselang, Bandung kembali diusulkan menjadi ibukota Hindia Belanda. Kali ini oleh Burgemeester (walikota) N. Beets. Menurut Haryanto Kunto dalam Balai Agung di Kota Bandung , Walikota Beets melayangkan usulan itu ke pemerintah pusat Hindia Belanda di Batavia pada 12 Januari 1938, mengingat kondisi ekonomi yang mulai pulih. Sebagai penguat usulan, ia memaparkan contoh pemerintah kolonial Inggris yang sudah memindahkan ibukotanya dari Kalkuta ke Delhi dan Australia yang memindahkan pusat pemerintahannya dari Sydney ke Canberra. Mengingat Batavia sudah mulai sumpek, Bandung dipilih sebagai pengganti karena  keindahan, kesejukan, kenyamanan, dan punya infrastruktur yang lengkap. Selain stasiun besar, Bandung sejak 1921 sudah punya Bandara Andir (kini Bandara Internasional Husein Sastranegara). “Keretaapi cepat empat kali sehari – de Vlugge Vier , hanya membutuhkan dua jam 45 menit untuk trayek 175 km (Bandung-Jakarta, red. ) dan dengan pesawat terbang hanya setengah jam saja,” sambung Haryanto. Kompleks Gedung Sate yang mulanya direncanakan jadi kantor baru gubernur jenderal Hindia Belanda (Foto: Repro "Album Bandoeng Tempo Doeloe") Keseriusan Walikota Beets dibuktikan dengan memerintahkan biro arsitektur Aalbers en de Waal untuk membuat rencana pembangunan Het Jubileumpark seluas 50 hektar sejak 1936 sebagai pengembangan kompleks Departemenplan 1919. “Dalam rancangan besar ini, di sebelah utara Departement van Gouvernementsbedrijven (BUMN-BUMN Hindia Belanda, red. ), istana baru gubernur jenderal, gedung baru Volksraad (DPR, red. ), Hoogerechtshof (Sekolah Tinggi Hukum) secara cuma-cuma dan sebagian biaya pembangunan Departemen Pendidikan dan Peribadatan sebesar 1,1 juta gulden dibayar sebagai uang muka,” lanjut Haryanto. Usulan Ibukota Belanda Pindah ke Bandung Namun, wacana pemindahan ibukota ke Bandung kedua batal akibat Perang Dunia II yang pecah sejak 1 September 1939. Dalam perang itu, negeri Belanda diduduki Jerman sejak Mei 1940. Ratu Wilhelmina sampai mengungsi ke London, Inggris. Di masa itulah muncul usulan memindahkan pemerintahan darurat dari Amsterdam ke Bandung. Gagasan itu datang dari PM Dirk Jan de Geer. Pada Juli 1940, giliran Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer yang menawarkan Ratu Wilhelmina untuk pindah dari London ke Bandung. Kota berjuluk “Parijs van Java” diprediksi bakal aman dari kancah perang, mengingat dikelilingi basis-basis militer kuat di Cimahi dan polisi di Sukabumi. “Namun ratu berpendapat lain. Dengan dalih kesehatannya yang tidak mengizinkan bertempat tinggal di daerah tropis, meski Bandung sejuk, beliau ingin tinggal dekat Belanda selama peperangan dan bekerjasama dengan Inggris merebut kembali kemerdekaan,” ungkap Haryanto. Alhasil, wacana itu tinggal wacana. Bandung yang tidak pernah jadi ibukota hanya sempat dijadikan basis utama ABDACOM (Komando Amerika-Inggris-Belanda-Australia) sebelum akhirnya dikuasai Jepang. Sebelumnya, 23 April 1941, Bandung hanya menjadi tempat jamuan terhadap rombongan menteri Kabinet Perang Belanda. Rombongan turut disambut Ketua Regentenbond (Persatuan Bupati) Raden Adipati Aria Wiranatakoesoemah. “Marilah kita mohon kepada Allah bahwa kita, putih dan coklat, sampai kapan pun tetap hidup bersama dalam keselarasan dan kedamaian,” kata Wiranatakoesoemah dalam pidatonya yang dikutip Haryanto.

  • Sikap Sukarno Terhadap Kaum Intelektual

    PAGI, 24 April 1961. Sebuah pesawat mendarat di Pangkalan Udara Andrews, Maryland, Amerika Serikat, disambut Presiden John F. Kennedy bersama sejumlah pejabat pemerintah. Orang yang ditunggu-tunggu Kennedy tak lain adalah Presiden Sukarno dari Indonesia yang hari itu memulai kunjungan resmi kenegaraannya ke Amerika Serikat. Sukarno dan rombongan disambut oleh Kennedy dalam suatu upacara resmi. Setelah sedikit bercengkrama, perjamuan kemudian dilanjutkan di White House dalam suasana yang lebih santai. “Ini adalah isyarat sambutan kehormatan luar biasa yang dilakukan Presiden Amerika kepada pemimpin Indonesia,” tulis Walentina Waluyanti de Jonge dalam Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen . Beragam hal diperbincangkan oleh keduanya. Mulai dari isu-isu berat yang membawa kepada perdebatan seperti tentang Irian Barat, hingga candaan-candaan kecil yang mencairkan suasana. Di tengah perbincangan santai itu, Kennedy melontarkan pertanyaan yang tidak terduga. Ia menanyakan perihal keberhasilan Sukarno membangun Indonesia setelah lepas dari pengaruh kolonialisme. Ia menduga di balik besarnya nama Sukarno ada orang-orang dari golongan terpelajar (kaum intelektual), atau di Barat dikenal sebagai intellectual classes , yang membantu usahanya itu. Bagi Amerika sendiri keberadaan kaum intelektual telah cukup lama berubah. Dalam buku The End of Ideology, Profesor Sosiologi dari Universitas Columbia Daniel Bell menyebut pada kurun masa 1950-an para penggerak yang dahulu menjadi motor ideologi-ideologi besar seperti Marxisme, Liberalisme, Konservatisme sudah kehilangan kharismanya. Sejalan dengan itu, politikus Partai Buruh di Inggris Anthony Crosland juga mengatakan bahwa masyarakat di Amerika dan Eropa yang telah makmur secara ekonomi mulai meninggalkan diskusi-diskusi dan debat-debat politik. Bahkan mereka menganggap kegiatan itu tidaklah penting. “Kita berhadapan di sini dengan apa yang dinamakan ‘post-politics society’,” pungkasnya. Namun kondisi itu tidak berlaku bagi negara-negara baru di sepanjang Asia-Afrika. Menurut Bell keberadaan kaum intelektual di sana berbanding terbalik dengan di Amerika dan Eropa, atau malah berbeda sama sekali. Jika di Amerika dan Eropa pengaruhnya mulai melemah, di Asia-Afrika para terpelajar itu justru baru saja memulai aksinya. Mereka menjadi penentu arah berdirinya negara-negara baru tersebut. “Ideologi-ideologi massa Asia-Afrika adalah parokial atau picik, instrumental, dan diciptakan oleh para pemimpin politik,” ucap Bell. Berangkat dari sana, rasa penasaran Kennedy terhadap keberhasilan Indonesia semakin besar. Ia pun lantas memberanikan diri bertanya kepada Sukarno. “Apakah kaum intelektual berada di belakang Anda?” tanya Kennedy. Dalam buku Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961- 1965 karya H. Rosihan Anwar diceritakan bahwa setelah mendengar pertanyaan presiden ke-35 Amerika itu, Sukarno tidak memberikan tanggapan apapun. Sebagai gantinya Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio, yang kala itu ikut mendampingi Sukarno bersama Wakil Perdana Menteri Pertama Johanes Leimena dan Duta Besar Zirin Zain, berusaha memberikan jawaban mewakili Sukarno. “Kaum intelektual di Indonesia sekarang adalah reaksioner. Mereka tidak bisa dipakai untuk ikut dalam revolusi,” kata Subandrio. Percakapan dua pemimpin bangsa itu pun kembali dilanjutkan. Sekembalinya ke tanah air, Subandrio pergi menemui salah seorang intelektual dari Partai Sosialis Indonesia, yang juga berprofesi sebagai diplomat Soedjatmoko. Ia mempertanyakan sikap kaum intelektual di Indonesia terhadap rezim Sukarno. “Kenapakah teman-temanmu itu (golongan intelektual) begitu negatif selalu sikapnya? Kenapa mereka tidak menyokong pemerintah sekarang,” tanya Subandrio. “Soalnya mudah juga. Kalau saja Sukarno menyerukan kepada kaum intelektual untuk menyokong pemerintahannya atas dasar understanding  dan kerja sama yang baik, pasti kaum intelektual tidak akan berdiri di pinggir terus. Bahkan pemerintah RRT (Republik Rakyat Tiongkok) pernah melakukan seruan kepada kaum intelektual Cina untuk menyokong dan memberikan bantuan kepada pemerintah RRT,” jawab Soedjatmoko. Dengan santai Subandrio menjawab, “Hal itu akan sukar di sini. Kau tahu betapa presiden tidak begitu suka kaum intelektual.” Persoalan kaum intelektual masa pemerintahan Sukarno juga pernah diperbincangkan oleh Rosihan Anwar, tokoh pers dan sastrawan Indonesia. Dalam bukunya, Rosihan bercerita bahwa beberapa kawan pernah bertanya kepadanya tentang permasalahan kaum intelektual tersebut. Umumnya mereka mempertanyakan sikap para intelektual yang terkesan diam saja meski banyak kebijakan pemerintah Sukarno yang merugikan rakyat. “Mengapa kaum terpelajar tidak bangkit memimpin gerakan perlawanan, mempelopori rakyat dalam menentang paksaan-paksaan yang dilakukan ruling elite ?” “Mungkin karena kini ketakutan telah terlalu mendalam,” jawab Rosihan. “Mungkin juga karena menyebar anggapan bahwa perlawanan toh sia-sia belaka. Lihat sajalah pada perlawanan yang dilakukan oleh PRRI-Permesta (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang dipimpin oleh kaum intelektual itu. Bagaimana akhirnya? Gagal.”

  • Ketika Kolonel D.I. Pandjaitan Mengangkat Orang Jerman Jadi Intel

    BONN, kompleks Kedutaan Besar RI di Jerman Barat. Di kamar kerjanya, Kolonel Donald Isaac Pandjaitan tekun menulis. Atase militer Indonesia untuk Jerman itu kerap merancang brosur dan pamflet propaganda. Isinya mengemukakan keinginan penduduk asli Irian Barat (kini Papua) untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Pandjaitan berencana akan menyebarkannya di negeri Belanda. “Siapa yang akan menyebarkan pamflet dan brosur itu nanti? Felix Metternich...,” ujar Marieke Pandjaitan br. Tambunan, istri Pandjaitan dalam biografi  D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran . Felix Metternich adalah orang Jerman yang dikaryakan di Kedubes RI bagian Atase Militer (Atmil). Dia telah bekerja di sana sejak Kolonel Askari – pendahulu Pandjaitan – menjabat Atmil. Pandjaitan mulai menjabat Atmil pada 1956. Ketika konflik Irian Barat bergolak, Pandjaitan memakai jasa Metternich dalam serangkaian operasi rahasia.       Menurut Marieke, Pandjaitan memang sengaja memilih Metternich untuk menjalankan misi intelijen. Sengketa Irian Barat membuat otoritas imigrasi Belanda menolak paspor warga negara Indonesia. Orang Indonesia tidak diperkenankan masuk, kecuali mereka yang telah lama menetap atau sudah menjadi warga Belanda. Itulah sebabnya, Pandjaitan menyusupkan Metternich ke Belanda guna menyokong kampanye pembebasan Irian Barat. Apa yang dilakukan Pandjaitan merupakan bagian dari Operasi C. Perintah ini langsung diinstruksikan oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution. Operasi A dilakukan dengan infiltrasi ke daratan Irian Barat. Operasi B menghimpun dan mengkaderasasi putra-putra Irian Barat. Sementara Operasi C adalah kegiatan “diplomasi senyap” yang dilancarkan perwira TNI di luar negeri. “Para atase militer di Eropa Barat, Kartakusumah di Paris, S. Parman di London, dan Pandjaitan di Bonn merupakan pendukung usaha ini,” ujar Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama . Tiba di Belanda, Metternich membagi-bagikan brosur dan pamflet tentang Irian Barat kepada golongan tertentu. Mereka adalah tokoh-tokoh berpengaruh yang dapat membentuk opini masyarakat Belanda soal Irian Barat. Metternich juga sering bertugas memposkan surat-surat rahasia dari pemerintah Indonesia kepada tokoh-tokoh politik dan ekonomi Belanda. Surat-surat itu diposkan dengan mencantumkan alamat pengiriman di wilayah Belgia. Demikianlah caranya untuk menghindari pengguntingan sepihak oleh dinas intelijen Belanda. Dari semua misi, tugas memasuki pelabuhan yang dikelola oleh Angkatan Laut Belanda merupakan upaya paling beresiko bagi Metternich. Pandjaitan pernah meminta Metternich untuk memotret kapal perang milik Kerajaan Belanda, terutama kapal induk bernama Karel Doorman. Memasuki tahun 1960, santer diberitakan bahwa Karel Doorman akan berlayar ke perairan Irian Barat guna memperkuat pertahanan Belanda. Dengan menggunakan kamera mini, Metternich berhasil memotret Karel Doorman dan kapal-kapal perang yang lain. Pandjaitan kemudian mengirimkan foto-foto jepretan Metternich ke Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) di Jakarta. Dan benar saja, pemerintah Belanda mendatangkan Karel Doorman pada akhir Mei 1960. Setelah mengetahui besaran kekuatan armada laut Belanda, TNI mempersiapkan diri menghadapinya dengan kapal penjelajah kelas berat bernama KRI Irian yang dibeli dari Uni Soviet. Selain itu, kekuatan AL Indonesia semakin lengkap dengan didatangkannya selusin kapal selam, belasan kapal roket cepat, pesawat-pesawat AL, helikopter-helikopter dan peralatan amfibi. Walhasil, TNI AL menjelma sebagai kekuatan laut yang terkuat di belahan bumi selatan. Metternich juga menjadi saksi bagaimana Pandjaitan memainkan perannya melobi dalam diplomasi senyap. Dengan pendekatan personal, Pandjaitan kerap mengundang Profesor Willem Duynstee ahli hukum tata negara Universitas Nijmegen berkunjung ke kediamannya untuk bertukar pikiran. Duynstee seperti dicatat Ganis Harsono dalam Cakrwala Politik Era Sukarno , pada 3 Agustus 1961, memelopori gerakan anti perang antara Indonesia dan Belanda.   Selain itu, Pandjaitan sering mengatur pertemuan rahasia antara wakil-wakil Indonesia dengan tokoh-tokoh politik dan ekonomi Belanda. Biasanya pertemuan berlangsung di tempat netral yang ada di wilayah Jerman. Salah satu keberhasilan Pandjaitan ialah mempertemukan para pendeta dan pemimpin-pemimpin gereja dari Belanda dengan Jenderal Nasution di Bonn. “Sudah barang tentu bantuan Metternich kepada suami saya pantas dihargai. Gagasan dan ide tertentu Atmil (Pandjaitan) dapat dilaksanakan olehnya,” kenang Marieke. Pada 1962, Pandjaitan mengakhiri dinasnya sebagai Atmil di Jerman. Tugas baru menantinya sebagai Asisten IV/logistik Menteri Panglima Angkatan Darat. Di Jakarta TNI mengalami reorganisasi. Jenderal Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata sedangkan Letnan Jenderal Ahmad Yani naik sebagai orang nomor di jajaran AD. Yani-lah yang memilih Pandjaitan sebagai Asisten IV yang membidangi urusan logistik.   Setelah Pandjaitan pulang ke Indonesia, Metternich tetap bekerja di Kedubes RI. Metternich masih terus membantu para Atmil Indonesia di Jerman. Mereka antara lain:  Kolonel Wadly, Kolonel Sunggoro, dan Kolonel Abdullah. Tidak kurang dari 17 tahun lamanya "Si Intel Jerman” ini menjadi staf Atmil di Bonn hingga tahun 1972.

  • Kala Panglima Siliwangi Distop Polisi

    SETELAH beberapa saat dirawat di RS Boromeus, Fatmawati Sukarno akhirnya memilih tinggal di luar rumahsakit. Bukan pelayanan tim dokter yang membuat Ibu Fat, sapaan akrab Fatmawati, tidak betah tinggal di rumahsakit itu. “Terus terang, Ibu sulit tidur. Kalau terus-menerus begini, semuanya jadi repot,” kata first lady pertama Indonesia itu sebagaimana dimuat dalam buku Suka-Duka Fatmawati Sukarno: Seperti Diceritakan Kepada Kadjat Adra’i . Ibu Fat yang saat itu sedang mengalami darah tinggi parah dan sedikit depresi menahun pasca-keluar Istana, lanjut Kadjat, butuh tempat tinggal tenang untuk memulihkan kesehatannya. Dalimin Rono Atmodjo, personil Brimob yang jadi komanda regu di Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Resimen Tjakrabirawa, lalu mendapatkan Wisma Siliwangi III. Ibu Fat pun pindah ke sana pada akhir Agustus 1965. Wisma Siliwangi III dipilih Ibu Fat selain kondisinya bersih juga lantaran letaknya tak jauh dari tempat tinggal Guntur Sukarnoputra yang saat itu masih kuliah di ITB. Ibu Fat bisa lebih sering bertemu dengan putra sulungnya itu. Selain ditemani para pengawal, Ibu Fat juga mendatangkan juru masaknya dari Jalan Sriwijaya, Jakarta. “Perempuan berusia 35-an tersebut sudah cukup lama ikut Bu Fat sehingga tahu persis selera atau kesukaan Bu Fat,” tulis Kadjat. Praktis, Bu Fat tidak kesepian lantaran orang-orang dekat selalu siap di sekelilingnyanya. Kendati demikian, ketenangan merupakan hal paling dibutuhkan Bu Fat. Hal itulah yang membuatnya mengeluh ketika suatu malam suara tukang sate keliling mengusik istirahatnya. Kepada Dalimin, Bu Fat langsung meminta agar tukang sate menjauh dari rumahnya ketika berdagang. Dalimin pun langsung mengejar tukang satu yang sudah agak jauh itu. Didahului permintaan maaf, Dalimin langsung menerangkan duduk perkara dan meminta tukang sate itu tidak berisik lagi ketika melintas di depan Wisma Siliwangi III. Si tukang sate yang terperangah ketika mengetahui ada first lady di dalam wisma itu pun langsung menyanggupi permintaan Dalimin. “Mulai besok saya ndak teriak-teriak te..te... lagi. Sampaikan maaf saya kepada Ibu Fatmawati. Kalau beliau ingin makan sate, mari saya bikinkan,” kata tukang sate asal Madura itu. Dalimin lalu mengusulkan pola pengamanan sementara di sekitar Wisma Siliwangi III ke Istana dan Polri. Hasilnya, semua kendaraan maupun tukang jualan dilarang melintas di jalan yang melintasi depan Wisma Siliwangi III. Namun karena aturan tersebut tidak disosialisasikan, Pangdam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie pun kena batunya. Suatu malam, mobil yang membawa Adjie dan istrinya melintas. Di depan Wisma Siliwangi III, seorang polisi anggota DKP langsung menyetopnya. Adjie pun kaget. “Ada apa,” tanya Adjie. “Maaf, Pak. Semua kendaraan dilarang masuk jalan ini,” jawab sang petugas. “Siapa yang perintah ini?” Adjie kembali bertanya dengan nada meninggi. “Ibu Fatmawati sedang dirawat dan tinggal di Wisma Siliwangi III, Pak. Ibu Fat membutuhkan sekali ketenangan. Jadi jalan ini ditutup untuk lalu lintas umum.” “Baik, katakan kepada komandan regumu supaya besok menemui saya di kantor,” kata Adjie menutup pembicaraan. Adjie merupakan salah satu jenderal kesayangan Presiden Sukarno. Dua hari setelah G30S pecah yang disusul kondisi keamanan memburuk, Sukarno mengirimkan surat kepada Adjie berisi permintaan untuk menjaga keamanan diri dan keluarganya. “Hal ini menunjukkan kecintaan Bung Karno secara pribadi kepada Siliwangi dan kepada panglimanya, Mayor Jendral Ibrahim Adjie,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang . Maka, polisi yang menghentikan mobil Adjie tadi pun langsung melaporkan apa yang dialaminya kepada Dalimin. Mendengar laporan itu, Dalimin jelas khawatir. Dia tahu orang yang akan dihadapinya bukan sembarang orang. “Dia siap dimarahi karena berani menghentikan mobil panglima daerah,” tulis Kadjat. Keesokan paginya, Dalimin pun menghadap Adjie. Setelah menghormat dan meminta maaf terlebih dulu, Dalimin langsung menjelaskan duduk perkaranya kepada Adjie. “Ini perintah dari Istana dan sudah dikoordinasikan dengan kepolisian di sini, Pak,” kata Dalimin. “Oke, silakan ikuti perintah. Saya bangga kamu tetap memegang disiplin,” kata Adjie.

  • Memercayakan Kelahiran pada Bidan

    DJASMINAH panik. Perempuan yang baru jadi bidan itu mendapati masalah yang belum pernah ditemuinya kala diminta membantu persalinan perempuan Tionghoa di Kediri. Ibu yang hendak ditolong persaliannya sudah kehilangan banyak darah akibat jalur kelahiran si bayi tertutup oleh ari-ari ( placenta previa ). Djasminah lantas mengabari mentornya, dokter HB van Buuren, untuk segera datang memberi pendampingan kendati jarak rumah van Buuren ke tempat pasien sekira 20 km. Sembari menunggu kedatangan gurunya, Djasminah berusaha mengatasi pendarahan si ibu. Begitu tiba, Van Buuren bersama Djasminah langsung membantu pesalinan. Keadaan genting berhasil diatasi. Menurut Van Buuren, itu berkat kecekatan Djasminah dalam mengatasi pendarahan. Sejak sekolah kebidanan dibangun pada medio abad ke-19, bantuan bidan dalam persalinan mulai digunakan ibu-ibu pribumi. Para siswa kebidanan biasanya diberi tugas jaga di rumahsakit. Mereka bergantian shift dengan perawat bila tidak ada rekan sesama bidan. Sedangkan siswa yang telah lulus bekerja untuk pemerintah. Biasanya, Dinas Kesehatan Sipil menempatkan para bidan muda ini di wilayah asal mereka agar lebih paham medan. Selain dimentori oleh dokter Eropa yang berdinas di kota, para bidan muda ini tidak diperbolehkan menangani kasus kelahiran sulit seorang diri alias harus ada dokter Eropa yang mendampingi untuk menghindari kesalahan penanganan. Menurut catatan van Buuren, dari 1850-1909, ada sedikit perubahan dalam praktik persalinan di Hinda-Belanda meski belum signifikan. Dinas Kesehatan Sipil mengalami kesulitan membiasakan penduduk untuk melahirkan dengan bantuan bidan. Beberapa penduduk bahkan meragukan kemampuan bidan dan lebih mempercayai dukun beranak. Hal ini sempat dialami bidan Markati pada 1898. Makarti ditempatkan di Mojowarno, di bawah pengawasan dokter misionaris H Bervoets. Suatu hari, ia dipanggil asisten kepala distrik untuk membatu persalinan istrinya. Si raden ayu mengalami pendarahan pasca-melahirkan. Begitu tiba, Markati dan Bervoets mendapati kerumunan pelayan yang panik mengahadapi hal tersebut. Tanpa disangka, raden ayu enggan menerima bantuan Bervoets. Maka si dokter mempercayakan muridnya untuk menangani pasien itu, sementara Bervoets sendiri mengawasi dari luar tirai. Raden ayu tetap menolak bantuan Makarti sampai akhirnya diperingatkan kalau nyawanya terancam bila tidak segera dirawat. Markati juga meyakinkan, meski ia dididik dokter misionaris dari Eropa, ia tetap perempuan Jawa dan hampir sama seperti dukun beranak. Sikap raden ayu hanyalah satu contoh keraguan masyarakat pada kemampuan bidan. Sikap ini pula yang jadi penyebab sebagian siswa pelatihan bidan mundur dari profesi mereka. Pemerintah kolonial kemudian memberikan subsidi bagi para bidan agar pendapatan mereka tak minim. Jumlahnya bervariasi, antara 10 hingga 25 gulden sebulan, tergantung domisili. Liesbeth Heeselink dalam  The Early Years of Nursing in The Dutch East Indies menyebut beberapa bidan bernasib mujur. Jasanya laris manis. Para bidan yang aktif membuka praktik umumnya memperoleh 253 gulden sebulan meski kadang cuma dibayar terima kasih. Nyi Astijem di Purwakarta, misalnya, dalam sebulan membantu 17 prsalinan. Lima di antaranya pasien pribumi miskin sehingga ia maklum jika tidak diberi uang. Sekira lima lainnya perempuan Eropa kaya. Dari sinilah sebagian besar sumber pendapatan Nyi Astijem. Sankum, rekan Astijem yang berdinas di Amurang, Sulawesi, tercatat membantu kelahiran 127 bayi. Dari seluruh bantuan yang ia berikan, Sankum diupah 25 gulden per persalinan dan hanya satu yang ia gratiskan. Peter Bloomgard dalam The Development of Colonial Health Care in Java menyebut, upah yang lumayan ini menarik minat para orang tua. Mereka pikir, daripada memasukkan anak gadis mereka ke sekolah perawat lebih baik menjadi bidan. Toh, seperti penilaian Bervoets pada Markati, para bidan pribumi bekerja cukup baik. Mereka bisa mengaplikasikan ilmu yang didapat di situasi sulit.

  • Operasi Terakhir Petinggi CIA di Indonesia

    ALFRED C. Ulmer baru saja menempati posisi sebagai kepala divisi CIA untuk Timur Jauh. Sebelumnya, dia menjabat kepala stasiun CIA di Athena, Yunani. Ketika mengambil alih divisi ini, dia hampir tak tahu apa-apa tentang Indonesia. Namun, dia dipercaya penuh oleh Allen Dulles, Direktur CIA. Ulmer mendapatkan tugasnya ketika pada akhir tahun 1956, Frank Gardiner Wisner, Deputi Direktur Perencanaan CIA, mengatakan kepadanya: “sudah waktunya menaikkan suhu panas atas Sukarno dan memanggang kakinya di atas api”.

  • Parasite dan Seabad Perfilman Korea

    RUMAH vertikal nan mewah itu begitu memukau Kim Ki-woo (diperankan Choi Woo-shik). Sampai ia gugup ketika memencet tombol bel. Namun pikiran untuk mengubah kehidupan keluarganya jadi lebih baik mengungguli perasaan inferior itu. Ia datang memperkenalkan diri sebagai guru les bahasa Inggris baru. Demikian intisari pembuka film Parasite yang diramu sineas Bong Joon-ho. Film thriller berbalut komedi yang begitu dark berdurasi 132 menit ini sejatinya diputar pertamakali di Festival Film Cannes ke-72, 21 Mei 2019. Namun, ia baru merambah bioskop-bioskop Indonesia mulai 21 Juni-15 Agustus 2019. Ceritanya sendiri berpusar pada keluarga Ki-woo yang hidupnya memprihatinkan. Sebuah peluang langsung mereka sambut untuk memperbaiki ekonomi keluarga meski dengan cara nista, penipuan. Namun, twist film ini jangan sangka bakal mudah ditebak. Plotnya bakal bikin mindblowing meski beberapa alurnya sedikit rumit. Ki-woo seolah jadi “pembuka pintu” buat ayah, ibu dan kakak perempuannya yang menganggur semua, jadi punya pekerjaan di rumah keluarga Park yang kaya itu. Bahkan, mereka seolah bisa menguasai rumah dan menikmati hidup mewah meski hanya beberapa jam saja. Adegan kakak-beradik dari keluarga Kim yang miskin saat akan menipu keluarga Park yang kaya (Foto: IMDB) Di film ini, sineas Bong Joon-ho akan mengajak penonton menyimak betapa intimnya keluarga Kim yang miskin dan keluarga Park yang kaya. Kepintaran anak-anak keluarga Kim membuat mereka bisa mengandalkan hidup pada keluarga Park sebagai parasitis. Bong berhasil mengemasnya dengan komedi tanpa badut dan tragedi tanpa peran antagonis. Salah satu kunci alur film, kata Bong, ada pada set rumah mewah yang punya banyak tangga. “Rumah mewah itu berstruktur vertikal – lantai satu, lantai kedua, dan ruang bawah tanah. Tiap bagian rumah itu dihubungkan oleh tangga-tangga yang menjadi kunci metafora untuk pemisahan status sosial,” tutur Bong, dikutip Korea Herald , 22 Mei 2019. Adegan demi adegannya cukup menggigit. Sejumlah kritikus dan media-media film asing pun mengacungi jempol dalam beragam ulasan. Raihan Palme d’Or pada Festival Film Cannes 2019 sebagai gelar film festival bergengsi sudah jadi bukti. Torehan Bersejarah Jelang Momen Bersejarah Anugerah dari Cannes itu menandai sejarah baru untuk perfilman “Negeri Ginseng”. Parasite tercatat sebagai film Korea pertama yang menerima penghargaan itu, kado terbaik bagi perayaan 100 tahun perfilman Korea pada 27 Oktober 1919 nanti. “Tahun ini menandai 100 tahun peringatan perfilman Korea. Anugerah Palme d’Or jadi hadiah yang sangat bermakna untuk semua sineas dan rakyat Korea. Status budaya hallyu naik lagi satu level ke atas,” kata Presiden Moon Jae-in dalam kicauannya di akun Twitter pribadinya, @moonriver365 , 25 Mei 2019. Bagaimana permulaan film Korea seabad lampau sesungguhnya sangat mirip dengan bagaimana perfilman Indonesia lahir hingga disepakati 30 Maret –sebagai hari pertama produksi film Darah dan Doa: The Long March garapan sineas anak negeri pertama, Usmar Ismail– sebagai Hari Film Nasional. Hari perfilman Korea, yang 31 tahun lebih tua dari Hari Film Nasional, juga berawal dari pemutaran dua film yang diproduseri orang Korea, Uirijeok Gutu dan Scenes of Kyongsong City (dokumenter), yakni pada 27 Oktober 1919. Dua film itu diproduseri pemilik Bioskop Dansung-sa, Pak Sung-pil, dan disutradarai Kim Do-san. Dansung-sa juga jadi satu-satunya bioskop milik orang Korea saat negeri itu masih dijajah Jepang. Bioskop Dansung-sa di tahun 1962 (Foto: National Archives of Korea) Periset Studi Media dan Kultur Brian Yecies dan periset Studi Pop Kultur Shim Ae-gyung dalam Korea’s Occupied Cinemas, 1893-1948: The Untold History of the Film Industry memaparkan, film mulai masuk Korea sejak 1897. Secara terbatas, film-film dari China ditayangkan mulanya di sebuah barak pasukan Joseon di Jongogae. Film yang dianggap oleh Dinasti Joseon saat itu sebagai lukisan bergerak. Seiring terbukanya Korea untuk negeri-negeri asing sejak 1893, kultur Jepang, China, hingga Eropa turut masuk. “Tapi di saat yang sama orang Korea dilarang terjun langsung dalam produksi, distribusi, dan menayangkan film,” sebut Yecies dan Shim. Maka yang ada di Korea hanya berupa pameran-pameran penayangan film asing dan itupun dipegang penuh oleh pejabat-pejabat kolonial Jepang. Larangan itu baru melonggar pasca-Pergerakan Sam-il atau Pergerakan 1 Maret (1919) alias  perlawanan pertama Korea terhadap kolonialisme Jepang. Sejak itulah tampil Pak Sung-pil, pebisnis yang membuka Teater Dansung-sa. Ia pula yang lantas mendanai film pertama karya anak bangsanya. “Sebenarnya ( Uirijok Gutu ) lebih kepada kombinasi gambar bergerak, kino -drama, dan teater. Karena keterbatasan peralatan dan pengalaman, sang sutradara juga menyewa jasa seorang kameramen Jepang untuk mensyuting filmnya,” ungkap Kinnia Shuk Ting Yau, profesor Studi Pop Kultur Jepang, Korea, dan Hong Kong dari The Chinese University of Hong Kong, dalam tulisannya, “Imagining Others: A Study of the Asia Presented in Japanese Cinema”, dimuat dalam Development in Asia: Interdisciplinary, Post-Neoliberal and Transnasional Perspectives . Dunia perfilman Korea lalu diramaikan kino-drama dan dokumenter, selain dibanjiri film-film komersial asing. Pada 1926, film bisu pertama, Arirang , muncul. Judul film ini mengambil judul lagu rakyat Korea nan legendaris. Film Korea pertama yang bersuara baru hadir pada 1935 lewat Chunghyang-jeon . Kendati tata suaranya masih buruk, publik Korea yang saat itu masih dikekang Jepang, amat membanggakannya. Butuh satu dekade bagi Korea (Selatan) untuk menjadikan perfilmannya berkembang pesat pasca-lepas dari cengekeraman Jepang pada 1945. Mengutip Paquet Darcy dalam ulasannya di koreanfilm.org , 13 Maret 2013, produksi film Korea mulai menggelembung dari hanya 15 pada 1954 menjadi 111 pada lima tahun berselang. Butuh sekira satu dasawarsa lagi untuk Korea menetapkan hari film nasional mereka. “Para sineas sudah mulai memperingati Hari Film yang mereka klaim jatuh pada 27 Oktober sejak 1963. Namun kemudian pemerintah baru mengakui, menetapkan, dan meresmikannya pada 1966,” tandas Yecies dan Shim.

  • Ki Ageng Selo, Sang Penangkap Petir

    Film Gundala (2019) garapan sutradara Joko Anwar tengah tayang di bioskop. Penciptaan Gundala oleh komikus Harya Suraminata disebut-sebut terinspirasi oleh Ki Ageng Selo, tokoh legenda yang diceritakan bisa menangkap petir. Nama Gundala sendiri berasal dari kata "gundolo" yang artinya petir. Dalam tradisi lisan di beberapa daerah di Jawa Tengah, Ki Ageng Selo merupakan tokoh yang terkenal bisa menangkap petir. Diceritakan, suatu hari Ki Ageng Selo sedang mencangkul di sawah. Langit mendung lalu turun hujan dan tiba-tiba petir menyambarnya. Namun, dengan kesaktiannya, dia berhasil menangkap petir itu. Petir tersebut berwujud naga. Ki Ageng Selo mengikatnya ke sebuah pohon Gandrik. Ketika dibawa kepada Sultan Demak, naga tersebut berubah menjadi seorang kakek. Kakek itu kemudian dikerangkeng oleh Sultan dan menjadi tontonan di alun-alun. Kemudian datanglah seorang nenek mendekat, lalu menyiram air dari sebuah kendhi ke arah kakek tersebut. Tiba-tiba, terdengar suara petir menggelegar dan kakek nenek tersebut menghilang. Dari kisah tersebut berkembang mitos kalimat, “ Gandrik, aku iki putune Ki Ageng Selo ” yang artinya, “Gandrik, saya ini cucunya Ki Ageng Selo.” Kalimat itu, bagi sebagian penduduk daerah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu misalnya, dipercaya dapat menghindarkan mereka dari sambaran petir ketika hujan datang. Sigit Prawoto, dosen Antropologi Sosial dan Etnologi Universitas Brawijaya, dalam bukunya Hegemoni Wacana Politik menyebut, “pernyataan klaim kekeluargaan ini mengandung keyakinan kultural bahwa seseorang yang berasal dari keturunan orang yang memiliki kualitas ( kasekten ) tertentu akan mewarisi kualitas tersebut.” Kisah Ki Ageng Selo menangkap petir diabadikan dalam ukiran pada Lawang Bledheg atau pintu petir di Masjid Agung Demak. Ukiran pada daun pintu itu memperlihatkan motif tumbuh-tumbuhan, suluran (lung), jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara, dan dua kepala naga yang menyemburkan api. Lawang bledheg sekaligus menjadi prasasti berwujud sengkalan memet ( chronogram ) dibaca “ naga mulat salira wani ” yang menunjukkan angka tahun 1388 S atau 1466 M. Tahun tersebut diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Masjid Agung Demak. Lawang bledheg memiliki makna lain selain sebagai penggambaran kisah Ki Ageng Selo. Supatmo dalam "Ikonografi Ornamen Lawang Bledheg Masjid Agung Demak" yang terbit di Jurnal Imajinasi , September 2018, menyebut Lawang Bledheg berisi makna simbolis nilai-nilai pra-Islam. “Dalam dimensi ikonografis, keberadaan motif-motif tradisi seni hias pra-Islam (Jawa, Hindu, Buddha, dan China) pada ornamen lawang bledheg Masjid Agung Demak merupakan pernyataan simbolis tentang toleransi terhadap pluralitas budaya masyarakat yang berkembang pada masa awal budaya Islam di Jawa (Demak),” tulis Supatmo, dosen Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang. Keturunan Raja Brawijaya Menurut Soetardidalam Pepali Ki Ageng Selo , Ki Ageng Selo merupakan keturunan Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Prabu Brawijaya, dari istrinya yang paling muda yang berasal dari Wandan atau Bandan atau Pulau Banda Neira, mempunyai anak bernama Bondan Kejawen. Ki Ageng Selo merupakan cucu dari Bondan Kejawen. Ki Ageng Selo hidup di masa Kerajaan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad 15 atau awal abad 16. Ki Ageng Selo pernah ditolak menjadi anggota Prajurit Tamtama Pasukan Penggempur Kerajaan Demak. “Sebabnya dalam ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya. Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat,” tulis Soetardi. Penolakan itu membuat Ki Ageng Selo berkeinginan mendirikan kerajaan sendiri. “Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannyalah yang akan mencapainya,” sebut Soetardi. Ki Ageng Selo kemudian pergi ke sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Dia hidup sebagai petani dan memperdalam ilmu agama, filsafat serta ilmu untuk memperluas pengaruh kepada rakyat. Dia di kemudian hari benar-benar menjadi orang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal kemudian dinamakan Desa Selo. Di desa ini juga Ki Ageng Selo meninggal dan dimakamkan. Keinginannya mendirikan kerajaan sendiri terwujud oleh cicitnya, Sutawijaya. Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar merupakan pendiri Kerajaan Mataram kedua atau Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada 1587-1601 M.

  • Pelarian Tan Kah Kee di Jawa

    KETIKA armada Jepang mengganas di Asia Tenggara dan mengancam kedudukan Inggris di Singapura, Tan Kah Kee tak mau tinggal diam. Dia memimpin sukarelawan Tionghoa untuk menghadapi Jepang. “Sebagai penghuni Kerajaan Inggris di koloni mahkota Inggris, kesempatan ini layak untuk semua upaya kami untuk memberikan dukungan, yang dapat kami berikan, untuk perang melawan agresi, dan dengan demikian untuk mengamankan tempat tinggal kami,” ujar Tan Kah Kee, seperti dikutip dari Soerabaijasch handelsblad tertanggal 4 September 1941. Tan Kah Kee (1874-1961) seorang pengusaha dan filantropis terkemuka di Singapura yang mendapat julukan “Henry Ford dari Malaya”. Kerajaan bisnisnya mencakup dari perkebunan hingga manufaktur. Sejak tanah kelahirannya, Tiongkok, diagresi Jepang pada 1920-an, ia bersikap anti-Jepang. Ribuan sukarelawan Tionghoa, yang kemudian disebut Dalforce, dilatih oleh John Dalley, perwira intelijen di kepolisian khusus Malaya. Pasukan ini ternyata dapat diandalkan meski akhirnya pertahanan Singapura jebol juga. Sehari sebelum Inggris menyerah pada Jepang pada 15 Februari 1942, Dalforce dibubarkan. Para mantan anggotanya menyelamatkan diri; menghindari dari kejaran Jepang yang melakukan pembersihan terhadap anasir-anasir perlawanan. Mereka terpecah menjadi dua bagian. Mayoritas menuju Semenanjung Malaya untuk bergabung dengan Malayan Peoples Anti-Japanese Army. Sisanya menyeberang ke Sumatra, termasuk Tan Kah Kee. Tan Kah Kee menjadi orang yang paling dicari oleh Jepang. Kepalanya bahkan berharga satu juta gulden dalam sayembara yang dibikin Jepang. Pelariannya dilakukan dengan menempuh jalur laut. “Tan Kah Kee saat itu ditemani semacam pasukan rahasia Tionghoa hingga sampai ke Indonesia,” ujar Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, kepada Historia beberapa waktu lalu. Bisa jadi, pasukan rahasia yang selalu mengiringi Tan kah Kee ini adalah mantan kombatan Dalforce. Memilih Indonesia 3 Februari 1942, pukul dua dinihari. Belasan aktivis anti-Jepang mengendap memasuki dua kapal motor yang sandar di pantai. Semua dilakukan cepat dan senyap. Bahkan Tan Kah Kee pun tak sempat berpamitan dengan sanak keluarganya. Tujuan mereka hanya satu: Sumatra. Sore hari, keesokan harinya, rombongan tiba di Tembilahan, pesisir tenggara Sumatra. Rombongan memutuskan beristirahat lima hari di Tembilahan. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Palembang melalui Rengat dan mampir di beberapa tempat seperti Teluk Kuantan, Sungai Dareh, dan Marapi. Sampai di Marapi muncul kabar bahwa Jepang telah masuk Palembang. Rombongan Tan berpikir dua kali untuk melanjutkan perjalanan ke Palembang. Mereka balik kanan, kembali ke Sungai Dareh sembari memikirkan pelarian lebih lanjut. Akhirnya diputuskan menyeberang ke Jawa. Tiba di Jawa, lagi-lagi, Jepang sudah mendarat di sana. Mau tak mau, jalan pelarian menjadi semakin sulit. Rombongan pun dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Tan hanya ditemani dua pengiring. Pertengahan Mei 1942, rombongan Tan naik kereta dari Cianjur ke Bandung, kemudian berganti kereta menuju Yogyakarta. Di sana mereka bertemu Lau Geok Swee, pemimpin Kuo Min Tang bagian Penang, yang sudah terlebih dahulu masuk Jawa. Mereka akan bersama-sama menuju Solo. Namun keributan terjadi di Stasiun Yogyakarta ketika beberapa tentara Jepang merangsek ke dalam stasiun untuk memeriksa para penumpang kereta api. Rombongan Tan berhasil lolos dengan memanfaatkan kerumunan penumpang. Tan Kah Kee (berkacamata) dan Lau Geok-swee. (Repro The Kuomintang Movements in Malaya ). Setiba Solo, rombongan Tan mendapat perlindungan dari dua mantan siswa sekolah Jimei dan Universitas Amoy –kedua sekolah ini didirikan atas prakarsa Tan Kah Kee di Tiongkok. Mereka ditampung dalam satu rumah berisi delapan anggota keluarga. Tan juga mengganti namanya menjadi Li Wen-hsueh. Lama-lama Tan tak betah tinggal di Solo dengan udara yang panas dan sakit giginya yang sering kambuh. Ia mengusulkan pindah ke daerah yang lebih dingin. Akhirnya ia memilih Malang, kota sejuk di lereng Gunung Arjuno. Tetap Anti Jepang Malang, 1943. Samar-samar, kabar mengenai Tan Kah Kee sampai ke telinga Jepang. Mereka menjadi gelap mata. Siapapun yang berkaitan dengan Tan juga diburu. Tjoeng See Gan, seorang pengusaha kain katun yang kemudian hidup dalam kamp interniran Jepang di Cimahi, adalah salah satu korban kekejaman Keinpetai. Ia, menurut Sam Sedyautama dalam Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia , disiksa sebab enggan memberitahu persembunyian Tan di Jawa. Jepang kali ini seperti mengejar hantu. Di Malang, Tan tinggal bersama keluarga Lee Eng-khoon dalam sebuah rumah kontrakan. Beberapa kali ia berpindah rumah di sekitar Malang dan Batu. Salah satu yang mengusahakan persembunyiannya adalah Lie Joeng Koen, sukarelawan Tionghoa Siang Hwee yang tugasnya menolong interniran Jepang. Lie Joeng Koen, pascakemerdekaan, berganti nama menjadi Samidadi Bodhidiya dan sempat menjalankan usaha ekspor-impor. Hidup dalam pelarian di usia 69 tahun membuat Tan frustasi. Ia pernah berharap ditangkap Jepang. Namun hal itu lama-lama hilang. Tan justru antusias membantu perjuangan bawah tanah yang dilakukan pemuda-pemuda Malang. Saat itu, posisi Jepang di medan perang Pasifik mulai payah. Mereka pun membentuk organisasi pemuda yaitu Jawa Seinendan (Barisan Pemuda di Jawa) dan Keibodan (Barisan Pembantu Polisi). Setelah berjalan beberapa waktu, banyak yang antusias masuk Keibodan. Jepang khawatir Keibodan menjadi kekuatan seperti Pembela Tanah Air (Peta) yang berontak dan berpikir perlu dibentuk imbangan kekuatan. Maka, menurut Benny G. Setiono dalam bukunya Tionghoa Dalam Pusaran Politik , mereka membentuk Keibotai atau pasukan pembantu polisi yang anggotanya khusus pemuda-pemuda Tionghoa. Kehadiran Keibotai mendapat perhatian pemimpin gerakan bawah tanah anti-Jepang. Alih-alih menjadi imbangan, mereka berpendapat Keibotai bisa menjadi subordinat Keibodan. Untuk memecahkan persoalan ini, mereka butuh saran dari sesepuh yang paham seluk-beluk perlawanan terhadap Jepang. Mereka lalu menemui Tan di Batu. Rumah persembunyian Tan Kah Kee di Batu, Malang. (Repro buku Tan Kah Kee). Siauw Giok Tjhan, saat itu berusia 29 tahun, punya penilaian tersendiri mengenai Tan. Dalam pandangannya, yang ditulis dalam Lima Jaman , Tan memiliki pandangan yang luas. Tan, “ membenarkan pendirian: jangan sampai Keibotai dapat digunakan Jepang sebagai ‘perisai’ menghadapi kemarahan Rakyat Indonesia.” “ Di samping itu memang  Keibotai perlu digunakan sebagai penggugah kesadaran pemuda peranakan Tionghoa, bahwa mereka adalah putera Indonesia, yang perlu ikut serta dengan putera-putera Indonesia lainnya untuk memperjuangkan  perbaikan nasib  bagi seluruh Rakyat Indonesia dan mencapai kemerdekaan nasional,” ujar Siauw Giok Tjhan. Siauw mantan wartawan Mata h ari , kemudian menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan ketua Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) tahun 1965. Di Malang, Tan menulis memoar dan pamflet mengenai kebersihan rumah di daerah Jawa Timur. Dalam memoarnya, ia juga melakukan analisis mengenai saat-saat kekalahan Jepang dalam perang. Ia menulis bahwa tahun 1944, kekuatan Sekutu akan kembali dengan menguatnya angkatan udara dan angkatan lautnya. Superioritas armada Sekutu di udara inilah, dalam analisis Tan, yang akan melakukan pukulan telak ke jantung Negeri Matahari Terbit.  Tak Lupa Indonesia Jepang akhirnya kalah perang dan Indonesia merdeka. Bagi Tan Kah Kee, ini merupakan kabar baik. Ia tak perlu lagi bersembunyi. 1 Oktober, Tan memutuskan kembali ke Singapura. Cerita bagaimana Tan Kah Kee kembali ke Singapura ada dua versi. Siauw Giok Tjhan, yang saat itu menjadi anggota Komite Nasional Daerah untuk Malang, menyaksikan enam pesawat Angkatan Udara Inggris berjenis spitfire mendarat di lapangan udara Malang. Keenamnya mengawal kepulangan Tan Kah Kee ke Singapura, sebagai bentuk balas jasa pemerintah Inggris atas usaha Tan turut berjuang melawan Jepang di Singapura. Kisah kedua diungkapkan Ching Fatt Yong dalam bukunya Tan Kah-kee: The Making of an Overseas Chinese Legend . Menurutnya, Tan dan pengawal Tionghoanya terlebih dahulu naik mobil ke Surabaya dan melanjutkan naik kereta api menuju Jakarta. Rupanya rencana ini didengar Sukarno, yang memerintahkan pemberian pengawal tambahan untuk memastikan keamanan diri Tan selama perjalanan menuju Jakarta. 2 Oktober 1945 rombongan tiba di Jakarta, dan baru 6 Oktober mereka naik pesawat menuju Singapura. Suasana stasiun kereta api Surabaya setelah kemerdekaan. ( geheugenvannederland.nl ). Ikatan Tan dengan Indonesia terus berlanjut. Saat rombongan RI diundang Nehru ke India dalam rangka Asian Relations Conference 23 Maret hingga 2 April 1947, mereka transit di Singapura. Delegasi yang dipimpin Wakil Menteri Luar Negeri Agus Salim kekurangan uang saku. Siauw Giok Tjhan, wakil dari BP KNIP, kemudian mengontak Tan Kah Kee. Tan pun mengulurkan bantuan dana. Pada awal 1947, armada Belanda melakukan blokade perdagangan di perairan antara Sumatra dan Singapura. Akibatnya, perdagangan lumpuh. Tan bereaksi dengan menggalang rapat terbuka mengecam perilaku Belanda. “Tan Kah Kee, menurut Antara , memohon kepada orang Tionghoa di Amoy, Swatow, dan Shanghai untuk berhenti memberikan layanan kepada dan menggunakan kapal Van Nederlandsche,” tulis harian Het dagblad , 18 April 1947. Boikot itu membuat Letnan Gubernur Jenderal H.J van Mook mengirim delegasi ke Singapura untuk bertemu Tan dan menyampaikan pesan: tak perlu mencampuri masalah Indonesia. Tan marah. Ia meramalkan, cepat atau lambat, Belanda akan terusir dari Indonesia.*

  • Agen CIA dalam Pemberontakan di Sumatra

    USS Thomaston dikawal kapal selam USS Bluegill berangkat dari pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Teluk Subic, Filipina. Tiba di Sumatra pada 11 Februari 1958. Kapal itu membawa persenjataan: ratusan pucuk pistol, ribuan senapan submesin, dan jutaan peluru, untuk pemberontak PRRI/Permesta. Operasi mendukung PRRI/Permesta ini bersandi Operasi Haik.

bottom of page